• Saifun Arif Kojeh adalah nama pena dari Raden Sarifudin, lahir di Durian Sebatang, Kecamatan Seponti, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat, pada tanggal 8 Desember 1977.  Anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Raden Koman Sahar dan ibunya bernama Utin Jetiah Bujang Saheran menyenangi membaca, menulis, dan berjalan ke tempat-tempat yang unik dan menarik. Dia mengawali pendidikannya di SDN 20 Durian Sebatang yang sekarang berganti nama menjadi SDN 09 Durian Sebatang (1991). Tamat dari SMPN 2 Simpang Hilir sekarang berganti nama menjadi SMPN 1 Seponti (1994), dia melanjutkan sekolahnya di SMAN 2 Pontianak (1997) dan meraih gelar Sarjana Pendidikan di FKIP Universitas Tanjung Pura (Juni, 2001). Pada tahun 2009, dia menikahi seorang gadis asal Balai Berkuak yang bernama Setevani dan dikarunia seorang anak, Ayatul Husna (18 Juni 2010). Dia senang menulis karya sastra sejak masih Sekolah Menengah Umum sampai sekarang. Karyanya berupa Puisi, Cerpen, Novel Mini, Diari Seorang Penulis, Prosa Kehidupan, Prosa Mimpi, Cerita rakyat, bahkan kini merambah menulis artikel populer di media massa.  Dalam dunia kepenulisan dia mempunyai semboyan: “Suatu coretan kreatif sependek apapun dalam menuangkan impresi atau ekspresi jiwa akan melahirkan keindahan rasa yang terasa bagi orang yang merasa.” Cerpen dan puisinya disebarluaskan di Jurnal Edukatif, Majalah Selasar, Ketapang Pers, Majalah Umum Tanjungpura Post, Pelita, Bela, Warta Lipan, Barometer, Equator, Borneo Tribune, Kapuas Post, Pontianak Post, Koran Minggu Pagi Yogyakarta, Majalah Taman, cybersastra.net, kampung.8m.net, fordisastra.com, esastera.com, sanggarkiprah.blogspot.com, andyady.multiply.com, dapunta.com, cerpen.net, fiksi.kompasiana.com, blogscope.com, mywritingblogs.com, puitika.net, dan lain-lain.  Puisi dan cerpennya masuk nominasi Hadiah HESCOM 2008 (Malaysia). Cerpennya bertajuk Mutiara dalam Lumpur jadi Juara III dalam penulisan cerpen Islami yang diadakan Forpi-Al Ikhwan (sekarang At-Tarbawi) FKIP Untan. Cerpen “Kempunan memenangkan Hadiah HESCOM 2009 (Malaysia) kategori ACAS (Anugerah Cerpenis Alam Siber, sebesar RM 200). Puisi dan cerpennya yang dibukukan: Bianglala (Antologi Puisi, 2001),  Tafakur Cinta  (Kumpulan Puisi, 2006),  Kembalinya Tarian Sang Waktu (Kumpulan Cerpen, 2010), Matahari di Nusantara (Antologi Cerpen Mastera, 2010), Sembahyang Puisi. Menerjemahkan Rindu (Kumpulan Puisi, 2010),  Antologi Ketika Penyair Bercinta berupa e-book (2011),  Antologi Kun Payakun Cinta (Puisi Reliji Lintas Negara) berupa e-book (2011), Mata Borneo I; REPUBLIK WARUNG KOPI (Antologi Puisi 8 Penyair Kalbar, 2011),  Anugerah Khatulistiwa (Antologi Puisi, 2011), Deru Awang-Awang (Antologi Puisi, 2012). Selain itu, artikel dan cerita rakyatnya disebarluaskan di Majalah Pelita, Tanjungpura Post, Borneo Tribune, Equator,  dan dapunta.com. Naskah teater yang sudah ditulisnya adalah Siluet Biru, Titik Merah, Monolog Merah Putih, Pentingnya Pendidikan, Putri Dipanah Rembulan, Selembut Kasih Ibu, Kawin atau Pendidikan, dan Kemuliaan Kasih Ibu.

Kalau ingin melihat lebih jelas lagi hasil karya sastra dan tulisannya bisa dilihat di weblognya: msaifunsalakim.blogspot.com dan kemuliaancintasakim.blogspot.com

Kegiatan sastra yang pernah diikutinya adalah Pertemuan Mahasiswa Sastra Tingkat Nasional di Pontianak (1999) dan Yogyakarta (2000), Lokakarya Apresiasi Sastra Daerah di Cipayung, Bandung yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Nasional dengan pembicaranya dari Dinas Pendidikan Nasional dan Sastrawan Horison (Agustus, 2006) dan di Cipayung, Bogor, Jawa Barat (Desember, 2007), serta sebagai Peserta Mastera Cerpen di Bogor (28 Juli – 2 Agustus, 2008).

Penulis adalah anggota IPSKH (Ikatan Pencinta Sastra Kota Hantu), mantan Ketua Sanggar Kiprah FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak (1999-2000). Kini penulis aktif melatih anak didiknya menulis puisi, prosa, cerpen, dan teater. Dia juga menjabat sebagai Ketua SAKENI (SAnggar KEpenulisan dan seNI) dan Kompenkat (Kelompok Penulis Berbakat).

Alumnus SMA Negeri 2 Pontianak dan FKIP Untan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah ini sekarang mengabdikan dirinya sebagai guru di SMA Negeri 1 Simpang Hilir, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat 78853.

Kontak person: SMA Negeri 1 Simpang Hilir, Jalan Pramuka, Teluk Melano, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat, 78853.

Nomor HP: 085252411358 dan emailnya: penyairkayong@gmail.com, penyairtanahkayong@gmail.com, kompenkat@gmail.com, udhiencahayajiwa@gmail.com, dan arifkalabar@yahoo.com.

RUMAH TANAH

:: cerpen Saifun Arif Kojeh

(KALIMANTAN BARAT – INDONESIA)

 Gambar

AKU telusuri kota Yogyakarta yang terkenal dengan kota pelajar. Tempat yang terkenal di kota Yogya adalah Malioboro, aku singgahi.

Aku mencari suatu barang untuk kuhadiahkan pada temanku. Tapi aku belum menemukan barang itu. Padahal di Malioboro sangat lengkap menjual-jual barang dagangan, seperti kaos kaki, gelang manik, kain pantai, baju dagadu, sepatu bermacam merek dari merek kuno sampai merek modern juga ada, gorden, kacamata keren, dompet unik dan masih banyak lagi. Tak satu pun barang di situ yang berkenan di hatiku.

Aku tinggalkan Malioboro menuju Shopping Center. Di sini tak kalah komplitnya dengan Malioboro. Sepanjang jalan bertaburan barang dagangan dari buku tulis, buku pelajaran, buku pengetahuan umum, barang pernik, barang antik, dan lain-lain. Selalu menghiasi jalan itu. Barang yang kubeli tidak kudapatkan juga di tempat ini. Aku sudah letih mencari barang itu. Wujud barang itu belum kudapatkan juga. Si penjual barang merasa sangat bingung. Melihat keganjilanku mengutak-ngatik barang. Namun, aku tidak mengambil barang yang cocok untuk dibeli. Penjual itu mendekatiku. Ia menyapaku dengan ramah tamah.

“Mas, mau mencari barang seperti apaan? Dari tadi aku lihat Mas selalu mengutak-ngatik barang. Tapi, tiada satu pun yang cocok”

“Anu Mas. Bukan begitu. Barang di sini memang bagus-bagus. Tapi, barang yang kucari belum aku temukan. Barang itu adalah barang yang sesuai dengan kemauan hatiku.” Aku mejawabnya dengan lemah lembut.

Bukan berarti aku merendahkan mutu barang di sini. Bukan berarti aku merendahkan bahwa toko swalayan ini tidak komplit. Bukan!!! Memang saat ini, aku belum menemukan barang yang sesuai dengan hatiku. Rencananya barang itu akan kuhadiahkan pada temanku.

“Jadi barang apa yang sesuai dengan hati Mas?” Si penjual bertanya lagi. Ia bersiap mencarikan barang yang kubutuhkan itu.

“Entahlah Mas. Aku juga tak tahu. Seperti apa wujud barang yang aku maksudkan. Yang penting. Kalau hatiku merasa cocok. Seperti apapun barang tersebut akan aku beli. Maaf ya Mas sudah merepotkan.” Aku menjawab dengan serius.

“Tidak apa-apa, Mas,” kata penjual itu pendek. Mungkin ia kesal denganku. Aku tak peduli.

“Permisi, Mas. Terima kasih ya atas pelayanannya,” kataku dengan sopan dan lemah lembut, agar tidak menyakiti hatinya. Karena, aku tidak membeli sebutir barang pun di tokonya. Aku langkahkan kakiku meninggalkan Shopping Center. Sayup-sayup dari kejauhan, aku mendengar gumaman penjual toko itu.

“Aneh. Membeli barang saja tidak tahu dengan wujud barangnya. Manusia aneh. Jangan –jangan pikiran orang itu tidak waras”.

Aku tersenyum saja mendengar gumaman itu. Menurutku, hal yang kulakukan adalah tidak aneh. Wajar-wajar saja. Yang aneh menurutku adalah kita menginginkan barang yang sebenarnya tidak kita inginkan. Hanya sekedar untuk gengsi-gengsian biar dilihat orang lebih mapan atau sejenisnya. Itu yang aneh.

Langkahku sudah mengitari setengah dari kota Yogya. Barang yang aku inginkan tidak kudapatkan. Bagaimana ya? Apakah yang harus aku berikan padanya ya?

* * *

Merenung aku di suatu senja yang gelisah menantikan malam. Sinarnya redup. Seperti sinar pelita yang kehabisan minyak. Senja sebentar lagi merangkak menuju malam. Sayup-sayup lewat desiran angin sejuk, aku mendengar bisikan halus.

“Kamu harus mencari barang yang sesuai dengan hatimu sampai dapat. Jangan sampai temanmu tidak mendapatkan hadiah dari perjalananmu ini.” Bisikan lain menyahuti.

“Ya. Tepat sekali yang dikatakan temanku itu. Kamu harus pulang membawa hadiah untuk teman dekatmu. Masak kamu pulang dengan bertangan hampa. Itu sangat keterlaluan. Tidak setia kawan namanya.”

Aku terdiam sebentar. Aku mencari sumber bisikan. Aku mengitarkan pandanganku ke seluruh arah. Mataku liar menjilati daerah di samping kiri dan kanan serta di depanku untuk memastikan darimana datang sumber bisikan itu. Sumber bisikan itu belum juga aku temukan. Telingaku makin dipertajamkan. Mata makin aku mantapkan untuk memandang sesuatu dengan jelas. Sumber bisikan itu belum juga aku temukan. Aku hanya menemukan dedaunan yang bergoyang dangdut tertiup angin malam. Pohon yang meliuk-liuk kegirangan, karena dielus kelembutan angin malam. Mereka terus saja bersuka ria di depan mataku. Tanah melembut meresapi keindahan alam malam ini. Aku menatap malam sekali lagi. Mungkin saja ia bisa membantu aku menemukan sumber bisikan itu. Tapi ternyata malam hanya membisu. Rupanya ia tidak bisa membantuku.

Sumber bisikan itu terus mendengung di telingaku. Seperti suara tawon yang kembali ke sarangnya. Mataku makin liar menerawang daerah sekitar itu. Sampai aku dapat menduga, kira-kira tempat yang menjadi sumber bisikan itu, yaitu daerah di samping kananku. Langkah kakiku menuju ke sana. Suara bisikan itu semakin jauh. Aku terus mengubernya. Sampai aku berhenti di sebuah pedataran yang luas. Sedikit ditumbuhi rerumputan dan tanaman pakis. Di atas sana. Rembulan menaburkan sinarnya menyapa lembut wajahku. Bulu kudukku merinding. Rasa takut menggerogoti jiwaku. Aku menguatkan hatiku jadi pemberani. Seberani Wiro Sableng dalam membasmi musuh-musuhnya.

Maju tak gentar, harus kumandangkan dalam sanubariku. Aku mencari sumber bisikan itu yang berhenti di daerah ini. Aku tak dapat menemukannya. Aku memutuskan suatu hal, sekian lama tak menemukan bisikan itu untuk pulang saja. Berjalan pulang ini terasa jarak yang aku tempuh sangat jauh.

“Aneh sekali? Bisa sejauh ini.”

Aku juga berpikir tentang bisikan itu.

Mengapa begitu cepat suara bisikan itu sirna? Padahal aku sudah berjalan setengah berlari mengejarnya. Jangan-jangan halusinasi menuntunku. Bisa jadi. Atau jangan-jangan aku mengikuti suara mahluk halus yang suka menggoda insani. Ah, rasanya aku tak boleh berpikiran begitu. Ngeri ah.

Aku langsung mempercepat langkahku agar sampai di peristirahatan. Terengah-engah juga aku sampai di peristirahatan. Ketika kupandang jam dinding yang bergantung di paku. Jam menunjukkan angka dua belas. Aku langsung merebahkan tubuh memeluk mimpi yang kusut masai.

Esoknya aku bersama teman-teman menuju kota Surabaya yang terkenal dengan sebutan kota Pahlawan. Karena, di sinilah beribu-ribu pahlawan muda gugur untuk memperoleh kemerdekaan. Aku menjelajahi kota Surabaya. Tunjungan Plaza aku datangi. Barang yang ingin kubeli yang sesuai dengan hatiku tidak juga kutemukan. Sampai keberangkatan pulang, aku masih belum menemukan barang itu.

Di saat Kapal Motor Lawit ingin bertolak dari dermaga. Ada seorang wanita tua menawarkan barang yang cukup berkesan.

“Cuk, saya ada menjual barang unik. Barang ini sudah saya tawarkan pada orang lain. Tapi, satu orang pun tidak ada berkenan membelinya. Karena, mereka melihat sepintas lalu bahwa barang itu tidak mempunyai arti dan tidak berguna. Padahal, kalau dilihat secara mendalam barang itu sungguh berarti. Mereka yang menilai rendah barang itu termasuk orang yang berpikiran dangkal. Sedangkal otak kerbau. Sebegitulah. Mereka seperti itu termasuk dalam golongan orang yang merugi nantinya di akhirat.” Ia berkata dengan bersemangat. Seperti bersemangat seorang juru kampanye berpidato di muka publik. Ia memberikan petuah padaku. Agar aku tertarik untuk membeli barang yang dijualnya.

Aku berpikir. Boleh juga. Siapa tahu barang yang dijualnya cocok dengan keinginan hatiku. Insya Allah, barang itu akan kuserahkan pada temanku sebagai kado atas perjalananku.

“Barang apaan itu, Nek?” Aku bertanya untuk mengetahuinya.

Sekali lagi kuperhatikan wajah tua itu dengan mimik serius. Ia berpakaian putih kumal dengan penuh tambalan di sana-sini. Rambutnya putih seperti buntalan kapas. Matanya mengandung kekuatan dan kelembutan. Menarik sebuah rasa magnetis hingga lengket. Tidak akan terlepas lagi. Aku dituntutnya agar memiliki rasa simpati dan rasa perikemanusiaan pada sesama, terutama pada dirinya. Sepertinya ia sebuah kutub magnetis yang menarik serbuk besiku hingga melekat.

Wajahnya penuh guratan kesengsaraan. Tetapi dibalik kesengsaraan itu terpancar sebuah wajah tegarnya dalam menjalani kehidupan ini yang penuh dengan kerikil tajam yang terhempas dan terbuang. Ketegarannya seperti batu karang di dasar samudera. Tidak akan goyah diterpa lindu, amukan gelombang tsunami, dan badai prahara yang menggila. Itu terlihat lewat pancaran matanya yang berwibawa. Mengingatkanku pada ibuku yang begitu lembut mengasihi dan menyayangiku. Pandangan matanya nyaris mirip dengan pandangan mata wajah tua yang berada di hadapanku ini.

“Barangnya Cuk adalah sebuah barang kerajinan tangan yang punya nilai seni tinggi. Ini barangnya Cuk,” katanya bersemangat.

Ia menunjukkan padaku sebuah ukiran kerajinan tangan berbentuk rumah sederhana yang terbuat dari tanah liat sejenis lempung. Sungguh lugu dan bermutu barang ini. Sungguh unik dan terkesan eksotis. Fantastik. Spektakuler. Aku langsung tertarik untuk membeli barangnya.

“Wow fantastis! Sungguh indah barang ini.” Aku memuji keindahan barang itu.

Rupanya inilah barang yang berkenan dalam hatiku. Barang yang sederhana tetapi memiliki mutu seni tinggi. Sebuah ukiran rumah yang terbuat dari tanah liat.

“Nek, aku tertarik dengan barang yang nenek tawarkan. Berapa harganya Nek? Aku berani bayar kontan,” kataku serius.

Mendengarkan perkataanku yang tertarik dengan barangnya, si nenek jadi terlonjak kegirangan. Ia menari-nari dengan lincahnya. Liukan tubuhnya seperti ular piton mengeluti ranting pohon dengan indahnya. Ia tak peduli orang banyak memperhatikannya. Walaupun orang tertawa melihat kelucuannya. Si nenek tidak peduli. Terpenting hatinya senang saat ini.

Puas menumpahkan keceriannya. Ia tersenyum. Wajahnya berseri-seri. Sepertinya ia memperoleh kehidupan yang baru. Kesedihan yang tergurat di wajahnya sedikit menghilang dibauri oleh keceriannya.

“Berapa Cucu berani bayar atas barangku?” Ia balik bertanya.

“Karena uangku hanya tinggal Rp. 350.000. Jadi aku hanya berani bayar Rp. 300.000 dan Rp. 50.000 lagi untuk ongkos perjalanan pulangku, Nek. Apakah nenek setuju dengan tawaranku?”

“Itu terlalu murah Cuk. Kalau aku minta semua uangmu, apakah kamu tidak keberatan memberikannya?”

Aku terdiam. Berpikir sejenak.

Kalau semua uang ini kuberikan padanya. Berarti dalam perjalanan pulang ini, yang memerlukan waktu dua hari dua malam akan kulewati dengan tidak makan apa-apa. Berarti aku dituntut untuk berpuasa. Tidak mengapa. Terpenting aku harus mendapatkan barang tersebut yang sudah sesuai dengan keinginan hatiku. Rencananya barang itulah yang akan kuberikan pada temanku di kampung.

Di saat aku masih berpikir. Temanku yang di dalam Kapal Motor Lawit memanggilku.

“Dan, apa yang kamu tunggu di situ. Cepetan naik. Sebentar lagi Kapal Motor Lawit akan bertolak meninggalkan pelabuhan Surabaya.”

“Ya. Aku tahu. Tunggu sebentar,” sahutku.

Setelah menyahuti ucapan temanku. Aku beralih menatap si nenek. Ia tersenyum segar padaku. Senyumnya memberikan air penyejuk pada hatiku untuk berbuat rela dan ikhlas dalam mennyerahkan semua uang padanya demi sebuah persahabatan. Karena, barang yang akan kubeli dari si nenek adalah sebuah buah tangan untuk teman setiaku. Seakan si nenek juga mengajariku bahwa materi masih dapat dicari, tetapi kehilangan persahabatan membuat kita menjadi orang yang rugi. Seakan si nenek juga mengingatkanku untuk berpuasa. Mendekatkan diri pada Alla SWT. Karena, puasa itu berguna untuk meredam gejolak nafsu duniawi dan lahiriah. Puasa juga membentuk kita supaya menjadi orang yang sabar. Aku memutuskan menerima tawarannya.

“Oke, Nek. Aku terima permintaan nenek dengan tulus ikhlas.”

“Alhamdulillah Cuk. Kamu menerimanya. Berarti kamu lulus ujian untuk mendapatkan barangku. Aku tahu Cuk, kamu memang orang yang baik. Sebenarnya, aku hanya mengujimu dengan minta seluruh uangmu. Sebenarnya untuk pembayaran barangku ini, aku hanya meminta barang berharga yang kamu miliki. Bagaimana? Apakah kamu setuju?”

Sungguh aneh permintaan nenek ini. Sebentar ia minta seluruh uangku. Kini, ia minta barang berharga yang aku miliki. Barang berharga mana yang ia inginkan. Setahuku. Aku tidak pernah membawa barang berharga, selain barang berhargaku yang berada di bawah. Gila amat, kalau hal itu yang ia minta. Tapi, kalau kupikir tidak mungkin ia menginginkan barang keramatku ini. Pasti ada barang berharga yang lain, ia inginkan dariku. Barang berharga yang tidak kuketahui bahwa barang itu sangat berharga.

“Oke, Nek. Kalau aku bisa memenuhinya. Insya Allah akan aku penuhi dengan segera.”

“Nenek yakin, kamu bisa memenuhinya.”

“Kalau aku boleh tahu. Barang berharga yang kumiliki itu seperti apa? Setahuku, aku tidak pernah membawa barang berharga dalam bepergian. Setahuku juga, aku memang tidak memiliki barang berharga, selain pakaian dan uang sakuku sebesar Rp. 350.000 ini.”

“Ada, Cuk. Kamu memiliki barang yang sangat berharga sekali dalam hidup ini. Mungkin saja kamu sudah lupa dengan barang itu. Barang itu dititipkan oleh seseorang yang dekat dalam hidupmu untuk dijaga sebaik mungkin.”

Aku sudah melupakan barang berharga, yang merupakan barang titipan dari seseorang yang begitu dekat dalam hidupku, gumamku beberapa kali, seperti orang linglung atau kebingungan.

Aku menguras komputer memori dalam otakku untuk mengingat barang-barang apa saja yang telah diberikan oleh seseorang yang dekat dalam hidupku.

Orang yang dekat dalam hidupku adalah keluargaku. Pertama ayahku. Setahuku tidak pernah memberiku barang yang berharga. Kedua adalah ibuku. Setahuku juga tidak pernah memberiku barang berharga yang harus kujaga dengan baik. Si datok juga tidak pernah. Kalau si nenek apa lagi. Karena, si nenek meninggal dunia sewaktu aku masih dalam kandungan ibu. Komputer memoriku terus melacak barang tersebut, tetapi tidak pernah teringat. Mengalami jalan impase. Buntu total. Untuk mencari kepastian, aku bertanya serius lagi pada si nenek.

“Nek, kuingat-ingat sampai pening kepala ini, benda itu tidak terlintas dalam benakku. Jadi, supaya aku tahu, nenek kasik tahu aku. Benda itu seperti apaan?”

“Cuk, benda itu berwujud sebuah cincin yang berukiran Allah dan Muhammad yang terselip di jari manismu,” jelasnya.

Aku lalu menoleh ke jari manisku. Betul. Di jari manisku melekat sebuah cincin yang berukiran Allah dan Muhammad. Cincin ini rupanya yang diinginkan nenek itu. Dengan melihat cincin itu. Seketika barulah aku terbayang dalam benak, proses cincin itu sampai melekat di jari manisku. Cincin itu adalah warisan datokku. Ia memberikan cincin itu sewaktu ia ingin menghembuskan nafasnya terakhir. Sebelum meninggal, ia berpesan padaku.

“Ramadan, cincin ini aku wariskan padamu. Jagalah dia baik-baik, seperti kamu menjaga dirimu sendiri. Cincin ini adalah warisan dari nenek moyangmu, yang ia berikan padaku. Lalu aku wariskan cincin ini padamu. Karena, aku melihat kamu bisa menjaga barang ini dengan baik. Selain itu, cincin ini tidak boleh kamu berikan pada orang lain, kecuali keturunanmu. Kalau cincin itu sampai kamu berikan pada orang lain berarti kamu telah melunturkan amanat yang telah datok berikan padamu. Kamu tahukan orang yang mengabaikan amanat orang. Berarti ia adalah orang yang berkhianat. Khianat adalah salah satu ciri orang yang munafik. Jangan sampai hal itu terjadi padamu. Tetapi, kalau keturunanmu tidak bisa menjaganya dengan baik. Kamu boleh memberikannya pada orang yang betul kamu percayai yang dapat menjaga warisan ini dengan baik.”

“Baik tok. Aku akan mengingatnya selalu,” kataku mantap saat itu.

Di hari ini. Setelah lima belas tahun kematian datokku. Ada orang yang menginginkan cincin ini. Perasaan serba salah menghantui rongga dadaku. Di satu pihak aku bisa dikatakan orang tidak berbakti. Di lain pihak, aku dibilang teman tidak setia. Aku harus bisa mengorbankan salah satunya. Anak berbakti atau persahabatan yang nirmala.

“Bagaimana Cuk? Jadi tidak? Cepatlah beri keputusannya. Kalau jadi bilang jadi. Kalau tidak bilang tidak. Supaya nenek bisa menawarkannya pada orang lain.”

Aku berpikir sebentar. Mengkaji baik-buruknya pengambilan keputusan. Akhirnya, aku memutuskannya.

“Baiklah, Nek. Aku jadi membeli barangmu dengan cara menukarkan cincinku ini,” jawabku dengan mantap. Tidak bengkok atau lonjong lagi. Sudah bulat. Aku loloskan cincin yang berukiran Allah dan Muhammad dari jari manisku. Cincinnya kuserahkan pada si nenek. Gantinya, aku diberikan si nenek ukiran rumah sederhana yang terbuat dari tanah liat.

“Terima kasih, Nek.”

“Terima kasih juga, Cuk. Semoga saja kamu selamat dalam perjalanan ini. Semoga saja kamu selalu mendapatkan berkah dari Allah atas kebaikan ini.”

“Alhamdulillah, Nek.”

Setengah berlari-lari aku naiki tangga Kapal Motor Lawit dan memasukinya. Kapal Motor Lawit meninggalkan dermaga Tanjung Perak.

Dalam Kapal Motor Lawit, aku hanya dapat terdiam dengan pikiran bersalah pada datokku. Karena, aku telah mengabaikan amanat yang diberikannya. Bisa jadi, aku dicap cucu yang tidak berbakti atau orang munafik. Hatiku lain membantahnya bahwa yang kulakukan adalah sebuah kebenaran. Berani meletakkan tali persahabatan di atas kepentingan diri sendiri. Aku mengkaji lagi hal ini dengan matang. Aku mulai memantapkannya dengan keyakinan sahih bahwa aku sudah sesuai menempatkan hal itu. Hatiku menjadi lega. Namun, aku sempat berdoa dalam hati semoga datokku dapat mengerti atas tindakan yang kulakukan.

* * *

Aku terperanjat oleh kegaduhan itu. Semua penumpang KM Lawit pada ketakutan. Sepertinya telah terjadi kejadian besar. Aku melihat bibir mereka bergetar mengucapkan asma Allah.

Ada apa lagi? hatiku bertanya-tanya.

“Ton, ada apa?” tanyaku pada Tono. Berada di samping kananku.

“Dan, kamu tidak sadar ya? Kamu tidak merasa bahwa KM Lawit ini bergoyang? Di luar sana hujan bernyanyi riang. Gelombang laut naik sampai sebelas meter. Diduga tidak lama lagi KM Lawit akan terbalik dihantam gelombang laut yang menggila seperti ini. Kita berharap semoga KM Lawit tidak terbalik. Dari itu, marilah kita memanjatkan doa pada Allah, semoga saja KM Lawit tidak terbalik.”

“Oh, begitu rupanya, Ton.”

Aku dan Tono mulai khusuk berdoa pada Allah. Setelah aku merasakan KM Lawit menjadi oleng ke kanan ke kiri. Tidak dinyana KM Lawit menghantam beting. Lalu ditambah hantaman gelombang laut yang tingginya sebelas meter, KM Lawit pecah dan terbalik. Serpihan papannya berserakan. Air muncrat dan menerobos masuk dengan ganasnya. Jeritan pilu berkumandang sungguh gaduhnya. Masing-masing orang berusaha menyelamatkan dirinya. Tak ketinggalan aku dan Tono juga melakukan hal serupa. Tetapi ke mana harus mencari kata selamat. Kalau semua dituju sudah dilingkupi air. Akhirnya, aku hanya memasrahkan diriku pada Allah. Karena, Dialah yang memberikan hidup dan matiku. Sebuah gelombang laut yang besar menghantamku dan Tono. Aku mabuk air. Mataku jadi nanar. Sebab air telah banyak menelusuri jalur pernapasanku. Aku terkulai lemas.

Begitu sadar. Aku heran. Karena aku sudah terbaring di rumah sederhana. Dindingnya terbuat dari tanah liat. Rumahnya begitu luas. Anehnya rumah ini tidak berpenghuni. Aku jadi heran sendiri. Aku coba melihat sekelilingku lewat jendela terbuka. Aku melihat rumah orang lain juga sama bentuknya dengan rumahku. Kala aku asyik melihat rumah orang lain. Pintu depan rumahku diketuk orang. Aku menuju pintu depan dan membukanya.

Hah, aku terkejut. Karena, yang berada di depanku adalah datokku dengan didampingi seorang wanita, yang belum lama kukenal. Dialah, wanita tua yang menjual rumah tanah padaku dengan bayarannya aku menyerahkan cincin pemberian datokku. Sebelum aku tambah bingung. Datokku tersenyum segar dan bersuara.

“Cucuku, inilah rumah peristirahatanmu untuk selama-lamanya. Suka atau tidak suka, kamu harus menempatinya. Datok berterima kasih padamu, karena telah memberikan cincin warisanku pada orang yang tepat. Walau pemberian itu lewat penukaran barang. Itu hanya sekadar ujian untukmu. Alhamdulillah, kamu lulus ujian. Datok ingin memberitahukan padamu bahwa wanita tua yang berada di samping datokmu ini adalah nenekmu.”

“Dia nenekku,” tunjukku pada wanita tua itu.

Si nenek tersenyum memandangku.

“Ya Ramadan, dia adalah nenekmu,” jawab datokku mantap.

Aku tidak dapat berkata-kata. Karena, rasa sesak menjalari rongga dadaku. Kepalaku memberat. Mataku meredup dan mengabur bersama dengusan angin lembut yang menusuk ulu jantungku.*

[dipublikasikan di Fordisastra.com, 1 Januari 2008]

Saifun Arif Kojeh adalah nama pena dari Raden Sarifudin, lahir di Durian Sebatang, Kecamatan Seponti, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat, pada tanggal 8 Desember 1977.  Anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Raden Koman Sahar dan ibunya bernama Utin Jetiah Bujang Saheran menyenangi membaca, menulis, dan berjalan ke tempat-tempat yang unik dan menarik. Dia mengawali pendidikannya di SDN 20 Durian Sebatang yang sekarang berganti nama menjadi SDN 09 Durian Sebatang (1991). Tamat dari SMPN 2 Simpang Hilir sekarang berganti nama menjadi SMPN 1 Seponti (1994), dia melanjutkan sekolahnya di SMAN 2 Pontianak (1997) dan meraih gelar Sarjana Pendidikan di FKIP Universitas Tanjung Pura (Juni, 2001). Pada tahun 2009, dia menikahi seorang gadis asal Balai Berkuak yang bernama Setevani dan dikarunia seorang anak, Ayatul Husna (18 Juni 2010).

Dia senang menulis karya sastra sejak masih Sekolah Menengah Umum sampai sekarang. Karyanya berupa Puisi, Cerpen, Novel Mini, Diari Seorang Penulis, Prosa Kehidupan, Prosa Mimpi, Cerita rakyat, bahkan kini merambah menulis artikel populer di media massa.

Dalam dunia kepenulisan dia mempunyai semboyan: “Suatu coretan kreatif sependek apapun dalam menuangkan impresi atau ekspresi jiwa akan melahirkan keindahan rasa yang terasa bagi orang yang merasa.”

Cerpen dan puisinya disebarluaskan di Jurnal Edukatif, Majalah Selasar, Ketapang Pers, Majalah Umum Tanjungpura Post, Pelita, Bela, Warta Lipan, Barometer, Equator, Borneo Tribune, Kapuas Post, Pontianak Post, Koran Minggu Pagi Yogyakarta, Majalah Taman, cybersastra.net, kampung.8m.net, fordisastra.com, esastera.com, sanggarkiprah.blogspot.com, andyady.multiply.com, dapunta.com, cerpen.net, fiksi.kompasiana.com, blogscope.com, mywritingblogs.com, puitika.net, dan lain-lain.

Puisi dan cerpennya masuk nominasi Hadiah HESCOM 2008 (Malaysia). Cerpennya bertajuk Mutiara dalam Lumpur jadi Juara III dalam penulisan cerpen Islami yang diadakan Forpi-Al Ikhwan (sekarang At-Tarbawi) FKIP Untan. Cerpen “Kempunan memenangkan Hadiah HESCOM 2009 (Malaysia) kategori ACAS (Anugerah Cerpenis Alam Siber, sebesar RM 200).

Puisi dan cerpennya yang dibukukan: Bianglala (Antologi Puisi, 2001),  Tafakur Cinta  (Kumpulan Puisi, 2006),  Kembalinya Tarian Sang Waktu (Kumpulan Cerpen, 2010), Matahari di Nusantara (Antologi Cerpen Mastera, 2010), Sembahyang Puisi. Menerjemahkan Rindu (Kumpulan Puisi, 2010),  Antologi Ketika Penyair Bercinta berupa e-book (2011),  Antologi Kun Payakun Cinta (Puisi Reliji Lintas Negara) berupa e-book (2011), Mata Borneo I; REPUBLIK WARUNG KOPI (Antologi Puisi 8 Penyair Kalbar, 2011),  Anugerah Khatulistiwa (Antologi Puisi, 2011), Deru Awang-Awang (Antologi Puisi, 2012). Selain itu, artikel dan cerita rakyatnya disebarluaskan di Majalah Pelita, Tanjungpura Post, Borneo Tribune, Equator,  dan dapunta.com. Naskah teater yang sudah ditulisnya adalah Siluet Biru, Titik Merah, Monolog Merah Putih, Pentingnya Pendidikan, Putri Dipanah Rembulan, Selembut Kasih Ibu, Kawin atau Pendidikan, dan Kemuliaan Kasih Ibu.

Kalau ingin melihat lebih jelas lagi hasil karya sastra dan tulisannya bisa dilihat di weblognya: msaifunsalakim.blogspot.com dan kemuliaancintasakim.blogspot.com

Kegiatan sastra yang pernah diikutinya adalah Pertemuan Mahasiswa Sastra Tingkat Nasional di Pontianak (1999) dan Yogyakarta (2000), Lokakarya Apresiasi Sastra Daerah di Cipayung, Bandung yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Nasional dengan pembicaranya dari Dinas Pendidikan Nasional dan Sastrawan Horison (Agustus, 2006) dan di Cipayung, Bogor, Jawa Barat (Desember, 2007), serta sebagai Peserta Mastera Cerpen di Bogor (28 Juli – 2 Agustus, 2008).

Penulis adalah anggota IPSKH (Ikatan Pencinta Sastra Kota Hantu), mantan Ketua Sanggar Kiprah FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak (1999-2000). Kini penulis aktif melatih anak didiknya menulis puisi, prosa, cerpen, dan teater. Dia juga menjabat sebagai Ketua SAKENI (SAnggar KEpenulisan dan seNI) dan Kompenkat (Kelompok Penulis Berbakat).

Alumnus SMA Negeri 2 Pontianak dan FKIP Untan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah ini sekarang mengabdikan dirinya sebagai guru di SMA Negeri 1 Simpang Hilir, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat 78853.

Kontak person: SMA Negeri 1 Simpang Hilir, Jalan Pramuka, Teluk Melano, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat, 78853.

Nomor HP: 085252411358 dan emailnya: penyairkayong@gmail.com, penyairtanahkayong@gmail.com, kompenkat@gmail.com, udhiencahayajiwa@gmail.com, dan arifkalabar@yahoo.com.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s