Lelaki Pemburu Petir

oleh hajriansyah

Cerita ini bermula dari sebuah catatan dari seorang sarjana yang datang dari kota ke kampung kami. Kami paham, bahwa petir memang demikian indah. Di ujung kampung, di tebing sungai di bawah pohon rambai yang menjuntai indah, kami permaklumkan sebagai kubur Datu Petir; seorang yang bijaksana yang pernah mengajari kami tentang potensi kebaikan pada diri manusia.

Lelaki pemburu petirLelaki itu melangkah pergi ketika hari itu hujan deras mengguyur tanah perkampungan berawa-rawa. Di sebuah tikungan ia membelok, dan ia berdiri di atas jembatan menghadap ke sungai. Sungai kecoklatan warnanya. Hujan menubi-nubi ke lumpur di bawahnya. Lumpur-lumpur bercampur air, mewarnai sungai yang dingin. Sebuah petir berlarian di ujung langit sana. Cahayanya serupa akar menjalar yang membayang dalam lompatan yang sangat cepat. Gdublaar! Duarr! Daarr!

Ia memandang berpicing mata. Ia mencari di mana titik lenyap runcing petir berakhir. Ia menerjunkan dirinya ke sungai. Ia berenang seperti kesetanan—seperti terbang—dan kemudian menyelam. Lama ia menghilang di kedalaman. Tak terlihat bayangan. Setiba-tiba ia membuncah serupa gelombang, seperti meloncat dari air, dan.. duaarr!

Lelaki itu terkulai di atas sungai. Tubuhnya mengambang seperti dahan yang patah dibawa arus. Hujan menindihnya dengan dingin yang terus-menerus memukul, seperti tangan yang tak pernah lelah. Beberapa saat mengambang, tubuhnya kemudian tenggelam. Hujan semakin deras. Petir tak lagi menyambar; hanya air, tumpah, mempercepat arus yang berlari.

* * *

“Tahukah Kau, petir adalah loncatan arus yang berkekuatan puluhan ribu amphere, yang mencari persamaan di benda-benda yang disambarnya?”

Aku memicing mata, membenarkan letak kaca mata, dan tampaklah kebodohanku. Si pencerita itu membuka bukunya di tengah halaman yang setebal asahan pisau itu.

“Loncatan arus itu begitu indah jika engkau memperhatikannya.”

“Tapi mematikan, bukan?” aku bertanya lugu, dengan nada yang hampir seperti menggerutu. Ia tersenyum dan menunjuk ke gambar yang ada di bukunya. Aku menyondongkan badan, mencoba memperhatikan yang ditunjuknya. Namun aku tak paham, apa yang dimaksudnya indah itu. Aku kembali ke posisi semula dengan berkerut kening. Ia tersenyum, hampir tertawa.

“Bayangkan kalau kamu berdiri di lantai dua rumah orangtuamu yang menghadap ke muara sungai itu. Bayangkan saat kau berdiri memandang sungai itu hujan deras, dan kamu duduk di depan pintu terbuka, di depan serambi dengan pegangan pagar kayu di mukamu. Atap seng rumahmu yang berkarat di atas kepalamu menutup pendengaranmu..” ia berhenti sebentar memerhatikan sejauh mana aku paham terhadap kata-katanya. Aku menganggukkan kepala, sebuah isyarat bahwa aku paham, dan ingin diteruskan.

“Pendengaranmu tertutup karena denting air begitu keras menghantam atap seng di atasmu, dan setiba-tiba sebuah suara mengejutkanmu, dalam gelegar yang tak kau perhitungkan sebelumnya, dan engkau setengah terhuyung ke belakang. Lebih mengejutkan dari suara itu, sebuah pemandangan lewat di hadapanmu. Seperti kilatan lampu blitz yang menyinari anak sekolah sewaktu berbaju seragam di Studio Foto Ahim di Pasar Baimbai. Seperti akar menjalar dengan dua-tiga warna. Biru-hijau-ungu..”

“Indah?”

“Ya, indah! Penggabungan dari warna-warna, garis spontan dan menjalar, suara yang menggelegar. Kekagetanmu itu bagian dari yang indah.”

* * *

Dulu aku memang bodoh. Orang-orang menyebutku idiot. Tapi itu dulu, kini aku telah banyak paham kehidupan, cerita-ceritanya, rahasia-rahasia di baliknya.

Setelah aku dianggap hilang delapan tahun yang lalu, di hari hujan lebat dan guntur terdahsyat di kampungku. Bunyi yang tak lazim, yang menandakan sebuah kematian. Tapi orang-orang tak menemukan mayat yang hangus, atau tubuh yang hitam yang tergeletak entah di tanah lapang atau di tepian sawah atau sungai. Hanya aku yang hilang, tapi apalah artinya kehilangan aku, selain kedukaan ibuku saja. Hanya selentingan kabar yang tak begitu berarti: si idiot hilang!

Cerita lelaki dari kota itu begitu memukauku waktu itu. Sepanjang malam aku tak dapat tidur, memikirkan apa yang disebutnya indah itu. Bagaimana mungkin petir yang menakutkan dan mengejutkan itu dikaitkannya dengan kata indah yang tak kumengerti. Kata yang dalam imajiku kemudian adalah sesuatu yang berharga. Lebih berharga dari hidupku yang hanya membuat malu ayah hingga kematiannya, dan membuat ibu selalu menangis jika mendengar orang mengejekku. Ya, belum pernah aku merasa berharga sebelum cerita lelaki itu, yang begitu menghargaiku, sehingga mau bercerita dan bersabar atas responku.

Sepanjang malam itu aku berpikir, apakah yang disebutnya ‘indah’ itu dapat membahagiakan ibu. Dapat membuatku berarti. Berharga! Didengarkan orang lain, diperhatikan, diceritakan, dan menjadi buah bibir yang membanggakan ayah di kuburnya.

Umurku tiga puluh dua saat itu. Tapi fisikku dan pikiranku seperti anak kecil berseragam sekolah dasar. Dan aku hanya tersenyum jika anak-anak dengan seragam itu mempermainkanku. Aku senang meski hanya jadi bahan olokan, setidaknya ada yang menganggap kehadiranku. Orang-orang seumuranku hanya lewat jika berada di sekitarku, mereka tak menganggapku ada. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka, atau mereka malu jika didapati bersinggungan denganku: tidak level!

Andai saja tak pernah datang lelaki kota itu ke kampungku, tentu aku akan mati dalam kesepian dan lalu-lalang hidup orang-orang yang terus tumbuh. Lelaki dari kota itu, adalah sarjana yang kesepian. Setidaknya begitulah katanya padaku di suatu waktu. Ia merasa kesepian, karena dianggapnya orang-orang di kota terlalu berpikir sederhana. Orang-orang sekolah sampai tinggi dan belajar hanya untuk bekerja—tidak lebih dari itu, katanya; mereka tak memiliki obsesi yang dalam terhadap sesuatu.

Dan ia begitu terobsesi pada petir.

Ia—lelaki dari kota—selalu bicara tentang obsesinya pada petir pada semua orang. Dan tak ada yang mendengarkan begitu antusias, seperti aku mendengarkan bicaranya.

“Yang positif turun ke bumi, dan yang negatif naik ke ionosfer.  Petir adalah kumpulan arus yang meloncat dari awan ke awan, saat cumulonimbus menutup langit. Langit gelap, setidaknya begitu tanda dari petir akan datang, dan kita dapat memandangnya sebagai suatu waktu di hari yang indah, dari kejauhan. Sesekali petir mencari persamaannya di bumi, di tanah, di pohon, atau di tubuh manusia yang lena akan hujan.” Ia bercerita dengan buku di tangan. Sesekali juga kuperhatikan, ia membawa kamera yang katanya, “untuk merekam keindahan.” Ya, petir!

Kusentuh kamera itu, dan ia mempersilakan, seraya kemudian menunjukkan hasil-hasil jepretannya. Gambar-gambar petir dalam berbagai nuansa dan warna itu memang memukau, hingga aku tak takut jika melihatnya dalam kenyataan—andai seperti di gambar-gambar itu.

Kata ibu, aku lahir di hari petir sambar-menyambar di udara. Hari itu begitu menakutkan, kata ibu. Bahkan bidan yang sedianya membantu persalinan ibu tak jadi datang. Bidan itu begitu takut, seperti katanya pada ayah yang datang kemudian berbasah-basah dan penuh penyesalan di samping ibu yang mengejan…

Duarr! Dar! Gdublar! Ayah terkejut—ketakutan—dan ibu memekik, dan lahirlah aku tanpa tangisan. Hanya saja rupa kecilku begitu pucat diantara balutan darah, kata ibu.

* * *

Setelah sambaran petir ke sungai itu, bersama dengan hilangnya lelaki yang kami kenal sebagai si idiot, air sungai sehari sesudahnya menjadi begitu tenang, lebih tenang dari hari-hari sebelumnya. Orang-orang memang sempat mencari sebentar, tapi tak terlalu lama hingga mereka menyimpulkan dan menginsafi takdir si idiot bersama petir dan kedalaman sungai. Ibunya terus menangis dan bersedih hingga sakit-sakitan, dan setahun kemudian meninggal. Meninggalkan rumah kayu berlantai dua yang hampir roboh di tebing sungai, di hilir menjelang muara.

Orang-orang tak pernah membicarakannya lagi. Keluarga itu hilang bersama kemalangan mereka dari pergaulan kampung yang sederhana. Tak pernah diceritakan lagi. Hingga kemudian datang seorang bijak ke kampung itu, sepuluh tahun kemudian.
Orang bijak itu datang saat hujan lebat dan petir menggelegar di penjuru kampung. Aku menyaksikan petir yang begitu indah di hari kedatangannya. Sebuah kilatan berwarna keunguan, memanjang dari ujung langit ke muara sungai. Dan lelaki itu datang dari sana, mengayuh jukung sudur dengan tangannya yang kokoh. Jukungnya seperti terbang di udara. Seperti tak menyentuh air sungai.

Orang yang tampak bijaksana itu menambatkan jukungnya di batang, di dermaga pasar. Ia naik ke darat dan menyapa orang-orang yang berkumpul di warung—baik yang berteduh maupun yang sedang menyantap mie kuah yang panas untuk menghangatkan badan, juga yang berbincang untuk menghangatkan suasana—di hari yang basah dan bergemuruh.

Ia memperkenalkan diri sebagai pengembara yang kehujanan dan ingin berteduh di sebuah kampung yang diharapnya dapat menerima untuk tinggal dan menghabiskan sisa perjalanan. Perjalanan hidup yang katanya tak akan sampai dua tahun lagi, baginya. Ia memperkenalkan diri dengan nama Rahman. Nama yang mengingatkan orang-orang tertentu pada si idiot yang telah lama tak diperbincangkan. Si idiot yang lama menghilang.

Orang-orang di warung itu terpana saja. Sikapnya yang santun dan rupanya yang bijaksana tak membuat orang curiga dan berprasangka.

Mereka menyambutnya sebagai kehangatan yang datang pada hari-hari yang dingin di kampung mereka. Dan memang, kemudian, kehadiran orang itu menghangatkan kampung dengan sikap dan pengajarannya yang bijak. Ia tinggal di samping surau di pinggir sungai, yang dibangun sesudah robohnya rumah kayu berlantai dua tujuh tahun yang lalu.

Lelaki berumur kurang lebih empat-puluh tahunan itu tinggal di semacam pondokan yang berhubungan dengan surau, dengan semacam titian, yang dibangunnya bersama beberapa orang kampung yang mengaguminya. Ia mengajari mereka kebijaksanaan hidup, kemampuan membangun hidup di kampung yang sederhana dengan pengetahuan yang tak pernah mereka pelajari sebelumnya. Ia mengajari mereka tanda-tanda alam dan memanfaatkan tanda-tanda itu untuk keseharian mereka di sungai, di sawah, dan bagaimana perilaku hidup yang luhur pada mereka. Terutama ia mengajari mereka tentang petir.

Ya, petir. Kalau dulu aku selalu memperbincangkan tentang keindahan petir ke orang-orang, dan tak ditanggapi, ia mengajari mereka kegunaan petir.

Dulu aku selalu bicara tentang petir, dan hanya seorang idiot yang mendengarkanku dengan begitu antusias. Kini, orang itu mengajari mereka petir dengan mendapat perhatian yang lebih dari orang-orang—sementara aku telah lelah bicara petir. Bahkan, gambar-gambar indah petir di kamarku telah usang, bersama kameraku yang  telah rusak.

Suatu hari seseorang yang sedang sial disambar petir ketika sedang melunta di sungai. Orang-orang membawanya ke lelaki bijaksana di pondokannya di samping surau itu. Lelaki yang tubuhnya menghitam dan masih sepenggalan nafas di tenggorokannya itu diusapnya di dada. Dan sebuah cahaya seperti tertarik ke tangannya, bersama tubuh yang menguning dan bernafas sempurna. Orang-orang menceritakannya dengan rupa yang demikian, seakan, tak percaya. “Ia menarik petir dan mengembalikannya ke langit, dari tubuh Ijuh yang menghitam sebelumnya,” kata seseorang dengan nada membangga—seperti membanggakan gurunya.

Dan orang-orang pun merubungnya. Berusaha memahami sifat petir dan apa yang dapat dimanfaatkan darinya.

“Petir hanyalah loncatan potensi yang tak sempurna. Kita pun memilikinya di dalam diri kita. Apa-apa yang positif tak selalu ada di dalam diri kita, kita pun memiliki hal-hal yang bersifat negatif; yang terpenting adalah menghargai setiap tindakan, meskipun ia menurut kita tak lebih dari sebuah loncatan yang tak berharga. Lebih penting lagi, dapat memanfaatkan potensi-potensi itu untuk menyelesaikan apa-apa yang kita anggap masalah dalam hidup kita.” setidaknya begitulah inti ajarannya, yang kudengar untuk menghapus rasa penasaranku. Dan sungguh, begitu indah kedengarannya.***

27 Juli 2008

Ayah

 oleh hajriansyah

Jika kau datang dari Surabaya seperti biasa, maka aku akan menjemputmu di bandara dengan riang. Kuingat engkau datang dengan koper berwarna cokelat, atau kadang juga yang berwarna hitam—kotak dengan sudut-sudut yang lembut. Koper itu, dengan angka-angka kecil seperti roda yang diputar, utak-atik, untuk membuka kode pembukanya—aku senang memainkannya waktu itu.

Aku dan Hasan akan masuk ke ruang tunggu dan melihatmu, dari kaca, keluar dari pintu pesawat dan menuruni tangga. Lalu kau berjalan, dan ketika kau menatap kami, maka kau akan tersenyum dan kami dengan keriangan khas anak-anak menyambutmu di pintu kedatangan. Setiap dua bulan sekali selalu seperti itu, dulu.

Jika sore engkau pergi ke masjid, yang tanahnya adalah wakaf darimu, dengan berjalan kaki, maka aku mengejarmu di belakang dengan berlari. Engkau berjalan sangat cepat. Ketika sampai waktu maghrib dan sirine dari radio dari masjid raya berbunyi seperti peluit yang panjang, engkau dorong aku untuk mengumandangkan adzan. Aku akan maju ke depan paimaman dan meraih mik dan dengan lantang menyeru orang-orang untuk datang. Datang ke masjidmu yang sederhana.

Demi waktu yang berjalan tetap

Sesungguhnya manusia lalai dan merugi

Kecuali mereka yang beriman dan berbuat baik,

yang saling berbagi kebenaran dan tetap berkesabaran

(Surah Al-Ashr: 1 – 3)

* * *

Adakah yang mesti disesalkan; karena kita semua akan mati. Tak pernah aku menafikan itu, bahkan aku telah bersiap, jauh… saat kau mulai terserang stroke, dan terus-menerus, berulang-ulang—keluar dan masuk rumah sakit. Ya, jauh hari aku telah siap Ayah. Meski kematianmu di hari itu tetap saja membuatku tercengang. Seperti tak benar-benar terjadi. Dan aku memelukmu terakhir kali, seolah aku tak pernah memelukmu sepanjang hidupku. Hanya butir air mata yang bergulir dari ujung kelopakku. Aku memejam, melepasmu, dan ikhlas.

Adakah kematian seindah kematianmu, Ayah. Entahlah. Tapi hari itu begitu cerah, sebelum gerimis mengantarmu ke pekuburan: rumah terakhirmu. Hari itu kami, anak-anakmu—bahkan dari tempat terjauh—berkumpul di sekelilingmu. Membuka kain penutupmu. Memandikanmu bersama-sama di ruang tengah. Wajahmu nampak bersih. Setiap pori-porimu seakan menutup rapat, mengencangkan pipimu, badanmu, yang beberapa hari sebelum ini telah mengisut dalam lipatan-lipatan yang mengkerut dalam ketuaanmu.

Kusiramkan air dari kepalamu, turun sampai ke kakimu. Mengelap setiap bagian tubuhmu, sambil terus mulut kami menyebut nama Tuhanmu; Tuhan kami; Tuhan kita sekalian alam. Kami lepas engkau dengan segala ikhlas, meski air mata kami tetap berlinangan. Dan kami tahan jerit di dada kami, agar kau melayang ke sana dengan tenang—penuh keridhaan. Lalu kami kafani tubuhmu dengan kain putih bersih yang sederhana, sesederhana pakaian-pakaianmu yang lain sebelum ini—yang tak pernah mewah dan berlebihan.

Dan kami bawa tubuh fanamu ke masjidmu. Seperti berlari kerandamu disambut-gotong orang-orang. Begitu cepat sampai ke masjid, seperti biasanya engkau berjalan di sore hari menjelang maghrib dan aku mengejarmu dengan sarung yang kedodoran, di masa kecil; atau seperti saat masih hitam di langit sana, menjelang subuhmu di masjidmu yang telah lama sekali kau tinggalkan, semenjak stroke menyerang tubuhmu.

Siang itu ayah, sebelum zuhur, kau kami antarkan dalam shalat jenazah yang terasa seakan begitu panjang. Terasa doa-doa begitu panjang. Dan kami lepas engkau dengan “Khair! Khair! Khair!” dan semua orang yang hadir mengamini: “Khair… Khair… Khair….” Semoga benar, segala kebaikanmu mengantarmu berlari menuju Tuhanmu, Tuhan sekalian alam.

* * *

Jika kau datang dari Surabaya, dan aku menunggu penuh harap oleh-oleh yang akan kau bawakan untukku, maka aku akan berlari menyambutnya di pintu kedatangan. Kau tersenyum, selalu tersenyum. Lalu di dalam sedanmu aku akan bercerita panjang, sepanjang satu atau satu setengah bulan kau tinggalkan.

Sesampainya di rumah, kau akan meletakkan tas kotakmu di kamar, tentu setelah bertemu ibu dan kau ulurkan tanganmu untuk ia cium; lalu kau keluar menyuruh paman sopir untuk pulang saja dulu setelah ia memarkir mobilmu di garasi; lalu kau keluarkan bungkusan kecilku, atau kotak mainan yang akan menggembirakan aku dan Hasan kecil. Lalu kami berlonjakan, terkadang berebutan, meski masing-masing kami telah adil kau beri satu-satu. Lalu ibu akan mengeluarkan apel, anggur—oleh-oleh rutinmu jika datang dari Surabaya. Lalu kami akan memakannya lahap, seakan tak pernah merasakan manisnya apel dan anggur selama sebulan.

Lalu sorenya, kau akan berjalan ke masjid untuk maghrib berjamaah. Bertemu teman-teman yang tak kau jumpai selama sebulan, sekaligus membicarakan keuangan masjid selama kau tinggalkan. Ya, kau bendahara masjid abadi, sepanjang kau wakafkan tanahmu dan kau sumbangkan sejumlah besar uangmu untuk lebih dari dua pertiga keselurahan bangunan itu, yang hampir di setiap maghrib dan isya-nya mengumandang suara azan kecilku. Akan kau habiskan waktu di antara maghrib dan isya, jika tak sedang ada ceramah, untuk berbincang-bincang: masalah kampung, keseharian para tetangga, dan sekadar menyapa jika saja ada yang membutuhkan bantuanmu.

Setelah isya selesai dan wirid sempurna ditutup doa dan shalawat berkeliling, kita akan pulang bergandengan tangan. Terkadang aku mengajukan permohonanku di saat seperti itu, saat kita berjalan pulang ke rumah dengan tenang: sebuah sepeda, atau bisa saja mainan yang baru saja kulihat siang tadi di pasar bersama ibu. Engkau akan tersenyum, memberitahuku manfaat dan tidak manfaatnya barang-barang yang kuinginkan itu, dan kau tak berjanji—karena kau tahu aku akan terus merengek merongrongmu untuk sesuatu yang telah kau janjikan. Engkau hanya tersenyum, dan jika saatnya tiba, bisa saja permintaanku—nanti—telah mewujud tiba-tiba di hadapanku.

Dan jika subuh datang, kau akan membangunkanku. Mengajakku ke masjid. Dan jika aku bangun dengan keriangan anak kecil, tanpa tangis, menyambut hari datang, maka aku akan ke masjid. Berjalan menjelang subuh di masjid, sementara senandung pujian terhadap Tuhan terus dikumandangkan dalam gema yang dilepas dari corong-corong pengeras suara yang bersahutan; dan sekadar peringatan, “Shalat lebih baik daripada tidur! Shalat lebih baik daripada tidur!”

Lalu kau akan melepasku sekolah, kadang kau antarkan dengan motormu, atau kadang aku bersepeda bersama teman-temanku sesekolah. Lalu kau mungkin akan ke kantormu setelah itu. Pulang pada saat tengah hari, untuk zuhur dan makan siang, dan kemudian berangkat kembali ke kantor—sekitar satu kilometer dari rumah—dengan motormu.

Di malam hari kita berkumpul di ruang tengah. Di depan televisi, terkadang sambil mengacuhkan acara TVRI-nya, berbincang, berceloteh ria, untuk kemudian ditutup jam sepuluh malam tepat—sesudah acara “Dunia dalam Berita”. Dan kami benar-benar harus tidur sesudah itu.

Di mata tetangga kau dikenal sebagai dermawan yang ringan tangan. Kau tak pernah merendahkan orang yang datang butuh pertolongan, utamanya dalam hal keuangan. Sudah tidak diragukan lagi, namamu terkenal sepanjang jalan ke rumah kita. Siapa yang tak tahu namamu jika ada tamu yang tak tahu menuju, dan bertanya—sepanjang komplek kita. Orang akan menunjukkan rumah kita dengan senang.

Jika buah-buahan—jambu, mangga, sawo—di pekarangan kita berbuah semarak dan banyak, kau akan membagikannya ke tetangga-tetangga kita, untuk sekadar merasakan manis yang sama kau rasakan. Ibu akan menaruhnya dalam kantong-kantong plastik yang akan dibagikan, setidaknya buah-buah itu, utamanya mangga manalagi yang manis itu, sesedikitnya cukup untuk dibagikan ke sepuluh rumah di sisi kanan, dan sepuluh rumah di sisi kiri rumah kita, dalam kantong plastik yang berisi dua atau tiga buah. Ya, pekarangan rumah kita serupa kebun tak habis-habisnya.

Jika sore, sesudah ashar, di kebun kecil itu aku biasanya mengajak teman-teman bermain sekalian memunguti daun-daun kering. Seperti katamu, sampah daun kering harus dirapikan di sudut pekarangan, dan biarkan ia membusuk atau dibakar jika aku tak keberatan. Dan pekarangan kita selalu bersih; dan tanah berkerikil kecil itu terus menyokong tetumbuhan yang subur.

Jika datang ramadhan menjelang idul fitri, maka rumah kita akan penuh dengan orang-orang, bahkan yang datang dari jauh—yang bukan tetangga kita. Kau mengeluarkan yang sepenuhnya mengalir dari tanganmu, berupa zakat yang kau percaya akan mensucikan kembali hartamu. Dan jika datang idul fitri, sesudah shalat ied, maka rumah kita akan penuh lagi dengan orang-orang. Tetangga, kerabat dekat, kerabat jauh, keluarga mudamu semuanya berdatangan bersilaturrahmi, bersalaman, mencium tangan, mengucapkan doa dan kebaikan; agar hidup terus berjalan dengan iramanya yang seimbang.

Rumahmu benar-benar sorga bagi setiap orang yang datang dan yang di dalamnya; dan tangis kecil kekanakan, bentakan sengit kecil mengingatkan, adalah bebunyian ritmis yang musikal, yang indah jika kukenangkan saat ini—saat engkau telah tiada.

* * *

Jika kau datang dari Surabaya, dari mengurus usahamu di sana dan isteri tuamu—mama tuhaku—selama satu atau satu setengah bulan, maka kami akan menyambutmu dengan keriangan. Entah jika tak dapat menjemputmu ke bandara, karena mungkin saja kau datang saat aku sedang bersekolah, kedatanganmu tetap sebuah kebahagian bagi kami, isteri muda—mamaku—dan anak-anak kecilmu ini. Kehadiranmu adalah kehangatan, apalagi jika kau datang membawa saudara tuaku, kehangatan itu tetaplah kehangatan yang kami bagi bersama. Kau tak pernah membedakan kami semua. Kaulah ayah kami semua, yang darimu tetumbuhan subur berkembang. Berwarna-warni dan semarak.*

 

 

 

Di Panggung Seniman Tua

oleh hajriansyah

di-panggung-seniman-tua2Seorang seniman tua duduk di kursi sana. Di sebuah panggung. Matanya berlinangan. Ia memendam kebanggaan di basah kedua matanya. Panggung begitu mewah baginya malam ini. Sudah lama tak seperti ini, pikirnya, sejak pertama kali menaiki panggung semasih mudanya.

Malam itu banyak sekali pejabat yang datang, membawa puja-puji penuh keharuan. Orang datang begitu banyak, dan gedung kesenian itu bergemuruh. Bergemuruh sampai terang segala pendengarannya. Lampu-lampu bersinaran terang sekali, menyorot kedua matanya yang basah dan sembab.

Duduk di barisan kursi depan penonton, gubernur dan wakil gubernur bersama jajarannya, juga walikota dan beberapa pejabat lainnya. Di baris kedua ada orang-orang kaya, pengusaha, dan orang-orang terhormat lainnya. Di belakang mereka semua masyarakat dari berbagai kalangan; mahasiswa, pelajar, orang kampung, orang pinggiran dan seniman. Mereka begitu antusias semuanya, padahal tempat itu—hari itu—hanyalah tempat sederhana dengan fasilitas sederhana, terutama untuk para petinggi dan orang-orang kaya, yang memungkinkan mereka berkumpul jadi satu dalam irama yang kadang syahdu dan banyak kali penuh keriangan.

Tak ada yang seindah tempat itu, selama ini bagi seniman itu selama hidupnya. Ia membayangkan surga yang paling indah datang padanya di hari pertunjukan itu sebelumnya, dan kini ia telah bersaksi atas surga yang dijejakinya.

Seniman tua itu, sebut saja Abah Juli namanya, telah banyak kali memimpikan ada penghargaan yang sepadan dengan kerja para seniman, sampai pernah ia menangis sesenggukan sendiri di pojok gedung yang bernama Balairung Sari, suatu hari sehabis gladi kotor sebuah pertunjukan untuk lawatan keluar negeri. Ia akan mewakili daerah dan negerinya waktu itu bersama grup panting pimpinannya ke Malaysia, tapi sebagai duta negara yang akan mengharumkan nama daerah, mereka tak lebih dari penggembira dengan honor kecil yang akan menaikkan pamor si pejabat gila hormat yang hari itu datang sebentar dengan berkacak pinggang dan kemudian lewat tanpa menyapanya—hanya senyumnya saja ketika mereka bertemu pandang. Dan ia geram betul melihat Ipin yang seperti anjing bagi majikannya, dengan senyum berliur menjijikkan, menunjuk-nunjuk pemusik, alat musik dan lain-lain yang bertebaran acak di atas pangggung. Padahal tahu apa si Ipin pertunjukan itu, akulah—Abah Juli—konseptor dan penata keseluruhan persiapan keberangkatan duta wisata ini, umpatnya dalam hati. Ipin cuma datang beberapa kali, padahal ia ditugaskan sebagai penyedia seluruh keperluan keberangkatan ini, hanya pendamping saja, tapi lagaknya seperti ia saja komandan regu pasukan ini. Seperti ia saja jenderal yang paling berjasa. Puih!

Apakah kesenian ini? Serupa kembang-kembang yang menghiasi ruang resepsi perkawinan yang akan kering dan ditinggalkan tamu-tamu undangan. Adakah ia bermakna bagi kehidupan. Benarkah ia bermakna bagi kehidupan? Aku jadi teringat pada Plato, pada Kant, pada orang-orang yang memikirkan sejauh mana kesenian berguna bagi kehidupan. Tapi seperti itulah, ternyata kemudian, bagiku, kesenian hanyalah kembang yang indah dipandang. Dan kembang itu layu dan ditinggalkan sesudah pesta dan segala keramaiannya berakhir.

Abah Juli merintih kesepian di suatu malam, di antara hingar bunyi nyenyanyian dari suara-suara seadanya pejabat yang satu persatu didaulat naik ke panggung. Pipinya dilinangi air mata. Sesekali ia menggoyangkan tangannya mengikut irama. Kadang matanya memandang penuh ekspresi pada orang yang menyanyikan lagunya, yang memandang tersenyum kepadanya. Kadang penuh kekosongan—begitu kontras dengan ruang sederhana yang semakin lama semakin pengap dan riuh.

Mereka bertepuk tangan dengan semangat. Mereka tertawa saat insiden wakil gubernur yang lupa beberapa bait di tengah nyanyinya—yang katanya, apresiasi yang tulus untuk seniman besar di sampingnya yang mengharumkan banua—dan suaranya yang pada nada tertentu menjadi sumbang. Mereka terharu saat Abah Juli menangis mengisahkan ihwal lagu ciptaannya yang dinyanyikan Sekda dengan penghayatan. Dan mereka kembali bersorak saat gubernur menjanjikan umrah bersamanya pada Abah Juli. Mereka, penonton yang bersemarak itu, menjadi cahaya yang serupa neon-neon berdaya terang luar biasa bagi perjalanan sunyi selama ini, di malam yang seindah purnama di masa dulu di pekarangan orang-orang kampung yang kesepian. Ya, malam itu serupa pesta panen raya di malam purnama.

Seorang wanita yang menyanyikan lagu—ia adalah seorang murid yang sekarang menjadi penyanyi terkenal di daerah—membawakan kesedihannya yang pernah datang saat terkenang orang-orang yang telah hilang. Ia kemudian terkenang ayahnya, seorang pejuang kemerdekaan di masa revolusi dulu, yang pernah menasihatinya tentang harapan dan kemandirian. Jangan pernah berharap dalam keadaan kau sedang bekerja, karena yang demikian akan mematahkan semangatmu saat muncul bayangan hasil kerjamu tak dihargai orang. Dan hari ini, ia menangis karena kata-kata itu hadir lagi padanya dalam kebalikan yang meyakinkannya, bahwa ia telah berbuat dan orang-orang menghargainya. Setidaknya di malam ini, saat suara gemuruh dari tepuk tangan dan sorakan yang menyebut namanya dalam kebesaran—yang seakan-akan menggema dari kubur ayahnya di kampung yang tak diketahuinya.

Ia menangis lagi, saat terkenang akan wajah ibunya dari sebuah lagu yang mengisahkan ihwal berkasih sayang ibu dan anak. Ibu, baginya adalah permata hidup yang tak ternilai. Darinya ia merasakan kehangatan dekapan saat dingin kehidupan mengancam lewat mata orang-orang yang dengki di masa jayanya, di waktu muda. Kehangatan itu yang menginspirasinya sedemikian rupa sehingga terkadang ia diam dan berusaha memahami, mengapa orang-orang yang duduk di kursi tertinggi pemerintahan yang mengemban amanat masyarakat begitu tak peduli pada kesenian. Kesenian serupa Mamanda, yang selalu menceritakan mereka—para petinggi dan pemimpin sebuah negeri—dalam kebijaksanaan sikap, yang menghormati kehendak masyarakat pimpinannya, yang selalu bercanda bersama inang dan pelayannya, yang menginstruksikan keberpihakan pada solusi atas masalah-masalah yang melanda negerinya. “Ibu-lah penginspirasi para pemimpin dalam kehangatan sikapnya pada anak-anak negerinya,” katanya suatu kali dalam sebuah seminar kebudayaan, di suatu waktu. Dan sempat pula ia catat itu dalam salah satu larik lagunya—dalam bahasa daerahnya.

Begitu pula anak-anak, mereka adalah manik-manik yang menghiasi diri kita dengan keriapan cahaya yang dipantulkannya. Bagi orang tua mereka adalah penerus cita-cita, atau setidaknya kebanggaan yang menghidupi masa depan dengan tabiat-tabiat yang ditanamkan orang-tua di waktu mereka bertumbuh di rumah semasa kecil. Orang tua merawat anak di masa mereka kecil dan belum mampu menghidupi diri sendiri, dan anak-anak merawat dan menyayangi orang-tuanya di hari senja mereka, saat seluruh kemampuan manusia menurun; pandangan yang merabun, badan yang mengisut, dan rambut yang menguban beserta pikiran—di baliknya yang memikun. Cerita tentang kasih sayang orang-tua dan anak adalah cerita yang abadi, begitu pula dalam lagu-lagunya.

Di akhir pertunjukan Abah Juli dihadang para wartawan. Tubuh tuanya yang letih dipaksanya untuk melayani pertanyaan-pertanyaan para kuli tinta itu. Ia terpaksa harus mengulang lagi cerita-ceritanya, pernyataan-pernyataannya tentang kesenian, tentang lagu-lagunya, dan harapan-harapannya.

Kurungan para wartawan itu semakin rapat. Mereka semakin ingin tahu dan mendekat. Tubuh tua yang sudah tak kokoh lagi itu, yang ditopang tongkat, menjadi limbung. Tiba-tiba sebuah mic dari sebuah stasiun televisi swasta daerah, yang dicorongkan padanya terlalu dekat membentur jidatnya, dan Abah Juli pun ambruk di tengah dekapan para wartawan yang terdekat dengannya.

Suasana menjadi ramai. Orang-orang yang tadinya berdesakan ingin keluar gedung beberapa berbalik arah, dan semua mata dari yang masih ada di dalam gedung memandang ke panggung. Si wartawan yang mic-nya menghantam si seniman menjadi pusat perhatian, beberapa orang menggerundelkan cemoohan padanya. Dan sebelum terjadi apa-apa, beberapa anggota kepolisian yang turut hadir berbaju-jaket preman—untuk mengamankan gubernur dan wakilnya—mengamankannya ke pos keamanan yang ada di depan gedung.

Wartawan itu tampak merasa bersalah betul. Ia tak sengaja. Ia hanya ingin bertanya lebih lanjut dan lebih dekat, bagaimana peran pemerintah selama ini terhadap semarak kehidupan berkesenian. Apalagi ia—wartawan itu—tahu bahwa Abah Juli pernah menjadi wakil rakyat, bahkan wakil ketua dewan di daerah; tentu ia punya pengaruh dengan posisinya itu, dulu dan kini. Rekannya yang mengarahkan kamera telah mengambil mic di tangannya, sebelum ia diamankan tadi. Ya, jangan sampai mic, nantinya, dijadikan saksi dan disita.

Sementara Abah Juli sudah dilarikan ke rumah sakit terdekat. Rumah Sakit Islam. Gubernur dan wakil yang sedianya akan pulang turut mengiringi di satu mobil yang mengantar Abah Juli. Mereka sempat menunggu sebentar di rumah sakit, dan sempat menginstruksikan kamar dan fasilitas paling bagus untuk perawatan yang akan ditanggung pemerintah—atau kalau tak ada anggaran dengan uang mereka. Dan setelah beberapa saat si seniman tak juga sadar mereka pun pulang, sesudah menginstruksikan untuk dikabari jika ada perkembangan lebih lanjut.

Di sebuah ruang yang hampa Abah Juli sendirian. Ia tak tahu di mana ia berada, padahal sebarusan tadi ramai orang-orang mengelilinginya. Mana pak gubernur, mana wakil gubernur, mana sekda, mana Lihan—pengusaha terkenal di kotanya yang menghadiahinya sebuah rumah untuk amal bakti keseniannya, dan mana teman-teman senimannya yang lain? Dan ruangan apa ini yang sedemikian kosong?

Tiba-tiba datang ayah dan ibunya dari arah yang tak diketahuinya.

“Bukankah Ayah telah mati? Ibu?” Kedua orang-tua dihadapannya tersenyum. Tanpa membuka mulut mereka, terdengar suara.

“Kami masih hidup di dalam lagu-lagumu.”

“Lagu ulun? Bagaimana bisa?”

“Malaikat membawa kami dari rumah di awan-awan yang jauh, dan selama ini kami hidup di dalam lagu-lagumu. Ada banyak orang, tempat, dan sungai di dalam lagu-lagumu; ada sebuah ruang yang menampung semua itu. Sebuah dimensi yang berkebalikan dari ruangmu. Dan selama ini kami memandangmu dari sini, kepadamu..”

“Ulun tidak mengerti!”

Tiba-tiba asap. Dan pandangannya terhalang. “Ayah!? Ibu!?”

Degup jantung berdetak.Humbayang lewat; kesadaran seperti angin yang lewat.

Di tempat lain, si wartawan yang sudah pulang ke kantornya langsung dimarahi bosnya. Sengaja si bos ke kantor malam itu setelah mendapat kabar dari rekan-rekannya, yang memberitahu karyawan televisinya menjatuhkan seniman besar daerah di hadapan gubernur dan orang-orang penting lainnya. Si bos begitu kaget sehingga harus marah-marah untuk menutupi rasa malunya nanti pada pemuka daerah.

Wartawan itu langsung dipecat malam itu juga. Padahal belum sebulan ia bekerja, dan semangat pencariannya terhadap berita dan informasi apa saja menyangkut banua, masih panas-panasnya.

Wartawan itu datang ke ruang hampa di sebuah dimensi yang lain. Ia ingin meminta maaf, sekaligus mengadukan perihal dipecatnya ia dari tempat kerjanya ke Abah Juli. Abah Juli terhenyak. Ia membenarkan bahwa si wartawan tak sengaja, tubuhnya saja yang telah letih—sehingga sebuah sodokan pelan saja dari sebuah mic yang tumpul membuatnya pingsan. Padahal dulu ia—Abah Juli—adalah seorang letnan kolonel pada kesatuannya, yang begitu sangar dan suka menempeleng jika ada orang yang tidak berdisiplin dan mengganggu orang lain.

“Nanti kusampaikan keluhanmu ke gubernur, kau jelas tidak bersalah.”

“Padahal saya hanya ingin bertanya ke Abah, waktu itu..”

“Tanya apa?” Abah Juli penasaran.

“Boleh saya bertanya di sini?”

“Ya, silakan!” Ia duduk mengambang di udara. Di tempat itu tak ada kursi—atau setidaknya lantai. Si wartawan merogoh saku kemejanya, ia masih ingat menyimpan alat perekamnya di sana.

“Abah dulu orang berpangkat, bukan?”

“Ya, kenapa?”

“Bisa sedikit ceritakan tentang masa jaya itu?” Si wartawan ingin mengulang sedikit sebelum masuk ke pertanyaan pentingnya.

“Aku dulu tertarik menjadi bagian dari militer negeri ini karena ayahku seorang pejuang. Dan alhamdulillah karierku cukup baik. Sebagai orang yang terbiasa berdisiplin dalam kemiliteran, aku kecewa dengan diriku yang tak berdisiplin dalam masalah keuangan. Yah, mungkin karena aku juga seorang seniman, meski terbiasa dengan ketegasan, hatiku cukup lembut dengan masalah perasaan sehingga aku tak pernah berhitung dengan uang, jika kulihat kesusahan teman-teman—apalagi yang seniman. Ya, aku sempat juga duduk di kursi dewan sebagai wakil ketua di daerah, tapi memang aku tak berbuat banyak masa itu. Hanya beberapa kenangan dari sana yang sempat jadi inspirasi beberapa lagu ciptaanku. Orang memang sering lupa kalau sedang berada di atas; ketika sadar ia sudah berada di bawah lagi, dan apa yang bisa dilakukan jika sudah tak berarti.” Abah Juli memejam mata. Penyesalan itu jatuh sebagai air mata. “ Lalu, apalagi pertanyaanmu? Setelah ini aku ingin sendiri dulu sebentar.”

Si wartawan terpana, pertanyaannya sudah hampir terjawab baginya.

“Oya, sejauh mana peran pemerintah, menurut Pian, selama ini?”

“Bagi kesenian, maksudmu?”

“Iya..”

“Pemerintah itu memerintah kerjanya. Jika strategi yang dirumuskannya tepat, tentu banyak keinginan masyarakatnya yang terakomodir. Kau tahu sendiri kan mana yang mendesak menurut pemerintah. Kesenian itu hanya bunga-bunga di tepi taman… o, Ayah! Ibu!”

“Ada apa, Bah?”

Sepasang merpati terbang di atas mereka. Sebuah kuburan di tebing sungai; dan ada buaya, tiga ekor buaya sedang menganga di bawah sana.

Dug! Detak jantung berdegup. Ada bayang-bayang lewat. Mata Abah Juli terbuka-tutup; terbuka setengah dan tertutup lagi. Orang-orang menanti dengan tak sabaran. Sang isteri yang begitu cemas menunggu dari tadi malam tak nyaman hati. Dia menundukkan badan setengah ke samping ranjang, tepat di ujung telinga yang bergerak-gerak menangkap suara, ia bisikkan kata-kata, “Bah, orang-orang sudah berkumpul. Bangunlah!”

Mata si seniman terbuka. Gubernur mendekat dan menyentuh tangannya; senyumnya nampak lebar, Abah Juli memandangnya dengan mata yang belum terbuka sepenuhnya. Wagub turut mendekat, begitu juga si pemilik stasiun televisi swasta, ia—wagub—memperkenalkannya pada Abah Juli yang sudah mulai pulih kesadarannya. “Ini Pak Hendra, pemilik stasiun tivi yang anak-buahnya membuat Abah jadi seperti ini.” Abah Juli tersenyum. Pak Hendra turut tersenyum—senang.

Dokter maju ke depan, dan rombongan mundur ke belakang. Ia memeriksa denyut nadinya, matanya, meraba dadanya dengan alat pemeriksa. “Kondisi beliau baik, hanya letih saja. Biar beliau istirahat sehari-dua ini di sini.” Katanya.

Rombongan keluar. Tinggal sang isteri dan anak perempuannya. Anak lelakinya mengantar rombongan pulang. Pak Hendra sempat meminta maaf atas sebab kejadian itu, dan menitipkan segepok amplop kepada putra Abah Juli—sebagai tali asih, sekaligus bentuk penyesalan yang sangat. Sepasang merpati terbang di atas mereka.

* * *

Seorang seniman tua naik ke atas panggung tertatih-tatih. Diperiksanya sudut demi sudut panggung. Ia ingin memastikan betul-betul pertunjukannya nanti malam benar-benar bersih dari was-was yang mungkin saja mengganggu pertunjukan. Mimpi tadi malam begitu menakutkan.

 

Juli 2008

 

 

Engkau Tak Peduli Lagi

oleh hajriansyah

 

Engkau ingin insaf dari kebodohan selama ini. Dan engkau mengungkapkannya padaku dengan mata yang nampak menertawakan diri sendiri.

Aku bertanya padamu, “Insaf bagaimana? Insaf dari apa? Memang sekarang belum insaf, ya?”

Kau hanya tersenyum. Aku sedikit bingung, tapi kubiarkan saja.

“Kamu baik.” Katamu padaku. Dan tentu saja aku makin ingin bertanya.

“Baik bagaimana?”

“Ya, baiklah!”

Entahlah!

Sebenarnya aku sudah pernah menyaksikan—atau mendengarkan—yang seperti ini, tapi engkau, yang sekarang berada di depanku ini, lebih ceria dan punya hidup, meski aku sendiri tak begitu mengerti apa itu hidup, tapi aku merasa kau punya hidup—dan itulah yang membuatku ingin hidup bersamamu, jika kau mau.

Seperti dua hari itu, kau menemaniku untuk keperluanku yang tak ada hubungannya dengan keperluanmu. Ya, agak klise memang jika kita bayangkan orang yang kasmaran. Ah, aku memang kasmaran. Kau rela istirahat dari kerjamu sementara waktu. Kulihat wajahmu yang sesekali kesal, sesekali tersenyum, sesekali menawariku pilihan-pilihan, dan yang nyata membantuku meski sekejap saja dalam dua hari yang indah itu.

Ah, keindahan itu datang lagi dengan wajah yang nampak sia-sia padaku. Aku ingin menafikannya, tapi aku benar-benar tak dapat menolak kebaikan orang, apalagi yang sepertimu. Yang seceria kamu.

Kita berjalan-jalan di tengah hiruk-pikuk orang-orang di lorong tua yang penuh belanjaan itu. Di sisi kita—kanan-kiri—begitu banyak barang yang dapat dijadikan oleh-oleh untuk orang-orang di kotaku. Kau bertahan sebentar jika melihat barang yang menurutmu bagus untuk dijadikan oleh-oleh, dan menawarnya untuk kubeli. Ya..ya, memang aku yang mengeluarkan uang kemudian, tapi itu tak mengurangi kebaikanmu padaku—di mataku. Dan terus saja kau begitu, dengan senyum dan keriangan yang tampak naif di mataku.

Keriangan, sesuatu yang seringkali menggodaku. Menarikku untuk mendekat dan bersahabat. Setiap mengenali sebuah keriangan pada wajah orang lain, aku teringat masa kanak-kanak yang indah. Saat jiwa seseorang berada di puncak kegairahannya, meski sesaat, dan semua permasalahan hidup yang ruwet menjadi cair di saat itu. Tak peduli hidup begitu susahnya, jika memandang keriangan pada wajah manusia aku menjadi terharu; ada juga hidup yang seindah itu, pikirku.

 

* * *

“Aku ingin hidupku menjadi lebih baik!” katamu padaku, membuyarkan lamunanku pada anak-istri di rumah.

“Lebih baik bagaimana? Apa sekarang kurang baik?”

“Ya jelas nggaklah,” balasmu.

“Kalau tidak baik, mengapa kau jalani, dan mengapa engkau begitu riang?”

“Memangnya tidak boleh riang, meski hidup yang kita jalani salah.”

“Tidak. Aku hanya heran saja, kok bisa orang tidak senang dengan yang dijalaninya sekaligus ia masih bisa riang dan ceria.”

“Entahlah!” jawabmu.

Di ranjang putih yang bersih di kamar itu kita saling bercerita, sambil sesekali memandang ke cermin. Saling memandang. Aku bergumul selimut, menahan dinginnya ruang ber-ac. Kau duduk, merapikan rambut dan dandananmu, sambil sesekali mengerling dengan senyum-keriangan, sesekali membalikkan badan dan berceloteh riang.

“Temanku menawariku usaha..”

“Usaha apa?” kupotong dengan tak sabar.

“Usaha yang halal-lah!”

“Iya, usaha apa? Aku kan tak bertanya halal-haramnya, lagian aku bukan ketua MUI, kan.” Kataku setengah bercanda-setengah serius.

“He..he.. Ii-yaa! Usaha konveksi..”

Sesayupan petikan syair lagu ‘Sandaran Hati’ dari Letto, mengalun dari hape-mu. Lagu yang umum dan popular di kalangan remaja saat ini.

“Sebentar, temanku telpon..” kau menahan telponmu, berbicara padaku, kemudian melangkah ke pojok pintu. “Ya, ya, mbak.. aku sedang ada tamu, nanti tak telpon lagi. Ya, ya..”

Tit! Bunyi hape dimatikan.

“Temanku, Mbak Yuni, yang nawarin usaha itu, lo. Kebetulan! Padahal aku baru cerita ke kamu.”

Kepalamu bergoyang-goyang seperti diterbangkan angin segar yang mengalir dari kotak elektronik di atas kaca jendela itu. Lucu!

 

* * *

Ya, memang lucu. Padahal sepertinya baru saja aku berkomitmen, aku tak akan berselingkuh. Aku teramat menyayangi isteriku. Ia begitu baik, begitu setia menemaniku. Dan rasanya seperti baru saja aku berjanji di dalam hatiku, takkan mengkhianati isteriku. Sesekali jajan tak apalah, tapi itu bumbu saja, takkan menyeretku ke percintaan yang lebih serius. Seperti dengan isteriku.

Sampai kau datang padaku—atau aku yang datang padamu—di suatu hari di sebuah kamar yang jauh dari isteriku. Kau lucu!

Betapa tak mudah menemukan seseorang yang seirama dengan diri sendiri. Menjalin komunikasi yang mudah dan indah. Diselingi percumbuan yang indah. Di sebuah kamar yang indah. Yang kita betah. Berlama-lama berdiam di sebuah kamar bukan kebiasaanku, dan kau membuatnya jadi mudah bagiku. Jadi betah.

Lalu kita terus menjalin komunikasi. Terus terbawa angin ke tempat yang jauh. Menelpon, ditelpon. Sms berbalas sms. Semuanya indah, meski aku tak menafikan isteriku yang mula-mula abai lalu curiga. Kukatakan pada isteriku, aku mencintaimu, semuanya tak akan mengubah kata itu meski aku mulai mencintai orang lain selain dirimu. Isteriku cemburu.

Isteriku menelponmu. Ia wanita yang tegar. Ia menelpon dengan tabah dan bertanya padamu, apakah kau mencintai suamiku? Kau bingung menjawabnya, dan memutuskan untuk tak lagi menghubungiku.

Lalu aku menelponmu lagi, mencoba meyakinkanmu akan janjiku. Tapi kau tak ingin lagi berharap. Tapi kita tetap menjalin kata, bukan? Aku mencoba berharap. Kita pun berhubungan lagi. Saling meng-sms-i. Sampai kau tagih hutangku. Sejumlah uang.

Ya, aku pernah berjanji mengirimimu uang, untuk bayar sesuatu keperluanmu. Tapi aku tak ingin kau mendustaiku, bukan sejumlah uang itu yang memberatkanku, sms-ku padamu. Kau marah dengan sms itu, seperti ada yang salah mengerti dengan pesan itu. Kau marah, aku tak mengerti, itu membuatku tersinggung. Aku tak lagi menghubungimu, engkau tak lagi menghubungiku. Sebulan pun berlalu. Waktu pun berlalu.

 

* * *

 

Aku lelah. Teramat lelah jika memikirkanmu. Aku ingin kita kembali bahagia; kau, aku dan isteriku. Aku tak dapat menahan perasaanku. Sudah kuusahakan, tapi tetap saja aku ingin menghubungimu. Aku tak bisa menunggu. Kau pun begitu. Terus bagaimana, ke mana arah kita berjalan.

Hubungan ini memang tak dapat berjalan dengan baik, meski aku menginginkannya. Kita begitu rapuh di awal. Aku banyak bertanya, kau tak suka. Kau, bagiku, sering berdusta. Dan kita melangkah terus ke kegelapan tak tentu arah.

Akhirnya kaupun memutuskan. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya ingin menunggu dan kini itu tak berarti lagi. Aku pun melangkah. Kuharap kau pun begitu. Sampai sms-mu mengejutkanku. Ternyata memang tak ada jalan bagi kita. Aku turut bahagia. Semoga engkau bahagia.

 

* * *

 

Kepalamu bergoyang. Lucu sekali.

Kita duduk seharian di kamar. Berbincang. Terkadang rebahan; kupeluk tubuhmu, kau peluk aku. Terkadang kita bercumbu, menghabiskan waktu.

Hape-mu berbunyi. Sebuah sms masuk, cepat kau buka. Aku melirik, cepat kau tutup.

“Kenapa?”

Gak papa, temanku.”

“Apa katanya?”

“Bukan sesuatu yang penting.”

“Kenapa cepat kau hapus.”

“Hapus apa?”

“Tadi, sebelum kau tutup.”

“Ah, Abang..” katamu manja. Aku hanya diam, cemberut. Kau tersenyum, mencoba menggoda. Aku hanya diam. Kau pun buka kata.

“Itu tadi temanku. Kata-katanya kasar, makanya kuhapus.”

“Kasar bagaimana? Kenapa?”

“Dia nagih hutang. Pakai nyebut bawok lagi.”

“Hutang apa?”

“Hutang kecil saja.”

“Berapa? Kau tidak bisa bayar? Tidak punya uang? Uangmu mana?”

“Banyak sekali tanya-nya..” engkau tersenyum. Kepalamu begoyang, lucu sekali. Aku tersenyum, tak jadi merajuk.

“Ya..siapa tahu bisa bantu.”

“Uangku ada di tabungan, aku gak mau ambil. Soalnya temanku kan pinjam uang ke aku, katanya mau bayar kemarin, tapi gak bayar-bayar. Padahal uang itu yang rencananya kubayarkan hutang, eh bukan, kredit tanah maksudku, yang ditagih tadi. Aku kesal sama temanku, janji bayar tidak ditepati..”

 

* * *

 

Ya, aku punya janji padamu. Ada hutang yang tak terbayar. Aku menjanjikan pernikahan padamu. Dan kini, bunyi sms-mu: kau akan menikah. Tapi tidak denganku. Aku turut bahagia. Tapi aku menyesal tak dapat memenuhi janjiku padamu. Aku punya hutang padamu.

Engkau sepertinya tak peduli lagi dengan janjiku. Hidupmu terus seperti itu, katamu, terus dibohongi lelaki. Padahal kamu cuma ingin bahagia. Ingin bersandar pada sesuatu. Dinikahi, alangkah bahagianya, katamu, melacur membuat jiwaku kering, dan pernikahan alangkah indahnya. Tapi ini sudah kesekian kalinya. Engkau tak peduli lagi.

Lalu siapa yang akan menikah denganmu. Jalan pernikahan ternyata tak mudah bagi kita. Dan kini, kau tak mau lagi membalas sms-ku, tak mau lagi mengangkat telponku. Engkau tak peduli lagi.***

 

Juni-Agustus 2008

 

 

 

Ada Buaya di Keluasan Sana!

 oleh hajriansyah

Tulis saja! Tulis saja, katanya, sehingga aku kelimpungan juga mengadapi tuntutan yang semena-mena ini. Aku ingin berhenti sebentar saja, sekiranya aku dapat mengirup udara, menenangkan batinku atas hujatan pikiran yang terus berlari. Aku ingin sebentar saja mengungsi ke ruang yang lebih luas. Tapi waktu terus berlari, dan ruang memang sempit, kata pikiranku lagi. Lalu bagaimana aku dapat menulis, jika semuanya menjadi klise, terus diulang-ulang, sehingga aku tak lagi dapat menemukan kata yang tepat untuk diriku; untuk tempat yang lebih tinggi, yang lebih luas bagi diriku.

Lalu aku pergi ke teluk sunyi, entah di mana dan apa namanya. Di sana, di pinggir sungai yang luas aku memandang sunyi. Suasana yang damai. Di sampingku sebuah pohon besar. Akar-akar juntainya melambai menyentuh sungai. Aku berdiri memandang entah ke mana, akupun tak tahu. Di seberangku sebuah pulau. Keluasannya tampak hijau. Di atasnya payung awan tebal. Tampak damai di sana. Silir angin menyentuh tengkukku. Aku merinding. Aku dan kesunyian, dan di kepalaku tumbuh bayang-bayang. Ada buaya sebesar kuda, ia merangkak dari tebing menuju sungai. Sejenak ia berhenti, tampaknya ia menyadari keberadaanku, lalu berpaling ke arahku. Matanya ganas menatapku, seakan aku mangsa bagi rasa laparnya yang menahun. Tiba-tiba ia berlari ke arahku. Aku yang gugup tak dapat mengendalikan tubuhku, setiba-tiba saja aku meloncat ke sungai. Ah, tololnya aku!

Aku berenang kesetanan dikejar buaya, si raja sungai. Aku tak bisa berpikir lagi, kukerahkan segenap tenaga untuk berenang lebih cepat dari buaya itu, dan tujuku adalah pulau di seberang sana. Aku megap-megap di tengah sungai, tapi aku tak boleh berhenti, pikirku, dan terus saja kudayung tubuhku agar cepat sampai, agar lebih dari buaya yang seperti mesin tempur perenang yang handal. Oh, oh, tolong, aku menyeru ke langit yang kosong, selamatkan aku dan aku bersumpah akan mengunjungi kubur ayahku, akan bersedekah ke seribu anak yatim, akan berpuasa sebulan penuh, akan mengunjungi orang-orang yang telah lama tak kukunjungi, dan menyantuni mereka jika perlu. Oh, tolong aku Tuhan! Aku bersumpah!

Tiba-tiba aku terbangun dari mimpiku. Keringat dingin membasahi tubuhku, sekujur badanku. Di sampingku istriku tengah menyusui anakku yang paling kecil, yang berusia dua bulan, dengan terkantuk-kantuk. Ah, kasihannya ia. Bagaimana aku meringankan bebannya, setidaknya membuat ia dapat tidur nyenyak sebulan saja. Tiba-tiba ia tersadar, “Ayah sudah makan?” tanyanya. Ah, begitu perhatiannya ia, sementara aku sibuk menulis saja, padahal tulisanku tak dapat membahagiakan ia lebih dari ia membahagiakan aku. Tapi tak apa, aku bersumpah jika aku menjadi penulis terkenal, dan royaltiku dapat kubelikan sebentuk gelang emas dengan mata berlian di tengahnya, akan kubelikan untuknya. Aku bersumpah!

“Kau tidur sajalah, aku masih kenyang. Jika lapar nanti kuambil sendiri makanku.”

“Tapi jangan lupa makan, ya! Nanti sakit lagi seperti kemarin. Nanti tak bisa kerja. Nanti tak bisa beli susu untuk anak kita.”

“Ya, ya..” aku tersenyum saja, dan itu dapat membuatnya tidur, setidaknya sampai anakku bangun lagi menuntut susunya.

 

Tulis lagi! Tulis lagi! Kembali pikiran itu datang membawa pening yang tak sudah-sudah. Aku keluar membuka pintu rumahku. Kuhisap sebatang rokok dan memandang langit. Dari sungai mengalir angin segar. Di beranda belakang rumahku, menghadap sungai, di antara jamban-jamban yang terapung diombang-ambingkan air yang pasang, aku menangkap seekor biawak yang meloncat dari tebing bawah rumahan dengan mataku. Kupikir ia berenang mencari ikan. Di langit bintang hanya sedikit. Tak gelap, tak juga terang benar. Terpikir di kepalaku untuk membuat kopi, aku akan menikmati malam ini di beranda belakang rumah, dan menghayati sungai yang menuju muara. Aku berpaling ke dapur, mencari bungkus kopi dan gelas gula. Di sudut atang kutemui keduanya. Takaranku, dua bagian gula dan satu bagian serbuk kopi. Ah, nikmatnya!

Kuletakkan segelas kopi di bangku kayu panjang yang kududuki, tepat di sebelahku, dan kujumpat batang rokok yang masih menyala yang kutinggalkan sebentar tadi. Kuhisap dalam dan kuhempaskan asap dengan pelan. Dengan pelan, dan kuangkat gelas kopi untuk setegukan yang menghangatkan badan. Ah, nikmatnya!

Di seberang sungai, di antara bayang-bayang rumah, ada orang berlari. Mengejutkan aku. Dan suara-suara di belakangnya. “Maling! Maling!” Beberapa orang berlari mengejar sosok sebarusan. Aku bingung, bagaimana membantu mereka, aku tak mungkin terjun ke sungai yang dingin malam-malam begini. Ah, aku teriak saja.

“Hoi, malingnya mencebur ke sungai. Di sungai!” Orang-orang terperanjat melihat ke arahku, dan seseorang yang membawa senter mengarahkan sorotnya ke sungai.

Si maling yang tak kalah terkejutnya, menyadari keberadaanku. Ia mengalihkan tujunya ke arahku. Matanya nanar menatapku, ganas menghujam ke mataku. Aku salah tingkah, lekas kubuang puntung rokokku, dan berlari ke arah pintu, ke dalam rumahku. Cepat aku bersembunyi ke balik selimut istriku. Ia terbangun, “ada apa, Yah? Mengapa ketakutan begitu?” Aku gemetar, menutup mataku. “Ada maling. Ia menuju ke arahku, ke rumah kita.”

“Maling bagaimana, dan di mana. Dari tadi ayah tertidur melingkur dan mendengkur, setiba-tiba saja mengigau seperti itu.”

“Apa! Aku mimpi, ya?” aku bangun dan menatap ke luar, ke pintu kamarku.

“Tahajud sana! Dari tadi ayah mengigau terus. Kemarin juga, kemarin lusanya juga. Paling tidak, wudhulah!”

 

Aku bangun dari ranjangku. Aku menuju kamar mandi. Sejenak mengeluarkan yang kutahan sejak tadi—air kencingku, ah, segarnya. Aku tidak langsung kembali ke ranjangku, tapi berbelok ke ruang tamu. Aku duduk di bangku panjang, melonjorkan kakiku. Aku memejam mata, tidak untuk tidur, hanya untuk mengalihkan bayang-bayang di kepalaku, untuk menemu ruang yang lebih gelap untuk tidak melihat apa-apa.

Di kejauhan kudengar kokok ayam. Aku mencari jam di dinding rumahku, dan kunyalakan lampu. Ah, sudah pukul tiga lewat rupanya. Dan kuingat cerita Daus tadi siang di kantorku, katanya ia tak dapat tidur nyenyak beberapa malam ini. Ia selalu terbangun tengah malam, dan setelahnya tak dapat tidur lagi sampai pagi menjelang. Kemudian ia harus pergi kerja dengan kantuk di kepala, dan untuk itu agar tak terlihat bodoh di kelas kuliahnya, ia harus menghabiskan sebotol kratingdaeng plus kopi sesudahnya. “Ah, tidak berbahayakah itu,” tanyaku. “Aku sudah terbiasa dengan resep begitu,” tuturnya, dan kubalas, “itu berbahaya bagiku.” Ia hanya terkekeh saja kemudian.

“Ya, susah jika kita tak dapat tidur nyenyak di malam hari. Semuanya menjadi kacau. Siang menjadi kacau. Waktu menjadi sangat terbatas. Bagaiamana tidak, kantuk mengganggu konsentrasi kita..” kataku panjang kepada Daus.

“Iya, tapi ya memang waktu sangat terbatas. Bayangkan keinginan kita yang banyak..” katanya padaku. Daus tahu betul keinginanku begitu banyak, kurang lebih-sama seperti dia, yang terus punya ide—dan hampir tak kesampaian terus. “Dan siang rasanya sangat pendek, lalu malam. Bayangkan itu, sementara pikiran kita terus menerawang, jika menemu celah atau jalan langsung saja berlari, bagaimana waktu tak terasa pendek kemudian” katanya tak kalah panjang. “Apalagi aku ngajar, harus kerja untuk menghidupi keluarga. Meski seminggu cuma tiga hari untuk lima kali pertemuan, itu cukup menyita waktuku, kurasa. Tapi, bagaimana lagi, ya..”

“He, he, waktu memang pendek, ya” tambahku lagi.

“Ya. He, he, atau kita aja yang terlalu ngoyo, ya” katanya lagi.

“Tapi beberapa malam ini aku selalu mimpi, Us! Mimpinya aneh, dan membuatku susah tidur lagi kalau sampai terbangun. Aku selalu seperti digiring untuk menemu ruang yang lebih luas untuk diriku..”

“Ruang luas bagaimana,” ia memotongku.

“Ya, ruang luas. Bentuknya bisa apa saja, bisa padang ilalang dengan cakrawala langit yang lebar, lebar sekali. Bisa juga sebuah bangunan, atau tepatnya gudang yang tak bersekat, yang benar-benar luas. Atau bisa juga sebuah bukit dengan hamparan sungai di tebingnya, sungai yang lebar dan panjang, panjang sekali. Dan selalu di tengah keluasan itu aku terganggu, atau tepatnya diganggu kemudian dengan bayang-bayang yang menakutkan, entah itu lewat bentuk seekor buaya yang kemudian mengejarku, atau seseorang yang mengancam, dalam bentuk apa saja—yang menggangguku di tengah kelapangan hatiku. Bagaimana menurutmu, Us?”

Daus bicara panjang lebar kemudian, dan kata-katanya sama sekali tak memberiku pemahaman, atau setidaknya penghiburan, atau solusi. Tapi aku mendengarkan saja, sampai kami lelah sendiri berbincang-bincang. Sampai malam ini kemudian, akupun tak dapat tidur nyenyak lagi. Entahlah, sepertinya setiap orang punya mimpi-mimpi yang selalu membangunkannya di tengah tidur yang nyaman.***

 

10 Nopember 2008

 

 

suatu hari menari

Januari 13, 2009 oleh hajriansyah

Cerpen : Hajriansyah

orkes-pantingMELIHAT gadis-gadis itu menari, memandang kecantikan paras muda mereka yang besinaran membuatku seperti menari dalam imaji yang keputihan. Suara musik yang menyayat-nyayat dan suara penyanyinya yang terseok-seok ditingkahi keriangan yang meriah.

Yulalin..yulan-yulalin.

Mereka menari sembari tertawa.
Goyangan badan mereka, alunan tangan gemulai, dan gerakan kaki ritmis seperti membawa angin yang menepuk-nepuk pundakku.
Dari cermin depan wajahku kupandang mereka lewat belakang pundakku. Ruangan yang penuh cermin ini mencembungkan gerak mereka. Udara yang berputar di atas mereka memenuhi ruangan, bahkan asap rokokku turut berputar-putar. Terbayang dalam imajiku putaran para darvisi pengikut Rumi; memuncak..terus memuncak.

Degedang, degeduk
Degedang, degeduk
Duk..duk..duk…
Duk..duk..duk..duk.

(suara musik terus memuncak)

****

Aku seperti terbawa irama magis yang memenuhi diriku. Di dalam, tubuhku berputar-putar, terus berputar membawaku ke sudut-sudut ruang permenungan diri: Lagu ini, irama yang menggumpal ini, sampai di mana aku hanyut dibawanya?

Tiba-tiba sebuah tepukan membangunkan kesadaranku.
“Ngapain?”
“Ah, tidak!”
“Sepertinya asyik sendiri, lagi ngapain?” Tanya Edi yang tiba-tiba saja ada di belakangku.
“Oh, ini. Rumi sedang mengajariku menari.”
“Menari apa, ikutan dong?”
“Ayo! Pejamkan mata, dan biarkan irama yang mengalun di udara, yang diputar-putarkan angin di atas sana menarik tubuh kita. Tubuh imaji yang ada di dalam kesadaran kita. Ayo menari! Ayo menari! Angkat tangan dan kaki kita, biarkan perasaan kita dibawanya terbang, terbang melintasi tubuh wadag kita. Ayo menari, ayo!”
“Apanya yang menari, apanya yang terbang? Ah, kau ini!”

Tubuhku terus memuncak. Aku tak tahu sedang berada di mana. Ruangan ini begini luas, begini putih. Di depanku sesosok putih sedang menari—berputar-putar. Tangan kanannya menunjuk ke atas, tangan kirinya menusuk ke bawah; ia menari seolah udara, debu, perasaanku, dan semua yang di sekitarnya memutar bersamanya. Seolah ia magnet yang menarik segalanya, menjadi satu dengan dirinya. Dialah matahari. Dialah pusat semesta, dan aku adalah debu yang menempel di tubuhnya.
Aku hanyut seperti segerombolan ilung dibawa arus sungai. Aku tak dapat menyela, aku sepenuhnya dikuasainya, dan terus menuju muara.
Aku terombang-ambing di keluasan laut yang sepenuhnya putih. “Entah laut apa ini? Mengapa didominasi putih? Mengapa tidak biru?”
Sesayupan angin kudengar gemeritik hujan. Tik..tik..tik.., dan kemudian menderas. Aroma hujan mengental, tetapi di ruang tempatku berada ini tidak basah, padahal tidak ada atap di sini. Ruang ini tidak seperti ruang pada sebuah rumah, ia begitu luas, dan aku tidak melihat dinding pembatasnya.
“Tapi, dari mana bunyi hujan itu berasal?” Sejauh mata memandang tak ada dinding, pun tak ada air menetes, apalagi menitik deras. Tak ada basah di sini.

****

Aku tersadar sebentar, gara-garanya kudengar suara Sakura, anakku, di belakangku.
“Hoy, Yah. Ayah!”
“Hey ngapain di sini, mana mama?”
“Tuh!” Ia menunjuk ke belakangku, di sebelah kanan. Kulihat isteriku tersenyum, ia sedang berbincang dengan Edi, tangannya melambai—seperti mengajakku pulang. Tapi pulang ke mana, bukankah dari tadi aku di sini saja.
Aku tersenyum sebentar padanya, selanjutnya mataku kembali gelap sebentar, dan kemudian cahaya terang itu datang lagi. Lagi-lagi putih, seputih kapas.

“Apa yang kau cari di sini, anak muda?”
“Aku tidak sedang mencari apa-apa, aku terbawa ke sini, entah oleh apa, dan tubuhku menari tanpa kuingini, mengikut gerakmu.”
“Hmm..” Ia tersenyum dalam sebijak-bijak raut muka. “Kalau begitu, ayo menari!” ajaknya lagi—kali ini dengan seijinnya.

Kami menari dalam satu irama, seperti pohon dengan rantingnya, seperti ranting dengan daunnya, bergerak ke arah angin menghembusi kami. Tubuhku, pikiranku, perasaanku, sampai ke ujung jari-jariku bergerak—berputar. Pelan, kemudian cepat, cepat, dan terus memutar seperti gasing yang terlontarkan begitu saja.

Seandainya pohon bisa berlari ataupun
terbang
ia tak akan merasakan pedihnya gerigi
gergaji maupun ayunan kapak
Jika matahari tak dapat melintasi langit
dunia tak akan pernah melihat warna pagi

Jika air tidak menguap dari laut
tetumbuhan tak akan tumbuh besar diairi
sungai maupun rinai hujan
Hanya saat setitik air menguap
meninggalkan lautan—dan kembali—
ia kan dapat menemukan kerang dan
menjadi mutiara

***

Hatiku telah terisi oleh jutaan ketakjuban
Memandanginya
membuatku kehilangan akal hingga aku
benar-benar gila

***

Kita tidak berjalan di muka, kita ada di
baris belakang
Kita tidak melayang di atas, kita tenggelam
di bawah …

Seperti kuas di tangan pelukis
kita tak tahu di mana kita berada kini1

****

Makan waktu kurang lebih dua jam, ketika kuhitung kemudian, sampai akhirnya kami berhenti berputar.
“Ini sudah cukup untuk orang baru, sepertimu.”
“Biasanya sampai berapa lama, wahai Mula?”
“Kalau kau sudah terbiasa, dan sudah menjadi kebutuhanmu, ini bisa dilakukan sampai kau benar-benar ingin berhenti. Sampai kau hanya mengingininya berhenti, dan itu bisa satu jam, atau berjam-jam—bahkan bisa berhari-hari.”
“Bisa sedemikian?”
“Mengapa tidak. Kalau kau mengingini sesuatu, bukankah akan kau kejar sampai engkau mendapatkannya, tak peduli berapa lama waktu yang kau habiskan untuk itu, bukan? Coba kau lihat dua orang remaja yang duduk di bangku taman itu!”
Tiba-tiba terhampar sebuah pemandangan di hadapan kami. Sebuah taman, dengan lampu berdekor di sana-sini, ada juga pohon-pohon di sudut-sudutnya, dan sebuah pohon besar sebagai pusat, di tengah taman. Ada bangku-bangku taman yang sederhana, kuhitung ada empat bangku taman di area yang tidak begitu luas itu—kurang lebih 750 meter persegi; rumput-rumput halus yang terawat baik hasil karya seorang tukang kebun (taman) yang tekun dan telaten, tampaknya. Di tengah taman, di bangku di bawah pohon besar, duduk sepasang muda-mudi dalam kerindangan dan hembus angin yang melankolis.
“Tahukah kau, bahwa si lelaki sudah menunggu. Menunggu begitu lama sampai si gadis mengiyakan cintanya. Tahukah kau berapa lama ia menunggu?”
“Engkau lebih tahu, Mula.”
“Ha..haha.., mengapa tidak kau tebak saja, agar pembicaraan kita lebih hidup?”
“Aku takut salah.”
“Tak ada yang sepenuhnya salah dalam hidup ini, anakku. Setiap hal yang coba kau pertaruhkan dalam hidup ini akan semakin mendekatkanmu pada kebenaran, dan setiap pernyataan yang salah dapat diralat kemudian. Cobalah!”
“Mungkin, si lelaki telah menunggu selama empat tahun?” Aku mencoba.
“Bagus! Tapi, mengapa empat tahun, mengapa tidak dua, enam, atau sepuluh tahun?”
“Ah, itu hanya dugaan saja. Aku menunggu sampai kekasihku menjadi istriku selama empat tahun—ya, aku menduga berdasarkan pengalaman pribadi. Apa itu salah?”
“Ha..haha.., sekali lagi tak ada yang salah. Lihatlah!” Sekali lagi ia menunjuk ke depan, dan terhampar sebuah romansa. Seorang lelaki terpikat pada seorang gadis yang manis. Ia memendam cintanya di dalam hati, kemudian perlahan dan pasti, ia mendekat dan terus mendekat kepadanya, sampai mereka terbiasa berjalan bersama. Ada romantika di sana, kadang terjadi pertengkaran, kemudian pertautan yang semakin dalam; berselisih paham, bertukar kebahagiaan. Ya, kurang lebih empat tahun yang berselang sampai si gadis memahami cinta si lelaki—dan si lelaki begitu mirip denganku, juga si perempuan yang mirip istriku. Seperti kami di masa muda.
“Alangkah gaibnya!”
Seketika aku berucap demikian, tiba-tiba gelap. Dan sesayupan angin, kudengar suara babun, kenong, dan gung berirama perlahan merasuk ke ruang kesadaranku. Pandanganku pun perlahan pulih kembali. Di depan cermin, kupandang lewat bahuku gadis-gadis muda menari riang. Ruangan yang didominasi putih dan dikelilingi cermin di seputarnya mengesankan keluasan, meski sebenarnya tidak demikian kenyataannya; pada kenyataannya ruang ini hanya seluas 70 meter persegi—tidak begitu luas benar.
Tiba-tiba anakku memelukku dari belakang. “Sakura senang di sini, Yah ai.”
“Oala..! Aku tadi ke mana?” sahutku, seperti berbicara kepada diri sendiri.
“Ada apa, Yah?” Istriku menghampiriku. Wajahnya tampak lebih cantik dari biasanya, dan gerakannya pun demikian anggun.
“Tak apa-apa, ayo pulang!”
Hari senja, dan gadis-gadis di dalam ruangan itu sudah mengakhiri latihan menarinya, dan masing-masing bergegas pulang. Tampak langit mendung, senja ini begitu muram.
“Sepertinya akan hujan sebentar lagi.. Ayo!”

****

Malam.
Hujan begitu lebat mengguyur kota. Atap-atap metal zinc yang merata di hampir seluruh kota memperjelas bunyi hujan yang deras. Sungai-sungai meluap ke jalan sebatas mata kaki, dan sebagian orang yang masih tertinggal di jalan bergegas ingin pulang.
Di sebuah mimpi, di sebuah rumah di pinggir kota seorang lelaki hanyut di putaran arus deras yang menariknya. Ia menari, berputar begitu masyuknya. Ia menari sendiri dan hujan yang deras, setiap tetes airnya, memutarinya.

Banjarmasin, 12 Maret 2008

1. Rumi; Jalan Menuju Cinta

 

Seseorang Pergi Jauh

Cerpen : Hajriansyah

Seseorang pergi jauh, melampaui kecemasannya akan waktu. Ia yang selama ini lebih dikenal sebagai Udin yang pegawai rendahan biasa pada sebuah perusahaan ekspor-impor di Kalimantan, telah mengakhiri masa-masa kebimbangannya akan bagaimana masa depannya kelak.

Udin memang sudah berkeluarga, dan ia telah memiliki dua orang permata hatinya; seorang putri yang manis seumur sebelas tahun, dan seorang putra yang sedang lincah-lincahnya—berumur lima tahun. Dan keluarganya baik-baik saja sejauh ini, tak ada masalah yang berarti yang membuatnya harus makan hati. Istrinya seorang wanita yang setia dan penurut; anak-anaknya pun begitu, tak pernah benar-benar membantahnya. Rumah mereka sederhana, namun sangat layak untuk ditempati. Di rumah itu ada televisi 21 inc, sebuah kulkas satu pintu keluaran setahun yang lalu, dapur selengkapnya dengan sebuah kompor gas dan magic jar produksi Taiwan, dan lain-lain, yang tidak menampakkan satu kekurangan pun meski dibayar secara kredit dan dikumpulkan satu-satu.

Hampir tak ada satu kekurangan pun yang berarti. Semuanya telah tercukupi, meski seadanya—sesederhananya. Pekerjaan Udin juga tak ada yang bernilai minus, di mata bosnya ia standar saja. Gajinya meski selalu dipotong, untuk menutup barang-barang kreditan rumah tangganya, selalu dibayar tepat waktu setiap bulannya, dan itu masih cukup untuk keperluan harian keluarganya. Selengkapnya tak ada yang kurang pada diri Udin.

 

Akhir-akhir ini Udin sering bermimpi buruk. Semulanya ia mimpi bertemu dirinya yang lain, seseorang yang secara fisik memang dirinya, tapi berpikir terbalik darinya yang selalu berpikir secara sederhana—praktisnya saja. Sosok dirinya dalam mimpi ini, berbicara dalam bahasa, lewat kata-kata, yang tak begitu dimengertinya. Sekilas Udin paham perkataan dirinya yang bertolak belakang dalam mimpi, tapi ia tak paham benar apa dan ke mana arah pembicaraan—setiap kata-katanya—ditujukan.

 

“Hei aku, aku berpikir hidup ini tak lebih dari sepenggal mimpi, kita berdiri dan kemudian mati. Menjadi tua adalah keniscayaan; menjadi miskin adalah keniscayaan; menjadi kaya adalah keniscayaan; menjadi lebih terhormat adalah keniscayaan; dan menjadi segalanya adalah hak setiap manusia.”

“Ya.”

“Memimpikan dapat berjalan lurus adalah pikiran yang lurus. Berjalan sepenggal-sepenggal adalah kekurang pahaman kita akan keinginan, dan berjalan berbelok-belok adalah ciri kesesatan.”

“Ya.”

“Setiap langkah kakimu adalah langkah kakiku jua. Aku akan tersiksa jika Kau tak mengerti jalan hidupmu. Aku menjadi tak berarti jika diriku yang hidup di alam fana tak punya tuju yang mendekatkan kita—tuju kepadaku.”

“Maksudmu?”

“Kau adalah aku, dan aku ialah juga engkau. Aku bisa berlari, tapi aku tak bisa menunggumu terus-menerus.”

“Maksudmu?”

“Aku, kulihat dirimu hidup dalam kegalauan yang tak kau sadari. Aku yang tersiksa selama ini, dan kuharap engkau mau bertukar rasa hidup denganku.”

“Maksudmu lagi?”

“Gelisahlah, agar aku tenang!”

“Apa yang harus kupikirkan, apa yang musti membuatku gelisah; bagaimana cara agar gelisah, dan untuk apa aku gelisah?”

“Agar aku tenang.”

 

Seharian Udin bingung dengan mimpinya, apalagi mimpi itu kemudian datang terus setiap malam, di setiap tidurnya. Udin, bahkan, pernah berusaha menahan sedemikian rupa keinginannya untuk tidur, agar ia tak memimpikan mimpi yang sama seperti malam sebelumnya, tapi tetap ia tak dapat menahan rasa lelah yang menggelayutkan kantuk di matanya. Dalam ketertiduran yang sesaat itu pun mimpi itu datang dalam wujud yang sama.

Udin akhirnya memilih untuk menuntaskan kebingungan, rasa lelah beserta kantuk, dan ia memilih untuk cemas.

Suatu malam yang sepi, saat istri dan anak-anaknya tertidur lelap di malam yang tak berbintang, Udin melangkahkan kakinya keluar rumah. Ia tak pasti akan ke mana, ia hanya berharap dapat gelisah. Dan akan dimulainya kegelisahan itu dengan berjalan, keluar dari kemapanan rumahnya yang sederhana.

Di sebuah persimpangan depan gang rumahnya, ia berpapasan dengan peronda jaga malam; pak Agus.

Ia menyapanya dengan ramah. “Malam pak Agus, aman pak ya?”

“Malam pak; dan aman. Mau ke mana, pak, malam-malam begini?

“Mau jalan-jalan saja, putar-putar di sini saja. Saya tak bisa tidur, pak.”

“Oya, silakan kalau begitu.”

 

Fajar menjelang di langit gelap, segoresan ungu membentang sepanjang cakrawala yang jauh. Seseorang yang berjalan dengan kecemasan yang tak jelas masih berjalan dengan sisa kantuk yang ditahan di kepala. Ia berhenti di sebuah dermaga sungai yang masih sepi; inginnya Udin merebahkan badannya, meski sesaat di dermaga itu. Sebelumnya dipandangnya sungai dan jejeran klotok yang diparkir di sisi dermaga kayu, kemudian ia melirik ke sebuah lapak yang kosong di sudut kiri. Ia menuju ke situ. Lapak itu cukup bersih untuk ditiduri. Rasa lelah menidurkannya.

 

“Hei aku, bagaimana rasanya berjalan tak tahu arah, akan membawamu ke tempat-tempat yang tak pernah ada di benakmu. Hal yang demikian akan mengajarimu tentang kehidupan yang luas—yang beragam. Engkau akan menjadi bijakasana, percayalah. Berbahagialah! Dan biar kecemasan mengantarmu kepada ketinggian..”

“Ketinggian apa? Ketinggian yang bagaimana?”

“Ketinggian; tempatmu memandang lebih sempurna apa saja, segala yang dapat kau pandang. Lebih sempurna.”

“Untuk apa?”

“Untuk membahagiakanmu, suatu saat nanti.”

“Oya?”

“Ya!”

 

Udin tersentak. Seseorang menepuk pundaknya di sebelah kiri.

“Hei, bangun! Siapa kamu? Kenapa tidur di sini?”

“Oh, maaf..saya kelelahan, numpang tidur di sini

“Siapa kamu?”

“Saya Udin..saya akan pergi dari sini. Terima kasih untuk tempatnya.”

 

Hari telah terang rupanya. Mentari sudah menyinari sungai sedemikian rupa, sehingga jejak-jejak perahu dan klotok yang bersliweran tampak keperakan di antara keruh coklat sungai Barito. Di timur, Pulau Kembang seperti raksasa hijau yang tiduran di atas sungai; mengelilinginya, kapal-kapal baja dari luar Kalimantan beserta tongkang-tongkang pengangkut batu bara, menuju Laut Jawa.

Udin membersihkan muka di sungai. Menyegarkan.

Udin berjalan lagi, kali ini menuju warung—salah satu lapak dari jejeran lapak yang tadi ia tiduri. Sebelumnya ia merogoh isi sakunya, tangannya menggamit dua lembar uang ribuan dan satu lembar lima ribuan. Sepertinya hanya ini yang ada, dompetku lupa kubawa, pikirnya. Tapi tak apa, cukuplah ini.

Uang tujuh ribu yang ada itu ternyata pas-pasan untuk mengganjal perutnya pagi itu, selebihnya ia akan menyandarkan hidup pada belas kasihan orang lain.

 

****

 

Waktu telah berlalu sembilan tahun.

Penampilan si lelaki dengan kegelisahan yang mendorongnya untuk berjalan telah benar-benar seperti orang gila. Orang-orang yang memandangnya telah memastikan di kepala mereka, ia gila.

Tampang laki-laki itu benar-benar kusut masai. Mukanya sudah hampir tak jelas rupanya—lebih menandakan kegilaan. Rambutnya seperti gimbalan yang tak dikerjakan dengan benar, seakan dikerjakan setengah hati. Dan pakaiannya compang-camping— sobek di sana-sini. Air mukanya dingin, sedingin cuaca yang tak bersahabat, sekaligus memelas. Begitu mengasihankan.

Sejauh waktu yang berjalan, di setiap malam dan tidur yang sebentar si lelaki kusut masai selalu memimpikan dua dirinya yang saling berbincang. Awal-awalnya lebih seperti monolog dengan seorang pendengar setia, yang hanya bisa berkata ‘ya’ atau ‘iyakah’ dan ‘bagaimana’, atau kata-kata serupa itu. Kemudian, makin berganti bulan dan tahun, mulai terjalin dialog. Perbincangan; mereka mulai berbincang dan bertukar kata dan kalimat. Kegelisahan lelaki itu mulai mencair, ia mulai mengerti arah ke mana tuju hidup sebenarnya. Ia mulai memahami hidupnya; kehidupan. Ia melihat hidup seperti lemparan bola ping-pong, bergerak ke sana-sini dipermainkan orang. Kemudian ia melihat hidup seperti jarum jam, bergerak menuju waktu tertentu. Kemudian lagi, ia memandang hidup sebagai prestise yang harus dipertahankan, karena begitu tidak mudahnya mendapatkan penghargaan orang lain. Ia melihat orang-orang berjalan lebih tak jelas tujuannya, ketimbang dirinya; mereka mengejar sesuatu yang sama tak berartinya dengan bajunya—dirinya—yang telah berantakan.

Rupa-rupa silih berganti di hadapannya. Semuanya bagai awan yang dihembuskan angin; bagai air yang mengalir selalu mencari celah sesempit apapun bagi dirinya. Semuanya tak kalah menariknya ketimbang elang yang bermanuver sedemikian rupa untuk pada akhirnya menerkam mangsanya. Juga tak kalah indahnya ketimbang semut yang beriringan menggendong sisa-sisa makanan. Juga tak kalah indahnya seperti serat-serat benang yang menjalin warna orange pada tepi kain jeans yang lentur pada betis seorang ibu muda.

Semua tentang hidup telah menjadi sedemikian jelas bagi si lelaki kusut masai itu. Ia memahami kehidupan sedetailnya, dan cukuplah itu menjadi perbincangan yang hidup antara dirinya dan dirinya yang lain. Kadang saat malam, ia terlihat berbicara sendiri; di emper toko, di pinggiran bak sampah, atau di tepi jalan bersandar pada tiang traffic-light yang kuning.

 

“Aku-ku, kini kulihat hidup lebih berwarna, jalan-jalan lebih indah, rumah-rumah lebih beragam pada ornamennya, dan hidupku begitu naifnya sejauh ini—sejauh puluhan tahun yang monoton sebelum ini. Ingatanku jadi lebih segar, tentang hari-hari yang berlalu sepanjang hidupku. Kakekku, ayahku, ibuku, istriku dan anak-anakku yang telah hilang dari sisiku—seakan mereka hadir di dalam ingatanku yang sempit ini.”

“Ya, sejauh ini, aku pun jadi lebih tenang, tak lagi mencemaskanmu. Yang kau pandang dan yang kau rasakan menghidupiku—benar-benar menghidupiku. Semua yang pernah tenggelam dalam ingatanku menjadi hidup yang sebenarnya; yang kupahami dan yang kupikirkan telah kujalani bersamamu. Aku hidup, bersamamu.”

“Ya, akupun begitu. Merasakan hidup benar-benar hidup. Meminum air secukup rasa hausku, mengganjal perut secukup rasa kenyangku, memahami hidup sejauh perjalanan yang kujalani sendiri. Semua telah mencukupiku, memuaskanku. Rasanya tiba saatnya untuk pulang ke keluargaku, menjalani sisa hidupku bersama mereka, sukur-sukur dapat membahagiakan—menggantikan segala kekosongan yang kuberikan pada mereka.”

“Apakah masih perlu, lagi, yang demikian?”

“Ya, aku ingin berbagi bersama mereka, tanpa mengosongkan apa yang sudah ada padaku.”

“Baiklah, akupun ingin berkumpul bersama ‘keluarga’ku.”

 

 

Di depan gang rumahnya yang dulu Udin kebingungan. Sembilan tahun rupanya banyak mengubah suasana dan tempat; dan jalan yang dulunya sempit kini telah begitu lebar, sungai kecil yang dulu sampai di belakang rumahnya kini telah menjadi got selebar satu meter saja.

Dalam perjalanannya yang sembilan tahun berlalu si lelaki, Udin, berjalan sangat jauh. Ia tak hanya menyeberangi sungai-sungai saja, ia bahkan telah menyeberangi lautan, bahkan beberapa lautan, dengan menumpang secara gelandangan pada kapal-kapal barang antar pulau di nusantara. Sehingga sampai saat ia harus kembali, banyak hal telah berubah pada tempat yang pernah ditinggalkannya.

 

Malam itu, saat sepi, ia memberanikan diri mengetuk pintu yang telah ditutupnya sembilan tahun lalu tanpa pamit. Diketuknya perlahan dengan sedikit ragu, kemudian agak keras sedikit—karena ketukan pertama tak menimbulkan efek apa-apa—dan lebih keras selanjutnya, sampai terdengar suara langkah kaki di dalam.

Pintu berderit terbuka, maklum rumah itu agak tua, dan tangan seseorang, kemudian wajah seseorang nampak di belakang pintu. Seorang laki-laki setengah baya. Wajahnya agak terperanjat. Udin pun terpaku, wajah itu adalah wajahnya, hanya saja lebih bersih dan terawat. Di belakangnya ada wanita setengah baya, kecantikannya tak banyak berubah seperti sembilan tahun yang lalu, hanya lebih tua. Ia pun terperanjat. Di ujung ruangan, baru keluar dari kamar, dua orang remaja—laki dan perempuan—bingung menatap wajah kusut di depan pintu, mirip ayah mereka.

“Siapa kamu?”

Oh..siapa aku???

 

26 Maret 2008

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Biodata Penulis

 

Hajriansyah lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 10 Oktober 1979. Pernah kuliah di Modern School of Design (MSD) Yogyakarta jurusan Seni Lukis dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta jurusan Seni Murni (PS. Seni lukis). Buku kumpulan puisinya yang telah terbit: Jejak-jejak Angin dan Jejak Air.

 

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s