Kony Fahran

Tamasya Batin

 :: KONY FAHRAN

(INDONESIA – Kalimantan Timur)

Gambar

SEHARI, sepekan, sebulan berlalu bukannya menambah usia, tetapi terus berkurang. Pengurangan itu siapa pun tak mampu melawan. Waktu kian hari kian terbungkuk.

Begitu juga dengan Gandrik. Sejak usia berkepala empat, Gandrik yang memiliki sapaan Juragan kerap bermenung diri. Seperti  malam itu dia termenung di bawah pohon jambu halaman rumah. Di tangannya menimang-nimang sebilah pisau tajam. Bentuk pisau itu menyerupai pisau pemotong daging yang kerap dipakai para penjual daging di pasar rakyat. Tubuh pisau mengkilap.

Di perjalanan malam, arloji melingkar di pergelangan tangan Gadrik menunjukkan pukul 23.00. Sepi di sekeliling. Sepi yang membawa keberbenungan Gandrik kian dalam. Di sekeliling hanya suara hewan malam terdengar. Jengkrek bersenandung dengan bahasanya. Belalang meningkahi. Seolah bersahutan dalam zikir. Angin turut membewa kelana Gandrik. Kelena dalam rangkaian tamasya jiwa seorang Gandrik sang juragan besar.

Angin malam berhembus pelan. Dingin.

Pisau ditimang-timang Gandrik, kini erat dalam genggaman tangan kanan. Lelaki itu mendengus setelah menghela napas berkali-kali. Meludah ke sembarang arah.

Setelah sekian lama bermenung,  ibu jari tangan kiri ia tempel di batang pohon jambu. Ibu jari itu ia sayat dengan pisau. Seketika ibu jari putus. Darah mengucur. Gandrik tanpa meringis sedikit pun membalut luka dengan sobekan kain yang sedari tadi ia siapkan.

***

SETELAH itu. Gandrik masih saja suka bermenung diri di tempat sama. Di bawah pohon tergeletak setumpuk paku dan sebuah palu. Kedua benda itu dingin membisu.

Di usia berkepala empat lelaki itu seperti diburu penyesalan teramat dalam atas kezaliman diri yang merenggut pencerahan dan semata hanya ditutupi oleh jerami-jerami nista. Dinding-dinding penyesalan itu,  menampakkan banyak tulisan sesal. Bahkan uraian sesal itu seolah memenuhi seluruh dinding dalam pikiran Gandrik.

“Jemari tangan ini…,” keluh Gandrik. “Sudah terlalu banyak, bahkan sangat banyak meraup keburukan dunia,” usai berkata dengan nada menghujat seperti itu, Gandrik kembali menempelkan telapak tangan kiri dan membacokkan pisau yang sama sekuatnya ke telapak tangan.  Seketika telapak tangan  putus.  Tentu saja darah mengucur.

Dinding-dinding penyesalan itu melebar menyisakan ruang yang belum bertuliskan sesal. Ketika pikiran Gandrik menyerbu sisi ruang di dinding yang kosong. Dalam sekejap, sisi kosong itu terisi tulisan ribuan sesal yang baru. Kepingan-kepingannya seperti emping belinjo berjamur. Sesal itu berjamur, berkarat menempel di mana-mana. Gandrik bergidik. Tamasya jiwa itu hendak menyudahi tamasyanya. Namun tangan menahan.

“Tangan ini terlalu banyak memikul dosa,” hujat Gandrik kemudian.

Sisa tangan yang sudah tidak bertelapak itu ia tempelkan di batang pohon jambu. beberepa detik tangan dibiarkan menempel di situ. Selanjutnya tangan  dia tebas lagi hingga sebatas siku. Sekali tebas, lengan putus. Menggelinding ke bawah pohon jambu berdaun rindang yang tinggi pohonnya melebihi atap rumah. Pohon jambu air itu di tanam Gandrik di sisi halaman kanan rumahnya ketika dia berusia 20 tahun. Setiap tahun berbuah.

Dinding penyesalan kembali melebar. Ada lagi sisi ruang kosong. Kekosongan itu membuka diri. Penuh dan memampangkan terbuka. Sunyi di sekeliling. Tamasya jiwa lelaki itu melangkah. Kaki Gandrik terasa berat. Dia sepertinya dihadapkan pada kelelahan.

“Kaki…!”

“Kaki ini terlalu sering melangkah dalam kekeliruan. Beban dosanya terlalu berat hingga tak kuat menyangga berat tubuh,” lelaki itu menghujat kepada kedua kaki.

“Kaki yang gemar menginjak lembah-lembah dosa!”

Ada semacam bisikan di tengah perjalanan tamasya batin Gandrik. Bisikan itu memberi perintah agar lelaki itu  melunjurkan kedua kaki. Setelah melucuti celana panjang. Kemauan bisikan itu dia turuti. Setelahnya. Kedua kaki itu pun ia tebas. Masing-masing kaki putus jadi tiga bagian. tebasan pertama sebatas mata kaki, tebasan kedua sebatas dengkol dan ketiga sebatas pangkal paha. Tamasya jiwa itu berdarah-darah.

Kini pria dengan usia kepala empat itu tidak berkaki dan tidak bertangan kiri.

Lelaki berdarah-darah itu melucuti semua pakaian. Telanjang sepenuhnya. Sukmanya pun ia telanjangi dalam pelototan purnama dan belai angin. Suara jengkrek dan belalang saling tingkah. Di kejauhan, lolong anjing memanjang seolah memandu tamasya seperitual Gandrik.

Di sekeliling sunyi. Malam terus merambat. Purnama tepat di ubun-ubun. Dalam terang bulan, pandangan lelaki itu hinggap pada kemaluan yang sudah tertelanjangi.

“Kemaluan tak tahu diri tak tahu malu,” hujat lelaki itu.

“Birahi sangat gampang menundukkan kemaluan.”

“Kemaluan  selalu menurutkan hawa nafsu!”

“Jinah tak terkendali!”

“Dosa berlipat-lipat telah melumuri kemaluan!”

“Tebas…!”

Gandrik secara spotanitas kenempelkan batang kemaluan di atas batu. Kemudian tanpa ragu menebas benda yang terdiri dari tulang rawan  berdaging yang bisa mengendur dan bisa mengencang. Kejantanan Gandrik itu pun putus. Dia melempar benda putus itu ke sembarang arah. Kebetulan jatuhnya di hadapan anjing yang berkeliaran malam. Tapi aneh, setelah membaui sesaat, anjing itu tidak menerkam batang kemaluan yang berdarah dengan taring giginya. Malah anjing lari terbirit-birit tanpa suara. Anjing hilang ditelan malam.

Tamasya jiwa itu terasa meliar. Lebih liar dari anjing liar.

Sunyi di sekeliling kian menebal. Bahkan di tengah malam itu angin seolah enggan berhembus. Purnama beringsut ke balik awan. Suara jengkrek dan belalang di balik rimbun perdu mengendur. Tingkah suaranya bagai rintihan.

Dinding-dinding penyesalan melebar menyisakan sudut kosong. Entah kekuatan apa  yang membuat sudut kosong itu menghadirkan warna dalam gelap. Warna itu didominasi merah darah. Tapi jelas, lelaki berdarah itu mampu mengeja aksara yang tercantum di sela-sela warna tersebut. Aksara itu menghadirkan kata: lidah.

Lidah yang sedari tadi menghadirkan terjemahan-terjemahan sesal tak berkesudahan.

“Ya, lidah.”

“Kenapa dengan lidah? Ada apa pada lidah? Adakah lidah pernah berhenti mengucap penilaian-penilaian di sepanjang perjalanan tamasya jiwa saat ini? Lidah…”

“Lapalan lidah selalu mengarah pada keburukan.”

“Uraian-uraian fitnah banyak dilapalkan lidah. Lidah  sangat akrab dengan dosa. Dosa pengucapannya menempel tak terhapus.”

“Julurkan lidah!”

Gandrik menjulurkan lidah semampunya. Dengan cekatan, lidah terjulur itu ia pakukan pada batang pohon jambu. Setelah terpaku kuat, ia menarik lidah dengan memundurkan kepala.  Lidah terpaku sedikit memanjang. Setelah itu ia sayat lidah dengan mata pisau. Hanya butuh waktu beberepa detik, lidah yang sering berucap itu putus. Darah segar langsung muncrat dari mulut Gandrik yang kerap kali dilewati minuman memabukkan dan makanan-makanan yang sumbernya dari ketakpedulian soal haram.

Setelah lidah putus. Sedikit pun lelaki itu tidak merintih atau mengaduh.

Malam itu, dalam tamasya jiwa Gandrik membawa tubuh terguling. Tubuh yang sedikit agak tambun itu terjerembab ke tanah. Diam dan bisu.

Dalam posisis telentang, Gandrik memandang bulan yang kembali menyembul dari balik awan. Setelah puas memandangi purnama penuh, lelaki itu memejamkan mata sesaat. Tamasya jiwa itu pun menggandeng batin. Batin pula menghadirkan terjemahan ke mata.

“Mata,” desis lelaki itu.

“Ada apa dengan mata?”

“Kedua biji mata amat sering menyaksikan hamburan-hamburan aurat…”

Belum lagi selesai kalimat itu. Gandrik mengambil paku menusukkan paku ke bola mata dan secepatnya memalu paku-paku itu hingga melesat ke dalam kedua biji mata.

Darah sudah begitu banyak keluar dari tubuh Gandrik. Luka-luka di tubuh itu seolah menjadi rambu penunjuk jalan tamasya jiwa dan batin.

Purnama di langit meredup tertutup awan hitam. Gandrik merasa dirinya sudah menumpas habis napsu-napsu yang ada di tubuh.

Dalam kebutaannya itu, dia teringat dengan kening yang jarang sekali menunduk. Lebih-lebih sujud. Ingat itu, Gandrik menancapkan mata pisau tepat di kening. Hampir setengah mata pisau amblas menembus sampai ke temperung kepala.

Lelaki itu bangkit dari sujud terakhirnya disepertigamalam. Ia usapkan kedua telapak tangan ke wajah. Pikiran yang mengembara dalam tamasya jiwa dan batin tadi ia kembalikan se-utuhnya. Sesempurna-purnanya menyusupkan irama satir bagi segenap sendi-sendi yang ada di tubuh.

Ada suara tangis di kamar sebelah. Suara tangis putra terkecilnya. Ada suara istrinya yang mencoba membujuk si kecil. Kesadaran Gandrik kembali penuh setelah jiwanya terbawa ke alam tamasya batin dalam gandengan yang maha putih berbalutkan pencerahan.

Jiwa pun menyelusup dalam alam sadar. Gandrik kembali ke dunia fakta.**

Samarinda-Banjarmasin Ok,2010.

======================================

KONY FAHRAN, kelahiran Banjarmasin – Kalsel kini bermukim di Kaltim mulai gemar menulis sejak 1984. Tulisan cerber, cerpen dan puisi di tahun 80-an hingga 90-an kerap dimuat di Suara Pembaruan, Sinar Pagi, Majalah Gadis, Majalah Putri Indonesia,Panjimas dan lainnya. Kini  aktif memperkuat B Magazine, sebuah majalah berita mingguan terbit di Kaltim, berkantor pusat di Jalan Kadrie Oening No 71 RT 32 Air Putih – Samarinda. HP dapat dihubungi, 081350554796.

=======================================

Gambar

Aminah Sjoekoer di Kapal Nederland

:: akhmad zailani
(INDONESIA)
AKU membisu di buritan kapal.  Mataku yang biru memandang letih ke muara Mahakam. Kapal  melewati bekas lokasi peristiwa perampasan kapal Belgia “De Charles” saat panglima perang Awang Long bersama pasukan kerajaan Koetai mengejar sisa pasukan Inggris di bawah pimpinan James Erkine Murray tahun 1844 lalu.
Kapal bergerak pelan, menuju laut lepas. Makin menjauh meninggalkan muara Mahakam. Dengus mesin kapal nederland itu seperti musik pesta dansa bangsawan semalam. Borneo-Amsterdam memang bukanlah jarak yang dekat. Setelah meninggalkan Borneo, kapal yang juga membawa lada, karet, rotan, tengkawang ini akan mampir ke sejumlah pelabuhan, termasuk pelabuhan Sunda Kelapa di Batavia. Tiba di Batavia, aku akan istirahat beberapa hari di Hotel der Nederlanden di Rijswijk  tempat aku menginap sebelum ke 0ast Borneo.
Sebenarnya, aku belum ingin meninggalkan kampung di pinggiran Mahakam yang termasuk dalam wilayah Kerajaan Koetai. Masyarakat menyebutnya kampung Samarinda. Masih banyak yang perlu ingin aku ketahui. Terutama tentang seorang gadis indo-nederland.
Kedatanganku yang pertama 5 tahun yang lalu. Di tahun 1923 bertepatan dengan pendirian Holands Inlandche School (HIS), sekolah swasta yang pertama di Samarinda. Hanya sempat menetap 1 bulan 4 hari, aku balik lagi ke Batavia.
Di awal tahun 1928, aku ke Samarinda untuk yang kedua kalinya. Residen J. De Haan, yang baru saja menggantikan C.J Van Kempen sebagai residen di Banjarmasin yang mengajakku. Aku masih bertahan di Samarinda ketika residen De Han kembali ke Banjarmasin, wilayah di selatan Borneo yang direncanakan bakal menjadi ibukota provinsi Borneo.
Aku sudah lebih dari 2 bulan di Samarinda. Alasan utamaku bertahan karena ada seorang wanita keturanan Indo Nederland yang menarik perhatianku. Sayangnya, koran Zandvoor tempatku bekerja sebagai pembantu wartawan meminta kembali ke Nederland. Apalagi kalau bukan untuk membantu liputan olimpiade musim panas ke 9 di Amsterdam-Nederland tahun 1928 ini. Padahal di tahun  ini juga,  insting wartawanku sudah mencium adanya rencana penting tentang pertemuan besar para pemuda dari berbagai wilayah Hindia Belanda di Batavia.
Oast Borneo sudah hilang dari pandanganku. Aku masih berdiri di buritan kapal. Burung-burung terbang rendah. Melayang rendah sekali. Mencium air laut lalu terbang tinggi. Menjauh.
“Kenapa kau diam?” tanyaku kepada wanita Indo-Nederland itu tanpa memandang wajahnya. Aku mengalihkan mata ke awan yang bergerak pelan membentuk dirinya. Aku menatap ikan-ikan berenang seperti menyeret gelombang. Angin berhembus pelan, tetapi terasa sekali menyapa dan memeluk tubuhku.
“Bicaralah,”  suaraku lagi. “Bicaralah tentang cita-citamu. Aku ingin sekali mendengar suaramu yang lembut”.
Ia diam.
Suara decak air bersama dengus kapal kian terasa.
“Ah, mungkin kau lagi malas berbicara,” kataku lagi.
Tapi ia tetap diam. Membisu. Ia terkadang keterlaluan, dengan membiarkan aku berbicara sendirian.
Aku memandang ke langit biru. Awan-awan tampak bergerak pelan. Aku melihat di awan-awan  yang putih dan bergumpal-gumpal  itu tergambar wajahnya yang bersih.
Kubayangkan ia tersenyum padaku, dengan bibirnya yang tipis. Rambutnya yang panjang kekuning-kuningan berkibar-kibar sehabis berkeramas dengan fajar yang indah.
 ‘’Bicaralah, walaupun sepatah dua patah kata,’’ aku memelas.
Ya, ampun. Kenapa jadi begini? Tuhan buatlah suasana yang lain.
Ia terus membisu.
Sedangkan angin laut Sulawesi terus saja menampar wajahku, berusaha menyadarkan.
Aku hanya bisa menghela napas putus asa. Ah, tidak! Aku tidak putus asa. Aku hanya mendesah. Aku akan terus berusaha mengajaknya berbicara tentang apa saja. Aku lalu menatap wajahnya. Ada keinginan yang mendesak untuk berbincang dengannya.
***
“Panggil saja aku Aminah Sjoekoer,’’ katanya suatu hari kepadaku. Bagi warga boemi poetera pinggiran Sungai Mahakam, wanita Indo-Nederland ini lebih dikenal dengan nama Atje Voorstad. Voorstad dalam bahasa Indonesia berarti pinggiran. Aku menduga tambahan  voorstad di belakang nama Atje itu  sudah berbicara; sekalipun dia wanita keturunan Nederland, namun dia mau bergaul dengan masyarakat pribumi.
Aku mengenalnya pertama kali saat acara peresmian HIS swasta yang kemudian diambil alih pemerintah Hindia Belanda untuk menjadi sekolah negeri. Aku rasa bukan karena sama-sama keturunan Nederland kami cepat akrab. Atje atau Aminah orangnya memang ramah. Dia bersedia bergaul dengan siapa.
Sejujurnya, aku ingin sekali mengajak dia ke Nederland. “Apakah kamu tak punya keinginan untuk kembali ke Nederland?” tanyaku, setelah bincang-bincang agak lama saat perkenalan pertama.
 “Aku lebih suka di sini, di Samarinda. Aku ingin mewujudkan cita-citaku. Aku di sini ingin membangun sekolah khusus wanita,” jawabnya.
Keinginan yang bagus. Dan pasti banyak halangan. Karena mendirikan sekolah untuk pribumi saja sulit, apalagi sekolah khusus untuk wanita pribumi. Selain rumit berurusan dengan pemerintah Hindia Belanda, juga dengan masyarakat boemipoetera yang masih menempatkan kaum wanita sebagai bagian masyarakat kelas dua, yang menganggap wanita belum perlu mendapatkan pendidikan yang layak. Percuma wanita bersekolah, toh nanti kembali ke dapur juga, begitu umumnya anggapan warga pribumi. Tapi tidak bagi Aminah.  Baru sekali bertemu aku sudah bisa menyimpulkan, wanita bertubuh tinggi ramping berkulit putih ini memiliki tekad yang kuat.
‘’Aku akan berusaha dengan segala cara agar wanita pribumi bisa mengikuti pendidikan sejajar dengan laki-laki. Aku akan mendirikan sekolah untuk kaum wanita,’’ katanya di lain hari saat kami berjalan-jalan kaki di chineescheveer straat.
Aku mendukungnya. Sekalipun dalam sebuah pembicaraan, residen J. De Haan sempat meremahkannya. “Waarom zou die persoon het opzetten van een speciale school voor autochtone vrouwen. Wat een verspilling van tijd en geld … (Buat apa itu orang mendirikan sekolah khusus untuk perempuan pribumi. Buang-buang waktu dan uang)’’ residen J. De Haan tersenyum sinis kepadaku.
Semangat mendirikan sekolah kembali aku lihat, ketika dia mengajakku berjalan-jalan di kampung Bandjar, sekitar China voorstraat, Sultan weg, Herengracht straat dan smokke straat.  Kami menemui beberapa tokoh pendidikan pribumi Samarinda, yang ternyata juga sangat mendukung dirinya. Mereka di antaranya Masdar dan M Yacob, di antara tokoh yang ikut memperjuangkan berdirinya HIS partikelir pertama di Samarinda. Juga ada Kasirun yang menjadi guru negeri di HIS. Aminah memperkenalkanku. “Ini Meneer Ivan Van Mannen Zijn Niet Echt seorang jurnalis dari Nederland,’’ katanya menyebut lengkap namaku.
Cukup lama juga kami berbincang dengan tokoh-tokoh cendikiawan pribumi. Pemikiran-pemikiran mereka cukup cemerlang.
“Sebagai orang asli pribumi kami malu sekaligus bangga dengan anda. Perhatian anda terhadap pendidikan masyarakat pribumi memotivasi kami untuk lebih bekerja keras lagi,’’ kata Kasirun.
Di kampung Bandjar itu pula lah kami berkenalan dengan Arbayah, gadis berusia 14 tahun, yang memiliki keinginan kuat untuk bersekolah. Ayahnya bernama Abdullah, pekerja biasa di NV Handel Maatshappi Borneo Samarinda (HBS).
“Abah tidak setuju kalau saya bersekolah. Ujar Abah apa untungnya. Nanti setelah kawin mengurusi dapur juga,’’ kata Arbayah.
“ Bersekolah itu pintar. Lelaki dan perempuan sama saja haknya untuk menjadi pintar,’’ kata Aminah.
 Selain bertemu Arbayah, kami juga bertemu dengan beberapa anak, dan orang tua mereka. Bagiku, pertemuan yang berkesan hanya saat bersama Arbayah. Badan gadis berkulit putih ini bonsor. Sama seperti anak-anak lainnya. Dia cukup cantik, tapi sayangnya dia buta huruf.
“Aku ingin sekali bisa membaca dan menulis,’’ kata Arbayah.
Arbayah sering mengunjungi rumah Aminah. Aku juga menjadi akrab dengannya. Perbedaan usia  bukan penghalang bagi kami. Semakin kenal dengan Aminah, aku jadi semakin suka bergaul dengan orang boemi poetera atau pribumi. Terutama Arbayah, gadis bongsor berkulit putih.  Dia pernah menyampaikan kepadaku, teman-teman gadis seusia dia sudah banyak yang menikah.
‘’Ini sapu tangan kenang-kenangan untuk meneer,’’ kata Arbayah ketika kebetulan aku bertemu kembali dengannya di depan penginapan Nam Yang, tempatku menginap di Chinavoor Straat.
“ Terima kasih,’’ kataku. Arbayah tersenyum, kepalnya kembalinya menunduk. Dia membalikan badannya, dan pergi.
“Arbayah …,’’ suaraku memanggilnya ketika sudah sekitar tujuh langkah dia pergi.
Arbayah berbalik.
Aku mendekatinya. “ Ini pen dari ku”. Spontan kuambil pen dari kantongku.
Arbayah tersenyum. “ Terima kasih meneer,’’ Arbayah lantas pergi.
Tak ada pembicaraan lama ketika itu. Aku memperhatikan, ketika gadis muda itu menghilang di tikungan jalan. Sapu tangan berwarna pink, yang bersulam bunga dari benang merah itu kumasukkan ke dalam saku di samping kiri kemeja putihku.
Meneer Ivan Van Mannen Zijn Niet Echt…,’’ kudengar suara Tan Ko Tjai di belakang. “Gadis pribumi yang cantik … cocok untuk meneer yang masih muda,’’ pedagang rotan itu ketawa. Matanya yang sipit hampir tertutup.
Aku hanya tersenyum. Tak bisa berkata.
 “ Hari ini apa kegiatan meneer?’’ tanya Tan Ko Tjai.
“ Aku nanti mau ketemu Atje voorstad dan beberapa orang pergerakan”.
“Wah aktivis pendidikan  perempuan indo Nederland itu, meneer’’.
‘’Iya, perempuan cantik yang ingin mendirikan sekolah untuk wanita pribumi”.
Tak sampai 30 menit aku berbicara dengan Tan Ko Tjai, tentang Aminah, tentang orang-orang pers, tentang akan berdirinya sejumlah organisasi pergerakan di Samarinda. Tan Ko Tjai cukup terbuka dan berani. Tan Ko Tjai kenalan lamaku. Aku mengenalnya saat di Batavia.
“Ok, meneer saya mau ke Paal Arang dulu. Ada urusan di sana,’’ Tan Ko Tjai permisi, dan kami berjabatan tangan. “Jangan terlalu banyak dipikirkan, meneer … dan hati-hati meneer,’’ candanya lagi sambil bergegas berjalan.
Hari masih pagi. Aku berjanji bertemu Aminah di gedung Sjarikat Islam.  Saat aku tiba, dia sedang berbicara dengan seorang lelaki.
“Ini wartawan yang saya bicarakan tadi … “ dia berdiri seraya menjabat tanganku.
 Begitupula lelaki itu. Di tangan kirinya aku lihat sepertinya koran lokal, bertulis “Persatoen”. “Sayuti Lubis,” dia menyebut namanya.
“Jangan khawatir …,’’ Aminah tersenyum ke arah Sayuti Lubis. Giginya yang putih bersih nampak terlihat.
Selain berbicara tentang rencana pendirian sekolah khusus kaum wanita, sesekali kami juga berbincang tentang koran dan seputarnya. Enak juga mengobrol dengan lelaki asal Tapanuli ini. Bicaranya bersemangat. Wawasannya luas. Tak peduli dia, sekalipun kami saling kenal. Mungkin, dia percaya sama aku, sama percayanya dengan Aminah, yang telah dikenalnya sejak lama.
Menjelang sore, aku mengantar Aminah pulang. Disepanjang jalan dia bercerita, bukan hanya tentang abahnya Arbayah saja yang masih tak enggan anaknya bersekolah, tapi juga orang tua dari Hadijah, Sabariah, Sumi, Zaenab dan anak-anak kampung lainnya. Dari cerita Aminah aku masih bisa menangkap optimis, cita-citanya untuk mensejajarkan kaum wanita agar memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki akan bisa diwujudkan.
Aku juga menceritakan tentang pesan Residen J. De Haan yang disampaikan kurirnya untuk tak bergaul terlalu akrab dengan orang pribumi, termasuk dengan dirinya. Peringatan De Haan itu tentu saja kubiarkan. Bergaul dengan siapa saja itu adalah urusanku. Sekalipun beresiko.
***
MATAHARI hampir tengelam di laut. Cahayanya mulai pudar.
Kulihat awan putih berpedar-pedar dalam senja. Bermain-main bersama angin. Berkejar-kejaran.
Kapal terus melaju. Dengusnya masih terdengar, bersama riak gelombang. Aku sendirian. Tidak ada Aminah Sjoekoer atau Atje Voorstad. Sekalipun angin menyapaku, menegurku untuk memunculkan bayang Aminah Sjoekoer di benakku, sekalipun laut melambai-lambai membuka pikiranku tentang Atje Voorstad, aku masih tetap sendirian.
Yang tersisa di kantongku hanyalah sapu tangan berwarna putih, yang di ujungnya ada gambar pen bersulam benang warna kuning emas. Ya, pen kuning emas bukan sapu tangan berwarna pink, yang bersulam bunga dari benang merah. Sapu tangan bergambar bunga merah milik Arbayah sengaja aku tinggal di ranjang kamar sebelum aku meninggalkan penginapan Nam Yang. Sapu tangan itu kutinggal  setelah aku mengetahui Arbayah dinikahkan minggu depan. Di  ranjang itu pula aku meninggalkan noda merah dari kesucian Arbayah.  Sekalipun sapu tangan bunga dan noda berwarna merah  aku tinggalkan, namun aku tak bisa melupakan Arbayah, sepanjang hidupku terutama perbuatan terlarang yang kami lakukan pertama kali di kamar penginapan Nam Yang.
  Sekalipun Arbayah tak diperbolehkan sekolah dan dinikahkan abahnya, pada akhirnya, cita-cita Aminah Sjoekoer telah terwujud. Neisjes School, sekolah untuk kaum wanita akan berdiri di Samarinda. Aku mendengarnya sebelum berangkat naik kapal.
“Maaf aku belum bisa ikut ke Nederland. Mendirikan sekolah bukan berarti tugasku sudah selesai. Tugas selanjutnya akan lebih berat …,’’ suaranya ketika mengantarku di pelabuhan.
Aku hanya tersenyum. Menjabat tangan kanannya. Ketika kapal nederland yang kutumpangi menjauh meninggalkan Samarinda, dia melambai-lambaikan tangan kanannya. Jujur, aku belum begitu mengenalnya. Aku hanya memiliki sapu tangannya yang berwarna putih bergambar pen dari benang kuning emas. Apakah kalian sangat mengenalnya?
Kapal pun terus melaju. Membelah gelombang. Dengusnya masih terasa. Awan-awan yang bergumpal-gumpal membentuk dirinya sudah tak ada lagi.  Kukira  sebentar lagi malam yang membawa mimpi akan datang. ***
Catatan
–          Awang Long =panglima angkatan perang sepangan Kerajaan Koetai, yang bergelar Panglima Ario Senopati. Senopati yang bersama pasukannya berhasil mengalahkan pasukan Murray.  Awang Long tewas ketika pertempuran hebat melawan  armada perang lengkap Belanda di bawah pimpinan Letnan Laut T’Hoof.
–          James Erkine Murray =  Ingin seperti James Brooke yang berhasil mendirikan kerajan di Brunai. Februari 1844 JE Murray membawa 2 kapal perang, yakni “Young Queen” yang dikemudikan Kapitan  Hart dan Kapal Perusak “Anna” dengan Nahkoda Lewis. Memasuki  wilayah Kutai, dengan mengatakan ingin menjadi raja.  Murray meminta izin Sultan Salehuddin untuk membuka kantor  perwakilan dagang di Tenggarong dan meminta monopoli perdagangan. Sultan meminta buka di Samarinda saja. Murray mengancam. Sultan melawan. Akhirnya terjadi peperangan.  Murray akhirnya tewas.
–          Rijswijk = kawasan Jalan veteran Jakarta. Di kawasan ini dulu ada Hotel der Nederlanden, kini menjadi gedung Bina Graha Jakarta.
–          J. De Haan = residen Belanda di Banjarmasin menggantikan Van Kempen,  menjabat mulai tahun 1924-1929
–          C.J Van Kempen = residen Belanda di Banjarmasin tahun 1924.
–          Meneer = tuan
–          Abah =bahasa Banjar, artinya ayah
–          Chineescheveer straat = jalan di pusat kota di pinggir Sungai Mahakam. Dari Karang Mumus hingga Sungai Karang Asam Besar.  Perkampungan China di Jalan Pelabuhan dan di sekitar Kampung Karang Mumus.
–          Kampung Bandjar = berada di  wilayah utara Wilhelmina Laan, yang membujur dari selatan ke utara atau sepanjang Karang Mumus Straat dan Bandjar Straat.
–          Kasirun =seorang guru di HIS milik Hindia Belanda, yang kemudian memilih menjadi kepala sekolah Neutrale School,  karena memiiki kebebasan menanamkan jiwa kebangsaan kepada anak didiknya.
–          NV Handel Maatshappi Borneo Samarinda (HBS) = perusahaan perdagangan  ekspor-impor yang didirikan pedagang-pedagang suku Banjar. Perkampungannya dinamakan kampung HBS, yang letaknya di sekitar BRI sekarang. Persekutuan dagang ini selain menyaingi pengusaha-pengusaha dagang Belanda dan China, tokoh-tokohnya juga bergerak di bidang pergerakan kemerdekaan dan da’wah Islam.
–          Penginapan Nam Yang = terletak di perkampungan China, sekarang di sekitar Jalan Pelabuhan. Di dekat penginapan Nam Yang ada pula penginapan Swan Yang.
–          Paal Arang = Seperti kata Samarinda, berasal dari bahasa Banjar Samarendah kemudian menjadi  Samarindah (logat Banjar), Paal Arang berarti batas arang (orang Banjar suka menyebut batas dengan Paal), hingga menjadi nama Palaran salah satu kecamatan di Samarinda.
–          Surat Kabar “Persatoean” =  surat kabar yang pertama kali terbit di Samarinda. Directeur (pemimpin umum) dan hoof redacteur (pemimpin redaksi)  Sayuti Lubis dari Tapanuli, yang juga aktivis Sjarikat Islam Cabang Samarinda.  Beberapa kali  “Persatoean” mau di Bredel  Hindia Belanda.   Akhirnya dibredel juga, karena dua tulisan dinilai menghasut  dan menghina pemerintah Hindia Belanda. 22 Desember 1928, di depan lanraad (pengadilan) Sayuti Lubis dijatuhi  hukuman penjara dua tahun empat bulan. Sayuti banding, hukumannya diperingan lima bulan dan menjalani hukuman di penjara Cipinang.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s