KALENG KOSONG
Oleh: Habolhasan Asyari
(Kalimantan Timur-INDONESIA)
MATAHARI yang garang bersinar penuh di dada langit. Panasnya meluluhkan rumput dan perdu, hingga terkulai tanpa daya. Daun pepohonan pun hanya mampu terdiam lemas, tak kuasa menampik sengatan panas.
Meski sesekali angin utara berembus, tak juga bisa mengusir gerah nan lara. Sebaliknya angin yang datang malah menerbangkan debu-debu liar yang kemudian hinggap bergelayutan di ranting dan dedaunan. Membuat kusam batang-batang pohon.
Namun dera panas yang luruh menikam bumi, tak menyurutkan langkah bocah kecil itu. Kakinya yang tanpa alas itu terus terayun menyusuri jalan dengan hamparan batu padas. Bocah itu seolah tak merasakan permukaan batu yang kasar dan tajam. Mungkin saja, lantaran hampir tiap hari melewati jalan ini, menjadikan kulit kakinya kebal dan tak mempan gigitan batu padas yang terhampar sepanjang puluhan kilometer.
Kini angin garing yang liar datang menerpa dan menampar wajahnya. Memupurkan debu pada rambut gimbalnya yang kumal, sehingga nampak semakin dekil. Kusut masai. Tapi bocah itu masih tak hirau.
Trottt, trotettttt……
Suara lengking klakson dump truck pengangkut kayu terdengar menggema dari arah belakang. Meski jaraknya masih sekitar satu kilometer dari bocah laki-laki itu. Namun lengkingnya sangat jelas terdengar. Menggema di sela-sela pepohonan yang masih tersisa dan belum ditebang. Bagai raung raksasa yang berhasil mengalahkan mangsanya, seperti pernah dia dengar melalui legenda. Tapi kendaraan berukuran besar itu bukan legenda. Sebuah kenyataan yang kini hadir di tengah kehidupan mereka.
Bocah itu masih melenggang, mengayun langkah dalam irama yang bagai tanpa rasa. Santai namun pasti.
Suara klakson kembali terdengar dan semakin dekat. Berikut diiringi deru mesin dump truck yang memiliki 12 ban diiringi derak badan kendaraan yang memuat 6 kayu gelondongan sepanjang 4 meter dan rata-rata berdiameter 80 centimeter. Dekat dan semakin dekat.
Kini bocah itu menghentikan langkah, seraya merapikan berangka yang dipanggul di pundak. Dia pun menolehkan wajahnya ke arah datangnya kendaraan berat yang oleh masyarakat sekitar disebut loging. Istilah yang salah, namun mereka tentunya tidak peduli. Yang penting kendaraan yang membawa kayu gelondogan itu punya nama dan mudah disebut. Mengingat kendaraan tersebut menurut keterangan digunakan mengangkut kayu log maka mereka pun menyebutnya loging.
Moncong loging itu nampak muncul di kelokan jalan. Suara mesinnya semakin jelas menderu. Menerbangkan debu jalanan yang diam di permukaan batu padas. Debu-debu itu berubah menjadi ganas, berputar-putar sebelum hinggap membalut batang pohon, daun perdu dan rumput liar di tepi jalan.
Dua orang kernet loging dengan santai duduk di atas kayu gelondongan yang diikat dengan kawat seling meneriaki bocah tersebut. Kemudian melemparkan kaleng bekas minuman ke arahnya. Bocah laki-laki itu bukannya gusar, tapi malah senang. Wajahnya yang disaput debu nampak berbinar. Dia segera memburu ke arah kaleng minuman, sesaat setelah loging tadi berlalu. Dipungutnya kaleng bekas itu, dan dengan cekatan memasukkan ke dalam berangka.
Kini dia kembali mengayun langkah. Menyusuri jalanan yang berbatu dan berdebu.
Sekitar 500 meter berjalan, dia melihat beberapa anak sedang duduk di bawah pohon mahang yang cukup rindang. Dia pun segera mendekat dan bergabung dengan anak-anak sebayanya itu.
“Odoy, awak sudah dapat berapa kaleng?”
Seorang anak berambut lurus kecoklatan melontarkan pertanyaan kepadanya.
“Sudah dapat sebelas. Awak berapa, Jan?” jawabnya seraya balik bertanya.
“Aku baru dapat tujuh. Sedangkan Akup, Kuwen dan Angai masing-masing cuma tiga.”
“Lantas sekarang kita akan ke mana? Pulang?”
“Ya, kita pulang saja. Sudah tengah hari,” sambut Angai.
“Sudah lapar…” timpal Akup.
“Kalau aku sih, ingin mandi. Badan ini sudah gatal karena keringat” sambut Jan.
“Betul, kita mandi dulu di tempat biasa. Setelah itu baru pulang ke rumah”. Odoy memberikan pendapat. Usulan itu langsung di-iya-kan oleh teman-temannya.
Ke lima bocah tanggung itu segera beranjak dari bawah pohon Mahang yang telah memberikan mereka kesejukan. Dan kini, tamparan cahaya matahari yang tepat di ubun-ubun terasa menyengat. Batu jalanan pun berubah panas. Tapi karena mereka sudah terbiasa, permukaan jalan yang panas itu tidak terlalu mengganggu.
Beberapa warga berpapasan dengan mereka. Ada yang datang dari ladang. Sebagian lagi masuk ke hutan untuk mencari rotan atau kayu bakar. Warga tersebut tak menyadari betapa berbahayanya menggunakan jalan milik perusahaan kayu dimaksud. Karena setiap saat melintas kendaraan berat yang mengangkut kayu log. Pihak perusahaan berulang kali mengingatkan dan meminta warga tidak menggunakan jalanan yang mereka sebut ‘jalan HPH’ tersebut. Terhadap larangan itu, sebagian besar warga malah protes dan menilai perusahaan tidak adil. Pasalnya, sebelum perusahaan pemegang HPH itu beroperasi, jalan itu hanya berupa jalan setapak dan selalu mereka gunakan untuk ke ladang maupun ke hutan. Persoalan itu kemudian dimusyawarahkan dengan kepala adat. Akhirnya disepakati, warga boleh menggunakanya asalkan berhati-hati dan jangan sampai menghalangi kegiatan pengangkutan kayu yang dilakukan kendaraan berat milik perusahaan. Jika terjadi kecelakaan akibat kelalaian warga, maka pihak perusahaan tidak akan bertanggung jawab penuh. Mereka berjanji hanya akan memberikan uang simpati yang jumlahnya terbatas.
Terhadap perjanjian yang jelas-jelas sangat merugikan itu, warga pun terpaksa harus menerima. Warga menganggap perusahaan masih bermurah hati memperkenankan mereka menggunakan ‘jalan HPH’. Sikap ‘menerima’ serupa ini memang tak bisa dielakkan. Sama halnya dengan ganti rugi tanah mereka yang sudah hampir delapan tahun ini belum juga tuntas. Baru sebagian yang dibayar perusahaan. Sisanya masih berupa janji yang entah sampai kapan baru dipenuhi. Ataukah mungkin tidak akan pernah direalisasikan selamanya? Sampai akhirnya perusahaan hengkang setelah kayu-kayu di belantara lepas habis ditebang.
Semenjak kehadiran perusahaan pemegang HPH, Kampung Tepian Batu ini memang menjadi lebih ramai. Banyak pekerja dari luar daerah berdatangan ke mari memburu rezeki. Dalam hal ini, lagi-lagi masyarakat setempat tidak mendapat tempat. Memang ada beberapa orang yang diterima sebagai pekerja. Hanya beberapa orang. Sementara warga yang lain masih mengandalkan penghasilan dari bercocok tanam, membuka huma dan ladang. Nasib dan kehidupan mereka tidak lebih baik dibanding sebelum perusahaan HPH itu ‘memprorak-poranda’ hutan belantara yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Menjadi tempat berburu binatang, mencari rotan dan damar.
Odoy dan kawan-kawannya sudah hampir sampai di ujung jalan yang berakhir di dermaga perusahaan. Sekitar 300 meter dari kamp perusahaan, mereka berbelok ke kiri, ke arah hulu sungai Mahakam. Tak jauh dari belokan itu, terdapat sebuah jembatan ulin yang menghubungkan dua tepi anak sungai. Jembatan ini merupakan batas lokasi camp perusahaan dengan permukiman penduduk.
Sesampai di atas jembatan ulin tersebut, Odoy segera membuka baju. Selanjutnya menceburkan diri ke dalam sungai. Teman-temannya pun mengikuti. Dengan penuh riang, bocah-bocah itu bermain di air sungai yang warnanya kekuning-kuningan. Kondisi ini muncul, lantaran bagian hulu sungai dirambah alat-alat berat milik perusahaan HPH. Padahal air sungai ini masih menjadi tumpuan sebagian penduduk untuk keperluan hidup sehari-hari.
***
Selepas makan siang, Odoy pun merebahkan tubuhnya di ruang depan rumah mereka. Rumah yang seluruhnya dari bahan kayu itu hanya dibagi dua, ruang depan dan ruang tengah. Seluruh anggota keluarga tidur di ruang tengah tersebut. Tak ada kamar tidur yang membatasi. Mereka hanya dipisahkan oleh kelambu dari kain kaci. Dengan demikian, kelambu menjadi tempat yang paling pribadi bagi para penghuni rumah.
Dengan penuh rasa bangga, Odoy menatap kaleng-kalang kosong bekas minuman yang berhasil ia kumpulkan. Jumlah sudah ratusan buah. Hampir menutup salah satu bidang dinding ruang depan rumah mereka.
“Kalengku sudah banyak. Tinggal 7 buah lagi jumlahnya menjadi empat ratus. Mudah-mudahan besok aku bisa mendapatkan lebih banyak lagi,” bisik hati Odoy penuh harap.
Dari ratusan kaleng bekas miliknya itu, beberapa buah diantaranya buatan luar negeri. Ada yang dari Jepang, ada pula yang buatan Amerika. Rata-rata pada kaleng minuman keluaran luar negeri itu terdapat tulisan dalam bahasa Inggris.
“Andai aku bisa bahasa Inggris, pasti bisa memahami apa yang tertulis pada kaleng itu.” Bisik hati Odoy.
Keinginan itu membuat Odoy akhirnya terbuai dalam lamunan. Ia menyesali tak bisa melanjutkan sekolah setelah menamatkan Sekolah Dasar dua tahun lalu. Untuk melanjutkan ke SMP, dia meski ke kota kecamatan yang bisa dicapai melalaui jalur sungai. Sekitar satu perjalanan dengan ketinting, yakni perahu bermesin yang menjadi alat transportasi vital masyarakat daerah ini.
Dengan jarak yang cukup jauh itu, tak mungkin Odoy harus pulang pergi. Sedangkan tinggal di kota kecamatan seperti beberapa orang temannya dengan cara menyewa rumah atau kamar, juga sulit diwujudkan. Orangtuanya tak punya biaya untuk itu. Akhirnya mereka sepakat, untuk sementara Odoy tak usah melanjutkan sekolah. Bisa tulis baca saja sudah untung. Tapi kalau keadaan sudah memungkinkan nanti, tak ada salahnya Odoy bersekolah lagi. Begitu pertimbangan dan janji orang tuanya.
Sebetulnya di Kampung Tepian Batu ini ada sekolah tingkat SMP. Terdapat di lingkungan kamp milik perusahaan. Tapi yang bersekolah di sana, khusus anak-anak para karyawan. Sedangkan lulusan SD dari Kampung Tepian Batu tidak ada yang diterima. Ditolak dengan berbagai alasan yang sulit diterima.
Meski tokoh masyarakat setempat pernah mengajukan permohonan disertai beberapa pertimbangan. Tapi semua itu tak menggoyahkan hati pihak manajemen perusahaan.
“Ini sudah menjadi kebijakan kantor pusat di Jakarta. Kami di daerah tak bisa berbuat banyak. Tapi permohonan yang bapak-bapak ajukan tadi akan kami tampung untuk diteruskan kepada pimpinan. Semoga mereka bisa mempertimbangkannya.”
Begitu kalimat yang disampaikan oleh pria berkacamata tebal yang disebut-sebut sebagai manajer camp. Nada bicaranya terdengar cukup lembut di kuping. Mengalir tenang seperti permukaan Mahakam. Padahal di balik ketenangannya tersembunyi ulak ganas dahsyat yang mematikan. Begitu pula kalimat yang disampaikan sang manajer secara tak langsung sudah mematikan harapan masayarakat. Janjinya akan menyampaikan kepada pimpinan di kantor pusat, tak lebih sekadar basa-basi. Buktinya, hal itu sudah berulang kali terjadi. Bahkan hingga sekarang tak seorang pun anak-anak lulusan SD dari Tepian Batu yang diterima di sekolah milik perusahaan. Kenyataan itu menjadikan masyarakat menjadi muyak menuntut. Warga tak mau lagi merengek-rengek pada perusahaan HPH yang terus mengeruk kekayaan di tanah kelahiran mereka.
Kenyataan serupa juga terjadi dengan tanah warisan mereka. Sampai sekarang persoalan ganti rugi tak kunjung selesai. Pemerintah maupun wakil rakyat di DPRD yang berulang kali diminta membantu menyelesaikan dan memperjuangkan tuntutan warga, juga hanya memberikan jawaban yang sama: ditampung. Bahkan sudah hampir sepuluh tahun hingga sekarang, usulan dimaksud masih tetap tersimpan di “penampungan”.
“Seandainya perusahaan mau menerima, berarti aku sudah kelas tiga SMP sekarang,” ujar Odoy dalam hati.
Pikirannya pun mengembara. Ingat pada Ingai, teman sebangkunya waktu di SD. Dia bersekolah di kota kecamatan, tinggal di rumah pamannya yang pegawai Kantor Camat. Temannya itu jauh lebih beruntung dibanding dirinya. Kadang ada perasaan iri menjelma. Namun segera ditepisnya.
“Tidak perlu merasa iri pada Ingai. Bukankah sekarang kamu juga sudah di kelas 3 SMP? Ayo Doy, jangan melamun terus”.
Odoy tersentak dan segera mengangkat wajah. Seorang wanita berparas bersih berdiri di depannya, seraya menggerai senyum. “Kenapa Doy? Ada yang aneh? Aku Ibu Tari, guru matematikamu”.
Mendengar kalimat yang dilontarkan wanita berparas bersih itu, Odoy menjadi terkesima. “Ibu guru?” tanyanya seakan tak percaya.
“Iya, aku ibu gurumu? Memangnya apa yang sedang kau pikirkan? Jangan melamun, Doy. Sekarang sedang jam pelajaran. Lihat teman-temanmu, sedang mencatat pelajaran yang ibu berikan”.
“Oh…” Odoy tergeragap.
Dia mengarahkan pandangan ke seliling tempat duduknya. Benar, sekarang dia berada di sebuah ruang kelas. Nampaknya beberapa teman sebayanya sedang tekun menulis. Ada Jan, Akup, Kuwen dan Angai. Selanjutnya Unai, Atul, Mimi, Asmin dan beberapa bocah perempuan se kampungnya juga ada di sana. Mereka duduk duduk di bangku depan, sedang menyalin tulisan yang tertera di papan tulis.
“Kalau saat jam pelajaran, mestinya kau konsentrasi dan memusatkan perhatian. Jangan melamun, Doy. Nanti kamu tertinggal dari teman-temanmu.” Ibu guru Tari memberikan nasehat.
“Bukankah kamu ingin menjadi seorang insinyur kelak?” tanya Ibu guru Tari.
“Benar, Bu. Aku ingin menjadi orang yang pintar. Aku ingin membangun desa kita ini maju dan tidak tertinggal,” jawab Odoy mantap.
“Bagus. Cita-citamu itu sangat bagus. Desa kita memang memerlukan tenaga-tenaga muda yang siap membawa pada kemajuan. Dan itu harus putra daerah sendiri. Kita tak bisa berharap dari orang luar,” tegas ibu guru Tari.
“Bu Tari yakin kalau saya bisa mewujudkan harapan tersebut?”
“Kenapa tidak, Doy. Asalkan kau memang punya keinginan. Punya kemauan”.
“Terima kasih bu. Bu Tari telah menumbuhkan semangat dalam diriku. Semoga berkat doa ibu, aku bisa meraih impian yang telah lama menjadi dambaan”.
“Pasti, Doy!”
Api semangat yang dikobarkan Ibu Guru Tari, membuat langkah Odoy terasa ringan dalam perjalanan pulang. Hatinya terasa bungah dan dipenuhi bunga-bunga mimpi tentang masa depan yang lebih baik. Odoy pun nampak lebih ceria diantara teman-temannya saat mengayun tapak menuju kampung.
“Kita mandi dulu Doy?” tanya Jan sewaktu mereka sampai di jembatan ulin yang menjadi batas lokasi camp perusahaan dengan permukiman penduduk.
“Tidak, aku ingin pulang. Aku ingin belajar. Ingin mewujudkan impianku menjadi seorang insinyur,” tampiknya.
“Nanti malam masih bisa belajar”.
“Lain kali saja….”.
“Tidak, Doy. Kamu harus ikut mandi bersama kami sekarang!,” kata Jan tegas.
“Benar, Doy. Kita mandi sekarang,” timpal Kuwen.
“Ayo, Doy, mari kita sama-sama mencebur ke sungai.” Tandas Angai yang langsung menarik tangan Odoy ke arah tepi sungai. Odoy meronta dan berusaha melepaskan cengkeraman Angai. Teman-temannya yang lain kemudian ikut membantu Angai, memegang kedua tangan Odoy. Odoy pun terus meronta dan berusaha melepaskan diri. Dia tak ingin melakukan hal yang sia-sia dan tak bermanfaat. Bukan waktunya untuk bermain sekarang.
“Lepaskan lepaskan aku…” teriaknya.
“Tidak Doy, kamu harus mandi di sungai bersama kami,” tandas Kuwen.
Menyadari teman-temannya akan melakukan tindakan nekad, ingin menceburkan dirinya yang masih mengenakan seragam sekolah ke dalam sungai, maka Odoy mengerahkan seluruhnya tenaganya untuk berontak. Pegangan temannya-temannya punterlepas. Tubuh Odoy melayang ke belakang.
Krompang!!!!
Suara gaduh mendadak memenuhi gendang telinga Odoy. Beberapa benda kemudian terasa menghantam jidatnya. Sakit. Rasa kesal yang mendadak membeludak dalam dada. Dia pun segera membuka mata, ingin menumpahkan rasa kesal kepada teman-temannya yang telah berlaku kurang ajar. Odoy membuka mata seraya bangun dan mengepal tinju erat-erat.
Kini Odoy mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hups. Tak ada Jan, tak ada Kuwen, Angai dan Akup. Taman-temannya yang tadi ingin menceburkan dia ke dalam sungai, sirna dari depan matanya. Dan ternyata, Odoy tidak berada di tepian sungai. Odoy masih berada di ruang depan rumahnya. Rupanya dia barusan tertidur dan bermimpi.
Dengan hati lara, Odoy pun terhenyak di lantai. Matanya sayu menatap ratusan kaleng-kaleng kosong yang kini berserakan di lantai. Kaleng-kaleng itu rupanya telah tertendang kakinya pada saat pulas. Bahkan kaleng-kaleng bekas itu pula yang tadi menimbulkan suara gaduh: krompang… !!! ***
• Kali Pasir-Jakarta, 2000
Tulah
::Habolhasan Asyari
RUPANYA aku benar-benar sudah termakan tulah. Bahkan tulah itu telah memuruk dalam gelimang sial tak bertepi. Kini aku tak bisa menampik, tak mampu mengelak. Tidak bisa keluar dari pusaran ulak yang dahsyat, yang menggulung, yang terus melindas. Aku pun tengkorop dalam sesal berkepanjangan. Tanpa daya, pasrah.
Akhirnya, aku berusaha menganggap semua yang datang mendera adalah memang seharusnya diterima. Meski kuakui, kadang sesal itu pun datang menyelinap di relung hati. Menyusup di seluruh aliran darah. Perih. Perih…
Aku merasa gamang, karena tahun ini adalah Lebaran ketiga aku tidak pulang kampung. Tidak ziarah ke makam almarhum bapak dan makam para leluhurku. Meskipun aku menyadari bahwa ketidakpulangan ini sebagai perbuatan tuhing, tapi apa mau dikata. Aku tak bisa memaksakan kehendak sebagaimana dulu yang sering kulakukan. Langkah yang pepat kini terkungkung dalam ketidakberdayaan.
“Semoga Emak dan kakak-kakakku masih mau mengerti”. Demikian harapan yang berkelebat di dalam dada ini.
“Tetapi pada saatnya nanti aku juga akan pulang”. Aku mencoba menghibur diri. Namun aku masih ragu, mungkinkah itu secepatnya terjadi?
Padahal dulu, pulang pada Hari Raya Idul Fitri adalah satu keharusan mutlak. Sebuah ketentuan tidak tertulis, namun harus dipatuhi. Hampir-hampir mendekati wajib.
“Selain pulang kampung itu menjadi adat kebiasaan, Lebaran juga kan salah satu kegiatan keagamaan yang pantas dirayakan. Kalau sampai dilanggar, bisa terkena tulah. Emak tidak ingin ada anak-anak emak yang melupakan adat dan meninggalkan agama”.
Nah, kalau kata-kata emak serupa itu sudah keluar, mana mungkin aku dan kakak-kakakku berani membantah. Kami pasti akan selalu mengiyakan ucapan beliau. Maklum saja, kami sangat patuh dan hormat pada orang tua. Berani membantah, artinya kami siap bussung pada orang. Dan sungguh itu dosa yang tidak terampunkan.
Membersihkan kuburan orang tua, kerabat terdekat dan leluhur menjelang awal Ramadan atau saat Lebaran, adalah sebagai bukti dari bakti kita yang masih hidup. Selanjutnya ketika seluruh keluarga telah berkumpul, akan dilaksanakan upacara haul. Membaca doa arwah untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Tujuannya, agar para arwah yang menghadap Allah Subhanahu wa ta’ala mendapat ampunan. Agar tenang di alam baka. Mendapat tempat yang layak di sisi-Nya.
“Meskipun bapak sudah meninggal dunia, kita tetap harus menunjukkan bakti. Caranya adalah dengan ziarah dan membersihkan kuburan almarhum. Paling tidak setahun sekali. Sehingga arwahnya akan menjadi tenang,” papar Emak, orang tuaku yang masih hidup. Sedangkan bapak sudah lama menghadap Yang Maha Kuasa. Ketika aku masih duduk di bangku kelas III Sekolah Dasar.
Dulu aku merasa percaya. Paling tidak berusaha untuk percaya sehingga harus mematuhi kata-kata beliau. Tapi itu dulu. Lebaran kali ini aku tidak bisa pulang. Aku tahu perbuatan ini tuhing dan bakal ketulahan. Satu hal yang dulunya paling aku takuti. Kini, aku mencoba pasrah menghadapinya.
Agar Emak tak menganggap diriku melakukan pembangkangan, maka aku mengutus istri dan ketiga anakku mudik. Berlebaran di kampung kelahiranku. Merayakan hari raya bersama emak dan seluruh keluargaku. “Tolong sampaikan pada emak, aku masih sibuk dengan tugas yang dihadapi. Aku harus melaksanakan tugas tersebut sampai selesai”.
Istriku yang menerima pesan itu, berusaha mengiyakan, meski nampak ada keraguan pada wajahnya.
“Tak usah ragu, sampaikan saja seperti yang kukatakan tadi. Usahakan agar emak percaya”, tegasku.
“Mas sendiri bagaimana? Masa Lebaran ini hanya sendirian, tanpa saya dan anak-anak mendampingi?” tanya istriku. Lirih.
“Jangan risaukan aku. Yang penting kau harus meyakinkan emak dan seluruh keluarga di kampung sehingga percaya kalau aku memang tak bisa pulang tahun ini, lantaran sibuk. Kalau kalian tidak ke sana, nanti malah dituding yang tidak-tidak. Aku tak ingin kalau sampai emak menjadi marah”.
“Aku sebetulnya tak tega meninggalkan, Mas..”
“Sudahlah, laksanakan saja apa yang kuminta. Kau harus menyelamatkan nama baikku, nama baik kita pada seluruh keluarga”.
Akhirnya istriku mau memenuhi harapan itu. Dia berjanji akan ke kampung bersama anak-anak. Meski konsekuensinya, harus meninggalkan diriku. Berlebaran seorang diri, tanpa kehadiran mereka seperti dulu.
Dan ketika mereka benar-benar telah pergi dan lebaran pun tiba, aku merasakan betapa seluruh ruang dalam diriku terasa kosong. Hampa. Bahkan diriku tak ubahnya sejumput kapas yang diterbangkan angin tanpa arah. Melayang gamang.
“Seharusnya Lebaran ini aku bersimpuh di hadapan emak. Memohon ridho dan doanya. Tapi sayang, takdir telah memainkan dawai nasibku seperti ini. Aku tak bisa bersama keluarga pulang ke tanah kelahiran. Bahkan tak bisa berlebaran bersama istri dan anak-anak seperti tahun-tahun sebelumnya”, batinku, disela ribuan rintih dan sesal yang besompo di benak.
Ada rasa sesal datang mengoyak. Memuruk dalam pusaran yang tak bertepi. Andai aku masih mau menurut nasehat emak, mungkin nasibku tak bakalan begini. Tapi aku telah lupa diri, sehingga dengan sengaja merentas rambu-rambu yang seharusnya jadi penuntun langkah.
“Bekerjalah yang benar. Pegang kejujuran. Jangan sampai kau menyalahgunakan jabatan dan kewenangan. Jangan mencari rezeki dengan cara haram. Lebih baik hidup sederhana tapi mendapatkannya dengan cara yang halal. Emak tidak bangga kau menjadi orang kaya, tapi didapat dengan yang salah. Lebih baik apa adanya, tapi mendapat ridho dari Allah.”
Nasihat serupa itu selalu dilontarkan emak setiap kali aku pulang kampung. Bahkan aku sudah hafal di luar kepala isi nasihat tersebut. Meski tak pernah membantah, namun kuanggap tak terlalu istimewa. Satu hal yang wajar dari orang tua. Lagi pula, beliau tak mengerti bagaimana situasi persaingan hidup para era global. Maklum, emak seorang yang buta hurup. Kelebihan beliau hanya pengalaman hidup, sesuai dengan usia yang menjelang 70 tahun. Tapi itu juga pada lingkup sangat terbatas. Beliau tidak tahu bagaimana ketatnya percaturan dalam kancah hidup modern.
Jabatan yang diberikan oleh instansi tempatku bekerja empat tahun silam, memang memberikan harapan cerah. Kedudukan sebagai kepala bagian, memungkinkan aku mendapatkan uang puluhan kali lipat dibanding gaji resmi. Aku memang berusaha memegang nasihat emak untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum negara dan agama. Dan itu sama artinya melakukan dosa.
Beberapa bulan setelah memangku jabatan itu, seorang rekanan menawarkan fee 10 persen dari proyek bernilai miliaran rupiah. Syaratnya, aku harus membantu menggolkan agar dia bisa mendapat proyek dimaksud. Karena kebetulan proyek itu memang berada di bawah tanggung jawabku.
Fee pertama bernilai Rp 500 juta yang kuterima itu, membuatku belakangan menjadi ketagihan. Aku tenggelam dalam permainan mengasyikan. Sejak itu pula aku selalu merasa sibuk dan tak punya kesempatan pulang kampung di hari Lebaran.
Istriku yang sering mengingatkan agar aku jangan sampai berbuat melanggar hukum, tidak pernah kugubris..
“Percayalah, uang ini kudapatkan dengan cara halal. Ini memang jatahku, jatah kita. Aku tidak melakukan perbuatan haram. Semuanya bisa dipertanggungjawabku. Aku hanya membantu pihak pengusaha, dan dia memberikan fee karena berhasil mendapatkan proyek. Cuma itu”, jelasku panjang lebar.
Entah percaya atau karena tak ingin terjadi pedebatan, istriku akhirnya diam..
Lantas awal tahun ini, ada pemeriksaan di instansi tempatku bekerja. Bagian yang menjadi tanggung jawabku juga ikut diperiksa. Entah bagaimana, pihak pemeriksa melihat ada yang tidak beres dalam sejumlah proyek. Padahal surat-menyurat mengenai hal itu sudah dilengkapi. Akhirnya setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, aku dinyatakan tersangka. Melakukan tindak pidana korupsi. Setelah ditahan pihak kejaksaan, kini aku dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan. Namun emak dan seluruh keluarga di kampung tidak ada yang tahu, kalau aku kini berada di penjara menunggu masa persidangan setelah lebaran nanti.
Karenanya pada Lebaran kali ini aku tak bisa pulang. Tak bisa datang ziarah ke makam bapak, sungkem pada emak yang sudah mulai uzur. Aku merasa ini adalah akibat melanggar nasihat emak. Sehingga kini tulah pun lantas menimpaku.
Pagi ini, aku melaksanakan shalat Idul Fitri bersama narapidana lain yang penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Aku dengan khidmat mendengarkan khutbah yang disampaikan khotib. Setelah shalat, aku buru-buru kembali ke dalam sel, meski saat itu ada acara makan bersama di aula. Aku tak ikut bersama yang lainnya bergabung di sana. Kini, aku tak kuasa menahan haru dan kepedihan yang menikam jongker hati.
Aku ingat istri dan anak-anaku. Biasanya saat serupa ini kami selalu bersama. Merayakan dengan penuh kegembiraan, meskipun puasaku sendiri jarang penuh 30 hari. Biasanya pula, setiap lebaran aku dan keluarga selalu pulang kampung. Menemui emak dan keluarga. Tapi sekarang, aku sendirian meringkuk di kamar tahanan yang sumpek. Betul-betul sendiri. Terkurung di balik terali besi.
Tanpa kudasari, butiran bening mengalir dari pelupuk mata. Aku terkesiap, ketika menyadari telah menangis. Padahal selama ini ketika menghadapi persoalan pelik yang mendera, aku selalu bisa bertahan. Berusaha tegar. Menurutku dulu, seorang lelaki pantang menangis. Tapi kini aku tak mampu menahan airmata. Tangis sesal pertama sejak aku berada di balik tembok penjara. Akibat lupa diri, lupa nasehat orang tua dan lupa agama, aku terpuruk dalam nestapa. Aku termakan tulah. ***
** Tepian Mahakam, Oktober 2005
Catatan: tulah (bencana, kutukan), bussung (durhaka), tengkorop (karam), puruk (masuk), ulak (pusaran air), besompo (memikul,membawa), jongker (tepi, ujung).
Para Lelaki
::Habolhasan Asyari
MIMPI purba yang liar. Menggeliat dan terus menggeliat. Menguasai seluruh raga. Menghentak ubun-ubun, mengharubiru debur jantung. Begitu dahsyat dan kuat. Sungguh, aku tak kuasa menahan gelora yang tiada bertepi.
Lima bulan berada di tengah belantara, bukan waktu yang singkat. Dan wajah-wajah yang nampak di sekitarku, adalah wajah-wajah yang menjemukan. Wajah para lelaki yang setiap hari menyingkai mandau, mengayun beliung dan kampak. Merobohkan pohon-pohon raksasa berusia ratusan tahun yang tumbuh menjulang di hulu anak sungai. Pekerjaan yang awalnya mengasyikkan, karena mampu meraup rupiah dalam jumlah banyak. Jumlah yang selama kami masih menekuni profesi sebagai petani tak pernah terbayangkan. Namun belakangan, pekerjaan yang oleh warga disebut ”pembatang” di masa banjirkap ini tak urung juga terasa membosankan. Bagaimana tidak, berbulan-bulan berada di tengah rimba hanya bisa menatap wajah-wajah yang sama. Wajah para lelaki.
Berada diantara para pelaki ternyata bukan hal yang menyenangkan. Pada bulan pertama, memang tak begitu terasa. Namun memasuki bulan kedua dan seterusnya, gelinjang yang sukar dikendalikan merasuk dalam diri. Gelora purba yang kualami terus menggelinjang liar tak terkendali. Sebagai lelaki sejati dalam usia 35 tahun, sangat sulit membendung hasrat yang tak tersalurkan. Apalagi mimpi purba yang liar itu terus mengusik. Bahkan juga berubah ujud menjadi beban perasaan berkepanjangan.
Berada diantara para lelaki, ternyata sungguh menjemukan. Dalam kondisi jauh dari sisi sang istri, tak jarang para pelaki itu menghadirkan cerita memuakkan. Cerita tentang pelayanan wanita jalang yang pernah mereka gauli sewaktu berada di perkampungan muara. Mereka bahkan tak sungkan bicara tentang payudara, bokong, pipi berpupur tebal dan bibir bergincu menyala untuk menutupi kepucatan yang membias di balik nestapa. Lantas dibumbui cerita tentang goyangan pinggul dan hal-hal lain yang mengundang hadirnya angan-angan liar. Sungguh cerita yang memuakkan, meski tak urung berubah wujud menjadi geliat purba yang tak kuasa aku tahankan.
Tiap hari, kami harus bekerja menenteng beliung dan kampak. Menggasak baner-baner pohon, menumbangkannya dengan kecongkakan sembari menghitung rupiah yang bisa didapatkan. Batang kayu yang sudah tumbang itu selanjutnya dipotong menggunakan gergaji panjang, digerakkan dengan tangan. Tak jarang pekerjaan itu harus diselesaikan hampir setengah hari, terutama bila pohon yang ditebang mencapai dianamer 150 centi lebih. Selanjutnya batang pohon yang sudah dipotong tadi, ditarik dengan kuda-kuda menuju tepi sungai. Kuda-kuda itu dibuat dari belahan batang nibung, tumbuhan sejenis rumbia yang banyak ditemukan di hutan. Batang nibung memiliki serat yang kuat dan tidak mudah pecah. Untuk menggerakkannya, maka kuda-kuda itu harus ditarik dengan kawat seling yang dibelitkan pada putar giling. Alat sederhana jni dibuat dari batang kayu ulin yang ditanam ke dalam tanah. Pada bagian tengah kayu yang ditanam di tanah itu dipasang potongan kayu lain yang melintang, tempat mengikatkan kawat seling. Kayu melintang pada putar giling itu selanjutnya diputar beramai-ramai sehingga menggerakkan kuda-kuda tempat kayu gelondongan ditaruh. Menurunkan kayu dengan cara ini cukup berbahaya, bila tidak berhati-hati. Lengah sedikit, bisa berakibat fatal tertindih kayu log yang beratnya puluhan ton. Itu berarti tubuh kita akan remuk dan nyawa pun melayang dalam sekejap.
Mestinya batang-batang kayu hasil tebangan sudah bisa dihanyutkan ke muara anak sungai tempat kami bekerja sekitar dua bulan lalu. Ternyata perhitungan kami keliru, karena tak ada hujan besar yang turun. Hingga lima bulan sampai sekarang, anak sungai ini masih juga dangkal. Hanya bisa dilintasi perahu kecil yang menjadi alat transportasi kami menuju ke perkampungan muara. Untuk itu, kami harus menempuh perjalanan tak kurang dari 5 jam.
Di perkampungan muara itulah tempat tinggal anemer, pemilik modal yang membiayai kami sebagai “pembatang.”. Berapapun dana yang kami minta sebagai perskot pasti diberikan. Maklumlah harga kayu atau batang yang kami tebang, jika berhasil keluar dari anak sungai, hasilnya jauh lebih besar. Kayu-kayu itu selanjutnya dirakit sebelum ditarik menyusuri sungai Mahakam menuju Samarinda. Di kota ini telah menunggu kapal-kapal besar yang siap memuat dan selanjutnya membawa berlayar ke luar negeri. Sang anemer yang membiayai kami, memiliki keuntungan yang berlipat ganda karena harga kayu yang dijual kepada pengusaha asing tentu saja sangat tinggi. Karena itulah tak heran, dia berani mengeluarkan biaya yang besar selama berbulan-bulan bagi ‘pembatang” yang masuk hutan.
Menunggu hujan tiba dan jauh dari pelukan istri tercinta, adalah siksaan maha berat. Apalagi selama itu, kita tak bisa melihat wajah-wajah mulus yang bersaput bedak dan bibir berpoles gincu. Akibatnya gelora yang liar mendera tak terkendali dengan penuh goda.
Bagi beberapa teman, perasaan liar itu mampu mereka tuntaskan pada saat turun ke perkampungan. Maklumlah di sana telah menunggu wanita-wanita penghibur yang menjajakan cinta sesaat. Sebagian besar mereka bekerja di warung makanan dan minuman yang cukup banyak di perkampungan tersebut. Akupun sempat memiliki pikiran yang rapuh, sewaktu berada di tengah mereka dua minggu yang lalu. Selain gelinjang hasrat yang menggelora, ditambah bujukan para pelaki yang menjadi temanku bekerja sebagai “pembatang”.
“Tak usah munafik, Han. Kita kan perlu wanita. Sekaranglah waktunya. Pilihlah salah seorang dari mereka. Cantik-cantik semua,” ujar Undat, teman sekampungku.
“Berbulan-bulan di hutan, tak mungkin kamu tidak punya hasrat untuk begituan. Kalau cuma sekali dua, itu wajar. Tak mungkin istrimu akan tahu,” timpal Imban.
“Iya, lagi pula kita kan punya uang. Buat apa menyiksa diri. Atau…., kalau kamu tak mau mengeluarkan uang biar kami yang bayarkan,” sambung Ijab.
“Percayalah, tak mungkin istrimu tahu. Ini akan jadi rahasia kita bersama,” bujuk Undat lagi.
Pertahananku memang hampir bobol. Tapi ketika Undat menyebut kata “istrimu”, mendadak aku terjengah. Aku ingat Imas, istri yang kutinggalkan di rumah bersama putra kami si Ucun yang baru berusia setahun. Karena itu ketika masuk ke kamar si wanita yang semula memang sempat menjadi incaranku, aku hanya mengajaknya berbincang-bincang Kemudian meninggalkan beberapa lembar uang sebelum keluar dari kamar tersebut.
Aku tak mau mengkhianati cinta Imas. Dia begitu setia menunggu kedatanganku yang telah sekian lama meninggalkan dirinya. Bahkan akupun tahu, betapa istriku juga memendam gelora yang sama. Hasrat yang hanya bisa dituntaskan di saat kami berdua.
“Sebenarnya aku merasa berat meninggalkan kalian berdua. Tapi demi masa depan kita, aku harus bekerja menjadi pembatang,” kataku pada malam sebelum berangkat.
Imas pun menyatakan keberatan jika kami harus berpisah. Namun karena ingin hidup kami bisa lebih baik, maka dia pun merelakan aku pergi. Aku juga nekad untuk berangkat, karena tak ingin terus didera kemiskinan yang lara.
“Berangkatlah, kak. Aku ikhlas dan akan setia menunggumu. Empat atau hanya 5 bulan, itu bukan waktu yang terlalu lama. Hidup kita perlu ada perubahan. Hanya dengan jadi pembatang, kita bisa mendapat uang berlebih,” ujar Imas.
Akhirnya akupun berangkat menuju ke daerah pembatangan. Tiga bulan berada di hutan, kelompok kami berhasil menurunkan ratusan potong kayu. Hasil penjualan kayu itu dibagi rata setelah dipotong utang masing-masing pada Pak Gusan, anemer kami. Aku dan teman-teman sempat pulang ke kampung halaman dengan membawa rupiah yang cukup banyak menurut perhitungan kami. Dengan uang itu, aku sempat membeli radio, kasur dan sejumlah peralatan rumah tangga lain.
Sekarang adalah keberangkatanku yang ke tiga kalinya masuk hutan. Agak berbeda dari yang pertama dan kedua, kali ini istriku malah menyarankan agar aku segera kembali ke hutan untuk mengumpulkan rupiah.
“Berangkatlah, kak. Empat atau hanya 5 bulan, itu bukan waktu yang terlalu lama. Hidup kita perlu ada perubahan. Hanya dengan jadi pembatang, kita bisa mendapat uang berlebih,” ujar Imas.
Aku sempat kaget degan ucapan Imas kala itu. Rupanya pikiran Imas sekarang telah berubah dibanding saat aku memutuskan bekerja sebagai pembatang dulu. Dia sudah merasakan memiliki uang cukup banyak. Apa yang diinginkan, bisa didapatkan. Bisa dibeli. Hal itu telah dibuktikan oleh Imas yang kupercaya mengelola uang dari bekerja sebagai pembatang. Dia telah membeli ranjang besi lengkap dengan kelambu, satu set kursi tamu, lemari pakaian dan juga tape recorder yang baru beredar di pasaran.
“Hati-hati, jangan terlalu boros membeli barang-barang yang kurang diperlukan. Nanti uang kita habis,” kataku mengingatkan
“Jangan khawatir kak. Aku bisa mengaturnya. Uang simpanan kita masih ada puluhan juta,” jawab Imas.
Puluhan juta? Aku sempat kaget mendengarnya. Sebab menurut perhitunganku, pengeluaran Imas sudah cukup banyak. Terutama digunakan membeli barang-barang seperti yang kusebutkan tadi. Tapi sudah ah, aku percaya jika Imas memang mampu mengatur keuangan kami.
Kali ketiga masuk hutan, perhitungan kami meleset. Setelah tiga bulan berlalu tak ada hujan besar turun. Bahkan kini memasuki bulan ke enam, juga belum ada tanda-tanda sungai kecil tempat kami bekerja bakal banjir. Dan itu berarti kami tidak bisa menurunkan batang kayu hasil tebangan selama ini. Waktu yang berjalan terasa sangat lamban dan menyiksa. Apalagi setiap waktu hanya berada diantara para lelaki yang berwajah sangar. Betapa sungguh sangat menyebalkan. Menyebalkan.
Malam itu, hingga larut malam aku masih belum terlelap. Gelisah makin terasa menderaku. Menikam dalam, menorehkan perih yang nyata. Rindu pada rumah, pada istri tercinta dan anak tersayang. Kejadian serupa ini telah hampir sebulan aku alami. Membuat kondisi tubuhku makin ringkih lantaran kurang tidur. Namun aku berusaha bertahan dan berharap hujan segera turun, sehingga batang-batang kayu bisa segera dibawa ke muara.
Muncul pikiran dalam benakku, jika kayu-kayu ini nanti berhasil dijual dan mampu mendapatkan keuntungan cukup besar, sebaiknya aku berhenti menjadi pembatang. Jauh dari istri, hidup di tengah hutan diantara para lelaki bukan hal yang menyenangkan. Uang yang kudapatkan nantinya, lebih baik digunakan untuk membuka usaha yang mampu menjamin hidup dan masa depan kami.
Pada saat mataku hampir terlelap, kami yang berada dalam barak tiba-tiba dikejutkan oleh suara teriakan histeris. Ternyata Undat yang selama dua hari mengalami demam, kini menceracau. Sampai pagi, kami tak bisa tidur karena harus menjaga dan menenangkan Undat. Lantas pagi-pagi sekali, kami berangkat naik perahu membawaUndat ke perkampungan muara. Setelah dua hari mendapatkan perawatan dari Pak Mantri, kondisi Undat agak membaik.
Berdasarkan kesepakatan teman-teman, aku yang diminta mengantar Undat untuk pulang ke kampung. Aku merasa gembira dan langsung menerima permintaan itu. Aku ingin segera kembali bertemu dengan istriku. Ingin menuntaskan hasrat yang lama tak tersalurkan.
Setelah menempuh perjalanan hampir 20 jam, kami tiba sekitar pukul 10 malam di kampung halaman. Aku segera mengantar Undat ke rumah, mempertemukan dengan keluarganya. Setelah menjelaskan kondisi Undat, aku pun pamit menuju ke rumah kami yang berjarak sekitar 100 meter dari tempat Undat.
Rumah panggung itu dari luar nampak tertutup rapat. Aku yakin Imas saat itu sudah pulas bersama si Ucun, anak kami semata wayang. Hati-hati aku mengetuk pintu, seakan tak ingin membuat Imas kaget. Mesti sebetulnya aku ingin cepat-cepat berada di dalam rumah, memeluk dan mencumbunya. Menuntaskan rindu yang terpendam.
Tedengar suara langkah kaki menuju pintu. Sesaat pintu pun terkuak. Wajah Imas yang kurindukan menyembul dari balik pintu. Sesaat dia terpana.
“Kakak pulang? Kok tak memberi kabar?”
“Aku memang pulang mendadak. Mengantar Undat yang sakit,” jawabku seraya melangkah kaki masuk. Aku menuju ke arah kamar tidur kami untuk meletakkan barang bawaan. Herannya Imas seakan ingin menghalangi langkahku. Namun aku tetap menuju ke kamar tidur, ingin melihat wajah putra kami yang pasti sudah pulas dibuas mimpi.
Hups. Aku kaget. Di tempat tidur, di atas ranjang besi nampak seorang lelaki bertelanjang dada. Aku pun mengenalinya, dia adalah Pak Gusan, anamer kami. Lelaki itu segera bangun ingin menghindar. Tapi tak mungkin keluar karena aku berdiri tepat di ambang pintu.
Tanpa harus mengutak-atik tanya, aku langsung paham apa yang telah terjadi. Begitu juga sewaktu mataku singgah pandang pada mandau tampilan yang tergantung di dinding dekat pintu kamar, aku juga maklum apa yang harus dilakukan. Mandau peninggalan kakek buyutku yang pernah digunakan melawan penjajah Jepang, selama ini memang hanya menjadi hiasan dinding. Meski ketajamannya melebihi mandau yang biasa digunakan bekerja di hutan.
Tanpa membuang waktu aku meloncat dan menyambar mandau tampilan itu, disertai teriakan histeris Imas yang berusaha mencegah. Mandau warisan itu segera kuhunus keluar dari sarungnya. Dalam hitungan detik, darah menyembur membasahi kamar tidur kami. Tubuh Pak Gusan dan Imas terkapar bersimbah cairan merah. Kedua tubuh itu hanya sesaat menggelapar, dan selanjutnya diam. Diam. Bergelimang darah.
Setelah menyarungkan mandau pusaka, aku pun duduk terhenyak. Aku tak menduga kalau hal tersebut bakal terjadi. Namun aku merasa puas. Ya, tak sedikit pun ada sesal. Demi harga diri, aku sama sekali tak menyesalinya. Meski aku sadar, harus mempertanggungjawabkannya.
Bahkan ini adalah awal aku kembali hidup di antara para lelaki. Ya, para lelaki. Meski dalam suasana dan kondisi jauh lebih mencekam. Memuakkan dan lara. Bukan di tengah belantara sebagaimana yang pernah kujalani selama ini. Melainkan di balik tembok penjara. Ya, penjara. Tapi aku merasa puas. Harga diriku sudah terbayar lunas. ***
** Kota Tepian, 2007
Darah
:: Habolhasan Asyari
KEGALAUAN itu kembali mendera. Datang menghantui. Selama tiga hari belakangan ini dia selalu merasakan hal tersebut. Resah dan gelisah. Malam yang berlalu terasa begitu panjang. Lengang. Mencekam.
“Sialan!” kutuknya di hati.
Dan lelaki muda itu memang hanya mampu begitu. Selalu mengutuk, tapi hanya dalam hati. Lidahnya terasa kelu. Meski hati dan perasaannya galau, tidak ada kata-kata lain yang bisa keluar dari celah bibirnya. Kecuali caci maki dan cercaan.
“Brengsek. Sungguh brengsek”, jeritnya.
Tapi lagi-lagi jeritan itu hanya menggema di rongga dada.
Resah yang menyeruak dalam benak, membuatnya tak mampu memejamkan mata. Meski terasa berat didera kantuk ditambah badan yang lelah luar biasa, namun pria muda berusia sekitar 25 tahun tersebut tetap tak bisa terlelap barang sekejap.
Di tengah resah yang terus membuncah, dia bangun menuju ke arah jendela. Menyeret kedua kaki yang bagai diganduli batu padas puluhan bongkah. Tangan kanannya kini merogoh kantong celana. Dikeluarkannya rokok yang bungkusnya sudah lusuh. Diambilnya sebatang. Kemudian tangannya pelan naik menyelipkan rokok tersebut di sela bibir. Setelah mengembalikan sisa rokok ke dalam saku, tangannya mencari-cari korek api yang juga tadi disimpan di sana.
Beberapa puluh detik kemudian, tangannya keluar seraya mencekal korek api yang memang diharapkannya. Menyalakan dan menyulut rokoknya. Menghisap asap putih dalam-dalam sebatas dada. Pelan-pelan dihembuskan, mengotori udara sekitar ruangan.
Langkahnya kini tiba di depan jendela yang tertutup. Terdengar derit gerendel yang ditarik dengan tenaga cukup kuat. Daun jendela itu pun terbuka. Pandangannya kini dilemparkan jauh ke luar. Mencoba menerobos tirai malam yang terbentang di depan wajahnya. Di tariknya nafas dalam-dalam, kemudian dihembuskan lagi seakan-akan ingin membuang galau yang ada.
“Tidak ada jalan lain, bang. Hanya itu satu-satunya pilihan terakhir”.
Kini suara itu kembali terngiang di telinganya. Itulah suara Pariyem yang seolah-olah tak mungkin terbantahkan lagi.
“Masa tidak ada pilihan lain?” ujarnya balik bertanya.
“Tidak ada, bang Parman!”
“Saya pikir masih banyak jalan penyelesaian…..”
“Tidak, tidak mungkin ada jalan lain!”
Laki-laki muda itu terjengah. Suara Pariyem yang tadinya pelan, tiba-tiba berubah keras. Nyaring. Bahkan rasanya lebih dahsyat dibanding gelegar petir yang pernah ia dengar selama hidup.
Seketika dia berbalik, memandang Pariyem yang sejak tadi berdiri disampingnya. Dadanya mendadak bergetar, wanita muda di depannya yang selama ini santun kini mendadak berubah bagai serigala yang murka. Matanya merah menyala. Tak berkedip menatap ke arahnya.
“Pariyem, kau…………….”
“Abang jangan mencoba lari dari kenyataan. Ini adalah fakta bang. Fakta!”
“Aku tahu. Memang ini kenyataan yang harus kita hadapi. Tapi bukankah masih ada jalan lain. Tapi tak harus menikah”.
“Jadi, abang tidak mau bertanggung jawab?!”
“Bukan begitu, Pariyem. Abang tetap akan bertanggung jawab”.
Parman mencoba menyejukkan hati wanita muda di depannya. Tapi Pariyem masih terlihat galak. Siap menerkam, bila saja lelaki di depannya ini tersalah kata.
“Kalau abang siap bertanggung jawab, tidak ada pilihan lain kecuali yang saya sebutkan tadi”.
Nada suara Pariyem kini memang agak sedikit melunak. Namun kalimat yang ia ucapkan tetap dengan tuntutan yang tidak terbantahkan. Tegas. Tidak bisa ditawar-tawar.
“Pariyem, cobalah mengerti. Kita belum siap”.
“Tidak ada kata belum, bang. Jangan mencari alasan yang tidak-tidak”.
“Tapi aku belum punya pekerjaan tetap”.
“Perutku ini semakin membesar. Tidak mungkin menunggu sampai abang dapat pekerjaan. Aku tidak mau anak ini lahir tanpa kejelasan siapa bapaknya”.
“Kita cari dukun. Gugurkan saja kandunganmu itu”.
Plak!!
Sebuah tamparan hinggap di pipi lelaki muda itu. Disusul tendangan lurus hinggap di tulang rusuk. Tubuh Parman terjengkang. Jatuh ke parit di bawah bangku yang dia duduki. Baju kesayangannya kini berlepotan dengan lumpur berbau busuk.
“Abang lelaki pengecut!”, pekik Periyem.
Kini dia nampak sangat marah. Murka.
Parman merasa pipinya bagai terbakar, perlahan bangun. Sektika harga dirinya ikut terbanting bersama tubuhnya yang terkapar di comberan parit.
“Kau keterlaluan, Pariyem”, tudingnya.
“Abang yang keterlaluan. Tidak mau bertanggung jawab”, kata Pariyem seraya mengayunkan kakinya.
Duggg!! Sebuah tendangan mendarat di dada lelaki muda itu. Tubuhnya terhuyung, namun tak sampai masuk parit seperti tadi. Dia memang cukup siaga, meskipun tak bisa mengelak dari tendangan Pariyem yang pernah belajar bela diri pencak silat ketika masih berada di kampung.
Brrrrr!!! Darah yang ada di rongga tubuh lelaki muda itu sekarang seolah naik ke kepala, menjadikan wajahnya merah padam. Telinganya berdenging.
Dengan sigap lelaki muda itu bangun.
“Kau keterlaluan Pariyem”, hardiknya.
Beringas, bagaikan singa yang bertemu dengan mangsa dia lantas meloncat. Tangannya hinggap di leher Pariyem. Erat. Ketat.
“Kubunuh kau!”
Pergumulan tak terhindarkan. Pariyem memberikan perlawanan ketat. Dia juga merasa harga dirinya telah dicabik-cabik oleh lelaki muda yang dulu berjanji siap bertanggung jawab. Dia termakan bujuk rayu dan janji yang dilontarkan. Tidak ada lagi batas diantara mereka. Kehormatan diri yang selalu diwanti-wanti oleh orang tua dan kakek-nenek agar dijaga, telah ia serahkan.
***
Semenjak kejadian tiga malam lalu, kegundahan dan kegalauan selalu datang menghantui. Parman tak bisa beristirahat dengan tenang. Setiap kali ingin tidur, tiba-tiba kegalauan datang mendera.
“Aaahhhh”.
Berkali-kali ia menghela nafas dalam. Tapi kegalauan yang bergelayut di hatinya tidak juga lenyap.
Bayangan pertemuannya yang terakhir dengan Pariyem tiga malam lalu, datang menjelma. Bahkan kini seolah begitu nyata. Lelaki itu kembali merasakan begaimana tangannya tergenggam erat, mecekik leher wanita yang selama setahun terakhir banyak berkorban untuk dirinya. Termasuk pula rela digauli, meskipun mereka berdua belum disahkan oleh tali pernikahan. Permainan cinta terlarang itu menurut keduanya adalah bukti dari sebuah cinta sejati.
“Kubunuh kau!” pekik Parman yang telah diliputi kalap.
Selanjutnya dia membenturkan kepala wanita yang selama ini dia sayangi ke aspal jalanan. Sampai akhirnya tubuh wanita itu terkulai. Diam. Kepalanya pecah. Darah menggenangi aspal dingin dari luka yang menganga.
Sesaat setelah itu, Parman pun diliputi kekalutan sempurna. Tanpa disadari, ternyata dia kini telah menjadi seorang pembunuh. Ya, pembunuh!
Tiba-tiba rasa takut menghinggapi dirinya. Kalau perbuatan ini diketahui orang lain, tak ayal lagi bakal berurusan dengan pihak berwajib. Selanjutnya pintu penjara terbuka untuk memberikan tempat selama puluhan tahun bagi dirinya.
Membayangkan dinding penjara yang kokoh dan dingin, lelakl muda itu bergidik.
“Aku tak mau masuk penjara”.
Lantas dengan sisa tenaga yang masih ada, dia pun menyeret tubuh Pariyem yang mulai kaku menuju ke arah tepian sungai yang berjarak sekitar seratus meter. Keringat membasahi sekujur tubuh dan nafasnya pun tersengal-sengal. Namun dia terus menyerat tubuh si wanita yang telah banyak berkorban untuk dirinya.
Tubuh Pariyem memang berhasil diceburkan ke sungai. Sampai saat ini, belum ada yang menemukan jasadnya. Sekalipun demikian, hati lelaki muda itu tidak pernah merasa tenang. Jiwanya selalu galau. Gundah. Resah. Gelisah.
Dia masih terpacak di depan jendela. Suasana semakin beku. Tidak ada angin malam berembus. Hawa panas terus menerpa, menjilati tubuhnya yang bermandikan keringat.
“Bang!”
Sebuah suara lembut terdengar dari arah luar. Parman sangat akrab dengan suara itu. Dilemparkannya pandangan ke luar.
Happpp!!! Di jalan di luar jendela, Pariyem berdiri sembari melemparkan senyum paling manis. Lelaki itu terkesiap. Tubuhnya berguncang. Ada rasa takut menjalari di sekujur tubuh.
Dengan beringas ditariknya daun jendela. Ingin menutup jendela itu rapat-rapat. Namun tiba-tiba dia merasa ada cairan hangat mengalir di sela jari kedua tangannya. Dan kembali dadanya berdebur, ternyata kedua tangannya penuh dengan noda. Sebelum tubuhnya yang limbung jatuh dengan kepala membentur lantai, mengakibatkan tengkoraknya retak, lelaki muda itu berteriak histeris: “Daraaaahh!!!” ***
** Tenggarong, 1 Mei 2000