Arsip untuk Mei 11, 2012

05.03.2004

::  Lan Fang 

(Kalimantan Selatan – Indonesia)

Gambar

05.03.2004: 06.00 – 09.00 pagi.
Aku bangun dengan jiwa berpengharapan. Matahari pagi menembus kisi-kisi batinku yang remang. Sejenak hatiku terasa ringan ketika merasa seharusnya ada sesuatu yang “manis” untukku hari ini. Semalam, aku memang tidur lebih cepat. Karena aku ingin lebih cepat menyongsong pagi.
Perasaan itu membuatku segera terbang ke kamar mandi. Kucuran air membuatku terasa nyaman. Lalu kubiarkan busa sabun menjilati tubuhku yang telanjang. Membilasnya. Membelitkan handuk di tubuhku. Mengenakan pakaian. Berkaca.
Saat mereguk kopiku yang masih hangat di atas meja, aku tersenyum ketika melihat banyak SMS masuk yang berisi ucapan selamat ulang tahun. Mas Ari,
seorang redaktur harian beroplah besar di Surabaya; Vina dan Evy, sekretaris di kantorku; Rudi, sahabat yang tidak pernah berpaling; Janet, adik yang paling sering berselisih paham denganku; Vera seorang gadis muda energik editor sebuah penerbit.
Aku sudah meraih tas, kamera, dan notes kecilku, siap hendak berangkat ke kantor. Meski begitu banyak SMS yang masuk, tetapi aku masih menunggu dari seseorang…

05.03.2004 : 09.00 – 13.00 siang.
Aku keluar rumah menuju terminal kota Joyoboyo dengan menumpang colt bison dari arah Malang. Anganku terbang ke dunia lain. Saat ini aku adalah seorang wanita karier dengan blazer licin bermerek dari sebuah butik mahal di Tunjungan Plaza berwarna terakota, make up made in Japan yang membuat wajahku mulus seakan tanpa pori dan komedo, parfum beraroma laut tropis dengan harga hampir satu juta rupiah untuk sebuah botol kecil saja, dengan note book tipe terbaru, duduk di atas jok empuk Mercedes A 140 yang kecil lincah, dengan hembusan air conditioner yang halus, ditingkahi suara empuk Julio Iglisias yang mengalunkan When I Need You?
Lamunanku pecah ketika tiba-tiba badanku terdorong ke depan dan suara sopir colt bison mengeluarkan sumpah serapah khas Surabaya, “Jancuk! Matamu, cuk! Nyebrang gak ndelok-ndelok (Menyeberang kok tidak melihat-lihat)?!”
Olala! Ternyata aku hanya penulis freelance di sebuah media yang belum menerimaku sebagai pegawai tetapnya dan saat ini sedang berada di jok colt bison tua yang koyak berdebu. Tidak ada air conditioner atau Julio Iglisias. Yang ada hembusan angin kota Surabaya yang terik dan suara serak kernet berteriak-teriak, “Boyo…Boyo…Joyoboyo… kiri… kiri!” Ternyata aku perempuan dengan wajah tanpa bedak, kakiku terbungkus celana strect murahan made in China, dengan atasan sederhana, dari tubuhku menguap aroma keringat yang membasahi tengkuk, leher, dada dan ketiakku, karena harus berlari mengejar berita.
Di Terminal Joyoboyo, aku leluasa melihat para pedagang kaki lima yang berseliweran menjual buah-buahan, permen, tisue, pangsit mie, sampai VCD porno bajakan. Aku mengamati para kernet, sopir, makelar, pengamen sampai pengemis. Mereka beraktivitas dengan ekspresi bebas. Mereka duduk mencakung, merokok, tertawa terbahak menampakkan gigi geligi yang hitam karena kerak nikotin dan bermain kartu. Tidak adakah himpitan kesusahan menekan batin mereka? Ataukah kesusahan sudah begitu akrab menjadi sahabat mereka sehingga tidak perlu lagi untuk ditangisi? Aku berpikir diam-diam.
Sekelompok pengamen datang dan mulai mendendangkan Cucakrawa dengan suara sumbang, ditingkahi suara botol galon air minum mineral dan bunyi uang logam beradu. Kulirik dengan ekor mataku, salah satu di antara mereka adalah seorang gadis dengan wajah cukup manis kalau saja tidak banyak luka-luka parut yang terlihat jelas di lengannya sebelah dalam. Aku sempat memikirkan bekas luka itu karena apa? Karena narkobakah? Bekas berkelahikah? Kenapa gadis semanis dia memiliki luka parut begitu banyak di lengannya? Apakah luka parut di hatinya lebih banyak lagi karena hidupnya begitu pahit?
Pahit?
Rasa pahit itu menyeruak tanpa permisi ke dalam dadaku karena ring tone ponselku yang kutunggu sama sekali belum berbunyi.

05.03.2004 : 13.00-17.00
Ini sudah lewat setengah hari, begitu aku membatin dalam hati dengan perasaan gelisah. Tetapi kenapa yang kuharap dan kutunggu belum juga mengirim salam? Lewat jam makan siang, aku mulai merasa putus asa dengan penantianku. Apakah aku terlalu berharap banyak hanya untuk sebuah ucapan selamat ulang tahun dari seorang laki-laki?
Tengah hari, Surabaya diguyur hujan deras. Kuhabiskan siangku dengan menikmati rasa dingin di dasar hatiku. Aku masih belum berniat kembali ke kantor walaupun dikejar deadline.
Dingin? Ah, tidak!
Kehangatan sontak menyeruak ketika aku teringat laki-laki itu.
Senja bergerimis yang kemudian menjelma menjadi hujan lebat membuat kami duduk rapat di dalam sebuah angkutan kota menuju terminal kota Bekasi ketika aku ditugaskan untuk menulis tentang seorang anak cacat di Kelurahan Karang Satria, Bekasi. Walaupun hanya ada empat orang yang berada di dalam angkutan kota itu, aku enggan untuk jauh darinya. Aku suka menghirup aroma tubuhnya yang memenuhi seluruh aortaku menuju pompa jantung. Aku suka bersandar di bahunya. Selalu saja ada rasa nyaman yang menghangati seluruh katup dan bilik hatiku bila berada di dekatnya. Karena itu, aku selalu merasa ingin menikmati setiap detik yang kulalui bersamanya.
“Datanglah, percayalah, dan bersandarlah padaku. Aku tidak akan membuatmu menderita,” begitu ia menawarkan asa di tengah keputusasaan yang tengah melandaku.
Alangkah indah, nyaman, dan menentramkan kata-kata itu. Apakah aku terlalu bodoh, tolol, atau naïf, jika akhirnya tanpa berpikir panjang uluran tangan ini kuterima dengan kata “ya”? Apakah aku dalam kontrol sihir sehingga begitu mudah tersirap hanya dengan sebuah pengharapan yang masih di dalam angan-angan? Aku tidak tahu. Yang aku tahu pasti, laki-laki itu benar-benar seperti alien yang menyedot seluruh energiku sehingga aku tidak mampu berkata “tidak”. Juga seperti monster yang menarikku amblas sampai ke perut bumi dan memaksaku hanya bisa mengucap “ya”. Aku cuma merasakan adanya perasaan ngeri jika harus melepaskan rasa nyaman yang tengah melingkupi seluruh rasa di batinku.
Rasa nyaman?
Ya… rasa nyaman itu langsung ada ketika ia menawarkan tumpangan di terminal keberangkatan bandara Cengkareng. Ketika itu aku sedang menawarkan naskah ke sebuah penerbit di Jakarta. Aku berangkat hanya dengan modal pengharapan penerbit itu bersedia menerbitkan naskahku. Tetapi ternyata penolakan yang kuterima. Aku panik karena tertinggal pesawat terakhir yang terbang ke Surabaya. Padahal uang di dompetku tinggal lima puluh ribu rupiah sekadar cukup membayar airport tax dan ongkos taksi dari Bandara Juanda Surabaya ke rumah. Aku duduk termenung tanpa harus tahu berbuat apa di belantara Jakarta yang kurasa sangat luas. Dan laki-laki itu datang mengulurkan tangannya.
“Aku Ian,” begitu ia memperkenalkan diri dengan hangat dan menawarkan tumpangan di rumahnya serta janji mengantarku kembali ke Cengkareng mengejar pesawat terpagi yang terbang ke Surabaya.
“Aku Metta,” rasa nyaman yang hangat itu membiusku.
Apakah aku begitu murahan? Apakah aku begitu ceroboh? Apakah aku begitu tolol? Begitu mudahnya aku percaya dengan seorang laki-laki yang baru pertama kali kukenal. Tetapi aku tidak peduli itu. Yang kurasakan saat itu, betapa lelahnya tubuh dan jiwaku. Jika kemudian, ada yang menawarkan rasa nyaman, hangat, dan keteduhan, aku tidak mau berpikir dua kali untuk menerimanya.
Salahkah aku?
Ya… rasa nyaman itu terus melingkupiku ketika sepanjang malam ia duduk di sampingku untuk mendengarkan cerita tentang hidupku yang tersaruk dan terpuruk. Mungkin ia seperti mendengarkan sebuah dongeng tentang kisah hidup seorang pengarang roman picisan yang tenggelam di dalam keputusasaan yang tidak berujung pangkal ketika harus berkeliling menawarkan naskahnya, ia menjelma bak seorang penjual jamu yang mempromosikan naskahnya sampai mulut berbusa tetapi masih saja menerima penolakan. Akhirnya ia cuma diterima bekerja sebagai penulis freelance yang honornya hanya cukup untuk sekadar melewati hari demi hari tetapi harus berlari berlomba dengan deadline untuk menyerahkan hasil tulisannya, sampai akhirnya, ketika si pengarang jatuh bangun dalam pelukan cinta seorang laki-laki yang salah –laki-laki yang menyesatkan jalan hidupnya, laki-laki yang menggunakan tulisannya sebagai sarana untuk mempopulerkan dirinya sendiri, laki-laki yang kemudian ditinggalkannya ketika ia merasa sudah berada di ujung garis batas pengharapan, sampai… ketika si pengarang bertekat memulai kehidupan barunya dengan kemungkinan terburuk: “berjalan sendiri”! Laki-laki itu duduk tanpa menyela sepatah kata pun.
Kuselesaikan ceritaku dengan air mata yang berurai. Aku merasa menjadi perempuan paling cenggeng dan tolol, karena sudah begitu banyak berbicara dengan seorang laki-laki yang baru pertama kali kutemui. Tetapi sekaligus juga merasa sangat lega! Semua beban yang kusimpan sendiri seakan-akan mendapat tempat berbagi. Segala suntuk tumpah ruah. Aku seakan-akan menjelma menjadi manusia baru yang mempunyai pengharapan kembali. Jiwaku yang mati seakan berarti lagi.
Lalu kami menghabiskan malam itu dengan bercerita sambil telentang tidur di lantai rumahnya yang sederhana. Aku menjadikan kedua lenganku sebagai bantal dan mataku menatap serat-serat kayu yang menjadi langit-langit rumahnya. Di sampingku, laki-laki itu bercerita tentang rasa sepi, rasa sayang, dan rasa asa.
“Istriku pergi. Aku malas mencarinya. Aku butuh kau di sisiku. Aku sayang sekali padamu…”
Aku menoleh setengah tidak percaya, setengah takjub, setengah heran, setengah terpesona, sekaligus setengah muak! Jujur saja, aku sedang dalam keadaan penuh kemuakan menghadapi laki-laki dan cinta. Aku anggap yang kudengar barusan adalah kata-kata gombal. Bukankah seharusnya ia tahu bahwa aku adalah pengarang roman picisan yang suka mengobral kata-kata cinta dan sayang di dalam tulisan-tulisanku? Lagipula ia bukan berbicara dengan perempuan belia yang baru pertama kali jatuh cinta.
“Kau laki-laki kesepian… Kau hanya butuh perempuan untuk ditiduri…,” sahutku setengah geli acuh tak acuh.
“Tidak. Aku butuh kamu dalam segalanya. Aku sayang sekali padamu. Aku butuh kau untuk bercinta. Bukan sekadar untuk ditiduri,” ia tidak mengindahkan tawa geliku. Ia menjawab dengan nada serius sambil memandangku dalam-dalam.
Aku terperangah ketika rasa nyaman dan hangat menjalari seluruh pori-pori jiwaku. Rasa itu mem-bah! Aku terdiam seperti pengarang kehabisan kata-kata.
Dan akhirnya malam itu kami bercinta di dalam angan-angan sampai aku lena di dalam genggaman tangannya sampai pagi.
Besoknya ia mengantarku sampai di Bandara Cengkareng. Sesaat sebelum turun dari mobilnya, lagi-lagi ia berkata, “Bolehkah aku memeluk dan menciummu?”
Aku terpana. Aku terpesona. Seluruh jiwaku tergetar.
Ia memelukku cukup lama. Mencium pipi, kening dan rambutku. “Ah… kamu wangi. Aku suka wangimu,” ujarnya ketika menghirup udara di sela-sela rambutku. Lagi-lagi aku tidak mampu mengucap sepatah kata pun. Mulutku terkunci. Tanpa mampu kucegah, aku memejamkan mata dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Mendadak saja, aku ingin waktu berhenti, ketika untuk kesekian kalinya aku merasakan rasa nyaman itu memenuhi seluruh duniaku. Ajaibkah?
“Jangan pulang ya. Tetaplah di sisiku,” kudengar bisikan suaranya seperti desau angin lalu.
My God…!
Apakah rasa lelahku mencari sandaran dan rasa sepinya mencari penghiburan membuat dua jiwa yang kosong saling melengkapi? Dalam batinku, aku bertanya kepada Tuhan, apakah ini anugerah, kecelakaan, halusinasi, ataukah deja-vu? Hatiku berperang sendiri, benarkah perasaan cinta, sayang dan dekat, bisa timbul mendadak begitu cepat pada seseorang yang hanya kita kenal beberapa saat? Apakah ia laki-laki dari masa lalu?
Semua berjalan dalam rotasi yang begitu cepat.
Ketika aku ingin berjalan kaki, ia menemaniku menaburkan kenangan di sepanjang jalan yang kami lewati. Ketika aku tengadah memandang dahan-dahan pohon yang saling meliuk, ia memelukku pula dengan melingkarkan lengannya di bahuku. Ketika aku ingin naik angkutan kota dari terminal ke terminal, ia bersamaku dalam deru debu dan keringat. Ketika aku menghirup aroma tanah basah sehabis hujan, ia taburkan aroma tubuh dalam desah nafas dan geliat birahi.
Hari masih tinggal seperempat lagi. Harapan mendengar suaranya atau sekadar SMS-nya tinggal sebiji sawi. Tetapi aku masih berbesar hati. Lima Maret dua ribu empat, masih belum berganti…

05.03.2004 : 17.00-22.00
Aku masih belum berniat pulang. Aku masih menanti. Aku melangkah gontai menembus gerimis menggigil dingin, membiarkan sepatuku, bajuku, rambutku, tubuhku, wajahku, seluruh pipiku basah. Aku tidak tahu, basahku karena gerimiskah atau karena air mata. Aku ingin menghabiskan waktu menunggu salam selamat ulang tahun. Aku gigit bibirku sendiri dalam rasa senyap yang kian menggigilkan. Tidak sakit. Tetapi ngilu. Rasa ngilu yang bertebaran di sepanjang jalan, membias di tirai gerimis, bergaung di antara gedung-gedung, meninggalkan noktah di bekas jejak kakiku melangkah.
Kuingat tulisan Kahlil Gibran: jika cinta sudah memanggilmu, pasrahlah dan menyerahlah, walau pisau di balik sayapnya akan melukaimu.
Laki-laki itu benar-benar membuat aku pasrah dan menyerah di dalam sayap cinta. Pun, laki-laki itu membuat aku terluka dan berdarah ketika pisau di balik sayap cinta itu menikamku!
“Istriku kembali. Kami tidak bisa bercerai. Kami menikah di gereja,” ujarnya setelah kami saling mengenal empat bulan.
“Aku tidak menyuruhmu bercerai. Aku hanya ingin selalu bersamamu,” apakah jawabanku terdengar sangat naïf?
“Tidak mungkin.”
Aku tersalib kecewa dan luka. Aku merasa seperti Yesus yang didera sakit dari ujung rambut bermahkota duri sampai ke ujung kaki dipalu paku. Kulihat bukan saja kepalaku, tanganku, kakiku, tubuhku berdarah, tetapi hatiku, jantungku, paru-paruku, lidahku, mataku, telingaku, semua mengucurkan darah…..
Surabaya menggelap ketika aku melambaikan tangan mencegat sebuah angkutan kota. Semestinya aku belum berniat pulang, kalau saja tidak merasa khawatir kemalaman dan sudah tidak ada angkutan kota lagi.
Kuraba saku celana strect-ku. Kulihat telepon selularku masih dalam keadaan yang sama. Tidak ada message, tidak ada miscall, tidak ada mailbox…

05.03.2004 : 22.00 – 24.00
Aku berbaring telentang di atas ranjang yang senyap. Di sampingku, telepon selularku masih dalam keadaan on. Akalku menyuruhku lebih baik tidur saja dan melupakan harapan sebiji sawi yang sejak pagi kuletakkan di tempat yang tertinggi. “Lupakan saja… laki-laki itu menipumu…”, begitu kata otakku. Tetapi perasaanku mencegahnya dan tetap memelihara asa setipis kulit bawang itu. “Hari ini belum habis…laki-laki itu tidak menipumu… dia memikirkanmu…,” begitu kata batinku.
Akal dan perasaanku terus berperang sampai menjelang tengah malam. Tetapi kenyataannya toh perasaan yang selalu menang.
Aku tetap memelihara asa setipis kulit bawang itu!

06.03.2004 : 24.01
Lima Maret dua ribu empat sudah lewat….
Tidak ada apa-apa di telepon selularku. Benda komunikasi canggih abad millennium itu tetap diam tidak bergerak. Aku tidak tahu apakah aku harus tertawa atau menangis untuk ketololanku atau kenaifanku? Aku tidak tahu apakah aku harus membuang biji sawi ataukah menyimpan kulit bawang?
Yang kutahu, ada rasa asin menganak di lekuk pipiku ketika aku menggambar rupanya, menulis namanya, mendengung suaranya di langit luas, di langit kamarku, di langit hatiku…
Kututup mata… bercinta dengan bayang-bayang sepanjang malam!

(Surabaya: 05.04.2004: 08.45 PM: saat ini aku masih kasmaran!)

Terbakar

:: Korrie Layun Rampan

(Kalimantan Timur – Indonesia)

Gambar

APAKAH yang unik dikisahkan tentang Bentas Babay? Arus sungai yang berubah dari sebuah dataran tanjung yang berlekuk ke selatan, dan tanjung yang memanjang itu digali oleh Babay –seorang pedagang yang selalu memintas di tempat itu dengan perahu berdayung dua. Karena ingin memperpendek jarak, Babay menggali tanjung curam itu. Oleh aliran air sungai yang deras selama musim banjir, lama-kelamaan tanjung itu putus dan membentuk sungai baru. Bagian ke hilir sungai itu membentuk sebuah teluk, yang pada arus air dalam, teluk itu memusar dengan ulak yang masuk ke dalam lingkaran arus yang deras. Ngeri sekali tampaknya.

Karena terusan yang berubah jadi sungai itu digali Babay, hingga kini orang menyebutnya Bentas Babay, yang maknanya bertemunya sungai baru akibat putusnya sebuah dataran tanjung.

Tapi penting apakah hingga ia perlu diceritakan? Adakah di tempat itu pernah terjadi sesuatu yang istimewa seperti pertempuran sengit saat pendaratan tentara Sekutu di Normandia? Atau ada pohon berhantu seperti beringin tua dan meninggalkan kematian dari zaman ke zaman seperti kelaparan dan pembantaian yang mengerikan? Atau ada hal-hal lainnya yang mengandung kisah seperti perselingkuhan dan marabencana?

Kukatakan dengan cepat bahwa kisah itu adalah bencana!

Tapi bukankah marabencana selalu ada di setiap waktu di setiap daerah?

Perlu apakah dikisahkan agar diketahui orang lain?

Kukatakan dengan segera bahwa kisah marabencana itu dimulai dari rasa suka yang berlimpah! Seperti Jayakatwang yang berpesta pora setelah mengalahkan Kertanegara, lalu tumpas karena diserang tentara Tartar yang diarahkan oleh Raden Wijaya?

Tapi cerita yang akan kukisahkan ini bukan sebuah peperangan. Tidak juga tentang hantu atau demit, tapi sebuah kejadian yang menimpa empat pemuda yang baru mengenal jatuh cinta!

Buru-buru kukatakan bahwa bentuk sungai yang akhirnya menjadi Bentas Babay merupakan sebuah tanjung yang kemudian membentuk rantau yang panjang dan di bagian hilir tanah genting membentuk teluk luas yang airnya selalu menggenang hampir seperti danau. Hutan di bagian daratan teluk yang dinamai Dataran Ruratn dibuka oleh Mongkur menjadi ladang yang luas. Namun musim yang kadang tak menentu karena pengaruh El-Nino dan penebangan hutan oleh pengusaha HPH membuat banjir sering datang tidak tepat waktu dan menghancurkan padi yang baru mulai berbulir. Ikan-ikan berpesta-pora di ladang yang luas itu, dan setelah habis banjir yang tertinggal hanya dataran huma yang dipenuhi lumpur, karena padi dan palawija binasa dihanyutkan arus air yang deras. Karena sering terlanda paceklik, untuk menyambung hidup, Mongkur kadang kala bekerja membantu Babay menggali terusan di tanjung itu.

Babay selalu istirahat dan menambatkan perahunya di jamban Mongkur jika telah tiba di kawasan itu. Entah beberapa kali pedagang itu sudah ikut menumpang tidur di rakit jamban itu. Namun di suatu ketika terjadi kehebohan karena Mongkur menemukan pembantu pendayung perahu Babay meniduri istrinya dan lelaki peladang itu tak beri ampun, ia menetak lelaher lelaki muda itu. Akibatnya, Mongkur sendiri digiring ke dalam tahanan, sementara Babay harus menghentikan pekerjaannya menggali terusan untuk memotong genting tanah tanjung di situ karena harus menjadi saksi perbuatan asusila yang berujung pada tragedi pembunuhan itu.

Beberapa tahun kemudian alur terusan yang dibuat Babay telah berubah menjadi sungai, namun rumah Mongkur ditemukan sudah runtuh karena tak ada yang memelihara, dan di tempat itu menjadi tempat yang mengerikan karena tak ada orang yang berani berdiam di situ, karena tanahnya pernah dialiri darah seorang peselingkuh. Kata orang, kadang di suatu malam, jika sedang terjadi bulan mati, terdengar suara teriakan dan lolongan minta ampun, seperti suara seorang lelaki. Kadang ada tawa dan tangis saling berbarengan. Orang-orang yang memintas di tempat itu di malam hari selalu merasa ngeri, dan mereka cepat-cepat mendayung sampan agar segera lewat ke hulu atau ke hilir. Ketakutan itu berakhir, setelah orang tak lagi menggunakan pengayuh, tapi menggunakan ketinting, sehingga teriakan atau suara tangis roh kematian tak terdengar, karena gemuruh kerasnya suara mesin!

Entah cerita itu benar atau hanya dikarang oleh ahli pengisah lisan, tak ada yang tahu. Tak ada juga yang tahu apakah memang ada orang bernama Babay atau orang bernama Mongkur. Semua mulut menutur ulang cerita itu seakan-akan mereka sendiri yang mengalaminya. Dengan begitu, hingga kini cerita itu masih dikisahkan oleh generasi yang berada di kampung-kampung di sekitar situ. Apalagi setelah pohon puti yang tinggi roboh ke air di teluk itu, karena tebing sungai yang curam longsor, orang-orang merasa lebih ngeri lagi, terutama karena salah seorang warga menemukan ular raksasa sebesar pohon kelapa yang pernah memangsa manusia di teluk itu –dan saat itu sedang kekenyangan menelan seekor rusa– mati terimpit pohon puti yang roboh. Puncak dari segala kejadian itu adalah jatuhnya Jalikng dari dahan beringin yang melayah ke arah teluk. Lelaki itu memerangkap burung punai yang memakan buah beringin yang sudah matang dengan getah pulut di subuh hari.
Entah angin kencang atau kakinya tergelincir, Jalikng tercebur ke tengah teluk, dan di bawahnya ternyata telah menanti nganga mulut buaya yang lapar.

Hanya pawang Molur yang dapat menyeret buaya nahas yang memangsa Jalikng. Beberapa bagian tubuh lelaki beristri tiga itu ditemukan di dalam perut buaya.

Sejak itu, warga terus-menerus menganggap kawasan itu angker. Namun ada juga orang yang memanfaatkan keangkeran itu, karena pada waktu-waktu tertentu ada buaya yang bertelur di banir-banir pohon dahuq. Secara diam-diam orang itu mengambil telur-telur buaya itu, dan bahkan ada orang yang memasang jerat buaya, dan secara diam-diam menjual kulit buaya yang mahal harganya itu ke Babah Lie Auw Chu di Muara Pahu.

Bagi yang mujur, di musim kemarau di pasir pantai di utara teluk itu kadang bersarang puluhan penyu dengan ratusan telur di setiap lubangnya. Tapi menurut cerita, puluhan tahun lalu orang berhenti membantai penyu dan buaya karena salah seorang yang suka diam-diam mengambil telur-telur dan menjerat buaya itu dimangsa buaya badas yang ganas.

Entah mengapa, lingkungan teluk itu selalu disertai cerita yang menyeramkan. Kalau bukan cerita tentang kematian atau duka cita, kisahnya selalu berujung pada tragedi kesedihan.

Lalu tentang empat pemuda yang mulai jatuh cinta? Kisahnya sederhana, bermula dari waktu vakansi. Empat pemuda yang menghabiskan waktu seselesai ujian akhir SMA, pergi berdagang ke kampung-kampung di udik Sungai Berasan. Entah memang sudah sampai waktunya untuk bertemu dengan kekasih masing-masing, entah memang hanya suatu kebetulan, saat keempat pemuda itu menghilir dengan berkayuh cepat di gelap bulan mati, tepat saat memintas di Bentas Babay itu, haluan perahu membentur tunggul yang mencuat di tengah sungai. Perahu yang sarat muatan hasil dagangan seperti padi, beras, ayam, dan lima ekor kambing segera oleng oleh kejutan arus dan ulak. Dengan tak terduga dari arah hulu meluncur sebuah ketinting dan segera menggepak perahu yang sudah oleng ke arah kiri. Baik perahu maupun ketinting sama-sama tenggelam bersama muatannya.

Tiga pemuda yang berdagang dalam masa vakansi tenggelam karena terbentur haluan ketinting. Tiga pemudi bersama motoris ketinting juga tenggelam di dalam ulak air yang deras di tengah teluk yang dalam. Hanya satu pemuda dan satu pemudi yang selamat, dan dari mereka itulah cerita ini ditulis kembali.

Tabrakan itu sebenarnya terjadi karena masing-masing mereka telah berjanji bertemu hari itu di Kampung Rinding, sehingga empat gadis harus kembali dari Kampung Sembuan di udik Sungai Nyuatan dan empat pemuda harus menghilir dengan cepat dari pehuluan Sungai Berasan.

Cinta memang mengatasi segala-galanya. Tapi merabencana kemudian mengambil seluruh rencana mereka yang telah tiada.

Peristiwa selalu tak terduga!

***

Empat puluh tahun lalu peristiwa tabrakan Bentas Babay itu terjadi. Kawasan di Dataran Ruratn yang berada di bagian atas teluk Bentas Babay itu telah berubah seperti disulap oleh teknologi ekologi. Hutannya bukan hutan terlantar karena ditinggalkan Mongkur setelah membunuh pembantu Babay, tapi telah berubah menjadi hutan tanaman industri pohon ulin alias kayu besi. Di arah bagian bantaran sungai berdiri mess para pekerja dan rumah mewah pemilik HTI di dalam kompleks yang elite.

“Kasihan tiga pasang kawan kita tak sempat mengecap cita-cita membangun kongsian HTI,” si wanita berkata kepada lelaki yang ada di depannya. “Kalau tak ada nahas tunggul Bentas Babay ini mereka masih ada bersama kita.”

“Tapi kita telah tebus cita-cita itu, Ningsih. Bukankah nama mereka juga diabadikan di dalam bagian-bagian hutan kayu besi ini?”

“Hanya nama, Syar. Mereka tidak menikmati langsung. Bukankah sejak kecil kita telah bersepakat akan maju secara bersama-sama?”

“Tapi peristiwa mengambil segala yang baik dari kita. Syukur masih ada pasangan kita yang hidup dari peristiwa teluk tunggul kayu Bentas Babay itu? Sehingga kita dapat melaksanakan amanat bersama?”

Lebih 20.000 hektare HTI kayu besi yang berusia lebih dari dua puluh lima tahun. Ribuan pohonnya ada yang sudah lebih besar dari badan orang dewasa. Pohon-pohon langka itu membuat pemiliknya sampai mendapat anugerah dari sejumlah institusi di luar negeri sebagai penyelamat lingkungan dengan menanam pohon langka. Kalau bukan HTI, mungkin pemiliknya mendapat anugerah Kalpataru.

Lelaki dan wanita yang berbicara itu merupakan pemilik HTI kayu besi. Mata mereka tiba-tiba dikejutkan oleh permainan akrobatik pesawat tempur di udara.

“Apakah ada perang di kawasan kita? Apa yang diperangi di sini?” si lelaki terus menatap televisi. “Bukankah hanya pemulihan keamanan dari GAM di Aceh. Adakah yang direbut lainnya dari kita?”

“Itukah Sukhoi yang diributkan?”

“Bukan. Bukan Sukhoi. Bukankah Sukhoi sudah diterima beberapa waktu lalu?”

“Apa pesawat yang akan membomi Irak lagi?”

“Tak mungkin membom Irak. Bukankah perang frontal sudah usai. Lagi, tak mungkin persiapan pesawat tempurnya hanya empat?”

Mata mereka melihat ada pesawat lainnya yang seperti menguntit formasi empat pesawat udara yang mengadakan akrobatik udara. Lama kemudian baru mereka mendengar penjelasan bahwa ada pesawat tempur Amerika melakukan aksi selama dua jam di udara di atas Pulau Bawean. Pesawat F18 milik Amerika yang mengawal kapal-kapal negeri adidaya itu melewati perairan Indonesia. Pihak Angkatan Udara Indonesia menangkap manuver terlalu lama dari izin perlintasan dan kemudian mengirim F16. Hampir saja terjadi sesuatu yang tak diingini, karena pesawat yang mengintai hampir ditembak oleh mereka yang memintas.

“Terlalu banyak peristiwa akhir-akhir ini,” si lelaki menatap istrinya yang duduk tenang menatap televisi. “Bahkan perusahaan HTI kita ini juga diungkit-ungkit para provokator.”

“Katamu ada yang malah mengancam,” istrinya menimpali. “Ingin membakar dan memusnahkan kalau tuntutan ganti rugi lahan tak dilakukan.”

“Reformasi memang maksudnya keterbukaan. Lebih dua puluh lima tahun semuanya sudah dibereskan,” sang suami menatap istrinya. “Tapi kebablasan, sekarang sering membuat kesusahan dan kerugian!”

“Katamu anak cucu pemilik tanah yang menuntut. Terutama mereka yang sudah kematian ayah atau kakek moyang. Mereka katakan belum menerima penggantian.”

“Buktinya ada,” sang suami masih menatap televisi. “Mungkin mereka yang menuntut itu belum lahir saat dilakukan pembayaran. Tak mungkin kita membayar berkali-kali.”

“Kadang kertas dan kata-kata di atasnya tak mempan dalam era orang berebut kekuasaan seperti sekarang ini,” sang istri yang berkata. “Hukum sudah begitu rendahnya terinjak-injak!”

“Karena orang maling ayam lebih dihargai hukum dibandingkan koruptor triliunan.”

“Karena pemaling ayam orang miskin, koruptor menggunakan kekuatan uang.”

“Itu masalah moral,” sang suami menatap awan. “Rendahnya derajat kemanusiaan membawa dampak buruk di seluruh sendi kehidupan!”

“Seharusnya uang dicari tapi tak menguasai tubuh dan jiwa. Uang dikuasai!”

“Seharusnya begitu.”

Serentak suami istri itu memandang ke arah langit. Ada titik dan deruan menandakan bunyi di bentangan cakrawala.

“Adakah itu pesawat pemerintah kabupaten pemekaran yang baru dibeli dibawa ke Lapangan Terbang Melalan?” sang suami menunjuk ke arah noktah. “Masyarakat mulai akan menikmati kemudahan.”

“Paling-paling yang menggunakan para pejabat, pimpinan partai politik, dan kaum berada. Siapa rakyat jelata mampu membeli tiket sejuta pergi pulang ke Balikpapan?”

“Tapi sudah bagus ada ide dan realisasi pesawat pemutus isolasi,” sang sumi menimpali. “Daripada selama ini naik kapal air dan memintas jalan berlumpur sedalam pinggang!”

“Nenek-moyang dulu-dulunya bisa hidup layak. Mengapa harus dipersoalkan?”

“Lain zamannya, Bu.”

“Tapi lihat di berbagai kampung. Rumah kumuh beratap daun masih merajalela. Di pehuluan beras seharga lima ribu. Puluhan tahun merdeka tapi mengapa belum juga merdeka?”

“Pesawat itu tanda merdeka.”

“Pesawat barang mewah. Lalu mengapa kebutuhan sehari-hari harganya seperti barang mewah?”

“Kalau penghasilan tinggi, tak ada harga barang yang tinggi.”

“Nyatanya penghasilan masyarakat sangat rendah. Bukankah kau sendiri ikuti upah minimum daerah Rp 572.562,00 per bulan? Cukupkah untuk membiayai keluarga beranak tiga?”

“Perusahaan kita bukan lembaga sosial.”

Tiba-tiba telinga suami istri itu dikejutkan oleh suara gelegar dan ledakan yang hebat ke arah tengah onderneming kayu besi. Tak lama kemudian mata mereka menangkap asap yang tebal naik ke atas.

Beberapa orang yang ada di base camp itu terdengar berteriak. “Pesawat pemda yang baru dibeli jatuh di hutan kayu besi. Pesawat yang baru dibeli jatuh terbakar di hutan ulin HTI kita.”

Lelaki dan wanita itu berdiri terperanjat. Mata mereka nyalang memandang asap api dari hutan kekayaan. Tak lama kemudian terdengar deru motor dan mobil dan gegas penjaga hutan di bagian utara. Mereka segera melapor bahwa ada pesawat jatuh dan hutan HTI terbakar.

Lidah api disertai asap tebal makin meluas karena angin makin santer. Lelaki pemilik onderneming itu merasa kepalanya berdenyut hebat. Bukankah para operator alat-alat berat dan regu pemadam kebakaran sedang cuti? Sejumlah mereka pulang ke Jawa dan Sumatera!

Masih dalam terpana, lelaki pemilik HTI, api terus menyebar dengan cepat karena tiga bulan terakhir tak setetes pun hujan turun dari langit. Ke mana menyewa pesawat untuk memadamkan api? Siapa bisa mengoperasikan alat-alat berat guna melokalisasi api? Sementara api terus mengojah langit!

“Enam teman kita mati. Usaha kita gagal, Pa,” si wanita terdengar bersuara memelas. “Mengapa pemda harus beli pesawat rongsokan sehingga jatuh dan mencelakakan usaha HTI kita. Ke mana Papa mencari dana menutup kerugian dari kebangkrutan? Bibit kayu gaharu yang disemai di utara juga dilalap api?”

Di base camp orang ribut berlarian berusaha menyelamatkan diri karena lidah api dari hutan kayu besi makin mendekat menjadi-jadi.

“Lari! Kalau tak mau mati, lari cepat ke sungai. Lari ke kampung selamatkan diri! Ayo! Lari cepat!”

Api makin mendekat ke arah base camp dan hampir menjilat rumah mewah milik pengusaha HTI di lingkungan base camp.

Suara itu seperti litani bersahut-sahutan makin keras. “Cepat kita ngungsi! Tinggalkan kawasan Bentas Babay. Cepat kita selamatkan diri! Ayo! Lekas kalau tak mau mati dilalap api!”

Lelaki pemilik HTI tampak bengong menatap asap hitam dan lidah api yang menjolok langit. Dari mulutnya terdengar suara seperti geraman. “Kejayaan dan kemaslahatan tiba-tiba mengubah nasib menjadi kere gombal. Mengapa pemkab harus membeli pesawat bekas yang mencelakakan?”

Sebagian besar lahan HTI telah dilalap api. Cahaya merah menyebar ke segala arah! “Masyarakat dan provokator dapat diredam dari kebablasan reformasi. Tapi mengapa justru pesawat yang membakar HTI?!” suara lelaki itu terdengar lemah sambil matanya terus menatap hutan yang musnah! “Mengapa harus membeli pesawat yang tak diproduksi lagi. Dari Kanada pula, bukannya membeli milik sendiri dari PT Dirgantara Indonesia?” suaranya bagaikan menolog yang sumbang.

Deru api makin menjadi-jadi! ***

Catatan:
Bentas = tanjung terpotong menjadi sungai
puti = kempas, ohon tempat madu bersarang
dahuq = dracontomelon spp; fam. Anacardiaceae
badas = salah satu jenis buaya air tawar
kayu ulin = Eusideroxylon zwageri
kayu gaharu = Aquilaria malaccensis


Korrie Layun Rampan, sastrawan, telah menulis seratusan judul buku sastra. Lama tinggal di Yogyakarta, Jakarta, dan pernah menjabat sebagai ketua Komisi I DPRD Kutai Barat.

Kony Fahran

Tamasya Batin

 :: KONY FAHRAN

(INDONESIA – Kalimantan Timur)

Gambar

SEHARI, sepekan, sebulan berlalu bukannya menambah usia, tetapi terus berkurang. Pengurangan itu siapa pun tak mampu melawan. Waktu kian hari kian terbungkuk.

Begitu juga dengan Gandrik. Sejak usia berkepala empat, Gandrik yang memiliki sapaan Juragan kerap bermenung diri. Seperti  malam itu dia termenung di bawah pohon jambu halaman rumah. Di tangannya menimang-nimang sebilah pisau tajam. Bentuk pisau itu menyerupai pisau pemotong daging yang kerap dipakai para penjual daging di pasar rakyat. Tubuh pisau mengkilap.

Di perjalanan malam, arloji melingkar di pergelangan tangan Gadrik menunjukkan pukul 23.00. Sepi di sekeliling. Sepi yang membawa keberbenungan Gandrik kian dalam. Di sekeliling hanya suara hewan malam terdengar. Jengkrek bersenandung dengan bahasanya. Belalang meningkahi. Seolah bersahutan dalam zikir. Angin turut membewa kelana Gandrik. Kelena dalam rangkaian tamasya jiwa seorang Gandrik sang juragan besar.

Angin malam berhembus pelan. Dingin.

Pisau ditimang-timang Gandrik, kini erat dalam genggaman tangan kanan. Lelaki itu mendengus setelah menghela napas berkali-kali. Meludah ke sembarang arah.

Setelah sekian lama bermenung,  ibu jari tangan kiri ia tempel di batang pohon jambu. Ibu jari itu ia sayat dengan pisau. Seketika ibu jari putus. Darah mengucur. Gandrik tanpa meringis sedikit pun membalut luka dengan sobekan kain yang sedari tadi ia siapkan.

***

SETELAH itu. Gandrik masih saja suka bermenung diri di tempat sama. Di bawah pohon tergeletak setumpuk paku dan sebuah palu. Kedua benda itu dingin membisu.

Di usia berkepala empat lelaki itu seperti diburu penyesalan teramat dalam atas kezaliman diri yang merenggut pencerahan dan semata hanya ditutupi oleh jerami-jerami nista. Dinding-dinding penyesalan itu,  menampakkan banyak tulisan sesal. Bahkan uraian sesal itu seolah memenuhi seluruh dinding dalam pikiran Gandrik.

“Jemari tangan ini…,” keluh Gandrik. “Sudah terlalu banyak, bahkan sangat banyak meraup keburukan dunia,” usai berkata dengan nada menghujat seperti itu, Gandrik kembali menempelkan telapak tangan kiri dan membacokkan pisau yang sama sekuatnya ke telapak tangan.  Seketika telapak tangan  putus.  Tentu saja darah mengucur.

Dinding-dinding penyesalan itu melebar menyisakan ruang yang belum bertuliskan sesal. Ketika pikiran Gandrik menyerbu sisi ruang di dinding yang kosong. Dalam sekejap, sisi kosong itu terisi tulisan ribuan sesal yang baru. Kepingan-kepingannya seperti emping belinjo berjamur. Sesal itu berjamur, berkarat menempel di mana-mana. Gandrik bergidik. Tamasya jiwa itu hendak menyudahi tamasyanya. Namun tangan menahan.

“Tangan ini terlalu banyak memikul dosa,” hujat Gandrik kemudian.

Sisa tangan yang sudah tidak bertelapak itu ia tempelkan di batang pohon jambu. beberepa detik tangan dibiarkan menempel di situ. Selanjutnya tangan  dia tebas lagi hingga sebatas siku. Sekali tebas, lengan putus. Menggelinding ke bawah pohon jambu berdaun rindang yang tinggi pohonnya melebihi atap rumah. Pohon jambu air itu di tanam Gandrik di sisi halaman kanan rumahnya ketika dia berusia 20 tahun. Setiap tahun berbuah.

Dinding penyesalan kembali melebar. Ada lagi sisi ruang kosong. Kekosongan itu membuka diri. Penuh dan memampangkan terbuka. Sunyi di sekeliling. Tamasya jiwa lelaki itu melangkah. Kaki Gandrik terasa berat. Dia sepertinya dihadapkan pada kelelahan.

“Kaki…!”

“Kaki ini terlalu sering melangkah dalam kekeliruan. Beban dosanya terlalu berat hingga tak kuat menyangga berat tubuh,” lelaki itu menghujat kepada kedua kaki.

“Kaki yang gemar menginjak lembah-lembah dosa!”

Ada semacam bisikan di tengah perjalanan tamasya batin Gandrik. Bisikan itu memberi perintah agar lelaki itu  melunjurkan kedua kaki. Setelah melucuti celana panjang. Kemauan bisikan itu dia turuti. Setelahnya. Kedua kaki itu pun ia tebas. Masing-masing kaki putus jadi tiga bagian. tebasan pertama sebatas mata kaki, tebasan kedua sebatas dengkol dan ketiga sebatas pangkal paha. Tamasya jiwa itu berdarah-darah.

Kini pria dengan usia kepala empat itu tidak berkaki dan tidak bertangan kiri.

Lelaki berdarah-darah itu melucuti semua pakaian. Telanjang sepenuhnya. Sukmanya pun ia telanjangi dalam pelototan purnama dan belai angin. Suara jengkrek dan belalang saling tingkah. Di kejauhan, lolong anjing memanjang seolah memandu tamasya seperitual Gandrik.

Di sekeliling sunyi. Malam terus merambat. Purnama tepat di ubun-ubun. Dalam terang bulan, pandangan lelaki itu hinggap pada kemaluan yang sudah tertelanjangi.

“Kemaluan tak tahu diri tak tahu malu,” hujat lelaki itu.

“Birahi sangat gampang menundukkan kemaluan.”

“Kemaluan  selalu menurutkan hawa nafsu!”

“Jinah tak terkendali!”

“Dosa berlipat-lipat telah melumuri kemaluan!”

“Tebas…!”

Gandrik secara spotanitas kenempelkan batang kemaluan di atas batu. Kemudian tanpa ragu menebas benda yang terdiri dari tulang rawan  berdaging yang bisa mengendur dan bisa mengencang. Kejantanan Gandrik itu pun putus. Dia melempar benda putus itu ke sembarang arah. Kebetulan jatuhnya di hadapan anjing yang berkeliaran malam. Tapi aneh, setelah membaui sesaat, anjing itu tidak menerkam batang kemaluan yang berdarah dengan taring giginya. Malah anjing lari terbirit-birit tanpa suara. Anjing hilang ditelan malam.

Tamasya jiwa itu terasa meliar. Lebih liar dari anjing liar.

Sunyi di sekeliling kian menebal. Bahkan di tengah malam itu angin seolah enggan berhembus. Purnama beringsut ke balik awan. Suara jengkrek dan belalang di balik rimbun perdu mengendur. Tingkah suaranya bagai rintihan.

Dinding-dinding penyesalan melebar menyisakan sudut kosong. Entah kekuatan apa  yang membuat sudut kosong itu menghadirkan warna dalam gelap. Warna itu didominasi merah darah. Tapi jelas, lelaki berdarah itu mampu mengeja aksara yang tercantum di sela-sela warna tersebut. Aksara itu menghadirkan kata: lidah.

Lidah yang sedari tadi menghadirkan terjemahan-terjemahan sesal tak berkesudahan.

“Ya, lidah.”

“Kenapa dengan lidah? Ada apa pada lidah? Adakah lidah pernah berhenti mengucap penilaian-penilaian di sepanjang perjalanan tamasya jiwa saat ini? Lidah…”

“Lapalan lidah selalu mengarah pada keburukan.”

“Uraian-uraian fitnah banyak dilapalkan lidah. Lidah  sangat akrab dengan dosa. Dosa pengucapannya menempel tak terhapus.”

“Julurkan lidah!”

Gandrik menjulurkan lidah semampunya. Dengan cekatan, lidah terjulur itu ia pakukan pada batang pohon jambu. Setelah terpaku kuat, ia menarik lidah dengan memundurkan kepala.  Lidah terpaku sedikit memanjang. Setelah itu ia sayat lidah dengan mata pisau. Hanya butuh waktu beberepa detik, lidah yang sering berucap itu putus. Darah segar langsung muncrat dari mulut Gandrik yang kerap kali dilewati minuman memabukkan dan makanan-makanan yang sumbernya dari ketakpedulian soal haram.

Setelah lidah putus. Sedikit pun lelaki itu tidak merintih atau mengaduh.

Malam itu, dalam tamasya jiwa Gandrik membawa tubuh terguling. Tubuh yang sedikit agak tambun itu terjerembab ke tanah. Diam dan bisu.

Dalam posisis telentang, Gandrik memandang bulan yang kembali menyembul dari balik awan. Setelah puas memandangi purnama penuh, lelaki itu memejamkan mata sesaat. Tamasya jiwa itu pun menggandeng batin. Batin pula menghadirkan terjemahan ke mata.

“Mata,” desis lelaki itu.

“Ada apa dengan mata?”

“Kedua biji mata amat sering menyaksikan hamburan-hamburan aurat…”

Belum lagi selesai kalimat itu. Gandrik mengambil paku menusukkan paku ke bola mata dan secepatnya memalu paku-paku itu hingga melesat ke dalam kedua biji mata.

Darah sudah begitu banyak keluar dari tubuh Gandrik. Luka-luka di tubuh itu seolah menjadi rambu penunjuk jalan tamasya jiwa dan batin.

Purnama di langit meredup tertutup awan hitam. Gandrik merasa dirinya sudah menumpas habis napsu-napsu yang ada di tubuh.

Dalam kebutaannya itu, dia teringat dengan kening yang jarang sekali menunduk. Lebih-lebih sujud. Ingat itu, Gandrik menancapkan mata pisau tepat di kening. Hampir setengah mata pisau amblas menembus sampai ke temperung kepala.

Lelaki itu bangkit dari sujud terakhirnya disepertigamalam. Ia usapkan kedua telapak tangan ke wajah. Pikiran yang mengembara dalam tamasya jiwa dan batin tadi ia kembalikan se-utuhnya. Sesempurna-purnanya menyusupkan irama satir bagi segenap sendi-sendi yang ada di tubuh.

Ada suara tangis di kamar sebelah. Suara tangis putra terkecilnya. Ada suara istrinya yang mencoba membujuk si kecil. Kesadaran Gandrik kembali penuh setelah jiwanya terbawa ke alam tamasya batin dalam gandengan yang maha putih berbalutkan pencerahan.

Jiwa pun menyelusup dalam alam sadar. Gandrik kembali ke dunia fakta.**

Samarinda-Banjarmasin Ok,2010.

======================================

KONY FAHRAN, kelahiran Banjarmasin – Kalsel kini bermukim di Kaltim mulai gemar menulis sejak 1984. Tulisan cerber, cerpen dan puisi di tahun 80-an hingga 90-an kerap dimuat di Suara Pembaruan, Sinar Pagi, Majalah Gadis, Majalah Putri Indonesia,Panjimas dan lainnya. Kini  aktif memperkuat B Magazine, sebuah majalah berita mingguan terbit di Kaltim, berkantor pusat di Jalan Kadrie Oening No 71 RT 32 Air Putih – Samarinda. HP dapat dihubungi, 081350554796.

=======================================

Gambar

Aminah Sjoekoer di Kapal Nederland

:: akhmad zailani
(INDONESIA)
AKU membisu di buritan kapal.  Mataku yang biru memandang letih ke muara Mahakam. Kapal  melewati bekas lokasi peristiwa perampasan kapal Belgia “De Charles” saat panglima perang Awang Long bersama pasukan kerajaan Koetai mengejar sisa pasukan Inggris di bawah pimpinan James Erkine Murray tahun 1844 lalu.
Kapal bergerak pelan, menuju laut lepas. Makin menjauh meninggalkan muara Mahakam. Dengus mesin kapal nederland itu seperti musik pesta dansa bangsawan semalam. Borneo-Amsterdam memang bukanlah jarak yang dekat. Setelah meninggalkan Borneo, kapal yang juga membawa lada, karet, rotan, tengkawang ini akan mampir ke sejumlah pelabuhan, termasuk pelabuhan Sunda Kelapa di Batavia. Tiba di Batavia, aku akan istirahat beberapa hari di Hotel der Nederlanden di Rijswijk  tempat aku menginap sebelum ke 0ast Borneo.
Sebenarnya, aku belum ingin meninggalkan kampung di pinggiran Mahakam yang termasuk dalam wilayah Kerajaan Koetai. Masyarakat menyebutnya kampung Samarinda. Masih banyak yang perlu ingin aku ketahui. Terutama tentang seorang gadis indo-nederland.
Kedatanganku yang pertama 5 tahun yang lalu. Di tahun 1923 bertepatan dengan pendirian Holands Inlandche School (HIS), sekolah swasta yang pertama di Samarinda. Hanya sempat menetap 1 bulan 4 hari, aku balik lagi ke Batavia.
Di awal tahun 1928, aku ke Samarinda untuk yang kedua kalinya. Residen J. De Haan, yang baru saja menggantikan C.J Van Kempen sebagai residen di Banjarmasin yang mengajakku. Aku masih bertahan di Samarinda ketika residen De Han kembali ke Banjarmasin, wilayah di selatan Borneo yang direncanakan bakal menjadi ibukota provinsi Borneo.
Aku sudah lebih dari 2 bulan di Samarinda. Alasan utamaku bertahan karena ada seorang wanita keturanan Indo Nederland yang menarik perhatianku. Sayangnya, koran Zandvoor tempatku bekerja sebagai pembantu wartawan meminta kembali ke Nederland. Apalagi kalau bukan untuk membantu liputan olimpiade musim panas ke 9 di Amsterdam-Nederland tahun 1928 ini. Padahal di tahun  ini juga,  insting wartawanku sudah mencium adanya rencana penting tentang pertemuan besar para pemuda dari berbagai wilayah Hindia Belanda di Batavia.
Oast Borneo sudah hilang dari pandanganku. Aku masih berdiri di buritan kapal. Burung-burung terbang rendah. Melayang rendah sekali. Mencium air laut lalu terbang tinggi. Menjauh.
“Kenapa kau diam?” tanyaku kepada wanita Indo-Nederland itu tanpa memandang wajahnya. Aku mengalihkan mata ke awan yang bergerak pelan membentuk dirinya. Aku menatap ikan-ikan berenang seperti menyeret gelombang. Angin berhembus pelan, tetapi terasa sekali menyapa dan memeluk tubuhku.
“Bicaralah,”  suaraku lagi. “Bicaralah tentang cita-citamu. Aku ingin sekali mendengar suaramu yang lembut”.
Ia diam.
Suara decak air bersama dengus kapal kian terasa.
“Ah, mungkin kau lagi malas berbicara,” kataku lagi.
Tapi ia tetap diam. Membisu. Ia terkadang keterlaluan, dengan membiarkan aku berbicara sendirian.
Aku memandang ke langit biru. Awan-awan tampak bergerak pelan. Aku melihat di awan-awan  yang putih dan bergumpal-gumpal  itu tergambar wajahnya yang bersih.
Kubayangkan ia tersenyum padaku, dengan bibirnya yang tipis. Rambutnya yang panjang kekuning-kuningan berkibar-kibar sehabis berkeramas dengan fajar yang indah.
 ‘’Bicaralah, walaupun sepatah dua patah kata,’’ aku memelas.
Ya, ampun. Kenapa jadi begini? Tuhan buatlah suasana yang lain.
Ia terus membisu.
Sedangkan angin laut Sulawesi terus saja menampar wajahku, berusaha menyadarkan.
Aku hanya bisa menghela napas putus asa. Ah, tidak! Aku tidak putus asa. Aku hanya mendesah. Aku akan terus berusaha mengajaknya berbicara tentang apa saja. Aku lalu menatap wajahnya. Ada keinginan yang mendesak untuk berbincang dengannya.
***
“Panggil saja aku Aminah Sjoekoer,’’ katanya suatu hari kepadaku. Bagi warga boemi poetera pinggiran Sungai Mahakam, wanita Indo-Nederland ini lebih dikenal dengan nama Atje Voorstad. Voorstad dalam bahasa Indonesia berarti pinggiran. Aku menduga tambahan  voorstad di belakang nama Atje itu  sudah berbicara; sekalipun dia wanita keturunan Nederland, namun dia mau bergaul dengan masyarakat pribumi.
Aku mengenalnya pertama kali saat acara peresmian HIS swasta yang kemudian diambil alih pemerintah Hindia Belanda untuk menjadi sekolah negeri. Aku rasa bukan karena sama-sama keturunan Nederland kami cepat akrab. Atje atau Aminah orangnya memang ramah. Dia bersedia bergaul dengan siapa.
Sejujurnya, aku ingin sekali mengajak dia ke Nederland. “Apakah kamu tak punya keinginan untuk kembali ke Nederland?” tanyaku, setelah bincang-bincang agak lama saat perkenalan pertama.
 “Aku lebih suka di sini, di Samarinda. Aku ingin mewujudkan cita-citaku. Aku di sini ingin membangun sekolah khusus wanita,” jawabnya.
Keinginan yang bagus. Dan pasti banyak halangan. Karena mendirikan sekolah untuk pribumi saja sulit, apalagi sekolah khusus untuk wanita pribumi. Selain rumit berurusan dengan pemerintah Hindia Belanda, juga dengan masyarakat boemipoetera yang masih menempatkan kaum wanita sebagai bagian masyarakat kelas dua, yang menganggap wanita belum perlu mendapatkan pendidikan yang layak. Percuma wanita bersekolah, toh nanti kembali ke dapur juga, begitu umumnya anggapan warga pribumi. Tapi tidak bagi Aminah.  Baru sekali bertemu aku sudah bisa menyimpulkan, wanita bertubuh tinggi ramping berkulit putih ini memiliki tekad yang kuat.
‘’Aku akan berusaha dengan segala cara agar wanita pribumi bisa mengikuti pendidikan sejajar dengan laki-laki. Aku akan mendirikan sekolah untuk kaum wanita,’’ katanya di lain hari saat kami berjalan-jalan kaki di chineescheveer straat.
Aku mendukungnya. Sekalipun dalam sebuah pembicaraan, residen J. De Haan sempat meremahkannya. “Waarom zou die persoon het opzetten van een speciale school voor autochtone vrouwen. Wat een verspilling van tijd en geld … (Buat apa itu orang mendirikan sekolah khusus untuk perempuan pribumi. Buang-buang waktu dan uang)’’ residen J. De Haan tersenyum sinis kepadaku.
Semangat mendirikan sekolah kembali aku lihat, ketika dia mengajakku berjalan-jalan di kampung Bandjar, sekitar China voorstraat, Sultan weg, Herengracht straat dan smokke straat.  Kami menemui beberapa tokoh pendidikan pribumi Samarinda, yang ternyata juga sangat mendukung dirinya. Mereka di antaranya Masdar dan M Yacob, di antara tokoh yang ikut memperjuangkan berdirinya HIS partikelir pertama di Samarinda. Juga ada Kasirun yang menjadi guru negeri di HIS. Aminah memperkenalkanku. “Ini Meneer Ivan Van Mannen Zijn Niet Echt seorang jurnalis dari Nederland,’’ katanya menyebut lengkap namaku.
Cukup lama juga kami berbincang dengan tokoh-tokoh cendikiawan pribumi. Pemikiran-pemikiran mereka cukup cemerlang.
“Sebagai orang asli pribumi kami malu sekaligus bangga dengan anda. Perhatian anda terhadap pendidikan masyarakat pribumi memotivasi kami untuk lebih bekerja keras lagi,’’ kata Kasirun.
Di kampung Bandjar itu pula lah kami berkenalan dengan Arbayah, gadis berusia 14 tahun, yang memiliki keinginan kuat untuk bersekolah. Ayahnya bernama Abdullah, pekerja biasa di NV Handel Maatshappi Borneo Samarinda (HBS).
“Abah tidak setuju kalau saya bersekolah. Ujar Abah apa untungnya. Nanti setelah kawin mengurusi dapur juga,’’ kata Arbayah.
“ Bersekolah itu pintar. Lelaki dan perempuan sama saja haknya untuk menjadi pintar,’’ kata Aminah.
 Selain bertemu Arbayah, kami juga bertemu dengan beberapa anak, dan orang tua mereka. Bagiku, pertemuan yang berkesan hanya saat bersama Arbayah. Badan gadis berkulit putih ini bonsor. Sama seperti anak-anak lainnya. Dia cukup cantik, tapi sayangnya dia buta huruf.
“Aku ingin sekali bisa membaca dan menulis,’’ kata Arbayah.
Arbayah sering mengunjungi rumah Aminah. Aku juga menjadi akrab dengannya. Perbedaan usia  bukan penghalang bagi kami. Semakin kenal dengan Aminah, aku jadi semakin suka bergaul dengan orang boemi poetera atau pribumi. Terutama Arbayah, gadis bongsor berkulit putih.  Dia pernah menyampaikan kepadaku, teman-teman gadis seusia dia sudah banyak yang menikah.
‘’Ini sapu tangan kenang-kenangan untuk meneer,’’ kata Arbayah ketika kebetulan aku bertemu kembali dengannya di depan penginapan Nam Yang, tempatku menginap di Chinavoor Straat.
“ Terima kasih,’’ kataku. Arbayah tersenyum, kepalnya kembalinya menunduk. Dia membalikan badannya, dan pergi.
“Arbayah …,’’ suaraku memanggilnya ketika sudah sekitar tujuh langkah dia pergi.
Arbayah berbalik.
Aku mendekatinya. “ Ini pen dari ku”. Spontan kuambil pen dari kantongku.
Arbayah tersenyum. “ Terima kasih meneer,’’ Arbayah lantas pergi.
Tak ada pembicaraan lama ketika itu. Aku memperhatikan, ketika gadis muda itu menghilang di tikungan jalan. Sapu tangan berwarna pink, yang bersulam bunga dari benang merah itu kumasukkan ke dalam saku di samping kiri kemeja putihku.
Meneer Ivan Van Mannen Zijn Niet Echt…,’’ kudengar suara Tan Ko Tjai di belakang. “Gadis pribumi yang cantik … cocok untuk meneer yang masih muda,’’ pedagang rotan itu ketawa. Matanya yang sipit hampir tertutup.
Aku hanya tersenyum. Tak bisa berkata.
 “ Hari ini apa kegiatan meneer?’’ tanya Tan Ko Tjai.
“ Aku nanti mau ketemu Atje voorstad dan beberapa orang pergerakan”.
“Wah aktivis pendidikan  perempuan indo Nederland itu, meneer’’.
‘’Iya, perempuan cantik yang ingin mendirikan sekolah untuk wanita pribumi”.
Tak sampai 30 menit aku berbicara dengan Tan Ko Tjai, tentang Aminah, tentang orang-orang pers, tentang akan berdirinya sejumlah organisasi pergerakan di Samarinda. Tan Ko Tjai cukup terbuka dan berani. Tan Ko Tjai kenalan lamaku. Aku mengenalnya saat di Batavia.
“Ok, meneer saya mau ke Paal Arang dulu. Ada urusan di sana,’’ Tan Ko Tjai permisi, dan kami berjabatan tangan. “Jangan terlalu banyak dipikirkan, meneer … dan hati-hati meneer,’’ candanya lagi sambil bergegas berjalan.
Hari masih pagi. Aku berjanji bertemu Aminah di gedung Sjarikat Islam.  Saat aku tiba, dia sedang berbicara dengan seorang lelaki.
“Ini wartawan yang saya bicarakan tadi … “ dia berdiri seraya menjabat tanganku.
 Begitupula lelaki itu. Di tangan kirinya aku lihat sepertinya koran lokal, bertulis “Persatoen”. “Sayuti Lubis,” dia menyebut namanya.
“Jangan khawatir …,’’ Aminah tersenyum ke arah Sayuti Lubis. Giginya yang putih bersih nampak terlihat.
Selain berbicara tentang rencana pendirian sekolah khusus kaum wanita, sesekali kami juga berbincang tentang koran dan seputarnya. Enak juga mengobrol dengan lelaki asal Tapanuli ini. Bicaranya bersemangat. Wawasannya luas. Tak peduli dia, sekalipun kami saling kenal. Mungkin, dia percaya sama aku, sama percayanya dengan Aminah, yang telah dikenalnya sejak lama.
Menjelang sore, aku mengantar Aminah pulang. Disepanjang jalan dia bercerita, bukan hanya tentang abahnya Arbayah saja yang masih tak enggan anaknya bersekolah, tapi juga orang tua dari Hadijah, Sabariah, Sumi, Zaenab dan anak-anak kampung lainnya. Dari cerita Aminah aku masih bisa menangkap optimis, cita-citanya untuk mensejajarkan kaum wanita agar memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki akan bisa diwujudkan.
Aku juga menceritakan tentang pesan Residen J. De Haan yang disampaikan kurirnya untuk tak bergaul terlalu akrab dengan orang pribumi, termasuk dengan dirinya. Peringatan De Haan itu tentu saja kubiarkan. Bergaul dengan siapa saja itu adalah urusanku. Sekalipun beresiko.
***
MATAHARI hampir tengelam di laut. Cahayanya mulai pudar.
Kulihat awan putih berpedar-pedar dalam senja. Bermain-main bersama angin. Berkejar-kejaran.
Kapal terus melaju. Dengusnya masih terdengar, bersama riak gelombang. Aku sendirian. Tidak ada Aminah Sjoekoer atau Atje Voorstad. Sekalipun angin menyapaku, menegurku untuk memunculkan bayang Aminah Sjoekoer di benakku, sekalipun laut melambai-lambai membuka pikiranku tentang Atje Voorstad, aku masih tetap sendirian.
Yang tersisa di kantongku hanyalah sapu tangan berwarna putih, yang di ujungnya ada gambar pen bersulam benang warna kuning emas. Ya, pen kuning emas bukan sapu tangan berwarna pink, yang bersulam bunga dari benang merah. Sapu tangan bergambar bunga merah milik Arbayah sengaja aku tinggal di ranjang kamar sebelum aku meninggalkan penginapan Nam Yang. Sapu tangan itu kutinggal  setelah aku mengetahui Arbayah dinikahkan minggu depan. Di  ranjang itu pula aku meninggalkan noda merah dari kesucian Arbayah.  Sekalipun sapu tangan bunga dan noda berwarna merah  aku tinggalkan, namun aku tak bisa melupakan Arbayah, sepanjang hidupku terutama perbuatan terlarang yang kami lakukan pertama kali di kamar penginapan Nam Yang.
  Sekalipun Arbayah tak diperbolehkan sekolah dan dinikahkan abahnya, pada akhirnya, cita-cita Aminah Sjoekoer telah terwujud. Neisjes School, sekolah untuk kaum wanita akan berdiri di Samarinda. Aku mendengarnya sebelum berangkat naik kapal.
“Maaf aku belum bisa ikut ke Nederland. Mendirikan sekolah bukan berarti tugasku sudah selesai. Tugas selanjutnya akan lebih berat …,’’ suaranya ketika mengantarku di pelabuhan.
Aku hanya tersenyum. Menjabat tangan kanannya. Ketika kapal nederland yang kutumpangi menjauh meninggalkan Samarinda, dia melambai-lambaikan tangan kanannya. Jujur, aku belum begitu mengenalnya. Aku hanya memiliki sapu tangannya yang berwarna putih bergambar pen dari benang kuning emas. Apakah kalian sangat mengenalnya?
Kapal pun terus melaju. Membelah gelombang. Dengusnya masih terasa. Awan-awan yang bergumpal-gumpal membentuk dirinya sudah tak ada lagi.  Kukira  sebentar lagi malam yang membawa mimpi akan datang. ***
Catatan
–          Awang Long =panglima angkatan perang sepangan Kerajaan Koetai, yang bergelar Panglima Ario Senopati. Senopati yang bersama pasukannya berhasil mengalahkan pasukan Murray.  Awang Long tewas ketika pertempuran hebat melawan  armada perang lengkap Belanda di bawah pimpinan Letnan Laut T’Hoof.
–          James Erkine Murray =  Ingin seperti James Brooke yang berhasil mendirikan kerajan di Brunai. Februari 1844 JE Murray membawa 2 kapal perang, yakni “Young Queen” yang dikemudikan Kapitan  Hart dan Kapal Perusak “Anna” dengan Nahkoda Lewis. Memasuki  wilayah Kutai, dengan mengatakan ingin menjadi raja.  Murray meminta izin Sultan Salehuddin untuk membuka kantor  perwakilan dagang di Tenggarong dan meminta monopoli perdagangan. Sultan meminta buka di Samarinda saja. Murray mengancam. Sultan melawan. Akhirnya terjadi peperangan.  Murray akhirnya tewas.
–          Rijswijk = kawasan Jalan veteran Jakarta. Di kawasan ini dulu ada Hotel der Nederlanden, kini menjadi gedung Bina Graha Jakarta.
–          J. De Haan = residen Belanda di Banjarmasin menggantikan Van Kempen,  menjabat mulai tahun 1924-1929
–          C.J Van Kempen = residen Belanda di Banjarmasin tahun 1924.
–          Meneer = tuan
–          Abah =bahasa Banjar, artinya ayah
–          Chineescheveer straat = jalan di pusat kota di pinggir Sungai Mahakam. Dari Karang Mumus hingga Sungai Karang Asam Besar.  Perkampungan China di Jalan Pelabuhan dan di sekitar Kampung Karang Mumus.
–          Kampung Bandjar = berada di  wilayah utara Wilhelmina Laan, yang membujur dari selatan ke utara atau sepanjang Karang Mumus Straat dan Bandjar Straat.
–          Kasirun =seorang guru di HIS milik Hindia Belanda, yang kemudian memilih menjadi kepala sekolah Neutrale School,  karena memiiki kebebasan menanamkan jiwa kebangsaan kepada anak didiknya.
–          NV Handel Maatshappi Borneo Samarinda (HBS) = perusahaan perdagangan  ekspor-impor yang didirikan pedagang-pedagang suku Banjar. Perkampungannya dinamakan kampung HBS, yang letaknya di sekitar BRI sekarang. Persekutuan dagang ini selain menyaingi pengusaha-pengusaha dagang Belanda dan China, tokoh-tokohnya juga bergerak di bidang pergerakan kemerdekaan dan da’wah Islam.
–          Penginapan Nam Yang = terletak di perkampungan China, sekarang di sekitar Jalan Pelabuhan. Di dekat penginapan Nam Yang ada pula penginapan Swan Yang.
–          Paal Arang = Seperti kata Samarinda, berasal dari bahasa Banjar Samarendah kemudian menjadi  Samarindah (logat Banjar), Paal Arang berarti batas arang (orang Banjar suka menyebut batas dengan Paal), hingga menjadi nama Palaran salah satu kecamatan di Samarinda.
–          Surat Kabar “Persatoean” =  surat kabar yang pertama kali terbit di Samarinda. Directeur (pemimpin umum) dan hoof redacteur (pemimpin redaksi)  Sayuti Lubis dari Tapanuli, yang juga aktivis Sjarikat Islam Cabang Samarinda.  Beberapa kali  “Persatoean” mau di Bredel  Hindia Belanda.   Akhirnya dibredel juga, karena dua tulisan dinilai menghasut  dan menghina pemerintah Hindia Belanda. 22 Desember 1928, di depan lanraad (pengadilan) Sayuti Lubis dijatuhi  hukuman penjara dua tahun empat bulan. Sayuti banding, hukumannya diperingan lima bulan dan menjalani hukuman di penjara Cipinang.

PERJALANAN

                                               KARYA: NORGADIS LABUAN

 

AKU  mengeluh. Aku segera mencapai kertas tisu untuk mengesat peluh yang sejak tadi mengalir. Aku tertinjau-tinjau. Keadaan sebegini memang amat membosankan bagiku. Aku merungut-rungut sendiri. Saat-saat aku keletihan menunaikan suruhan tuhan, ada saja yang meruntuhkan imanku.

“Syukur… distinasi yang di tuju sudah pun hampir tiba,” aku bermonolog. Kelihatan memang ramai sekali pengunjung di Tapak Jualan Ramadhan. Ada orang yang kecil. Ada orang yang besar. Ada orang yang muda dan ada juga orang yang kelihatan agak tua raut wajahnya.

Tentang warna kulit, jelas sekali si pengunjung bukan saja dari golongan bumiputera. Ada yang berbangsa cina. Ada yang berbangsa India. Ada yang berbangsa Inggeris. Ada juga beberapa suku kaum yang lain. Itu sudah menjadi perkara biasa bagiku.

Setiba saja aku di Tapak Jualan Ramadhan, aku bergegas keluar dari kereta proton sagaku. Aku mencari makanan kegemaranku dari satu gerai ke satu gerai. Namun makanan kegemaranku tidak juga kutemui. Aku mengeluh. Aku mengeluh buat yang entah keberapa kali. Walaupun sinar mentari tidak sekuat tengahari tadi, namun bahangnya masih terasa olehku. Aku terus mencari-cari kuih kegemaranku itu tanpa putus asa. Setelah semua gerai kulewati, fahamlah aku bahawa kuih kegemaranku itu telah habis dijual.

“Kempunanlah aku hari ini. Sebiji pulut panggang pun tak ada, memang nasib aku…” aku kesal sekali waktu itu. Dengan rasa hampa aku terus meninggalkan Tapak Jualan Ramadhan dengan kereta putihku.

Aku menggunakan Jalan Merpati untuk menuju ke rumahku. Aku memang suka melalui jalan itu kerana tidak banyak kereta yang lalu dijalan sempit itu. Namun waktu diambang maghrib begini kadang kala menyeramkan juga. Maklumlah, jalan tersebut tidak jauh dari tanah perkuburan. Pernah juga orang mendengar bermacam-macam bunyi dari tanah perkuburan tersebut. Mungkin itulah penyebab utama orang tidak suka melalui Jalan Merpati.

Tiba-tiba kedengaran satu bunyi yang amat kuat. Aku lupa diri seketika. Setelah aku sedar, kudapati sebuah kereta berwarna biru telah bertembung dengan sebuah kereta proton saga putih. Proton saga berwarna putih itu amat menarik perhatianku. Aku menghampiri kereta tersebut.

“Aku rasa seperti pernah melihat kereta ini, tapi di mana ya?” aku semakin tertarik untuk terus mengenali pemilik kereta tersebut. Aku mendekati kereta putih tersebut dan sekaligus melihat pemilik kereta tersebut.

“Ya Allah!” aku terkejut. Aku terkejut yang amat sangat. Aku tidak sangka. Aku tidak sangka sama sekali.

“Ah! Bermimpikah aku?” aku tidak mengerti. Aku memang tidak mengerti apakah sebenarnya yang berlaku.

Kulihat dia berlumuran darah. Namun wajahnya masih jelas kukenali. Kulihat rambut
panjangnya menutupi separuh wajahnya. Namun wajahnya masih juga jelas kukenali. Apakah aku masih silap. Silap dengan pandangan mataku sendiri. Kulihat pemilik kereta biru itu keluar dari perut keretanya. Ah! Aku juga masih mengenalinya.

“Razlan”. Itulah nama pemilik kereta biru tersebut. Dia adalah sahabat yang paling rapat denganku dulu sebelum aku bertunang dengan Afik. Aku benar-benar tidak mengerti, apakah sebenarnya yang berlaku.

Razlan terus menghampiri dia yang berada di dalam perut kereta putih itu tanpa memperdulikan akan kehadiranku. Aku bagai tidak kelihatan baginya. Atau aku memang tidak kelihatan sebenarnya.

“Mungkin Razlan mahu menyelamatkan dia,” bisik hatiku. Razlan mengeluarkan dia dari perut kereta putih dan meletakannya di tepi jalan dengan begitu kasar sekali. Apa tujuan Razlan? Apa maksud Razlan? Kenapa Razlan tidak menghantar dia ke hospital atau ke klinik? Aku memang tidak mengerti sebenarnya.

Tanpa membuang masa, Razlan terus mengoyak-ngoyak pakaian dia yang tidak sedarkan diri. Kau memang kejam Razlan. Kulihat Razlan bagaikan harimau yang mahu membaham
mangsanya.

“Jangan kau lakukan itu Razlan… jangan kau lakukan itu Razlan…” aku merayu-merayu. Namun rayuanku langsung tidak diindahkan olehnya. Razlan terus mengoyakkan pakaian dia yang tidak berdaya itu sehingga bagaikan anak baru lahir yang diselimuti darah merah.

Aku memekik meminta tolong, namun tiada seorang pun yang mendengarkannya. Aku takut. Aku takut dengan apa yang kulihat sebenarnya.

“Razlan… jangan kau lakukan itu Razlan. Tolonglah Razlan. Razlan… tolonglah,” aku menangis. Aku menangis sekuat-kuat hatiku. Namun tiada setitik air mata pun yang kurasa. Aku menjerit sekuat-kuatnya. Namun tiada sedikit pun terngiang di cuping telinga manusia.

“Sampai hati kau menodai dia yang tidak berdaya Razlan. Kau memang kejam. Kau memang kejam Razlan. Aku tidak akan melupakan peristiwa ini. Satu hari kelak, kau juga akan menerima balasan dari Allah.” Aku terus menangis tanpa berhenti. Razlan yang kulihat hari ini bukan seperti Razlan yang pernah kukenali dulu.

Razlan sahabat yang baik. Dia sentiasa mengambil berat terhadap diriku. Kadang-kala aku terasa bahawa aku bukan dilayani sebagai seorang sahabat. Aku terasa aku bagai seorang kekasih apabila aku berada disampingnya. Aku memang tidak mengerti apakah yang tersirat dihati Razlan ketika itu.

Pernah satu hari Razlan mencurahkan rasa hatinya terhadap diriku. Bukan aku sengaja menolak cintanya, tapi aku tidak menerimanya kerana antara aku dan kekasihku dulu Azmi belum ada kata putus, walaupun antara aku dan Azmi tidak mungkin akan bersatu.

Mungkin kerana kejujuranku menyebabkan hatinya terluka dan akhirnya Razlan tidak pernah bertanya lagi tentang cinta, walaupun dia tahu aku telah berpisah dengan Azmi. Atau pun mungkin kerana dia telah mempunyai kekasih. Atau Norela jiran sebelah rumahnya itu memang kekasihnya. Tapi kenapa dia terus melayaniku seperti seorang kekasih? Ah! Aku memang tidak mengerti dengan perasaan Razlan. Dan apakah motif utamanya melayaniku seperti itu.

Tapi, Razlan yang kupandang didepan mataku ini sudah berubah. Razlan sudah menjadi buas. Entah setan mana yang telah merasuknya sehingga Razlan sanggup melakukan perkara terkutuk itu terhadap dia yang tidak berdaya.

Aku terlalu sedih melihat keadaan dia. Matikah dia? Atau hidupkah dia? Kalau hidup, ada harapankah dia untuk terus hidup? Aku kecewa.

Apa saja yang diperlakukan oleh Razlan terhadap tubuhnya langsung tidak dihiraukannya. Andainya dia sedar tentu dia tidak membiarkan dirinya diperlakukan begitu rupa. Andainya dia berdaya tentu dia tidak rela menerima nasib seburuk itu. Oh! Akukah yang tidak berdaya sebenarnya?

Aku benar-benar tidak berdaya. Aku malu pada diriku sendiri. Aku tidak ingin melihat dia diperlakukan sehina itu. Apakah aku sebenarnya telah kehilangan diri? Atau aku sendiri yang meninggalkan diriku sendiri.

“Maafkan aku, aku tidak sanggup terus melihat kau diperlakukan sehina itu oleh Razlan. Maafkan aku, aku terpaksa meninggalkanmu. Maafkan aku, kerana mungkin kau akan mengatakan aku sekejam Razlan. Tapi aku tidak berdaya lagi sahabatku. Selamat tinggal,” dengan perasaan terharu aku terpaksa meninggalkan dia kesayanganku.

Aku berlari sekuat hatiku. Namun kakiku tidak mencecah bumi. Aku terbang tinggi melayang. Namun aku tidak mempunyai sayap sakti. Aku bukan seperti aku dulu. Aku dulu telah kutinggalkan bersama Razlan di Jalan Merpati. Apakah aku sekarang adalah diriku yang sebenarnya?

Aku tidak tahu ke manakah harus kutuju. Andainya aku pulang ke rumah, tiada sesiapa yang mengetahui akan kehadiranku. Andainya aku meminta tolong, tiada siapa juga akan mengindahkan kata-kata ku.

“Cahaya!” aku terpegun seketika. Cahaya itu amat indah sekali, bagaikan pernah aku melihatnya. Tapi di manakah sebenarnya?

Tiba-tiba aku mendengar satu suara. Satu suara yang pernah kudengari. Tapi aku lupa bilakah aku mendengar buat pertama kalinya. Suara itu terlalu merdu. Suara itu terlalu nyaman. Tetapi suara itu juga cukup tegas mengingatkan aku pada janji yang pernah kulafaskan satu ketika dulu.

Bilakah aku melafaskan janjiku itu. Oh! Aku lupa sendiri. Tapi aku masih ingat bahawa aku pernah mendengar suara ghaib itu. Tapi aku masih ingat bahawa aku pernah melafaskan sebuah janji satu ketika dulu.

Pada waktu itu aku mendengar satu suara yang sungguh aneh bunyinya. Pada waktu itu aku mendengar satu suara yang sungguh ganjil bunyinya. Namun begitu aku cukup mengerti akan maksudnya. Namun begitu aku cukup faham akan ertinya. Lantas kupegang janjiku. Lalu kugengam tanganku. Umpama satu taruhan yang amat tinggi nilainya.

Disaat-saat aku mengenangkan kembali tentang sebuah janji yang kulafaskan satu ketika dulu, tiba-tiba aku dikejutkan oleh sesuatu. Sesuatu yang menyerupai aku. Apakah aku berada di depanku sendiri. Atau aku sedang memandang sebuah cermin yang agak besar mungkin. Fikiranku semakin bercelaru dibuatnya.

“Siapakah engkau?” aku kehairanan. Dia tersenyum kepadaku.

“Aku adalah kau dan aku juga tuhanmu, ikutlah aku,nescaya kau akan berbahagia sepanjang hidupmu,” aku menjadi panik dibuatnya. Dia yang berwajah aku memujukku untuk terus mengikutnya. Aku memerhatikannya. Dia benar-benar berwajah aku. Kelihatan sinar matanya tenang sekali. Senyumannya juga manis sekali. Tidak seperti aku yang begolak dengan perasaanku sendiri. Siapakah dia yang berwajah aku sebenarnya?

“Usahlah kau banyak berfikir, ikutlah aku, aku tuhanmu,” tiba-tiba mulutku bagai mahu bergerak. Aku hanya mampu menurutnya.

“Tidak! Kau bukan tuhanku, Allah tuhanku yang esa,” aku hairan dengan apa yang
kukata sendiri. Apa yang amat menghairankan lagi, apabila dia yang berwajah aku tiba-tiba hancur tidak bertanda selepas aku berkata-kata. Mengertilah aku bahawa dia yang berwajah aku adalah syaitan semata-mata.

Aku menjelangak ke langit. Kelihatan langit membiru lembut. Tiada kelihatan awan kelabu bergerak diarak angin. Aku memandang ke depanku. Kelihatannya membiru bagaikan langit membiru lembut. Tiada sebatang pohon pun yang kelihatan. Di kiri kanan dan belakangku juga membiru bagaikan langit membiru lembut.

Aku terasing dari duniaku sendiri. Ke mana harusku tuju? Sana sini kelihatannya sama saja. Aku resah dibuatnya. Aku bagai kehilangan ketika itu. Aku terharu. Aku tidak berdaya menahan tangisku. Aku menangkupkan mukaku. Aku terasa bertapa kerdilnya diriku.

“Oh tuhan! Ampunilah segala dosaku,” tangisanku semakin kuat. Aku memang tidak berdaya menahan diriku sendiri dari terus menangis. Tangisan itu kurasa bagai ada satu kenikmatan yang sukar diungkapkan.

“Sudahlah nak, jangan menangis lagi, ikutlah kami, kami sudah senang sekarang.” Aku segera mengangkat kepala lalu memandang si pemilik suara itu. Agak lama juga aku memandang si pemilik suara itu. Kelihatan matanya bersinar jernih, kelihatan juga bibirnya tersenyum mesra.

Aku terdiam seketika. Ketika itu juga aku terasa air mataku menuruni pipi gebuku. Wajah itu tidak pernah hilang dari dalam kota ingatanku. Wajah itu adalah wajah yang kurindui sejak dua tahun yang lalu. Wajah itu adalah wajah kedua orang tua ku yang telah meninggal dunia.

“Tak mungkin! Tak mungkin!”

Wajah itu masih lagi merayu dan memujukku untuk terus mengikuti mereka. Wajah itu masih lagi tersenyum mesra. Dan wajah itu juga masih lagi tenang setenang tenangnya.

“Maafkan aku ibu, ayah, aku belum bersedia untuk pergi bersamamu, masih banyak lagi yang harusku selesaikan, masih banyak lagi amalan yang belumku laksanakan. Iinkanlah anakmu ini menunaikan janji sebelum kalian membawakku pergi,” aku menangis.

Tiba-tiba wajah itu hilang. Aku terus meneruskan perjalananku. Aku bertekad untuk mencari dia yang ku tinggalkan. Setibaku di jalan Merpati, kulihat dia telah tiada. Begitu juga dengan kereta proton saga putih serta kereta biru milik Razlan. Semuanya sudah tiada.

Aku berjalan lagi. Sehingga aku sampai ke sebuah tempat. Di sana aku bertemu dia. Dia yang masih terbaring di atas katil tanpa sedarkan diri. Kelihatan juga Pak Long, Mak Ngah dan saudaraku yang lainnya disisi dia yang diam dan kaku itu.

“Pak Long, Mak Ngah, semuanya ada di sini….?” Dia sedar dan aku telah kembali kepadanya.


TAMAT

(Jendela Sabah Ramadhan 1422 / Disember 2001)

LABUAN WILAYAHKU

:: Cerpen NORGADIS LABUAN

(LABUAN-MALAYSIA)

HARI Sabtu, bagaikan ada perhimpunan remaja di Ujana Kewangan Labuan. Keriuhan suasana semakin menghimpit ruang legar. Anak-anak remaja seronok menggayakan fesyen pakaian ala barat. Rambut gaya punk turut dinodai dengan warna-warni. Leher dihiasi rantai perak, bagaikan rantai pengikat haiwan piaraan, turut dihiasi loket berbentuk tengkorak. Baju berlapiskan jaket kulit atau jean bagai berada di luar negara. Anak dara pula bergaun pendek, malah ada lagi yang lebih berani dan merasa seronok berseluar pendek. Juga senang menggayakan baju jarang, yang membayang susuk tubuh yang menarik kaum lawan. Semua dilakukan agar banyaklah mata akan melirik dan tertarik dengan fesyen terbaru yang mereka peragakan.

“Hish! Ramainya budak-budak ni, macam ada pesta remaja pula,” ujar Fatimah sambil meneruskan langkah di sebalik kebanjiran remaja di ruang legar Ujana Kewangan itu.

“Biasalah, hari Sabtu, inilah masa mereka berseronok. Bukan kau tak tau, dari hari Isnin hingga hari Jumaat, dah banyak mereka habiskan masa di sekolah, asyik-asyik menghadap muka cikgu.” Katy terus melangkah menghampiri Fatimah.

“Dah hampir jam satu ni, jom kita makan, aku lapar ni,” Katy memberi cadangan. Fatimah menghentikan langkahnya. Jam tangannya direnung seketika.

“Emm… aku rasa elok kita solat dulu. Lepas solat baru kita makan.” Fatimah meneruskan langkah menuju ke surau untuk wanita di Ujana Kewangan. Katy segera mempercepatkan langkahnya mengejar Fatimah.

“Fatimah tunggu…!” Fatimah menoleh dan mematikan langkahnya.

“Emm… kenapa?” Tanya Fatimah sambil menjeling tajam ke arah Katy.

“Alah… kita makan dululah, nanti lepas makan baru kau pergi solat. Aku lapar ni.” Katy mendesak.

“Hey kawan, bukan aku saja yang pergi solat, kau tu pun patut pergi sama. Kalau kau lapar sangat, kau pergilah makan dulu, aku tetap nak solat, aku tak sukalah melambat-lambatkan solat,” tegas Fatimah. Akhirnya Katy mengalah dengan keputusan Fatimah.

“Hish! Lambatnya Fatimah ni, mengalahkan ustazah pula tu, entah doa apalah yang dibacanya. Menyusahkan aku betullah dia ni, nasib baik kau kawan aku, kalau tidak…” Bentak Katy dalam hati. Jus oren yang dipesannya sudah hampir habis diminumnya.

“Assalamualaikum,” Fatimah memberi salam.

“Dah siap solat? Lamanya engkau, mengalahkan ustazah. Aku lapar ni, kau tengok ni, nasi yang aku pesan pun dah sejuk,” terjah Katy. Fatimah menggeleng kepala melihat telatah kawannya itu.

“Kau ni Katy, salam aku pun kau tak jawab. Menjawab salam tu wajib tau,” kata Fatimah sambil melabuhkan punggungnya di kerusi. Fatimah sedar bahawa kawannya itu tidak selesa dengan caranya selama ini, tatapi bukankah menegur dan mengingatkan ke arah kebaikan itu merupakan satu dakwah juga. Sebagai kawan ianya menjadi tanggungjawab bagi Fatimah menyedarkan kawan rapatnya itu.

“Sudahlah, tak payahlah nak berceramah dengan aku. Aku malaslah nak dengar. Makanlah nasi tu cepat. Asyik menunggu kau, nasi pun dah sejuk.” Fatimah senyum dan mendiamkan diri, dia pun malas menyangkal kata-kata Katy.

“Esok kau ada masa tak?” Katy memecahkan kesunyian dua sahabat itu.

“Esok? Kenapa? Sebenarnya aku memang tak ada cadangan nak pergi ke mana-mana esok. Kau nak datang ke rumahkah? Ada apa dengan esok?” Fatimah bertanya kembali.

“Aku kira dalam jam tiga petang esok, nak minta kau temankan aku ke rumah Misah, nak hantar kain. Aku nak minta dia jahitkan baju kebaya moden aku untuk majlis perkahwinan Lisa. Lepas makan ni kau temankan aku beli manik untuk baju aku tu, aku nak pilih manik jenis baru, cantik tau,” kata Katy bersungguh-sungguh.

“Kalau petang esok, aku minta maaf, aku tak dapat temankan kau,” kata Fatimah.

“Kenapa pula? Tadi kata tak pergi mana-mana. Ini tak boleh temankan pula. Kau takut mak kau marah ya, atau kau mahu aku yang belanja kau. Kau jangan bimbang, semua perbelanjaan esok aku akan tanggung.” Kata katy mengharap.

“Bukan pasal mak atau pasal duit.” Ujar Fatimah ringkas.

“Habis pasal apa pula?” kelihatan sedikit kedut kehairanan di wajah Katy. Makanan di dalam pinggan ditusuk-tusuknya dengan garfu.

“Esok hari minggu. Jam tiga petang ada rancangan Eh Dih Dih. Aku tak mahu ketinggalan mendengaran rancangan kegemaran aku tu,” jelas Fatimah.

“ Rancangan bahasa Kedayan Brunei tu?” Tanya Katy. Fatimah mengangguk sambil menghirup milo ais yang dah habis aisnya itu.

“Hish! Kau ni kolot sangatlah Fatimah, rancangan kampungan itu yang kau suka. Tiada rancangan lainkah yang kau minat? Aku bab-bab cakap kedayan ni malulah aku nak dengarkan kat orang luar. Kita dah dua puluh lima tahun jadi Wilayah, kau masih nak agung-agungkan bahasa kampungan itu, aku hairalah kau ni,” Katy tersenyum sinis melihat kawannya Fatimah.

“Aku masih ingat masa kita sekolah rendah dulu, kau langsung tak pandai cakap kedayan, aku suruh kancing pinjawan pun kau tak tau, adakah patut kau kata aku suruh kencing jendela pula, hehehe… luculah kalau aku ingat masa tu,” Katy ketawa kecil.

“Betullah, masa tu aku memang tak faham bahasa kedayan ni, mak aku cina, kau pun tahukan. Bapa aku memang kedayan, tapi di rumah kami cakap melayu. Aku membesar di Petagas. Aku berkawan dengan orang-orang bajau di sana. Mereka semua cakap melayu dengan aku, sebab aku memang tak pandai cakap bajau pun,”

“Di Sabah, kaum lain cukup bangga dengan bahasa mereka, cina, india, bajau, kadazan, dusun dan banyak lagi suku lain yang cukup fasih dengan bahasa mereka, walaupun mereka pandai berbahasa melayu tapi mereka tak pernah melupakan bahasa nenek moyang mereka. Kau yang memang asal keturunan kedayan sepenuhnya, kenapa pula kau harus malu dengan bahasa nenek moyang kita sendiri. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan mengagung-agungkan bahasa kita tu.” Terselit rasa kesal dihati Fatimah melihat perubahan Katy.

“Aku rasa itu bukan satu isu yang besar untuk kita persoalkan, sepatutnya kau berbangga menjadi penduduk Labuan yang telah maju setelah menjadi Wilayah. Bukannya sibuk nak mempertahankan bahasa kampungan tu.” Katy mencebik bibir.

“Kau tengok Labuan sekarang. Sudah ada Universiti, Martikulasi. Kau tengok Ujana Kewangan ni, ini satu kebanggaan untuk penduduk Labuan. Kita telah dimajukan setelah bergelar Wilayah. Sekolah-sekolah dah dinaik taraf, lapangan terbang juga tidak kurang hebatnya. Kau ni bagaikan menolak kemajuan. Kau tengok sendiri, taraf ekonomi penduduk Labuan juga turut meningkat. Tak perlu lagi kita bersusah payah menanam padi dan mengisar kopi. Kita semua dah mampu membeli di kedai.” Ujar Katy tidak mahu mengalah.

“Katy… Katy… Aku tak pernah menolak kemajuan. Aku juga cukup bangga menjadi penduduk Labuan yang semakin maju ini,”

“Habis tu?” Katy mencelah.

“Bagi aku, sama ada kita di bawah Sabah atau dah menjadi Wilayah seperti sekarang, kemajuan Labuan tetap juga akan berjalan. Kerajaan pusat akan memberikan dana untuk kemajuan setiap negeri sama ada di bawah Wilayah atau tidak. Kau tengok jalan Menumbok Beaufort. Sekarang dah beralas tar. Dulu hanya tanah kuning saja. Jalan-jalan ke daerah lain juga sudah beralas tar, perjalanan sekarang mengambil masa yang singkat untuk sampai ke destinasi yang dituju kerana jalanraya yang cukup baik. Bukankah itu satu kemajuan yang dimiliki rakyat Sabah walaupun bukan dalam Wilayah.” Kata Fatimah.

“Kau ni macam anti Semenanjung saja Fatimah. Hey kawan, jangan biarkan hati dijajah,” pedas juga kata-kata yang dilahirkan oleh Katy itu. Terasa panas pula telinga Fatimah mendengarnya, namun begitu dia masih boleh bertenang menangani kawan baiknya itu. Dia sedar Katy memang suka cakap ikut sedap mulut saja.

“Kau jangan salah faham Katy, aku tak pernah anti Semenanjung atau orangnya. Aku anggap mereka semua tu sama macam kita, sama-sama rakyat Malaysia. Bukankah kita satu Malaysia. Apa yang penting, kemajuan untuk masyarakat Labuan diutamakan.”

“Mungkin kau lupa kata Perdana Menteri kita, satu Malaysia, rakyat didahulukan, pencapaian diutamakan. Maksudnya pemimpin kita akan memberi keistemewaan sama rata untuk rakyatnya, tidak kira sama ada dalam Wilayah atau sebaliknya.” Jelas Fatimah. Katy terpaku mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh Fatimah. Selama ini tidak pernah pula Fatimah mempersoalkan tentang kepimpinan seperti itu melainkan soal-soal keagamaan.

“Aku cukup bangga jadi rakyat Malaysia. Tapi tidak bermakna aku akan melupakan bahasa nenek moyang kita. Bahasa kedayan. Apa yang harus kita lakukan agar bahasa Kedayan ini tidak hilang begitu saja? Kita sebagai perwaris sepatutnya berusaha mengekalka bahasa ini agar tidak luput ditelan zaman. Kita perlu berusaha agar bahasa kita dikenali ramai rakyat Malaysia. Kita juga perlu ingat sebelum orang suka bahasa kita, kita kena suka bahasa kita sendiri dulu. Jangan kita malu dengan bahasa kita sendiri.” Kata Fatimah panjang lebar.

“Aku memang tabik betullah bila RTM Labuan F.M berani menerbitkan rancangan bahasa Kedayan Brunei ini. Rancangan Eh Dih Dih, tiap-tiap hari ada siarannya. Aku dengar RTM Sabah pun nak buat ulang siar drama Kedayan Brunei terbitan RTM Labuan F.M ni di sana. Kalau ianya terlaksana, tentu seronok. Kita patut mulakan di sini dulu, barulah kita boleh bawa bahasa kita keluar dari kepompongnya. Andainya kita bawa bahasa Kedayan ni secara mengejut ke Semenanjung, tentu usaha itu akan sia-sia. Kau cakaplah bahasa kedayan di Semenanjung, ada orang faham, ada yang nak dengar?” sambung Fatimah lagi.

“Betulkah RTM Sabah nak buat ulang siar rancangan Eh Dih Dih di sana?” Katy ingin tahu.

“Emm… yang aku dengar-dengar begitulah bunyinya. Harap-harap ianya akan menjadi kenyataan, kita tidak boleh mengharap dari Semananjung yang nak siarkan rancangan seperti itu, di Sabah kita masih punya ramai peminat yang mahu mendengar rancangan bahasa tempatan seperti bahasa Kedayan Brunei. Aku ingat lagi, sewaktu budak-budak sekolah menengah buat persembahan drama pentas dalam bahasa Kedayan tempoh hari. Riuh satu dewan dengan tepuk sorak penonton. Ini membuktikan di luar sana masih ramai yang mengharap agar bahasa tempatan itu ditonjolkan, sedangkan kita masih ketandusan persembahan yang berbentuk kedaerahan.”

Dua puluh lima tahun Labuan menjadi Wilayah, terlalu banyak perubahan kehidupan sosial masyarakat Labuan. Persekitaran Labuan juga ditumbuhi pusat-pusat hiburan, pusat-pusat perjudian yang berlesen. Soalnya kenapa harus diberi lesen? Rokok dan minuman keras juga mudah didapati di sini dengan harga yang cukup murah. Ini sebenarnya amat menggusarkan Fatimah. Sedikit sebanyak ianya telah mendorong generasi muda terjerumus ke dalam aktiviti yang kurang sihat.

Walaupun rokok atau minuman keras tidak dibenarkan dijual kepada remaja bawah umur, namun kerakusan peniaga yang tidak bertanggungjawab dan tidak mengendahkan keburukan yang bakal diterima menyebabkan undang-undang seperti itu dipandang remeh. Malah dadah juga mudah didapati di sini.

Kes-kes kecurian dan merosakan harta benda awam juga sudah mula timbul. Penipuan di sana sini, rasuah juga semakin berleluasa. Ugut mengugut, kes bunuh, rogol dan banyak lagi yang memeningkan pihak berkuasa.

Tidak dinafikan, pergaulan bebas di antara lelaki dan wanita juga cukup ketara. Anak-anak yang masih berpakaian seragam sekolah, tanpa rasa segan silu berpelukan dan berkucupan di khalayak ramai. Anak-anak sekolah yang mengandung akibat pergaulan bebas, akhirnya terkandas belum sempat menamatkan persekolahan. Penguguran anak juga berlaku walaupun tidak begitu ditonjolkan. Adakah telah terhakis sopan santun yang diajar oleh para guru dan orang tua-tua kita dulu setelah Labuan menikmati kemajuan?

Fatimah merenung sekelompok remaja wanita yang berpakaian singkat. Fatimah menggaru dahinya yang tidak gatal. Terselit rasa kasihan di hatinya melihat gelagat anak remaja masa kini yang masih belum sedar dari fantasi mereka. Apakah puncanya sehingga perubahan itu cukup pantas sekali. Tiada keayuan dan kelembutan seorang wanita yang terpamer. Ianya bagai tiada beza di antara lelaki dan wanita. Juga cukup ketara di sana sini, lelaki berambut panjang manakala wanita pula berambut pendek.

Mungkin terlalu banyak peranan yang menjadi penyebab perubahan ketara di kalangan masyarakat Labuan. Antaranya faktor ekonomi yang memaksa agar ibu bapa mencari pendapatan lebih untuk menyara hidup keluarga. Anak-anak kecil dihantar ke taska atau dijaga oleh pembantu rumah. Kurangnya berinteraksi dan kasih sayang dari ibu bapa kerana kesibukan kerja. Akhirnya anak-anak mengalami stres atau tekanan dan mengambil keputusan sendiri tanpa mengira baik buruknya.

“Termenung panjang nampak? Ingatkan tunang tercintakah?” tegur Katy tatkala melihat Fatimah termenung panjang.

“Eh Katy, tak sedar aku kau datang. Dah dapat manik yang kau nak beli tu?” tanya Fatimah.

“Dah dapat pun… yang kau tu asyik berkhayal tu kenapa? Nak berceramah lagi dengan akukah?” sindir Katy. Fatimah tersenyum melihat gelagat kawannya itu. Katy memang kawan yang baik, walaupun gayanya agak kemodenan tapi sebagai kawan dia cukup memahami Fatimah dan tidak mudah ambil hati.

“Emm… memang banyak lagi tajuk ceramah yang aku nak perdengarkan, bersiaplah kau Katy,” gurau Fatimah sambil menepuk bahu kawannya Katy.

“Kau tengok siapa tu Fatimah? Surat siapa pula yang kau pegang tu, surat dari Arifkah, atau surat dari kekasih baru,” usik Katy tatkala melihat Fatimah yang bagai mencari seseorang sambil memegang sepucuk surat bersampul putih.

“Aku tengah tunggu sepupu aku, surat ni surat dia. Dia guna alamat aku.” Terang Fatimah. Katy mengangguk tanda mengerti maksud Fatimah.

Tidak beberapa lama kemudian, datanglah sepupu Fatimah berbaju kurung biru, siap dengan tudung yang penuh kesopanan. Katy terpegun melihat keayuan dan kemanisan raut wajah sepupu Fatimah.

“Masih ada lagi remaja wanita yang menjaga kesopanan dan kelembutan di zaman moden ini,” bisik hati Katy.

“Assalamualaikum kak,” sepupu Fatimah menyapa sambil menghulurkan tangan berjabat salam dengan Fatimah dan juga Katy. Fatimah dan Katy serentak menjawab salam.

“Maafkan Tijah kak, terlambat sikit, kelas baru selesai. Tadi cikgu lambat masuk, ada hal katanya,” kata sepupu Faimah sopan.

“Tak apalah, kakak faham. Ini surat Tijah, baru semalam sampai,” Fatimah menghulurkan surat bersampul putih kepada sepupunya itu. Tijah tersenyum riang sambil menyambut surat dari tangan Fatimah. Setelah menyimpan surat bersampul putih ke dalam bag sandang, Tijah minta izin untuk pergi ke kedai buku. Pergerakan Tijah diperhatikan oleh Katy dengan penuh minat.

“Hey! Kau tengok sepupu aku tu lama-lama apa hal, kau tu perempuan, kalau lelaki aku taulah kau dah jatuh hati dengannya.” Sergah Fatimah mengejutkan lamunan Katy. Entah apa sebenarnya yang terlintas difikiran Katy masa itu, langsung tidak diketahui oleh Fatimah.

“Hish! Kau ni buat aku terperanjat saja. Siapa nama sepupu kau tu?” tanya Katy ingin tahu.

“Siti Khatijah…” jawab Fatimah ringkas.

“Emm… cantik orangnya, sopan pula tu, semakin kurang remaja sekarang yang bersopan seperti sepupu kau tu,” puji Katy penuh keikhlasan.

“Memang cantik dia tu, secantik namanya, Siti Khatijah, sama seperti namamu Katy. Cuma kau tu tak suka dipanggil Khatijah, seronok pula dipanggil dengan nama Katy. Emm… kau ni bila pula nak pakai tudung,” sindir Fatimah.

“Hello kawan, kau gilakah nak suruh aku pakai tudung sekarang ni. Mahal tau aku bayar salun buat rambut aku secantik ini,” Kata Katy penuh geram.

“Aku belum gila lagi. Cuma aku mau kau sedar, kita sudah dua puluh lima tahun dalam Wilayah, dah banyak kemajuan yang kita rasai, takkanlah kau masih belum sedar, memakai tudung tu wajib. Janganlah kerana mengejar kemajuan, adat resam kita musnahkan, sopan santun kita tinggalkan dan hukum agama kita lupakan.” Ujar Fatimah.

“Aku semakin risau melihat perubahan masyarakat kita di Labuan ni, setelah mengecapi kemajuan, ramai yang berubah laku. Aku tak nafikan, memang ekonomi masyarakat Labuan dah meningkat, aku bersyukur tentang itu, tapi ramai yang hilang sopan santun, malu dengan asal keturunan dan ramai yang lebih berbangga dengan gaya hidup moden.” Tambah Fatimah panjang lebar.

Kalau diimbas kembali zaman dulu, jika ada jiran membuat kenduri kendara, orang-orang kampung dengan penuh keikhlasan membantu agar acara yang dilaksanakan berjalan dengan lancar. Namun begitu, amat ketara di saat ini, jika ada majlis besar kebanyakannya diuruskan oleh seseorang yang dibayar upah. Bantuan percuma seperti dulu sukar ditemui di zaman moden ini. Kalau pun ada, bilangannya amat kecil.

Tidak dinafikan ada juga badan-badan organisasi yang berusaha mewujudkan dan memupuk sifat sopan santun, hormat menghormati, gotong-royong, setia kawan di kalangan masyarakat, namun begitu ianya sukar dilaksana andainya masyarakat Labuan sendiri tidak memberi sokongan yang padu. Ada juga di kalangan masyarakat yang menganggap ianya umpama menjaga tepi kain orang dan membebankan mereka.

Fatimah merenung ke luar jendela rumahnya, kelihatan sebelah menyebelah bangunan Perumahan Taman Mutiara yang mengambil masa lebih sepuluh tahun untuk siap sepenuhnya. Ayah Fatimah sendiri terpaksa membayar bank dan membayar sewa rumah tempat mereka tinggal sebelum ini selama tiga belas tahun dan setelah itu barulah mereka dapat mendiami rumah yang dibeli oleh ayahnya itu.

Waktu itu mereka sekeluarga terpaksa berjimat cermat kerana lebih separuh gaji ayah Fatimah habis untuk membayar rumah di Taman Mutiara, membayar rumah sewa dan membayar kereta yang mereka beli dengan cara ansuran. Namun bebanan berat umpama mimpi di malam hari apabila rumah yang Fatimah dan keluarga tunggu-tunggu itu akhirnya siap dan boleh didiami. Perumahan Taman Mutiara yang dilengkapi dengan surau, taman permainan kanak-kanak, dewan dan bangunan kedai itu cukup memudahkan para penghuninya.

Keriuhan anak-anak bermain di taman yang disediakan di kawasan Perumahan Taman Mutiara itu mematikan lamunan Fatimah. Kelihatan juga para remaja yang berkumpul mengikut kumpulan masing-masing. Teringat kembali oleh Fatimah apabila pintu rumah Ustazah yang tinggal di tingkat bawah pecah dirosakan oleh remaja nakal. Apa yang amat menyedihkan Fatimah, tiada siapa pun jiran yang cuba membantu ketika itu. Benar-benar masyarakat Labuan sudah jauh berubah setelah dilanda kemajuan.

Minggu lepas seorang pelajar mati apabila dilanggar lari oleh sebuah kereta. Ada juga terdengar oleh Fatimah, seorang ibu menyaman seorang guru kerana merotan anaknya. Ada juga kes seorang murid menguggut gurunya sendiri. Lebih teruk lagi apabila seorang bapa memukul guru hingga koma. Di manakah hilangnya rasa hormat menghormati, tanggungjawab dan kasih sayang di kalangan masyarakat moden dewasa ini.

Kehidupan sosial masyarakat Labuan kini amat memukul jiwa Fatimah. Kegusaran dan kekecewaan bercampur gaul dalam sanubari. Air mata kekesalan mengalir lesu. Fatimah ingin menangis, tapi untuk apa? Apakah dia mampu mengubah gaya hidup yang semakin menghimpit itu.

Tiba-tiba pintu rumah Fatimah diketuk orang, seraya kedengaran suara Katy dari luar. Fatimah segera menghapus air matanya yang masih bersisa dipipi. Pintu rumahnya dibuka perlahan. Katy dipersilakan masuk ke dalam.

“Tahniah…tahniah… aku dengar skrip rancangan drama Eh Dih Dih kau keluar tadi. Aku tak sangka kau boleh menghasilkan skrip bahasa Kedayan Brunei. Patutlah aku ajak keluar kau tak mau, rupa-rupanya kau tunggu skrip kau keluar radio.” Ujar Katy penuh semangat. Fatimah tersenyum namun tiada kata-kata yang terkeluar dari bibirnya.

“Sebagai kawan, aku cukup bangga dengan kau. Kau bukan saja pandai buat skrip tapi pandai juga berceramah dengan aku, sepatutnya kau ni jadi orang politik, baru sesuai. Kau kan banyak kebolehan,” usik Katy.

“Aku tak suka politik. Banyak keburukan di sebalik kebaikan. Banyak juga penipuan di sebalik kebenaran. Tidak kurang juga yang mengambil kesempatan untuk mengaut keuntungan sendiri. Sukar mencari pemimpin yang benar-benar telus. Kalau ada pun bilangannya terlalu kecil.” Ujar Fatimah serius.

“Kalau begitu, kau sajalah jadi pemimpin. Pemimpin yang benar-benar jujur dan amanah, pemimpin yang telus seperti yang kau harapkan.” Kata Katy lagi. Fatimah diam.

“Kau ni Fatimah, serius sangat, emak kau mana, kau seorang sajakah?” tanya Katy lagi sambil meninjau-ninjau sekitar rumah Fatimah.

“Emak dan abah pergi Kuala Lumpur, bawa adik-adik bercuti,” ujar Fatimah sambil menghulurkan air tin kepada Katy. Air tea bunga kegemaran Katy disambut segera oleh Katy.

“Wah! Seronok tu, kenapa kau tak ikut? Tak dapat cuti ya, kasihan kau Fatimah, terpaksalah kau tunggu rumah” usik Katy

“Malas nak pergi,” kata Fatimah ringkas.

“Malas? Hai kawan, itu pergi Kuala Lumpur, bukan pergi Kota Kinabalu. Kau boleh kata malas. Atau kau ni anti orang Semenanjung? Kita sudah dua puluh lima tahun dalam Wilayah, kau masih bersikap macam ni, aku hairanlah kau ni,” Katy menggeleng kepala.

“Kau ni Katy, cakap ikut sedap mulut kau saja. Aku bukan anti orang Semananjunglah. Orang Semenanjungkah, orang Sabahkah, sama saja. Dalam pejabat kita tu pun bercampur dengan orang dari Semenanjung, Sabah dan Sarawak. Aku baik pun dengan mereka semua. Kitakan satu Malaysia.” Terang Fatimah. Fatimah sebenarnya tahu yang Katy sengaja mahu mengusiknya.

“Hehehe… aku saja nak usik kau, kau tu serius sangat. Bukan apa Fatimah, kita sepatutnya bersyukur, setelah jadi Wilayah Persekutuan ini banyak perubahan yang kita kecapi. Kehidupan masyarakat Labuan pun taklah sesusah dulu. Hampir semua rumah di Labuan ni sudah ada kemudahan air dan elektrik. Kalau diingat-ingat, banyak lagi kemudahan yang telah diberi oleh kerajaan kepada mesyarakat Labuan sekarang ni,” Fatimah yang duduk di sofa ruang tamu rumahnya tekun mendengar kata-kata Katy. Namun begitu ada persoalan yang masih ligat bermain dikepalanya yang ingin dilontarkan kepada Katy.

“Kau yang banyak berdiam diri sedari tadi ni kenapa? Ada masalah?” Tanya Katy kehairanan melihat Fatimah yang banyak membatu diri.

“Sebenarnya ada persoalan yang bermain dalam fikiran aku,” ujar Fatimah

“Apa persoalannya?” Tanya Katy ingin tahu.

“Kalau dulu ada juga orang Labuan yang jadi Ketua Menteri. Semua masyarakat Labuan cukup bangga waktu itu. Jika ada kekurangan masyarakat Labuan, dapat kita suarakan dengan lebih mudah kerana Ketua Menteri pada waktu itu adalah orang Labuan sendiri. Bagaimana pula sekarang? Setelah kita menjadi Wilayah, bolehkah orang Labuan jadi Ketua Menteri lagi?” Tanya Fatimah. Katy terdiam sambil berfikir.

“Nampaknya orang Labuan ni hanya setakat Ahli Parlimen sajalah,” ujar Fatimah sambil tersenyum sinis. Katy kehilangan kata-kata waktu itu.

TAMAT
Saguhati Peraduan Menulis Cerpen 2009
Sempena 25 Tahun Labuan Menjadi Wilayah (Jubli Perak WP Labuan)

Antologi Cerpen “Peluru Cinta Victoria” 2011

MISTERI RUMAH BARU

::  NORGADIS LABUAN

(LABUAN-MALAYSIA)

Gambar

SUDAH dua malam aku tidak dapat tidur. Bahang air laut dan kepadatan rumah setinggan tempat aku berteduh selama ini mungkin telah mengganggu tidurku. Mungkin juga kerana dua hari lagi aku akan berpindah ke rumah baruku. Tidak hairan jika banglo yang siap dengan peralatan rumah itu yang menyebabkan kesabaranku tercabar.

Kadang kala aku menjadi sangsi, kenapa tuan rumah tersebut menjual rumahnya dengan harga yang sedikit murah. Apatah lagi rumah tersebut cukup dengan peralatan dan perabut rumah. Ah! Aku sepatutnya tidak mempertikaikan tentang itu. Apa yang penting, aku harus bersyukur kerana bertuah dapat membeli rumah semurah itu.

Bukan aku saja yang gembira dapat berpindah ke rumah baru, malah sahabatku Kamal dan Azrul juga akan turut gembira. Sekurang-kurangnya aku mempunyai teman untuk tinggal di rumah yang mempunyai tiga buah bilik itu.

Kamal dan Azrul adalah teman baik ku. Kami sudah tiga tahun tinggal bersama di bilik sempit ini. Kami berkongsi menyewa bilik di salah sebuah kampung air. Kalau dilihat, kawasan tempat kami tinggal ini cukup sesak dengan rumah-rumah lain. Apa yang mengerunkan, apabila terjadi kebakaran. Rumah yang berdekatan akan dijilat api sama. Itulah yang bahayanya tinggal di perumahan setinggan begini.

Alhamdulilah, akhirnya hajat untuk memiliki rumah sendiri nampaknya tercapai juga. Itulah berkat menabung. Kalau diikut kata-kata Dr. Mahathir Muhammad perdana Menteri kita tu, ada juga baiknya.

Angin bertiup tenang pagi itu. Aku, Kamal dan Azrul sudah bersiap sedia untuk berangkat meninggalkan bilik sewa kami. Jauh di sudut hati ini, terasa berat juga untuk meninggalkan tempat kami berteduh selama ini. Namun tempat yang lebih selesa perlu juga dirasai.

Seketika derum enjin perahu penumpang memecah kesunyian pagi. Aku dan dua temanku menjatuhkan punggung di kerusi kayu perahu penumpang tersebut. Kelihatan dua tiga orang lain juga turut menumpang sama.

Sebentar kemudian, tali pengikat pun di leraikan. Maka berlepaslah perahu yang kutumpangi. Hembusan angin agak kuat juga ketika itu, sedikit tempias menampar kewajah tampanku. Aku tidak kisah itu semua. Apa yang penting distinasi yang dituju akan kutemui.

Sesampai di daratan, aku menyewa taksi untuk pergi ke rumah baruku. Syukur alhamdulilah, aku dan dua temanku selamat sampai ke rumah baru yang kubeli itu. Aku cukup bangga memiliki rumah tersebut.

Seharian berkemas di rumah baruku, terasa juga keletihan. Tiba-tiba kesunyian menyapa. Ke mana pula perginya dua sahabatku yang tadinya masing-masing sibuk berkemas. Setelah diselidik, rupa-rupanya mereka sudah nyenyak dibuai mimpi.

“Keletihan agaknya,” aku bercakap sendiri sambil merebahkan tuuhku di atas katil. Terasa nyaman kalau dibandingkan dengan tempat tidurku yang dulu.

Tiba-tiba terasa dingin angin menghembus. Entah dari mana datangnya, aku sendiri tidak tahu.

“Kau tak letih ke?” rasanya aku terdengar satu suara. Suara itu amat asing bagiku. Suara lembut seorang wanita. Mulutku melopong kekejutan. Dari manakah datang suara itu? Ganjil bunyinya. Milik siapakah suara itu? Atau aku sebenarnya sedang berkhayal ketika itu.

“Kau jangan takut, aku cuma mahu berkawan saja, sudah lama aku bersendirian di sini,” suara lembut itu datang lagi. Meremang bulu tengkukku. Degupan jantungku mula deras, sederas kuda belari.

Aku bangun dari pembaringan. Aku cuba mencari pemilik suara itu, namun aku hanya menemui kegagalan. Aku bingung. Aku mengaru-garu kepalaku yang tidak gatal. Aku mengeleng. Mungkin aku bermimpi agaknya.

Aku keluar dari bilik tidurku. Kulihat kedua temanku sedang asyik menonton berita, sudah bangun rupanya mereka. Aku tidak memperdulikannya. Aku ke ruang dapur dan sekaligus mengambil air sejuk dari peti ais. Sejurus kemudian aku keluar dan duduk di salah sebuah sofa di ruang tamu bersama-sama Kamal dan Azrul.

“Nyenyak tidur, kami panggil pun tak dengar,” Azrul memulakan bicara. Aku menyepi. Kamal senyum sinis memandang aku.

“Ada burger untuk kau, pergilah makan, kami dah makan,” nampaknya giliran Kamal pula bersuara. Aku merenung hambar kedua temanku itu.

“Apa hal dengan kau ni?” suara Kamal agak meninggi sedikit.

“Aku dengar suara perempuanlah, kau dengar tak?” Nampaknya pertanyaanku mengelikan hati Kamal dan Azrul.

“Kau dengar suara puteri bunian ke?” Azrul mengejek. Aku diam. Aku termenung seketika.

“Sudahlah , kau bermimpi tu, aku tengok kau letih sangat, orang letih selalu banyak mimpi, mungkin kau lupa cuci kaki,”

Aku meninggalkan mereka berdua dan terus ke bilik tidurku. Aku duduk di atas kerusi yang tersedia di bilik tersebut. Terasa sedikit tenang.

“Kenapa tak makan, nanti sakit, engkau juga yang susah,” aku terperanjat, suara itu datang lagi. Aku bingkas dari kerusiku. Aku mencari-cari punca suara merdu tersebut. Ada saatnya aku terbayang lembutnya si pemilik suara itu, pasti wajahnya selembut suaranya.

Tiba-tiba hujan turun, kelihatan sekali sekali kilat memancar mancar. Sayup-sayup kedengaran guruh sabung menyabung. Dari kaca jendela jelas kelihatan air hujan berebut-rebut menuruni atap dan terus terjun memasuki parit. Aku terus menutup tabir jendela dan sekaligus menghalang penglihatanku menembusi pandangan di luar sana.

“Hei! Kau dengar tak aku tanya tadi, kenapa engkau tak makan?” Suara itu datang lagi. Aku diam. Aku berfikir. Apakah aku sedang bermimpi atau…

“Hei suara! Engkau siapa? Kenapa engkau selalu mengganggu aku. Kenapa engkau berada dalam bilik aku. Keluarlah engkau tunjukkan dirimu. Suaraku terketar-ketar. Bulu tengkukku mula berdiri. Seram sejuk kurasa ketika itu.

“Janganlah engkau takut, aku ada di sini, bilik ini adalah kepunyaanku dan sekarang menjadi kepunyaanmu juga. Kita berkongsi bilik nampaknya. Oh ya, selamat berkenalan,” Tanganku bergerak sendiri. Aku seperti bersalam dengan seseorang. Tangan itu lembut tapi sejuk. Aku semakin takut dibuatnya. “Hantu…! Aku menjerit. Aku segera menarik tanganku.

Kedua sahabatku Kamal dan Azrul segera masuk ke bilik tidurku. Mereka kehairanan. Aku masih lagi berdiri kaku di tempatku tadi. Peluh membasahi sekujur tubuhku yang tidak berbaju. Kamal dan Azrul bertanya kepadaku tentang apa yang berlaku sebenarnya. Aku cuba menerangkan apa yang telah aku alami, tapi sayang mereka tidak mempercayainya. Mereka menganggap aku sedang bermimpi.

Apa yang pelik, suara wanita yang sering mengganggu aku itu tidak pernah muncul andainya kedua sahabatku berada di dalam bilikku. Suara itu hanya akan datang jika kedua sahabatku tidak bersamaku.

Nampaknya cuti sekolah kali ini aku terpaksa berhadapan dengan misteri rumah baruku yang belum terungkap. Sepatutnya masa beginilah untuk aku berehat. Jika cuti sekolah berakhir, tentu bermulalah kesibukan bersama murid-muridku. Kalau mengingatkan kenakalan-kenakalan anak muridku yang masih kecil-kecil itu, ada kalanya boleh juga menghilangkan kebosanan yang melanda apabila kedua sahabatku pergi bekerja.

Cuti sekolah kali ini aku tidak mengambil kesempatan untuk balik kampung. Aku hanya mahu berehat di rumah baruku. Lagi pun, aku sudah banyak mengeluarkan wang sewaktu membeli rumah baruku ini. Jadi aku perlu berjimat sedikit untuk menambah kembali wang yang telah kugunakan.

“Temenung nampak, fikir apa tu?” aku sudah biasa mendengar suara itu. Sudah hampir seminggu aku ditemani suara itu apabila aku bersendirian.

“Tak adalah, aku sedang mengingat kembali perangai anak-anak muridku. Oh ya, sudah beberapa hari kau menemankan aku, tapi aku belum pernah nampak wajahmu dan aku tidak tahu kenapa kau selalu menggangguku?” terlintas pula dalam fikiran bertanya begitu kepada suara tersebut.

“Apakah aku mengganggumu?”

“Bu..bukan maksudku begitu, tapi…” bicaraku terputus.

“Ah, aku tahu maksudmu, aku pun bukan nak menganggumu, tapi aku kesunyian dan aku gembira apabila berkenalan denganmu. Kau ingin melihat wajahku?” Aku diam. Pertanyaannya membuat aku serba salah.

“Jika kau ingin melihat wajahku, lihatlah wajahku dicermin meja solek,” aku mengalihkan pandanganku ke cermin meja solek yang berada di sudut katilku. Hatiku berdebar-debar.

Aku sedikit terperanjat. Kelihatan wajah jelita seorang gadis sedang berdiri disebelah kananku. Aku cuba menoleh ke sebelah kananku, tapi tiada apa-apa yang kelihatan, melainkan dinding-dinding yang kaku.

Aku melihat kembali ke cermin dihadapanku. Dia tersenyum. Aku pun tersenyum. Oh! Dia sungguh anggun dengan pakaiannya yang kekuningan. Dia menggenggam tanganku. Aku bagai terasa akan genggamannya dan aku nampak jelas dia dari cermin meja solekku. Saat itu, ada getaran yang sukar diungkapkan.

“Akulah selama ini yang menganggumu, kau marah?” dia tidak henti-henti tersenyum. Aku tidak dapat berkata-kata seketika dan aku hanya mampu mengeleng.

Mulai dari hari itu, dia yang mengakui namanya sebagai Seri Ayu Sukma bagai bertaktha di lubuk hatiku. Aku benar-benar menyayanginya. Aku sendiri tidak tahu bagaimana aku boleh berperasan sedemekian rupa.

Aku merasakan kehadiran Kamal dan Azrul tidak menganggu hubunganku dengan Seri Ayu Sukma. Aku cukup bahagia bertemu dengannya. Sekarang aku tidak perlu lagi melihat di cermin meja solek untuk menatap wajah Seri Ayu Sukma. Ianya bagai telah ujud seperti manusia biasa walaupun kedua-dua sahabatku tidak pernah melihatnya.

Pada suatu malam disaat bulan empatbelas mengembang, Seri Ayu Sukma datang lagi. Tapi kali ini dia datang agak lewat dari hari-hari biasa. Aku bagai tidak sabar menanti kehadirannya. Hari-hari yang kulalui bersamanya penuh kemesraan yang sukar dilupakan.

“Kenapa kau lambat datang Seri?” Dia diam. Kelihatan kemurungan menyelubungi wajah ayunya. Aku amat hairan, dihatiku tertanya-tanya, apakah dia sedang berduka? Atau akukah yang telah menyinggung mahkota hatinya.

Seri Ayu Sukma menghampiriku dan menyentuh lembut pipiku, lantas jejarinya terlanjur menyentuh bibirku dan kemudian tanpa izin bibirnya yang merah itu bersentuhan pula dengan bibirku. Ada satu kelainan terasa. Ianya terasa sampai ke lubuk hatiku yang dalam dan ianya sukar untuk ditafsirkan dengan sebuah kata-kata.

“Kita tidak boleh meneruskan hubungan kita begini, ianya akan merosakan masa depanmu sayang,” kedengaran lembut suara Seri Ayu Sukma.

“Kenapa?” Terhembur pertanyaan yang spontan dari mulut lelakiku. Dia cuba meleraikan pelukanku yang kemas sejak dari tadi.

“Aku menderita, aku menderita dengan nasibku sekarang ini, aku mahu seperti orang lain yang diuruskan dengan sempurna,” Dia menangis. Menangis tersedu-sedu. Aku kebingungan.

“Apa sebenarnya yang berlaku dengan kau Seri? Maafkan aku kerana tidak pernah terlintas dihatiku untuk bertanya kenapa kau jadi begini. Janganlah kau salah faham dengan maksudku.

Aku tidak bermaksud untuk memperbodohkanmu apatah lagi untuk mempermainkanmu.” Aku duduk berhadapan dengannya kali ini. Aku ingin melihat apakah yang akan berlaku seterusnya.

Seri Ayu Sukma menceritakan akan nasib buruk yang menimpa dirinya sehingga dia jadi begitu. Seri Ayu Sukma mempunyai seorang ibu tiri yang dengki akan kecantikannya. Setelah kematian ibu Seri Ayu Sukma, ayahnya telah berkahwin baru. Maka beribu tirilah Seri Ayu Sukma. Sewaktu ayahnya baru berkahwin dengan ibu tirinya itu, ibu tirinya melayani Seri Ayu Sukma dengan cukup baik sekali, tapi setelah ayah Seri Ayu Sukma meninggal dunia akibat penyakit ganjil, ibu tirinya telah mengurungnya di dalam bilik tanpa memberinya makan dan minum.

“Pada satu saat, aku tidak tahu kenapa aku terkeluar dari jasadku,” Seri Ayu Sukma sedikit mengeluh. Menurutnya, jasadnya akhirnya dimasukan didalam satu ruang yang tersembunyi didalam bilik tersebut oleh ibu tirinya sebelum berpindah dari rumah tersebut.

“Itulah sebabnya aku masih ada di sini, aku sebenarnya sudah mati, aku minta jasa baikmu untuk menyempurnakan jasadku seperti orang lain, mudah-mudahan dengan cara ini aku akan merasa aman,” Alahai berdiri bulu tengkuk aku apabila mendengarkan cerita Seri Ayu Sukma. Rupa-rupanya selama ini aku berkawan dengan hantu. Tapi aku kasihan dengan nasib yang dialaminya.

Petang itu, setelah Azrul dan Kamal balik dari kerja. Aku segera menceritakan kejadian ganjil yang kualami. Oleh kerana mereka maelihat aku bersungguh-sungguh sewaktu bercerita, maka mereka tidak lagi mentertawakanku seperti selalunya.

Aku mengajak mereka ke bilik tidurku. Aku meminta bantuan mereka mengalihkan almari besar yang berada di dalam bilik tidurku. Setelah diusahakan bersama, akhirnya almari pakaian model lama itu pun terpindah.

Alangkah terkejutnya kami bertiga apabila melihat ada terdapat satu ruang agak sederhana besarnya di dinding bilik yang selama ini ditutupi oleh almari besar yang cukup unik ukirannya itu. Apa yang mengejutkan lagi apabila kelihatan samar-samar rangka manusia terdapat di situ.

“Seri Ayu Sukma…?”

TAMAT

(Wardah, April 2002)

JANGAN BIARKAN AKU GEMBIRA

                                                    KARYA: NORGADIS LABUAN

Syawal telah tiba. Kelihatan kanak-kanak keriangan belari ke sana sini selepas solat dipagi raya. Nenek yang bangun sejak jam tiga pagi lagi asyik sibuk menyediakan juadah raya. Aku yang tinggal di rumah nenek juga turut membantu mana yang patut. Walaupun rumah nenek tidak sebesar mana, namun ketenangan amat terasa dengan suasana kampung yang ceria dibanding kawasan perumahan tempat kediaman kami sebelum ini.

Kulihat sepupuku adik Masturah yang berusia empat tahun seusia adikku yang tinggal bersebelahan rumah nenek, begitu comel apabila mengenakan tudung biru yang sedondon dengan bajunya. Tiba-tiba saja terbayang wajah adik, kemurungan wajah ayah dan wajah ibu yang sentiasa bergenang dengan air mata meski masih sempat menghadiahkan senyuman kepadaku. Keadaan ini benar-benar mengheret aku kealam yang memilukan.

“Ya Allah, kenapa aku dilahirkan didalam keluarga yang malang ini. Apakah dosaku. Apakah salahku ya Allah,” aku menangis. Aidilfitri tahun ini tidak disambut seperti tahun-tahun yang lalu.

Aku masih ingat lagi kisah sewaktu petang itu, ketika aku sibuk membersihkan halaman rumah. Kulihat ibu sedang mengangkat kain jemuran dan ayah pula asyik dengan membersihkan kereta barunya. Aku rasa adik pasti masih tidur di dalam bilik waktu itu.

“Ira…! Ira tolong sapu halaman rumah kita ya, raya dah nak dekat ni, nanti ayah bagi Ira main bunga api,” kata ayah.

“Betulkah ayah, Ira boleh main bunga api? Seronoknya… Kalau gitu Ira sapu halaman rumah kitalah ayah,” dengan gembiranya petang itu aku terus melakukan apa yang ayah suruh.

“Rajin anak ibu,” aku melemparkan senyuman, ibu yang baru keluar dari rumah terus menuju ke arah kain jemuran sambil membalas senyumanku.

“Ayah yang suruh Ira buat ibu, kata ayah nanti Ira boleh main bunga api,” Ibu memandang ayah seketika, ayah membalas pandangan ibu seketika.

Aku meneruskan kerja-kerja menyapu halaman rumah, sekali sekali bayu menghembus dan menjatuhkan helaian daun mangga yang membuat hatiku bertambah geram. Aku terpaksa menyapu semula kawasan yang tadinya telah kusapu bersih walaupun halaman rumah kami tidaklah seluas mana dibanding dengan kawasan rumah nenek di kampung.

Daun-daun kering kukumpulkan disudut halaman untuk dibakar. Ranting-ranting kayu juga turut kukutip agar halaman rumah kami kelihatan bersih menjelang raya nanti. Tentu ibu dan ayah akan memujiku andainya halaman rumah kelihatan bersih. Ayah pasti akan memberikan aku duit raya seperti tahun-tahun yang lalu.

Adik… Aku berharap jika adik besar nanti, bolehlah adik menolongku membersihkan halaman rumah kami ini. Emm… dalam usia empat tahun, manalah adik pandai menolong, kalau tolong menyemak bolehlah. Aku tersenyum sendiri kalau mengingat telatah adik.

Dalam kesibukan masing-masing, tiba-tiba kedengaran bunyi letupan mercun di kawasan dapur rumah kami, aku terperanjat. Letupan mercun yang berterusan itu membuat aku tergamam.

“Adik…!” Jeritan ibu membuat aku tidak tentu arah. Ayah terpaku dan hanya memandang ibu yang meluru masuk ke rumah. Apakah yang berlaku kepada adik, adakah adik cedera? Terlalu banyak persoalan yang terlintas didalam kotak fikiranku. Kedengaran lagi satu letupan besar dari arah dapur. Aku menjerit, “Ibu…!” Tiba-tiba kelihatan satu benda melayang dari arah dapur dan jatuh benar-benar dihadapanku.

“Adik…!” aku bagai hysteria. Adik yang tadinya kusangka tidur nyenyak di rumah, kini kaku dihadapanku. Kesan terbakar yang memenuh ruang tubuhnya membuatkan aku mati akal dan lemah. Aku tersungkur dihadapan jasad adik.

Aku menangis, aku tidak tahu apa yang harus kubuat ketika itu, dengan pantas juga rumah kami dijilat api. Ayah entah kemana waktu itu. Ibu pula tidak kelihatan lagi. Jiran-jiran di kawasan perumahan itu sibuk memadamkan api yang semakin membara. Tiupan bayu petang itu memburukkan lagi keadaan. Akhirnya rumah kami musnah semuanya.

“Ya Allah, kuatkah aku untuk meneruskan hidup ini, setelah bala menimpa keluargaku?” Kini bulan syawal datang lagi. Aidilfiti yang ditunggu-tunggu oleh kanak-kanak seperti aku, pasti akan merasa cukup gembira. Tapi aku, hanya kesedihan yang menyelubungi diriku. Tiada baju raya yang baru untuk kupilih, namun aku masih bersyukur kerana ada jiran yang sudi memberikan baju raya untukku walaupun hanyalah sekadar baju terpakai dari anak-anak mereka yang tidak sesuai lagi utuk mereka.

Ayah. Dimanakah ayah? Ayah masih menjalani hukuman kerana kesalahan menyimpan dan menjual mercun dan bunga api terlarang. Ibu yang terbakar hangus sewaktu kejadian itu menyebabkan seluruh badannya lumpuh. Kini kami hanya bergantung hidup dengan nenek yang telah tua.

Ya Allah, jika hari ini aku bersedih tanpa kata, pujuklah aku dengan tarbiah-Mu. Ya Allah jika aku lemah tidak berdaya, ingatkanlah aku dengan kehebatan syurga-Mu. Ya Allah, jika diantara kita ada tembuk yang memisah dari aku terus mengingat-Mu, leraikanlah ia segera. Ya Allah, jika hari ini aku terlalu gembira menyambut aidilfitri, sedarkanlah aku dengan amaran-amaran-Mu dan jika esok aku atau keluargaku lena tanpa terjaga, jadikanlah kami tergolong dalam orang-orang yang beriman.

TAMAT
Tersiar Di Labuan FM pada 10 Sep 2010
Sempena Aidilfitri 2010

PABILA HATI DIJAJAH

                                                          Karya : Norgadis Labuan

Sekali imbas, sayur-sayuran hijau yang subur itu bagaikan wang yang bertaburan. Sayur kangkung, cangkuk manis, terung, timun, kacang panjang, serai, peria dan termasuklah ulam-ulaman. Aku juga menanam keledek, ubi kayu, tebu dan jagung pulut. Nun di hujung sana, terdapat pokok-pokok getah yang sudah siap untuk ditoreh. Itulah kerja abang Mat setiap hari. Semuanya mendatangkan hasil untuk keluarga. Tidak sia-sia kalau berbudi dengan tanah.

Petang itu, disaat aku asyik menyiram kebun di belakang rumahku, tiba-tiba saja aku terdengar orang memberi salam. Salamnya segera kusahut.

“Eh Said, Apa hal tergopoh gapah ni?”

“Kak! Abang Mat. Abang Mat, kak…” kelihatan Said seperti orang yang serba salah. Aku bingung dibuatnya.

“Apa hal pula dengan abang Mat. Abang Mat belum balik lagi dari surau,”

“Aku dengar orang-orang Jepun tu, cakap pasal abang Mat, aku harap kakak dapat beritahu abang Mat supaya berhati-hati,”

“Yalah,” jawabku ringkas. Said terus berlalu sambil dua tiga kali menoleh ke arahku. Aku sebenarnya tidak mengerti, apakah yang membuatnya seperti orang yang tidak pernah kukenali. Apa yang kutahu, adik lelakiku itu adalah seorang periang dan tidak pernah bermasalah. Tapi apa pula kaitannya dengan abang Mat.

Tidak beberapa lama selepas Said berlalu, tiba pula tiga orang Jepun. Salah seorang daripada mereka bernama Yokohawa yang merupakan pembantu kepada Jeneral Jepun yang baru datang ke Pulau Labuan. Manakala yang dua orang lagi, langsung tidakku kenali.

“Ini isteri Ahmad?” Yokohawa bertanya tanpa memperkenalkan dirinya terlebih dahulu.

“Ya saya. Ada apa tuan? Nak jumpa abang Mat ya? Dia belum balik lagi dari surau,” terperanjat juga aku dengan kedatangan orang Jepun tersebut. Selalunya jika dia mencari seseorang, pasti akan menimbulkan satu masalah besar.

“Saya Yokohawa. Awak kenal saya?” Aku mengangguk.

“Bila Ahmad balik rumah?”

“Selalunya abang Ahmad balik rumah waktu petang begini. Ada apa sebenarnya tuan?” tanyaku ingin tahu.

“Beritahu Ahmad, saya datang sini nanti malam. Katakan kepada Ahmad, saya nak cakap-cakap sama dia,” biarpun suara itu agak tenang bunyinya, tapi apabila seorang tentera Jepun ingin berjumpa, tentu ada hal lain yang amat penting. Kecualilah kalau penolong Jeneral Jepun itu adalah kawan baik abang Mat. Atau abang Mat adalah tali barut mereka. Apa yang aku tahu, abang Mat bukan orang seperti itu.

“Nanti saya datang lagi,” perbualan kami sampai di situ saja. Dia terus berlalu bersama dua orang pengiringnya. Kegelisahan mula menghantui diriku. Apakah sebenarnya akan berlaku. Kedatangan penolong Jeneral Jepun tadi benar-benar mengganggu emosiku. Ya Allah, cukuplah dugaan yang telah kau turunkan kepada negeriku. Janganlah ada dugaan baru yang tak mampu kuhadapi.

Saat-saat menanti kepulangan abang Mat, ianya terlalu menyakitkan rasanya. Setiap nafas yang kusedut dan kuhembuskan pasti amat mendebarkan. Darah gelisahanku mula mengalir keseluruh tubuhku. Angin yang bertiup kurasakan wap panas yang memeluk tubuhku. Peluh sedari tadi tidak henti-henti mengalir.

“Abang…!” Degup jantungku semakin kencang. Kelihatan suami kesayanganku telah pun pulang dan berada di ambang pintu pagar. Aku segera berlari dan memeluknya.

“Abang…” Abang Mat merenungku. Kelihatan ketenangan bersinar di raut wajahnya.

“Orang Jepun tu nak jumpa Abang?,” Abang Mat bertanya, aku mengangguk.

“Abang mandi dulu, kalau dia datang suruh dia naik ke rumah,” sedikitpun tiada arus kebimbangan di wajahnya. Abang Mat kelihatan tenang saja menaiki anak-anak tangga rumah kecil kami. Setelah menghabiskan air kosong yang aku berikan, Abang Mat terus mencapai kain dan baldi untuk dibawa ke telaga yang tidak jauh dari rumah.

Malam itu suasana agak muram. Sebutir bebintang pun tidak sudi berkerdip. Malah rembulan pun malu menglihatkan dirinya. Sementara menanti kedatangan tetamu yang cukup mengusarkan itu, aku terus membancuh kopi untuk dijadikan hidangan apabila tetamu yang ditunggu tersebut tiba.

Azan maghrib di surau sudah lama berlalu. Malam itu nampaknya abang Mat tidak berjemaah di surau seperti selalu. Setelah siap membaca wirid selepas sembahyang, abang Mat pun keluar dari bilik dan duduk disebelahku.

“Kenapa dia nak datang ke rumah kita ya, abang?” tanyaku.

“Entahlah. Abang sendiri pun tak tahu, selalunya kalau orang Jepun nak datang, mesti ada hal penting. Walaupun dia kata nak cakap-cakap, tapi boleh percayakah orang macam tu? Buat apa dia buang masa nak sembang-sembang dengan abang. Ini mesti ada hal lain.” Sedar tak sedar, tiba-tiba kedengaran suara azan Isyak berkumandang. kami segera menunaikan sembahyang Isyak berjemaah.

Malam semakin larut. Sana sini kedengaran bunyi cengkerik malam. Apakah mereka sedang berdendang lagu atau berzikir menyerah diri kepada Allah yang satu. Siapakah yang
akan perduli.

Nampaknya aku dan abang Mat masih lagi di ruang tengah rumah menanti kehadiran tetamu yang tidak menepati masa itu. Bagiku penantian itu amat membosankan. Tetamu yang ditunggu tidak juga kunjung tiba. Kedua-dua cahaya mataku sudah lama lena. Tapi aku dan abang Mat masih lagi menanti tetamu yang tidak kunjung tiba. Air kopi yang kubancuh tadi, sudah pun sejuk.

“Abang tak mengantuk? Sudah lewat malam ni,”

“Tak Leha, menunggu kehadiran orang asing seperti ini, sudah cukup untuk menghilangkan rasa mengantuk abang. Leha mengantuk? Kalau Leha mengantuk pergilah tidur dulu,” kata Abang sambil menggenggam jari-jemariku.

“Leha akan temankan abang. Abang! air yang Leha bancuh tadi sudah sejuk, nanti Leha bancuh yang baru ya bang,”

“Tak payahah Leha. Abang rasa, mungkin dia tak jadi datang malam ni,” Aku terus merebahkan kepalaku di pangkuan abang Mat. Abang Mat mengusap lembut rambut panjangku.

“Mungkin dia ada urusan penting, itulah dia tak jadi datang ke sini,” Abang hanya tersenyum sambil merenungku.

Tetamu yang ditunggu benar-benar tidak kunjung tiba. Aku tidak sedar, sudah berapa lama aku terlena dipangkuan suamiku. Abang Mat mengejutkanku.

“Leha, Pergilah Leha tidur dibilik, di sini banyak nyamuk,” Aku terjaga dan segera bingkas dari pembaringan.

“Abang tidur sama?” tanyaku ringkas. Abang Mat mengangguk.

Bagaikan tidak puas melayani cerita mimpi, tiba-tiba fajar subuh mula menyingsing. Kedinginan menerpa ke tubuh apabila jendela kubuka luas. Angin lembut pembuka rezeki kusedut puas. Nyaman menusuk kekalbu bagi orang yang mengerti. Seperti biasanya kami akan sembahyang subuh berjemaah. Setelah itu abang pergi ke kebun getahnya. Manakala aku akan menjalankan tugas sebagai surirumah seperti biasa.

“Ah…!” aku mengeluh. Sebenarnya, aku gelisah mengenangkan pekara semalam. Aku takut kalau orang Jepun itu pergi mencari abang Mat di kebun getahnya. Aku takut perkara yang tidak diingini akan terjadi.

Selesai saja aku membasuh kain di telaga, tiba-tiba kelihatan kelibat Said.

“Said…! Kau nak ke mana tu?”

“Ada hal penting kak. Abang Mat…abang Mat kak ”

“Kenapa dengan abang Mat kau Said?” aku kebingungan.

“Ya Allah, apakah ujian yang akan kau turunkan kepada keluargaku. Cukuplah apa yang telah kau uji selama ini.” Menitis air mataku ketika itu.

Pagi itu aku benar-benar rasa gelisah, kegelisahanku semalam nampaknya bertandang kembali. Tiap saat menanti berita dari abang Mat penuh dengan ketakutan. Apakah yang akan mereka lakukan terhadap suamiku itu.

“Abang di tangkap Jepun,” Ya Allah, ini adalah berita yang memeranjatkan dan memedihkan.

“Tapi kenapa Said… Tapi kenapa?” Aku menangis. Aku benar-benar menangis.

“Abang dianggap sebagai pengintip Jepun,” aku tidak dapat berkata-kata. Air mataku tidak dapat kubendung lagi, laju menuruni pipiku. Aku belari menuju rumahku dan terus mendapatkan kedua-dua anakku. Tangisanku tidak dapat kuhentikan lagi. Kalau boleh aku ingin menangis semahu-mahunya.

Dengan perasaan yang amat pedih itu, kulihat Said dan ibu mertuaku yang sedari tadi sudah berada di rumahku juga turut menitiskan air mata. Ibu mertuaku yang sudah separuh abad usianya itu terus memelukku.

“Kenapa anakku ditangkap, anakku tak bersalah, anakku tak bersalah,” rantap ibu mertuaku. Setelah pelukannya direnggangkan, anak-anakku menjadi sasaran pelukannya pula. Pada waktu itu tangisan hiba benar-benar tidak dapat dielakan lagi. Aku lemah, aku rasakan itulah dugaan yang terlalu berat untukku terima. Rumahku ketika itu diselubungi dengan suara tangisan. Tangisan yang sukar dimengertikan. Tidak lama selepas itu, kakak Mariam pula yang datang. Dia menghampiriku dan memelukku erat.

“Sabarlah Leha,” bisiknya.

“Kenapa kau ditangkap Ahmad, kenapa kau ditangkap, kau tak bersalah nak, kau tak bersalah,” Mengenangkan nasib yang akan menimpa abang Mat, tiba-tiba ibu mertuaku jatuh pengsan. Suasana menjadi kelam kabut. Aku tidak tahu apa yang harusku buat. Dan akhirnya aku tidak sedar lagi…

Hari itu, adalah hari untuk aku dan keluarga menemuinya. Pagi-pagi lagi aku dan keluarga sudah bangun dan bersiap untuk meninggalkan rumah Mak Usu yang tinggal di kampung Petagas, Kota Kinabalu. Dari Petagas kami berangkat dan singgah sebentar di salah sebuah kedai kopi di Putatan untuk minun pagi. Setelah selesai menikmati hidangan pagi, aku mengambil kesempatan membeli buah-buahan sebagai buah tangan.

Kira-kira jam sembilan lima belas pagi, aku dan keluarga sudah pun sampai di Kepayan. Rasa-rasanya bagai aku tidak dapat sabar lagi untuk menatap wajah orang kesayanganku itu.

Setiba dihalaman rumahnya, aku memberi salam dan cuba memanggil-manggil. Tiada sahutan. Pintu rumah terkuak luas. Aku masuk. Setiap sudut rumah itu kuperiksa dengan teliti. Namun dia gagal ditemui.

Masyallah, aku hampir kecewa menghadapi keadaan itu. Mama dan abah mula gelisah. Jam ditanganku sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku masih lagi belum menemuinya. Mama, abah dan aku mencari-carinya di sekitar kawasan belakang rumah pula. Syukur Alhamdulillah, usaha mencari membawa kejayaan. Namun jawapan darinya amat mengecewakan.

“Kenapa nek?” tanyaku.

“Nenek sudah biasa tinggal di sini, rasanya nenek malas nak pindah ke Labuan,” kedengaran suara tua nenek Leha.

“Nek, dulu nenek tinggal dengan Mak Usu, sekarang nenek tinggal seorang. Kalau nenek tinggal dengan kami, tentu nenek tak kesunyian. Ibu dah sediakan bilik untuk nenek. Nenek jangan bimbang, kalau nenek nak Ani temankan, Ani sudi temankan nenek bila-bila masa.”

Setelah tiga hari tinggal di rumah nenek Leha, kami pun bersedia untuk berangkat pulang ke Labuan. Dari Kepayan, kami ke pasar besar Kota Kinabalu. Dalam perjalanan dari Kota kinabalu, sekali lagi kami melintasi daerah Kepayan. Saat itu air mata nenek Leha semakin deras mengalir. Aku terharu dibuatnya. Sehingga sampai di Pekan Papar, tangisan nenek Leha masih belum reda. Aku tidak mengerti kenapa. Apakah sekembali nenek Leha ke Labuan, akan mengimbas kembali kenangan silam yang menyebabkannya berhijrah ke tanah besar Sabah.

Setelah sebulan berada di Labuan, nenek kelihatannya dapat menyesuaikan diri. Kesedihannya nampaknya sudah jauh ditinggalkan. Apa yang menjadi kesukaan nenek ialah menikmati keindahan pokok-pokok bunga tanaman mama. Pagi-pagi lagi nenek pasti akan berada dihalaman rumah melihat bunga-bunga yang berkembangan mekar.

Pagi itu aku dan mama bersembang-sembang di ruang tamu Masing-masing mempunyai pendapat tersendiri tentang Labuan yang akan menjadi Wilayah Persekutuan tidak lama lagi. Cerita sensasi itu bukan saja dibualkan oleh kami, malah di kedai kopi, di surau, dipejabat-pejabat dan dimana-mana pun ianya menjadi bualan terhangat pada ketika itu.

Era perubahan diantara pentadbiran Sabah ke pentadbiran Semenanjung akan dirasai oleh semua penduduk Labuan. Cadangan baik kerajaan itu tidak semua disokong oleh penduduk tempatan. Malah banyak saja kemungkinan-kemungkinan dan kebimbangan yang ditimbulkan oleh penduduk setempat.

“Mama bimbang kalau Labuan sudah jadi Wilayah, tentu banyak orang semenanjung datang ke sini. Susahlah anak-anak kita mendapat kerja. Kalau dapat pun mungkin hanya kerani-kerani biasa.”

“Tak semestinya begitu mama, Ani kira, siapa yang mempunyai kelulusan, itulah yang terpilih untuk menjawat jawatan yang tinggi. Tak kiralah orang Semenanjung atau orang Labuan, apa yang penting kita sama-sama orang Malaysia.”

“Apa yang dibincangkan tu, riuh rendah kedengarannya dari luar,” nenek tiba-tiba saja berada di ambang pintu. Entah sejak bila dia berada disitu, kami langsung tidak menyedari.

“Inilah mak, pasal Labuan akan dijual kepada semenanjung,”

“Siapa yang jual Labuan, Munah?” kelihatan raut wajah tua nenek Leha bagaikan laut yang bergelora. Mungkin ada yang meniup angin taufan didalan semudera hatinya.

“Wakil rakyat kita tulah mak,”

“Bukan dijuallah mama, nenek,” aku menyampuk.

“Habis, kalau bukan dijual, apalah ertinya tu,” kelihatannya mama seperti tidak puas hati.

“Labuan cuma akan dibawah pentadbiran Semenanjung. Tak lagi melalui Sabah. Peruntukan untuk penduduk Labuan, terus disalurkan ke sini. Bukankah itu satu jalan yang baik,” kataku.

“Samalah ertinya itu cu, macam dijajah juga. Kalau dulu zaman Jepun, kita dijajah oleh Jepun. Kau tak tahu cu, atuk pernah ditangkap Jepun dulu. Kau masih mentah, kau tak mengerti erti penjajahan. Nenek cukup menderita kerananya. Waktu itu mamamu dan mak
usu Maimun masih kecil lagi.” Nenek menggeleng kepala.

“Nampaknya sejarah berulang lagi. Kalau dulu dijajah oleh orang asing, tapi sekarang ni, kita akan dijajah oleh bangsa kita sendiri. Nenek takut, bukan saja kita yang dijajah, tapi hati dan fikiran kita juga akan dijajah. Waktu itu kita tak akan tenang lagi,” nenek Leha menggeleng kepalanya lagi dan terus berlalu ke kamar tidurnya. Bagaikan ada satu memori
yang memilukan yang ditanggung oleh nenek Leha sehingga tidak dapat dilupakan sampai kesaat ini.

* * *

Nampaknya bahang mentari kian terasa. Waktu zohor sudah lama masuk, namun sekarang tidak lagi kedengaran azan yang dilaungkan oleh abang Mat. Sebulan berlalu, aku tetap setia menanti suami kesayanganku itu. Walaupun banyak cerita orang yang mengatakan suamiku pasti sudah dipancung Jepun, namun kasih sayangku terhadap suamiku tetap menjadi penghalang untukku terus berputus asa.

Sejak kepergian abang Mat, ibu mertuaku kerap kali jatuh sakit. Pemergian abang Mat benar-benar merobek perasaannya. Aku tahu dia kecewa. Ibu mana yang tidak kecewa, apabila anaknya yang dididik sempurna ditangkap tanpa alasan yang kukuh. Akhirnya ibu mertuaku pergi sebelum sempat bertemu anak bungsunya itu.

Suatu hari, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang dan kedengaran suara memberi salam. Rasanya suara itu amat kukenali. Suara itulah yang kurindui selama ini dan suara itulah yang kunanti selama ini. Hatiku berdebar. Pintu yang tertutup rapat kubuka perlahan-lahan. Bagaikan aku tidak percaya, lelaki yang berada dihadapanku adalah abang Mat suami kesayanganku yang pernah ditangkap Jepun.

Ya Allah, kelihatan wajah cengkung dan tubuh badan abang Mat yang kurus di ambang pintu. Kulihat matanya masih memiliki sinar ketenangan meskipun kelopak matanya bergenang air jernih. Aku segera memeluk suami kesayanganku itu. Abang Mat mengeratkan pelukannya terhadapku. Saat itulah yang membuatkan aku bertambah terharu. Bertapa menderitanya abang Mat menanggung beban fitnah sendirian tanpa aku disisinya selama ini.

Kulihat bagai tidak puas-puas abang Mat mencium Maimunah dan Maimun yang sedang lena berselimutkan kain batik. Kedua-dua anakku yang terjaga dari lenanya terus menangis ketika itu. Aku sukar meramalkan apakah maksud tangisan anak-anakku itu.

“Bagaimana dengan mak Leha?” Abang Mat merenungku dengan harapan agar aku segera menjawab soalannya. Namun soalan itu adalah soalan yang amat sukar untuk dijawab.

“Abang,” kata-kataku terhenti disitu. Suaraku bagai tidak dapat keluar lagi kerana menahan tangis. Kurasakan pelukan abang Mat semakin kuat bersama esak tangisku.

“Mak… mak… dah meninggal bang,” kataku dengan nada yang sedih.

“Inalillah… mudah-mudahan mak akan ditempatkan dengan orang-orang yang beriman,” tiada siapa yang dapat melawan hukum tuhan. Hakikat itu terpaksa abang Mat terima dengan hati yang tabah.

Menurut cerita abang Mat, waktu dia ditangkap Jepun, macam-macam soalan yang mereka ajukan. Mereka tuduh abang sebagai pengintip.

“Abang sebenarnya tidak tahu menahu hal itu, abang dipersalahkan kerana fitnah bangsa kita sendiri yang belot berhadap agama dan bangsa,” aku adalah pendengar setia ketika itu. Apa yang abang Mat luahkan, pasti akan kudengar dengan penuh rasa terharu.

“Berdoalah Leha, semoga kita tidak akan diduga dengan dugaan berat seperti ini lagi. Mudah-mudahan doa kita akan dimakbulkan, amin…” aku mengangguk sambil mengesat air mata yang membasahi pipi.

“Baiklah abang pergi berehat, abang tentu penat, sama-samalah kita lupakan kenangan pahit itu.”

Aku mengadakan kenduri kesyukuran selepas dua hari abang Mat pulang. Saudara-mara dan orang kampung ramai yang datang menziarahi abang Mat untuk bertanya khabar. Keriangan diwajah mereka jelas terpancar.

Sudah sebulan abang Mat kembali kepangkuan keluarga, namun pagi itu nampak sepi, Selalunya orang-orang kampung kebanyakannya pergi menoreh getah dan pergi ke sawah.

Aku melihat langit mula mendung, tidak beberapa lama kemudian, hujan pun turun membasahi halaman rumahku. Aku yang sedari tadi asyik melihat halaman yang selama ini sudah tidakku indahkan, segera menutup jendela agar hujan tidak tempias masuk kedalam rumah kecilku.

‘Ya Allah! Janganlah kau pisahkan aku dan suamiku lagi,’ kotak hatiku tidak dapat melupakan kenangan pahit itu sebenarnya.

“Leha, esok kita akan berhijrah ke tanah besar, mudah-mudahan di sana kita akan dapat melupakan kenangan yang memilukan ini,” aku hanya menerimacadangan abang Mat tanpa bantahan sedikit pun. Di situlah mulanya kami berhijrah ke tanah besar dan memulakan penghidupan baru bersama anak-anak.

* * *

Apabila malam menjelang, setelah pintu kamar kukuak, tiba-tiba saja, tubuhku semakin lemah, nafasku tersekat-sekat, badanku gementar, jantungku berdegup kuat dan seluruh jasadku mula terasa kebas-kebas. Pandangan mataku mula berpinar. Air mataku jatuh satu persatu. Aku terbaring di lantai semen sudut katil nenek Leha. Aku lemah ketika itu. ‘Apakah yang harusku lakukan?’ Itulah kata-kata yang bermain didalam fikiranku. Aku memaksa diriku untuk bingkas dan duduk di samping tubuh tua nenek Leha. Aku menadah tangan bersama deraian airmata….

“Ya Allah, panjangkan umur nenek Leha.”

“Ya Allah, kaulah yang berkuasa dan tidak ada yang berkuasa selain dirimu di dunia ini ya Allah. Bebaskan nenek Leha dari derita yang ditanggungnya. Kau tunjukkanlah dia jalan yang benar. Kasihanilah dia ya Allah. Andainya aku terpaksa berpisah dengan nenek, kau tempatkanlah dia bersama-sama orang yang bertakwa dan kau kuatkanlah imanku ya Allah.”

Mama dan abah tergamam. Nenek kesayanganku akhirnya pergi juga, pergi bersama hati yang telah dijajah. Aku menjadi lemah dan aku kecewa kerana tidak sempat membuktikan kepada nenek Leha bahawa Labuan pasti maju setelah bergelar Wilayah.

“Nenek, andainya kau masih hidup. Pasti kau dapat melihat ujudnya universiti, bank luar persisir dan hotel lima bintang disaat Pulau Labuan bergelar Wilayah Persekutuan Labuan,” bisik hatiku setelah selesai menyedekahkan ayat-ayat suci Al-Quran ketika menziarahi kubur nenek Leha di Tanah Perkuburan Lorong Tujuh, kampung Layang-Layangan, Wilayah Persekutuan Labuan.

TAMAT
07.10.2001 (10:52 pagi)
(Saguhati Peraduan Menulis Cerpen 2007)
ANTOLOGI PUIS/CERPEN DITEL VI 2008 – LAMBAIAN TELUK

 AKU DIA DAN KAMERA

 

* Cerpen di bawah ini adalah penyertaan saya untuk Contest : RM50 untuk dimenangi dari blog Oh!Dawie. Sila click link untuk keterangan lebih lanjut.

Karya: Norgadis Labuan

 

Dawie. Ganjil sungguh nama itu. Apakah bendanya itu? Adakah ianya boleh dimakan? Apakah ianya boleh dipakai atau apakah ia genatik yang telah diklonkan? Ah… memang ganjil nama itu. Hahaha… nama itu tercipta untuk diriku. Apakah ada pada nama, atau mungkin ada pengertiannya yang menarik disebaliknya. Aku mengeluarkan dairy dari beg hitamku. Aku cuba mencari-cari pengertian di sebalik namaku sendiri.

D ertinya “Dinamik”

A ertinya “Amanah”
W ertinya “Warak”

I ertinya “Ikhlas”

E ertinya “Emosional”

Cheh wah! Hebat juga nama aku, sebagai seorang jejaka yang tampan… tampankah aku? Tapi, memang ramai orang yang mengatakan aku begitu, dari kanak-kanak sehingga ke tua tetap mengatakan aku tampan. Memang aku tampanlah tu. Aku juga dikatakan baik, peramah, pemurah, penyayang dan ada juga yang mengatakan aku sedikit warak orangnya. Warakkah aku? Hehehe… Betulkah semua itu? Biarlah mereka menjawab sendiri. Mereka memang berhak berkata begitu, kerana Tuhan telah menciptakan mulut dan lidah untuk berkata-kata apa yang mereka suka.

Bosan. Mungkin lebih baik aku tidur. Kuperhatikan kipas yang ligat berputar, namun fikiranku jauh melayang. Kipas di pandanganku bukanlah menjadi bahan penting dalam fikiranku.

Pelik. Setampan aku ni, susah juga nak cari gadis idaman. Antara Rozi, Ayu, Ana, Rina dan banyak lagi, adakah mereka boleh dijadikan gadis idamanku? Emm.. sudah banyak aku tangkap gambar mereka dengan pelbagai gaya. Sedikit pun tiada yang menyentuh hatiku. Jangan kata nak berdegup jantung, getar pun tak terasa.

Kamera oh kamera… nampaknya kaulah yang jadi gadis idamanku. Kenapalah kau tak tangkap gambar gadis yang boleh jadi gadis idamanku? Kau tak kasihankah dengan aku. Aku ni dah jadi macam orang gila dalam bilik ni. Nasib baik tak ada orang tengok, kalau ada, sah aku dikatakan dah gila.

Emm… macam ada sesuatu dalam laci aku tu. Aku membuka laci meja aku yang tidak berkunci. Aku mencari-cari sesuatu di dalam laci. Kelihatan sebuah album gambar enam bulan yang lalu. Aku membelek-belek gambar yang ada.

Ya..! Ini yang aku cari. Aku mengeluarkan sekeping gambar seorang gadis tanpa nama. Aku senyum sendiri mengenang saat bertemu gadis itu.

“Assalammualaikum, maaf jika mengganggu.” Aku memberi salam.

“Wa’alaikummusalam. Ya… ada apa-apa yang saya boleh bantu,” jawab seorang gadis yang berada dihadapanku. Keayuan, kelembutan gadis itu membuat aku ingin berkenalan dengannya.

“Awak tunggu siapa?” Tanyaku lagi

“Tengah tunggu mama dan abah. Tadi semasa buat tawaf, kami terpisah. Akhirnya saya buat keputusan untuk menunggu mereka berdua di sini.”

“Oh begitu. Awak asal Indonesia?” Aku ingin tahu.

“Taklah, saya orang Malaysia,” jelas gadis itu sambil tersenyum.

“Maaf, saya ingatkan orang Indon. Dah berapa hari sampai di Mekah ni?” aku bertanya lagi.

“Dah enam hari. Esok hari terakhir. Dah nak berangkat balik ke Malaysia. Alhamdulillah… itu mama dan abah, dah siap pun buat saie. Saya ke sana dulu ya…”

“Tunggu kejap. Boleh saya ambil gambar awak?” Ujarku. Gadis itu mengangguk sambil tersenyum manis bersama pakaiannya yang serba putih ketika itu. Setelah siap aku mengambil gambar, gadis itu pun berlalu sambil melambai-lambaikan tangannya.

Ah… aku tetap aku, aku yang masih kesunyian. Rasa tak puas menatap gambar gadis yang kutemui di Mekah sewaktu membuat umrah enam bulan yang lalu.

Kenapalah aku bodoh sangat, sampai nama pun lupa tanya. Minta alamatkah, minta nombor telefonkah. Mungkin dialah gadis idaman aku. Adakah tanda-tanda atau petunjuk yang aku akan bertemu dengannya lagi? Aduh… aku pun tak tahu. Lebih baik aku jalan-jalan di pantai. Mungkin ada pemandangan yang menarik di sana.

Sebenarnya sudah tiga bulan aku tidak berkunjung ke pantai ini, entah kenapa kali ini kakiku bagai diarah untuk pergi ke sini. Senja ini sungguh indah sekali. Desiran ombak menghempas pantai, bagai melambai mesra bayu dingin agar memeluk tubuh sasaku. Sedikit kedinginan terasa olehku. Alamak… berpuitis pula aku ni.

Lama sudah aku tidak melihat keindahan senja. Kelihatan ramai pasangan yang berdua-duaan di situ juga menikmati keindahan yang kurasa. Aku yang sendirian, masih lagi melihat alam sekeliling sambil mengambil gambar pemandangan yang cukup menarik.

“Assalamualaikum, maaf jika mengganggu.” Aku menoleh ke arah suara lembut itu. Suara itu seperti pernah kudengar satu ketika dulu.

“Awak…” Aku terpaku.

“Tak nak ambil gambar saya lagi?” kata gadis yang kutemui di Mekah enam bulan yang lalu. Pertemuan senja itu akhirnya membibitkan bunga-bunga cinta antara aku dan dia. Dan kamera kesayanganku telah merakamkan kenangan indah waktu itu…

TAMAT
30 Dis 2009, Jam 5.52 petang


*sumber :http://norgadis.blogspot.com/

 

  • Saifun Arif Kojeh adalah nama pena dari Raden Sarifudin, lahir di Durian Sebatang, Kecamatan Seponti, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat, pada tanggal 8 Desember 1977.  Anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Raden Koman Sahar dan ibunya bernama Utin Jetiah Bujang Saheran menyenangi membaca, menulis, dan berjalan ke tempat-tempat yang unik dan menarik. Dia mengawali pendidikannya di SDN 20 Durian Sebatang yang sekarang berganti nama menjadi SDN 09 Durian Sebatang (1991). Tamat dari SMPN 2 Simpang Hilir sekarang berganti nama menjadi SMPN 1 Seponti (1994), dia melanjutkan sekolahnya di SMAN 2 Pontianak (1997) dan meraih gelar Sarjana Pendidikan di FKIP Universitas Tanjung Pura (Juni, 2001). Pada tahun 2009, dia menikahi seorang gadis asal Balai Berkuak yang bernama Setevani dan dikarunia seorang anak, Ayatul Husna (18 Juni 2010). Dia senang menulis karya sastra sejak masih Sekolah Menengah Umum sampai sekarang. Karyanya berupa Puisi, Cerpen, Novel Mini, Diari Seorang Penulis, Prosa Kehidupan, Prosa Mimpi, Cerita rakyat, bahkan kini merambah menulis artikel populer di media massa.  Dalam dunia kepenulisan dia mempunyai semboyan: “Suatu coretan kreatif sependek apapun dalam menuangkan impresi atau ekspresi jiwa akan melahirkan keindahan rasa yang terasa bagi orang yang merasa.” Cerpen dan puisinya disebarluaskan di Jurnal Edukatif, Majalah Selasar, Ketapang Pers, Majalah Umum Tanjungpura Post, Pelita, Bela, Warta Lipan, Barometer, Equator, Borneo Tribune, Kapuas Post, Pontianak Post, Koran Minggu Pagi Yogyakarta, Majalah Taman, cybersastra.net, kampung.8m.net, fordisastra.com, esastera.com, sanggarkiprah.blogspot.com, andyady.multiply.com, dapunta.com, cerpen.net, fiksi.kompasiana.com, blogscope.com, mywritingblogs.com, puitika.net, dan lain-lain.  Puisi dan cerpennya masuk nominasi Hadiah HESCOM 2008 (Malaysia). Cerpennya bertajuk Mutiara dalam Lumpur jadi Juara III dalam penulisan cerpen Islami yang diadakan Forpi-Al Ikhwan (sekarang At-Tarbawi) FKIP Untan. Cerpen “Kempunan memenangkan Hadiah HESCOM 2009 (Malaysia) kategori ACAS (Anugerah Cerpenis Alam Siber, sebesar RM 200). Puisi dan cerpennya yang dibukukan: Bianglala (Antologi Puisi, 2001),  Tafakur Cinta  (Kumpulan Puisi, 2006),  Kembalinya Tarian Sang Waktu (Kumpulan Cerpen, 2010), Matahari di Nusantara (Antologi Cerpen Mastera, 2010), Sembahyang Puisi. Menerjemahkan Rindu (Kumpulan Puisi, 2010),  Antologi Ketika Penyair Bercinta berupa e-book (2011),  Antologi Kun Payakun Cinta (Puisi Reliji Lintas Negara) berupa e-book (2011), Mata Borneo I; REPUBLIK WARUNG KOPI (Antologi Puisi 8 Penyair Kalbar, 2011),  Anugerah Khatulistiwa (Antologi Puisi, 2011), Deru Awang-Awang (Antologi Puisi, 2012). Selain itu, artikel dan cerita rakyatnya disebarluaskan di Majalah Pelita, Tanjungpura Post, Borneo Tribune, Equator,  dan dapunta.com. Naskah teater yang sudah ditulisnya adalah Siluet Biru, Titik Merah, Monolog Merah Putih, Pentingnya Pendidikan, Putri Dipanah Rembulan, Selembut Kasih Ibu, Kawin atau Pendidikan, dan Kemuliaan Kasih Ibu.

Kalau ingin melihat lebih jelas lagi hasil karya sastra dan tulisannya bisa dilihat di weblognya: msaifunsalakim.blogspot.com dan kemuliaancintasakim.blogspot.com

Kegiatan sastra yang pernah diikutinya adalah Pertemuan Mahasiswa Sastra Tingkat Nasional di Pontianak (1999) dan Yogyakarta (2000), Lokakarya Apresiasi Sastra Daerah di Cipayung, Bandung yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Nasional dengan pembicaranya dari Dinas Pendidikan Nasional dan Sastrawan Horison (Agustus, 2006) dan di Cipayung, Bogor, Jawa Barat (Desember, 2007), serta sebagai Peserta Mastera Cerpen di Bogor (28 Juli – 2 Agustus, 2008).

Penulis adalah anggota IPSKH (Ikatan Pencinta Sastra Kota Hantu), mantan Ketua Sanggar Kiprah FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak (1999-2000). Kini penulis aktif melatih anak didiknya menulis puisi, prosa, cerpen, dan teater. Dia juga menjabat sebagai Ketua SAKENI (SAnggar KEpenulisan dan seNI) dan Kompenkat (Kelompok Penulis Berbakat).

Alumnus SMA Negeri 2 Pontianak dan FKIP Untan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah ini sekarang mengabdikan dirinya sebagai guru di SMA Negeri 1 Simpang Hilir, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat 78853.

Kontak person: SMA Negeri 1 Simpang Hilir, Jalan Pramuka, Teluk Melano, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat, 78853.

Nomor HP: 085252411358 dan emailnya: penyairkayong@gmail.com, penyairtanahkayong@gmail.com, kompenkat@gmail.com, udhiencahayajiwa@gmail.com, dan arifkalabar@yahoo.com.

RUMAH TANAH

:: cerpen Saifun Arif Kojeh

(KALIMANTAN BARAT – INDONESIA)

 Gambar

AKU telusuri kota Yogyakarta yang terkenal dengan kota pelajar. Tempat yang terkenal di kota Yogya adalah Malioboro, aku singgahi.

Aku mencari suatu barang untuk kuhadiahkan pada temanku. Tapi aku belum menemukan barang itu. Padahal di Malioboro sangat lengkap menjual-jual barang dagangan, seperti kaos kaki, gelang manik, kain pantai, baju dagadu, sepatu bermacam merek dari merek kuno sampai merek modern juga ada, gorden, kacamata keren, dompet unik dan masih banyak lagi. Tak satu pun barang di situ yang berkenan di hatiku.

Aku tinggalkan Malioboro menuju Shopping Center. Di sini tak kalah komplitnya dengan Malioboro. Sepanjang jalan bertaburan barang dagangan dari buku tulis, buku pelajaran, buku pengetahuan umum, barang pernik, barang antik, dan lain-lain. Selalu menghiasi jalan itu. Barang yang kubeli tidak kudapatkan juga di tempat ini. Aku sudah letih mencari barang itu. Wujud barang itu belum kudapatkan juga. Si penjual barang merasa sangat bingung. Melihat keganjilanku mengutak-ngatik barang. Namun, aku tidak mengambil barang yang cocok untuk dibeli. Penjual itu mendekatiku. Ia menyapaku dengan ramah tamah.

“Mas, mau mencari barang seperti apaan? Dari tadi aku lihat Mas selalu mengutak-ngatik barang. Tapi, tiada satu pun yang cocok”

“Anu Mas. Bukan begitu. Barang di sini memang bagus-bagus. Tapi, barang yang kucari belum aku temukan. Barang itu adalah barang yang sesuai dengan kemauan hatiku.” Aku mejawabnya dengan lemah lembut.

Bukan berarti aku merendahkan mutu barang di sini. Bukan berarti aku merendahkan bahwa toko swalayan ini tidak komplit. Bukan!!! Memang saat ini, aku belum menemukan barang yang sesuai dengan hatiku. Rencananya barang itu akan kuhadiahkan pada temanku.

“Jadi barang apa yang sesuai dengan hati Mas?” Si penjual bertanya lagi. Ia bersiap mencarikan barang yang kubutuhkan itu.

“Entahlah Mas. Aku juga tak tahu. Seperti apa wujud barang yang aku maksudkan. Yang penting. Kalau hatiku merasa cocok. Seperti apapun barang tersebut akan aku beli. Maaf ya Mas sudah merepotkan.” Aku menjawab dengan serius.

“Tidak apa-apa, Mas,” kata penjual itu pendek. Mungkin ia kesal denganku. Aku tak peduli.

“Permisi, Mas. Terima kasih ya atas pelayanannya,” kataku dengan sopan dan lemah lembut, agar tidak menyakiti hatinya. Karena, aku tidak membeli sebutir barang pun di tokonya. Aku langkahkan kakiku meninggalkan Shopping Center. Sayup-sayup dari kejauhan, aku mendengar gumaman penjual toko itu.

“Aneh. Membeli barang saja tidak tahu dengan wujud barangnya. Manusia aneh. Jangan –jangan pikiran orang itu tidak waras”.

Aku tersenyum saja mendengar gumaman itu. Menurutku, hal yang kulakukan adalah tidak aneh. Wajar-wajar saja. Yang aneh menurutku adalah kita menginginkan barang yang sebenarnya tidak kita inginkan. Hanya sekedar untuk gengsi-gengsian biar dilihat orang lebih mapan atau sejenisnya. Itu yang aneh.

Langkahku sudah mengitari setengah dari kota Yogya. Barang yang aku inginkan tidak kudapatkan. Bagaimana ya? Apakah yang harus aku berikan padanya ya?

* * *

Merenung aku di suatu senja yang gelisah menantikan malam. Sinarnya redup. Seperti sinar pelita yang kehabisan minyak. Senja sebentar lagi merangkak menuju malam. Sayup-sayup lewat desiran angin sejuk, aku mendengar bisikan halus.

“Kamu harus mencari barang yang sesuai dengan hatimu sampai dapat. Jangan sampai temanmu tidak mendapatkan hadiah dari perjalananmu ini.” Bisikan lain menyahuti.

“Ya. Tepat sekali yang dikatakan temanku itu. Kamu harus pulang membawa hadiah untuk teman dekatmu. Masak kamu pulang dengan bertangan hampa. Itu sangat keterlaluan. Tidak setia kawan namanya.”

Aku terdiam sebentar. Aku mencari sumber bisikan. Aku mengitarkan pandanganku ke seluruh arah. Mataku liar menjilati daerah di samping kiri dan kanan serta di depanku untuk memastikan darimana datang sumber bisikan itu. Sumber bisikan itu belum juga aku temukan. Telingaku makin dipertajamkan. Mata makin aku mantapkan untuk memandang sesuatu dengan jelas. Sumber bisikan itu belum juga aku temukan. Aku hanya menemukan dedaunan yang bergoyang dangdut tertiup angin malam. Pohon yang meliuk-liuk kegirangan, karena dielus kelembutan angin malam. Mereka terus saja bersuka ria di depan mataku. Tanah melembut meresapi keindahan alam malam ini. Aku menatap malam sekali lagi. Mungkin saja ia bisa membantu aku menemukan sumber bisikan itu. Tapi ternyata malam hanya membisu. Rupanya ia tidak bisa membantuku.

Sumber bisikan itu terus mendengung di telingaku. Seperti suara tawon yang kembali ke sarangnya. Mataku makin liar menerawang daerah sekitar itu. Sampai aku dapat menduga, kira-kira tempat yang menjadi sumber bisikan itu, yaitu daerah di samping kananku. Langkah kakiku menuju ke sana. Suara bisikan itu semakin jauh. Aku terus mengubernya. Sampai aku berhenti di sebuah pedataran yang luas. Sedikit ditumbuhi rerumputan dan tanaman pakis. Di atas sana. Rembulan menaburkan sinarnya menyapa lembut wajahku. Bulu kudukku merinding. Rasa takut menggerogoti jiwaku. Aku menguatkan hatiku jadi pemberani. Seberani Wiro Sableng dalam membasmi musuh-musuhnya.

Maju tak gentar, harus kumandangkan dalam sanubariku. Aku mencari sumber bisikan itu yang berhenti di daerah ini. Aku tak dapat menemukannya. Aku memutuskan suatu hal, sekian lama tak menemukan bisikan itu untuk pulang saja. Berjalan pulang ini terasa jarak yang aku tempuh sangat jauh.

“Aneh sekali? Bisa sejauh ini.”

Aku juga berpikir tentang bisikan itu.

Mengapa begitu cepat suara bisikan itu sirna? Padahal aku sudah berjalan setengah berlari mengejarnya. Jangan-jangan halusinasi menuntunku. Bisa jadi. Atau jangan-jangan aku mengikuti suara mahluk halus yang suka menggoda insani. Ah, rasanya aku tak boleh berpikiran begitu. Ngeri ah.

Aku langsung mempercepat langkahku agar sampai di peristirahatan. Terengah-engah juga aku sampai di peristirahatan. Ketika kupandang jam dinding yang bergantung di paku. Jam menunjukkan angka dua belas. Aku langsung merebahkan tubuh memeluk mimpi yang kusut masai.

Esoknya aku bersama teman-teman menuju kota Surabaya yang terkenal dengan sebutan kota Pahlawan. Karena, di sinilah beribu-ribu pahlawan muda gugur untuk memperoleh kemerdekaan. Aku menjelajahi kota Surabaya. Tunjungan Plaza aku datangi. Barang yang ingin kubeli yang sesuai dengan hatiku tidak juga kutemukan. Sampai keberangkatan pulang, aku masih belum menemukan barang itu.

Di saat Kapal Motor Lawit ingin bertolak dari dermaga. Ada seorang wanita tua menawarkan barang yang cukup berkesan.

“Cuk, saya ada menjual barang unik. Barang ini sudah saya tawarkan pada orang lain. Tapi, satu orang pun tidak ada berkenan membelinya. Karena, mereka melihat sepintas lalu bahwa barang itu tidak mempunyai arti dan tidak berguna. Padahal, kalau dilihat secara mendalam barang itu sungguh berarti. Mereka yang menilai rendah barang itu termasuk orang yang berpikiran dangkal. Sedangkal otak kerbau. Sebegitulah. Mereka seperti itu termasuk dalam golongan orang yang merugi nantinya di akhirat.” Ia berkata dengan bersemangat. Seperti bersemangat seorang juru kampanye berpidato di muka publik. Ia memberikan petuah padaku. Agar aku tertarik untuk membeli barang yang dijualnya.

Aku berpikir. Boleh juga. Siapa tahu barang yang dijualnya cocok dengan keinginan hatiku. Insya Allah, barang itu akan kuserahkan pada temanku sebagai kado atas perjalananku.

“Barang apaan itu, Nek?” Aku bertanya untuk mengetahuinya.

Sekali lagi kuperhatikan wajah tua itu dengan mimik serius. Ia berpakaian putih kumal dengan penuh tambalan di sana-sini. Rambutnya putih seperti buntalan kapas. Matanya mengandung kekuatan dan kelembutan. Menarik sebuah rasa magnetis hingga lengket. Tidak akan terlepas lagi. Aku dituntutnya agar memiliki rasa simpati dan rasa perikemanusiaan pada sesama, terutama pada dirinya. Sepertinya ia sebuah kutub magnetis yang menarik serbuk besiku hingga melekat.

Wajahnya penuh guratan kesengsaraan. Tetapi dibalik kesengsaraan itu terpancar sebuah wajah tegarnya dalam menjalani kehidupan ini yang penuh dengan kerikil tajam yang terhempas dan terbuang. Ketegarannya seperti batu karang di dasar samudera. Tidak akan goyah diterpa lindu, amukan gelombang tsunami, dan badai prahara yang menggila. Itu terlihat lewat pancaran matanya yang berwibawa. Mengingatkanku pada ibuku yang begitu lembut mengasihi dan menyayangiku. Pandangan matanya nyaris mirip dengan pandangan mata wajah tua yang berada di hadapanku ini.

“Barangnya Cuk adalah sebuah barang kerajinan tangan yang punya nilai seni tinggi. Ini barangnya Cuk,” katanya bersemangat.

Ia menunjukkan padaku sebuah ukiran kerajinan tangan berbentuk rumah sederhana yang terbuat dari tanah liat sejenis lempung. Sungguh lugu dan bermutu barang ini. Sungguh unik dan terkesan eksotis. Fantastik. Spektakuler. Aku langsung tertarik untuk membeli barangnya.

“Wow fantastis! Sungguh indah barang ini.” Aku memuji keindahan barang itu.

Rupanya inilah barang yang berkenan dalam hatiku. Barang yang sederhana tetapi memiliki mutu seni tinggi. Sebuah ukiran rumah yang terbuat dari tanah liat.

“Nek, aku tertarik dengan barang yang nenek tawarkan. Berapa harganya Nek? Aku berani bayar kontan,” kataku serius.

Mendengarkan perkataanku yang tertarik dengan barangnya, si nenek jadi terlonjak kegirangan. Ia menari-nari dengan lincahnya. Liukan tubuhnya seperti ular piton mengeluti ranting pohon dengan indahnya. Ia tak peduli orang banyak memperhatikannya. Walaupun orang tertawa melihat kelucuannya. Si nenek tidak peduli. Terpenting hatinya senang saat ini.

Puas menumpahkan keceriannya. Ia tersenyum. Wajahnya berseri-seri. Sepertinya ia memperoleh kehidupan yang baru. Kesedihan yang tergurat di wajahnya sedikit menghilang dibauri oleh keceriannya.

“Berapa Cucu berani bayar atas barangku?” Ia balik bertanya.

“Karena uangku hanya tinggal Rp. 350.000. Jadi aku hanya berani bayar Rp. 300.000 dan Rp. 50.000 lagi untuk ongkos perjalanan pulangku, Nek. Apakah nenek setuju dengan tawaranku?”

“Itu terlalu murah Cuk. Kalau aku minta semua uangmu, apakah kamu tidak keberatan memberikannya?”

Aku terdiam. Berpikir sejenak.

Kalau semua uang ini kuberikan padanya. Berarti dalam perjalanan pulang ini, yang memerlukan waktu dua hari dua malam akan kulewati dengan tidak makan apa-apa. Berarti aku dituntut untuk berpuasa. Tidak mengapa. Terpenting aku harus mendapatkan barang tersebut yang sudah sesuai dengan keinginan hatiku. Rencananya barang itulah yang akan kuberikan pada temanku di kampung.

Di saat aku masih berpikir. Temanku yang di dalam Kapal Motor Lawit memanggilku.

“Dan, apa yang kamu tunggu di situ. Cepetan naik. Sebentar lagi Kapal Motor Lawit akan bertolak meninggalkan pelabuhan Surabaya.”

“Ya. Aku tahu. Tunggu sebentar,” sahutku.

Setelah menyahuti ucapan temanku. Aku beralih menatap si nenek. Ia tersenyum segar padaku. Senyumnya memberikan air penyejuk pada hatiku untuk berbuat rela dan ikhlas dalam mennyerahkan semua uang padanya demi sebuah persahabatan. Karena, barang yang akan kubeli dari si nenek adalah sebuah buah tangan untuk teman setiaku. Seakan si nenek juga mengajariku bahwa materi masih dapat dicari, tetapi kehilangan persahabatan membuat kita menjadi orang yang rugi. Seakan si nenek juga mengingatkanku untuk berpuasa. Mendekatkan diri pada Alla SWT. Karena, puasa itu berguna untuk meredam gejolak nafsu duniawi dan lahiriah. Puasa juga membentuk kita supaya menjadi orang yang sabar. Aku memutuskan menerima tawarannya.

“Oke, Nek. Aku terima permintaan nenek dengan tulus ikhlas.”

“Alhamdulillah Cuk. Kamu menerimanya. Berarti kamu lulus ujian untuk mendapatkan barangku. Aku tahu Cuk, kamu memang orang yang baik. Sebenarnya, aku hanya mengujimu dengan minta seluruh uangmu. Sebenarnya untuk pembayaran barangku ini, aku hanya meminta barang berharga yang kamu miliki. Bagaimana? Apakah kamu setuju?”

Sungguh aneh permintaan nenek ini. Sebentar ia minta seluruh uangku. Kini, ia minta barang berharga yang aku miliki. Barang berharga mana yang ia inginkan. Setahuku. Aku tidak pernah membawa barang berharga, selain barang berhargaku yang berada di bawah. Gila amat, kalau hal itu yang ia minta. Tapi, kalau kupikir tidak mungkin ia menginginkan barang keramatku ini. Pasti ada barang berharga yang lain, ia inginkan dariku. Barang berharga yang tidak kuketahui bahwa barang itu sangat berharga.

“Oke, Nek. Kalau aku bisa memenuhinya. Insya Allah akan aku penuhi dengan segera.”

“Nenek yakin, kamu bisa memenuhinya.”

“Kalau aku boleh tahu. Barang berharga yang kumiliki itu seperti apa? Setahuku, aku tidak pernah membawa barang berharga dalam bepergian. Setahuku juga, aku memang tidak memiliki barang berharga, selain pakaian dan uang sakuku sebesar Rp. 350.000 ini.”

“Ada, Cuk. Kamu memiliki barang yang sangat berharga sekali dalam hidup ini. Mungkin saja kamu sudah lupa dengan barang itu. Barang itu dititipkan oleh seseorang yang dekat dalam hidupmu untuk dijaga sebaik mungkin.”

Aku sudah melupakan barang berharga, yang merupakan barang titipan dari seseorang yang begitu dekat dalam hidupku, gumamku beberapa kali, seperti orang linglung atau kebingungan.

Aku menguras komputer memori dalam otakku untuk mengingat barang-barang apa saja yang telah diberikan oleh seseorang yang dekat dalam hidupku.

Orang yang dekat dalam hidupku adalah keluargaku. Pertama ayahku. Setahuku tidak pernah memberiku barang yang berharga. Kedua adalah ibuku. Setahuku juga tidak pernah memberiku barang berharga yang harus kujaga dengan baik. Si datok juga tidak pernah. Kalau si nenek apa lagi. Karena, si nenek meninggal dunia sewaktu aku masih dalam kandungan ibu. Komputer memoriku terus melacak barang tersebut, tetapi tidak pernah teringat. Mengalami jalan impase. Buntu total. Untuk mencari kepastian, aku bertanya serius lagi pada si nenek.

“Nek, kuingat-ingat sampai pening kepala ini, benda itu tidak terlintas dalam benakku. Jadi, supaya aku tahu, nenek kasik tahu aku. Benda itu seperti apaan?”

“Cuk, benda itu berwujud sebuah cincin yang berukiran Allah dan Muhammad yang terselip di jari manismu,” jelasnya.

Aku lalu menoleh ke jari manisku. Betul. Di jari manisku melekat sebuah cincin yang berukiran Allah dan Muhammad. Cincin ini rupanya yang diinginkan nenek itu. Dengan melihat cincin itu. Seketika barulah aku terbayang dalam benak, proses cincin itu sampai melekat di jari manisku. Cincin itu adalah warisan datokku. Ia memberikan cincin itu sewaktu ia ingin menghembuskan nafasnya terakhir. Sebelum meninggal, ia berpesan padaku.

“Ramadan, cincin ini aku wariskan padamu. Jagalah dia baik-baik, seperti kamu menjaga dirimu sendiri. Cincin ini adalah warisan dari nenek moyangmu, yang ia berikan padaku. Lalu aku wariskan cincin ini padamu. Karena, aku melihat kamu bisa menjaga barang ini dengan baik. Selain itu, cincin ini tidak boleh kamu berikan pada orang lain, kecuali keturunanmu. Kalau cincin itu sampai kamu berikan pada orang lain berarti kamu telah melunturkan amanat yang telah datok berikan padamu. Kamu tahukan orang yang mengabaikan amanat orang. Berarti ia adalah orang yang berkhianat. Khianat adalah salah satu ciri orang yang munafik. Jangan sampai hal itu terjadi padamu. Tetapi, kalau keturunanmu tidak bisa menjaganya dengan baik. Kamu boleh memberikannya pada orang yang betul kamu percayai yang dapat menjaga warisan ini dengan baik.”

“Baik tok. Aku akan mengingatnya selalu,” kataku mantap saat itu.

Di hari ini. Setelah lima belas tahun kematian datokku. Ada orang yang menginginkan cincin ini. Perasaan serba salah menghantui rongga dadaku. Di satu pihak aku bisa dikatakan orang tidak berbakti. Di lain pihak, aku dibilang teman tidak setia. Aku harus bisa mengorbankan salah satunya. Anak berbakti atau persahabatan yang nirmala.

“Bagaimana Cuk? Jadi tidak? Cepatlah beri keputusannya. Kalau jadi bilang jadi. Kalau tidak bilang tidak. Supaya nenek bisa menawarkannya pada orang lain.”

Aku berpikir sebentar. Mengkaji baik-buruknya pengambilan keputusan. Akhirnya, aku memutuskannya.

“Baiklah, Nek. Aku jadi membeli barangmu dengan cara menukarkan cincinku ini,” jawabku dengan mantap. Tidak bengkok atau lonjong lagi. Sudah bulat. Aku loloskan cincin yang berukiran Allah dan Muhammad dari jari manisku. Cincinnya kuserahkan pada si nenek. Gantinya, aku diberikan si nenek ukiran rumah sederhana yang terbuat dari tanah liat.

“Terima kasih, Nek.”

“Terima kasih juga, Cuk. Semoga saja kamu selamat dalam perjalanan ini. Semoga saja kamu selalu mendapatkan berkah dari Allah atas kebaikan ini.”

“Alhamdulillah, Nek.”

Setengah berlari-lari aku naiki tangga Kapal Motor Lawit dan memasukinya. Kapal Motor Lawit meninggalkan dermaga Tanjung Perak.

Dalam Kapal Motor Lawit, aku hanya dapat terdiam dengan pikiran bersalah pada datokku. Karena, aku telah mengabaikan amanat yang diberikannya. Bisa jadi, aku dicap cucu yang tidak berbakti atau orang munafik. Hatiku lain membantahnya bahwa yang kulakukan adalah sebuah kebenaran. Berani meletakkan tali persahabatan di atas kepentingan diri sendiri. Aku mengkaji lagi hal ini dengan matang. Aku mulai memantapkannya dengan keyakinan sahih bahwa aku sudah sesuai menempatkan hal itu. Hatiku menjadi lega. Namun, aku sempat berdoa dalam hati semoga datokku dapat mengerti atas tindakan yang kulakukan.

* * *

Aku terperanjat oleh kegaduhan itu. Semua penumpang KM Lawit pada ketakutan. Sepertinya telah terjadi kejadian besar. Aku melihat bibir mereka bergetar mengucapkan asma Allah.

Ada apa lagi? hatiku bertanya-tanya.

“Ton, ada apa?” tanyaku pada Tono. Berada di samping kananku.

“Dan, kamu tidak sadar ya? Kamu tidak merasa bahwa KM Lawit ini bergoyang? Di luar sana hujan bernyanyi riang. Gelombang laut naik sampai sebelas meter. Diduga tidak lama lagi KM Lawit akan terbalik dihantam gelombang laut yang menggila seperti ini. Kita berharap semoga KM Lawit tidak terbalik. Dari itu, marilah kita memanjatkan doa pada Allah, semoga saja KM Lawit tidak terbalik.”

“Oh, begitu rupanya, Ton.”

Aku dan Tono mulai khusuk berdoa pada Allah. Setelah aku merasakan KM Lawit menjadi oleng ke kanan ke kiri. Tidak dinyana KM Lawit menghantam beting. Lalu ditambah hantaman gelombang laut yang tingginya sebelas meter, KM Lawit pecah dan terbalik. Serpihan papannya berserakan. Air muncrat dan menerobos masuk dengan ganasnya. Jeritan pilu berkumandang sungguh gaduhnya. Masing-masing orang berusaha menyelamatkan dirinya. Tak ketinggalan aku dan Tono juga melakukan hal serupa. Tetapi ke mana harus mencari kata selamat. Kalau semua dituju sudah dilingkupi air. Akhirnya, aku hanya memasrahkan diriku pada Allah. Karena, Dialah yang memberikan hidup dan matiku. Sebuah gelombang laut yang besar menghantamku dan Tono. Aku mabuk air. Mataku jadi nanar. Sebab air telah banyak menelusuri jalur pernapasanku. Aku terkulai lemas.

Begitu sadar. Aku heran. Karena aku sudah terbaring di rumah sederhana. Dindingnya terbuat dari tanah liat. Rumahnya begitu luas. Anehnya rumah ini tidak berpenghuni. Aku jadi heran sendiri. Aku coba melihat sekelilingku lewat jendela terbuka. Aku melihat rumah orang lain juga sama bentuknya dengan rumahku. Kala aku asyik melihat rumah orang lain. Pintu depan rumahku diketuk orang. Aku menuju pintu depan dan membukanya.

Hah, aku terkejut. Karena, yang berada di depanku adalah datokku dengan didampingi seorang wanita, yang belum lama kukenal. Dialah, wanita tua yang menjual rumah tanah padaku dengan bayarannya aku menyerahkan cincin pemberian datokku. Sebelum aku tambah bingung. Datokku tersenyum segar dan bersuara.

“Cucuku, inilah rumah peristirahatanmu untuk selama-lamanya. Suka atau tidak suka, kamu harus menempatinya. Datok berterima kasih padamu, karena telah memberikan cincin warisanku pada orang yang tepat. Walau pemberian itu lewat penukaran barang. Itu hanya sekadar ujian untukmu. Alhamdulillah, kamu lulus ujian. Datok ingin memberitahukan padamu bahwa wanita tua yang berada di samping datokmu ini adalah nenekmu.”

“Dia nenekku,” tunjukku pada wanita tua itu.

Si nenek tersenyum memandangku.

“Ya Ramadan, dia adalah nenekmu,” jawab datokku mantap.

Aku tidak dapat berkata-kata. Karena, rasa sesak menjalari rongga dadaku. Kepalaku memberat. Mataku meredup dan mengabur bersama dengusan angin lembut yang menusuk ulu jantungku.*

[dipublikasikan di Fordisastra.com, 1 Januari 2008]

Saifun Arif Kojeh adalah nama pena dari Raden Sarifudin, lahir di Durian Sebatang, Kecamatan Seponti, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat, pada tanggal 8 Desember 1977.  Anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Raden Koman Sahar dan ibunya bernama Utin Jetiah Bujang Saheran menyenangi membaca, menulis, dan berjalan ke tempat-tempat yang unik dan menarik. Dia mengawali pendidikannya di SDN 20 Durian Sebatang yang sekarang berganti nama menjadi SDN 09 Durian Sebatang (1991). Tamat dari SMPN 2 Simpang Hilir sekarang berganti nama menjadi SMPN 1 Seponti (1994), dia melanjutkan sekolahnya di SMAN 2 Pontianak (1997) dan meraih gelar Sarjana Pendidikan di FKIP Universitas Tanjung Pura (Juni, 2001). Pada tahun 2009, dia menikahi seorang gadis asal Balai Berkuak yang bernama Setevani dan dikarunia seorang anak, Ayatul Husna (18 Juni 2010).

Dia senang menulis karya sastra sejak masih Sekolah Menengah Umum sampai sekarang. Karyanya berupa Puisi, Cerpen, Novel Mini, Diari Seorang Penulis, Prosa Kehidupan, Prosa Mimpi, Cerita rakyat, bahkan kini merambah menulis artikel populer di media massa.

Dalam dunia kepenulisan dia mempunyai semboyan: “Suatu coretan kreatif sependek apapun dalam menuangkan impresi atau ekspresi jiwa akan melahirkan keindahan rasa yang terasa bagi orang yang merasa.”

Cerpen dan puisinya disebarluaskan di Jurnal Edukatif, Majalah Selasar, Ketapang Pers, Majalah Umum Tanjungpura Post, Pelita, Bela, Warta Lipan, Barometer, Equator, Borneo Tribune, Kapuas Post, Pontianak Post, Koran Minggu Pagi Yogyakarta, Majalah Taman, cybersastra.net, kampung.8m.net, fordisastra.com, esastera.com, sanggarkiprah.blogspot.com, andyady.multiply.com, dapunta.com, cerpen.net, fiksi.kompasiana.com, blogscope.com, mywritingblogs.com, puitika.net, dan lain-lain.

Puisi dan cerpennya masuk nominasi Hadiah HESCOM 2008 (Malaysia). Cerpennya bertajuk Mutiara dalam Lumpur jadi Juara III dalam penulisan cerpen Islami yang diadakan Forpi-Al Ikhwan (sekarang At-Tarbawi) FKIP Untan. Cerpen “Kempunan memenangkan Hadiah HESCOM 2009 (Malaysia) kategori ACAS (Anugerah Cerpenis Alam Siber, sebesar RM 200).

Puisi dan cerpennya yang dibukukan: Bianglala (Antologi Puisi, 2001),  Tafakur Cinta  (Kumpulan Puisi, 2006),  Kembalinya Tarian Sang Waktu (Kumpulan Cerpen, 2010), Matahari di Nusantara (Antologi Cerpen Mastera, 2010), Sembahyang Puisi. Menerjemahkan Rindu (Kumpulan Puisi, 2010),  Antologi Ketika Penyair Bercinta berupa e-book (2011),  Antologi Kun Payakun Cinta (Puisi Reliji Lintas Negara) berupa e-book (2011), Mata Borneo I; REPUBLIK WARUNG KOPI (Antologi Puisi 8 Penyair Kalbar, 2011),  Anugerah Khatulistiwa (Antologi Puisi, 2011), Deru Awang-Awang (Antologi Puisi, 2012). Selain itu, artikel dan cerita rakyatnya disebarluaskan di Majalah Pelita, Tanjungpura Post, Borneo Tribune, Equator,  dan dapunta.com. Naskah teater yang sudah ditulisnya adalah Siluet Biru, Titik Merah, Monolog Merah Putih, Pentingnya Pendidikan, Putri Dipanah Rembulan, Selembut Kasih Ibu, Kawin atau Pendidikan, dan Kemuliaan Kasih Ibu.

Kalau ingin melihat lebih jelas lagi hasil karya sastra dan tulisannya bisa dilihat di weblognya: msaifunsalakim.blogspot.com dan kemuliaancintasakim.blogspot.com

Kegiatan sastra yang pernah diikutinya adalah Pertemuan Mahasiswa Sastra Tingkat Nasional di Pontianak (1999) dan Yogyakarta (2000), Lokakarya Apresiasi Sastra Daerah di Cipayung, Bandung yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Nasional dengan pembicaranya dari Dinas Pendidikan Nasional dan Sastrawan Horison (Agustus, 2006) dan di Cipayung, Bogor, Jawa Barat (Desember, 2007), serta sebagai Peserta Mastera Cerpen di Bogor (28 Juli – 2 Agustus, 2008).

Penulis adalah anggota IPSKH (Ikatan Pencinta Sastra Kota Hantu), mantan Ketua Sanggar Kiprah FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak (1999-2000). Kini penulis aktif melatih anak didiknya menulis puisi, prosa, cerpen, dan teater. Dia juga menjabat sebagai Ketua SAKENI (SAnggar KEpenulisan dan seNI) dan Kompenkat (Kelompok Penulis Berbakat).

Alumnus SMA Negeri 2 Pontianak dan FKIP Untan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah ini sekarang mengabdikan dirinya sebagai guru di SMA Negeri 1 Simpang Hilir, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat 78853.

Kontak person: SMA Negeri 1 Simpang Hilir, Jalan Pramuka, Teluk Melano, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat, 78853.

Nomor HP: 085252411358 dan emailnya: penyairkayong@gmail.com, penyairtanahkayong@gmail.com, kompenkat@gmail.com, udhiencahayajiwa@gmail.com, dan arifkalabar@yahoo.com.

(lebih…)