MUKHRANSYAH
* Wakil Redaktur Pelaksana Koran Harian Kaltim Post, cerpenis.
Mukhransyah, dilahirkan di Samarinda tanggal 8 Februari 1973. Dia menulis puisi dan cerpen sejak masih duduk di SMA. Cerpen-cerpennya terbit di media massa lokal dan nasional. Pernah mendapat penghargaan dari Teater Yupa Universitas Mulawarman sebagai penulis puisi terbaik tahun 1996 dan tahun 1997. Juga pernah menjadi Juara I Lomba Karya Tulis Populer BKKBN tahun 1996, Juara I Lomba Mengarang Dharma Wanita Kaltim 1996, Juara II Lomba Mengarang Hari Ibu Tahun 1997, Juara II Lomba Karya Tulis Ilmiah Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia Wilayah Kaltim Tahun 1996, dan lomba menulis lainnya. Selain menulis juga aktif melukis. Pernah mendapat penghargaan sebagai pelukis terbaik se-Kota Samarinda. Kini bekerja di surat kabar harian Kaltim Post sebagai wakil redaktur pelaksana. Cerpen-cerpen dalam buku ini ditulis antara tahun 1994 hingga 1996, ketika masih menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman. Cerpennya juga terhimpun dalam buku antologi cerpen jurnalis Kaltim ; PARA LELAKI (Sultan Pustaka, 2011), Tak Mau Kalah (KP Books, 2012)
PAKAIAN UNTUK ANAKKU
oleh: mukhransyah (Kalimantan Timur – INDONESIA)
MALAM sudah merambat tua, lewat pukul 11.30 Wita, namun kota masih tampak hidup dan segar. Kendaraan masih banyak yang berseliweran. Pun orang – orang di trotoar. Di beberapa warung pinggir jalan orang-orang asyik ngobrol. Sementara semua orang tadarus Alquran dari masjid-masjid bergema mengaluni malam. Malam-malam pada Bulan Ramadhan memang seperti tak kenal larut.
Kulirikkan mata pada kaca spion di atasku. Tinggal dua penumpang, sesudah itu pulang dan istirahat. Letih sekali aku malam ini, berjam-jam duduk menyetir di dalam angkot (angkutan kota). Untungnya itu tak sia – sia, hari ini banyak penumpang. Kebanyakan dari mereka berbelanja kebutuhan Lebaran yang tinggal 4 hari lagi. Terutama kebutuhan akan pakaian.
Akupun begitu. Kebetulan ketika penumpang kosong, awal narik seusai berbuka puasa tadi aku melewati Kompleks Pertokoan Citra Niaga, lalu terlintas dibenakku ingin membuat kejutan untuk anak-anakku. Aku ingin membelikan mereka pakaian. Kebetulan penghasilanku hari ini lumayan. Biarlah kuambil sebagian. Masalah bensin atau setoran bisa kuambil simpanan uang di rumah. Yang penting aku harus bikin kejutan buat anak-anakku. Sebenarnya aku dan istriku sudah sepakat berbelanja kebutuhan besok, tapi biarlah kebutuhan lainnya saja besok. Menurutku kejutan adalah sesuatu yang sangat mengesankan; sebuah kegembiraan yang mendadak meledak. Aku suka itu.
Dengan berjalan kaki, aku putar-putar sebentar di kawasan pertokoan ternama di Kota Samarinda itu. Berjubel dengan orang banyak. Lalu kulihat ada pakaian anak laki-laki yang menarik. Potongannya bagus, dan sedang digemari anak-anak sekarang. Anakku pernah mengutarakan keinginannya kepadaku ketika ia melihat anak-anak lain mengenakan pakaian seperti itu. Anak-anakku pasti menyukainya. Dapat kubayangkan wajah mereka yang berseri-seri takkala mengenakan pakaian itu di hari Lebaran.
Setelah pilih sana-sini, kubeli dua stel pakaian. Harganya ternyata tak terlalu mahal. Aku lalu teringat anakku yang perempuan, ia tentu ingin pula mendapat pakaian baru. Aku harus adil terhadap anak-anakku. Aku tak ingin hanya karena beda perlakuan, tenggang rasa antarsaudara yang selalu kutanam pada anak-anakku hancur.
Anakku ada empat orang. Yang sulung Atma, laki-laki, sekarang duduk di kelas empat SD. Dialah harapan yang kelak menggantiku, melindungi keluarga, karena itu aku ingin pintar dan tangguh. Yang kedua juga laki-laki, Tino, anakku yang paling bandel sekaligus cerdas. Duduk di kelas tiga, satu sekolah dengan kakaknya. Kemudian Wiwi, perempuan, yang menurutku mewarisi keuletan ibunya. Baru tahun lalu ia masuk sekolah. Dan yang bungsu Sutomo, karena lahir bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional. Syukur-syukur kelak ia bisa jadi orang yang berguna bagi bangsanya, seperti tokoh kebangkitan nasional Raden Sutomo dan Wahidin.
Saat ini, aku memang merasa sebagai bapak yang beruntung, mempunyai anak-anak yang manis dan sehat, walau aku jarang bersama mereka. Pekerjaanku yang banyak menyita waktu – sebelum sopir taksi aku buruh bangunan- memang tak memungkinkanku banyak dekat dengan anak-anakku. Lebih-lebih kerjaanku yang sekarang, waktuku banyak kuhabiskan di belakang stir. Pulang mengaso sebentar, makan atau berbuka puasa, mengantar jemput anak-anak sekolah. Begitulah sopir taksi, besarnya penghasilan ditentukan banyak sedikitnya penumpang yang kutarik.
Dilihat dari tingkah mereka, kurasa anak-anakku mengerti bapaknya cari uang buat mereka juga. Dan itu tak lepas karena asuhan dan didikan istriku. Aku bersyukur diberi tuhan istri yang baik dan setia. Dia tak pernah mengeluh sekalipun hidup kami susah. Ia tahu aku tak bisa memberi kebahagiaan materi, namun secara batiniah aku tahu ia bahagia. Aku turut bahagia dalam kebahagiaannya. Bahagia dalam kebahagiaan keluargaku.
Ah, sedang apakah istri dan anak-anakku saat ini? istriku pasti tengah menjaga si kecil sambil nonton televisi, menungguku pulang. Anak-anakku? mungkin mereka sudah pulas kecapaian sehabis tarawih karena nanti sahur mereka bangun lagi. Anakku Atma dan Tino memang sedang kulatih berpuasa. Tidak dengan paksaan tentu saja. Kalau mereka tak tahan ya silahkan berbuka. Sedangkan Wiwi seringnya cuma ikutan bersahur, tanpa ikut puasa.
Jadi kapan aku bikin kejutan buat anak-anakku? Apa nanti saja, setelah makan sahur kuberikan dengan tiba-tiba pakaian baru mereka. Ah, tidak. Itu kurang mengejutkan. Atau begini; kutaruh saja di dipan dekat mereka tidur masing-masing, sehingga begitu terjaga mereka akan memekik girang dan berkata ”dari mana pakaian ini?”. Aku akan berkata dengan sikap pura-pura tak tahu dan turut kaget, ”mungkin dari Tuhan. Apakah sebelum tidur kalian berdoa kepada-Nya?”
Anak-anakku pasti tahu bapaknya ngibul. Wiwi akan menerjang pundakku. Atma dan Tino merangkulku erat-erat. Dan aku mengap-mengap akan rasa terima kasih mereka. Kelak mereka mengerti semua itu memang dari Tuhan.
Mudah-mudahan mereka juga mengerti akan kasih bapaknya. Aku ingin mereka bahagia di hari Lebaran tahun ini, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya mereka cuma menontoni teman-teman mereka pamer pakaian dan sepatu baru. Maklumlah ketika itu aku masih buru bangunan dengan upah harian. Upah yang kuterima tidak seberapa. Cuma cukup buat gali lobang tutup lobang; hari itu dapat uang, hari itu juga habisnya. Jadi jangan harap bisa membelikan anak-anakku pakaian baru. Memang ada sedikit yang kutabung, tapi itu untuk biaya sekolah anak-anak dan kontrakan rumah.
Aku turut sedih serta iri juga melihat kegembiraan anak-anak lain, sementara anak-anakku hanya pasrah dengan keadaan apa adanya. Berulang kali sudah aku menghibur anak – anakku (mungkin juga diriku). ”Pakaian baru hanya menunjukkan ’kebersihan’ yang tampak dari luar. Sesungguhnya yang lebih utama dalam berlebaran adalah hati yang bersih, laksana bayi baru lahir, karena baru saja memenangkan ’pertempuran’ selama satu bulan,” kataku saat itu dengan mengutip sedikit khotbah salat Ied tahun lalu.
Mereka manggu-manggut. Aku tahu mereka tak mengerti. Mungkin juga bosan mendengan ucapanku – yang sesungguhnya lebih cenderung menutupi ketidakberdayaanku sebagai kepala rumah tangga. Mereka masih anak-anak, belum mengerti sepenuhnya arti kebahagiaan. Yang melekat di benak mereka kebahagiaan Lebaran itu berupa pakaian baru, sepatu baru, suasana baru, makanan yang banyak dan enak–enak laksana pesta.
Dan, Tuhan rupanya tak ingin membiarkan keluargaku menelan kesusahan seperti itu yang berlarut-larut. Kira–kira setahun lalu seorang sahabat, yang takkan kulupakan jasanya, menawarkan pekerjaan sebagai sopir angkot. Dia sopir angkot juga. Dulunya aku sering ikut dia ketika sedang bekerja. Dari dia pulang jadi bisa menyetir mobil.
Aku sudah tentu dengan senang hati menerima tawarannya. Inilah saatnya aku mengubah kehidupan keluargaku. Langkah persiapan awal yang kuambil adalah menyempurnakan kemahiranku mengemudi. Lantas dengan pinjaman biaya sahabatku itu pula aku mengurus SIM (Surat Izin Mengemudi). Dan setahun lalu jadilah aku sopir.
Jadi sopir angkot bukan berarti enteng, tanpa risiko. Dalam mengemudikan angkot dituntut keawasan mata. Bagaimanapu letihnya dilarang keras mengantuk, karena ini menyangkut keselamatan penumpang yang jadi tanggung jawab sang sopir.
Aku sudah kenyang mendengan kecelakaan yang dialami sopir – sopir angkot. Karena lengah atau mengantuk angkot selip, masuk parit besar, menabrak pohon, atau menabrak kendaraan lain. Penumpang cidera, dan mungkin juga pihak yang ditabrak. Sedang si sopir angkot ’bangkrut’ harus ganti kerugian sana-sini. Ada pula angkot yang menabrak pejalan kaki hingga tewas, sementara sang sopir masuk penjara……
”Belok kanan, Pir!”. Seorang penumpang menyantakkan lamunanku hingga buyar. Aku membelokkan angkot memasuki jalan kecil yang sepi ”Oke, berhenti di sini!” perintah yang lainnya dengan nada kasar, bersama dengan sesuatu yang dingin menempel di leherku, belati!
Aku mengikuti perintah. Aku tak berani mengambil risiko dengan taruhan nyawa yang cuma satu–satunya diberi Tuhan.
”Matikan mesin!” akupun mematikan mesin. Lelaki yang berjaket hitam membuka pintu dan menyuruhku keluar dari angkot. Ia membawa belati, aku tak bisa apa-apa. Begitu aku keluar temannya langsung sibuk membongkar laci mobil, dan menguras seluruh penghasilanku hari ini. Aku cuma bisa menelan ludah melihat semua itu.
”Mengapa kalian melakukan ini. Kita sama-sama orang susah, janganlah begini. Kalau kalian ingin merampok, silakan rampok orang kaya yang hartanya tak terhitung lagi. Saya nggak bakal peduli………..” Sebuah bentakan dan tamparan keras di wajah membungkamkan mulutku. Hati dan rahangku terasa pedas.
Temannya keluar dari dalam angkot setelah menguras semua yang kumiliki. Termasuk….. pakaian anak-anakku. Aku menelan ludah lagi. Kali ini disertai mengerasnya rahangku. Mataku mendadak berair. Aku teringat lamunanku barusan. Haruskan aku membuyarkan kebahagiaan anak-anakku?
”Jangan diambil pakaian anakku! Pakaian itu tak bernilai buat kalian!” keberanianku tiba-tiba lepas.
Si jaket hitam yang mengawalku tersentak.
”Jangan ambil pakaian anakku, Bedebah!” bentakku lagi.
Satu pukulan keras tahu-tahu melayang kewajahku. Aku terjengkang ke belakang. Terduduk. Di saat itulah pandanganku tertumpuk pada sepotong balok kayu yang cukup panjang dan kuat di dekatku. Aku bersemangat. Kuraih kayu itu, lalu bangkit dengan segera. ”Ayo kemari, Bangsat!” tantangku dengan posisi siap bertarung.
Melihat balok kayu di tanganku lelaki berjaket hitam itu tampak keder juga, ia mundur dua langkah. Sedangkan temannya mengurungku di belakang. Berdua mereka mengitariku. Aku jadi agak sukar memantau gerakan mereka.
”Jangan coba-coba melawan kami, ”Pak!” dia mencoba menggertakku. Mereka pikir aku akan gentar?! Balok kayu itu kupegang kian erat.
Lelaki berjaket hitam yang berada di belakangku sekoyong-koyong menyerangku. Aku cepat mengayunkan balok kayu, dan mengenai lengannya. Dia meringis kesakitan. Rasakan balasanku!
Yang seorang lagi rupanya memanfaatkan kelengahanku, belatinya merobek punggungku. Tidak terlalu dalam, namun terasa pedih. Dengan luapan emosi menggelegak aku berbalik menyerangnya. Ketika belatinya terlepas dan ia terdesak, aku justru makin larut dalam amarah. Balok kayuku bertubi-tubi menghantam lelaki muda itu. Sampai-sampai aku tak sadar bahwa lawan yang kuhadapi ada dua orang. Aku baru sadar ketika sebuah tikaman bersarang di perut sebelah kiri. Darah mengalir dari perutku yang bocor.
Aku lalu roboh. Dalam pandangan mengabur kulihat bajingan yang menusukku kabur dengan membimbing temannya yang luka parah. Aku terus bertahan, ditemani bayangan anak-anakku yang sendirian tertawa di hari Lebaran.***
Samarinda, 28 Maret 1996
ANJING
CERPEN : MURAN
ANJING itu bukanlah anjing yang bagus. Bulunya yang hitam, sangat kotor dan tipis dengan bekas luka di sana sini. Kaki depannya yang sebelah kiri timpang. Dari bola matanya terpancar paduan ketidakberdayaan dan kebuasan binatang.
Aku sudah mengenalnya sebelum aku mengerti sepenuhnya arti kemanusiaan. Sayang aku tak begitu tahu dari mana ia berasal. Ia mulanya selalu mengikuti ke mana aku pergi,walau ia tahu aku cuma gembel tua sebatang kara yang takkan pernah sanggup memberinya makanan. Untuk makanku sendiri sukar kudapat. Sejak kematian istriku, tanpa kusadari hidupku telah berubah dari satu tempat sampah ke tempat sampah yang lainnya, atau mengharap belas kasihan orang.
Jadi begitulah, aku dan anjing itu sesungguhnya tak jauh berbeda. Dari sana lalu terjalin keakraban. Aku menyukainya. Ia banyak memberiku pelajaran, membimbingku menjalani kehidupan. Dengan gigi dan kukunya yang tajam, ia selalu siap membela bila ada orang yang ingin berbuat kurang ajar padaku. Dialah sahabatku satu-satunya. Sahabat yang tumbuh dari penderitaan dan kehinaan. Telah bertahun-tahun itu berlangsung, aku tak berharap dapat berpisah dengannya.
Sampai kemudian aku dikagetkan akan kedatangan seorang laki-laki di rumah kardusku. “ Maaf,bapak pemilik anjing di luar itu?” tanyanya. Aku sudah mereka-reka kekurangajaran apalagi yang telah diperbuat anjing itu.
“ Maaf nama saya Yon. Saya ingin membantu bapak. Saya ingin membeli anjing bapak,” lanjutnya tanpa peduli nasibku.
Aku tertawa.kukira orang ini salah alamat atau terlampau banyak menenggak minuman keras.
Tapi, dengan mata berkaca-kaca oleh ambisi ia menatapku. “ Saya sungguh-sungguh ingin membeli anjing bapak”.
Aku terkesima akan kesungguhannya yang menurutku ganjil. “ Mengapa tuan ingin betul memiliki anjing itu?” tanyaku.
“ Saya telah mendapatkan keyakinan”.
“ Jangan meyakini sesuatu tanpa kebenaran yang jelas, Tuan”.
Ia memperbaiki duduknya. Lalu ia pun bercerita:
Tuan Yon mempunyai sebuah toko tak seberapa besar terletak di dekat pasar. Setiap hari ia selalu bangun pagi untuk menyiapkan keperluan tokonya. Ia hanya mempunyai seorang pembantu. Usahanya yang tak terlalu maju tidak memungkinkannya merenggut banyak pekerja.
Beberapa bulan belakangan Tuan Yon dibuat dongkol oleh sampah-sampah yang berserakan di depan tokonya. Sumber dari kedongkolannya itu adalah seekor anjing bulukan yang berjalan timpang. Anjing inilah yang kerap rajin mengobrak-abrik sampah di depan tokonya pada waktu pagi. Suatu hari Tuan Yon ingin menuntaskan kedongkolannya, pagi itu sengaja ia menunggu anjing sialan itu. Ia yakin anjing itu pasti datang. Benar saja, beberapa menit kemudian anjing itu datang dengan gayanya yang khas, lalu mengobrak-abrik bak sampah dengan acuh. Tuan Yon yang telah mempersiapkan diri segera melemparinya dengan batu hingga kocar-kacir melarikan diri. Tuan Yon puas.
Tetapi anjing itu ternyata tak mengenal kata jera. Beberapa hari kemudian ia mulai melakukan aksinya kembali. Bahkan sekarang kian menggila. Ia bukan saja menyerakkan sampah dengan dahsyat tetapi juga membuang isi perutnya seenaknyadi depan toko. Mulai hari itu Tuan Yon memutuskan berperang melawan anjing yang tak kenal jera itu. Dan anehnya,tiap kali Tuan Yon menyakiti anjing itu sebuah kesialan pasti menimpanya pada hari itu juga. Entah dagangannya yang tak laku, istrinya kecopetan atau anaknya diperas orang.
Suatu pagi, benak Tuan Yon yang telah diberati kesialan-kesialan itu meledak oleh kemarahan ketika ia merasa menginjak seonggok kotoran anjing di depan pintu tokonya. Dengan serta merata anjing yang tengah acuh menjilati tulang di pojokan itu ia gebuki dengan sepotong kayu hingga terkaing-kaing. Lalu setelah satu hari tokonya sepi dari pembeli, petang harinya terjadi perampokan. Uang simpanan dan sebagian perhiasan istrinya ludes digasak perampok.
“ Dari rentetan kejadian itu lantas saya berkesimpulan,kesialan hari itu dan juga hari-hari sebelumnya pasti ada hubungannya dengan menyakiti anjing itu. Kemudian pikiran saya berkembang, bila memang demikian bagaimana bila saya berbuat baik pada anjing itu,apakah saya akan dihinggapi keberuntungan? Anjing itu mungkin saja pembawa keberuntungan tapi karena saya selalu menyakitinya maka kesialanlah yang datang”.
Mendengar tuturan Tuan Yon itu aku lagi-lagi ingin tertawa. Anjing itu bulukanku dianggap pembawa keberuntungan!
“ Saya harap bapak bersedia menjual anjing itu.” Ia mengeluarkan segopak lembaran rupiah dari saku bajunya. Aku tak tahu berapa besarnya. Yang pasti dengan uang segepok itu aku bisa bertahan hidup selama tiga atau bahkan empat bulan. Aku belum pernah memiliki uang sebanyak itu.
Kuakui, aku mulai sedikit suka pada orang ini, untuk sebuah keyakinan ia berani melakukan apa saja. Yang lucunya, kepercayaan dirinya itu tumbuh hanya oleh seekor anjing buruk.
“ Bagaimana Pak,”desak Tuan Yon.
Aku tak keburu menerima. Aku bimbang. Anjing itu memang buruk tapi setidaknya ia telah menemaniku melewati hari-hari yang suram. Anjing itu satu-satunya sahabatku, sahabat lelaki tua sepertiku. Tetapi aku juga butuh hidup yang tenang, ingin menikmati sisa hidupku dengan bahagia. Yah, apa boleh buat, kuterima uang itu.
Maafkan aku sahabat, aku terpaksa menjualmu. Dengan mata sendu aku menatap kepergian anjingku bersama Tuan Yon.
Namun itu tak berlangsung lama, dua hari kemudian anjing itu datang padaku dengan tali pengikat di lehernya. Aku sempat kaget juga, tak menduga akan kesetiaannya. Dengan penuh kerinduan aku mengelusnya.
Siangnya Tuan Yon datang menyusul. Ia ingin mengambil kembali anjing yang sudah dibelinya. Namun kali ini ia tampak ragu bisa memeliharanya. Anjing itu telah bertahu-tahun bersamaku.
“ Maukah bapak tinggal bersama saya?” tawar Tuan Yon. “ Saya sudah membuktikan keyakinan saya, anjing itu memang pembawa keberuntungan. Baru dua hari ini ia bersama saya keberuntungan sudah mulai datang pada usaha saya.”
Tawaran ini sungguh tak pernah terbayang dalam benakku. Aku cuma diam. Kurasa Tuan Yon mengerti dalam diamku. Impian seorang gembel tua cuma hidup berkecukupan.
“Bapak jangan kuatir, tugas bapak hanya merawat anjing itu. Segala kebutuhan bapak akan saya penuhi,” janji Tuan Yon.
Begitulah awalnya. Awal yang kemudian mengubah total kehidupanku. Keberuntungan seseorang kadang memang bisa jadi merupakan keberuntungan orang lain. Sejak aku tinggal bersama Tuan Yon segala kebutuhanku terpenuhi. Dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang layak. Di paviliun samping toko aku disediakan kamar, tak terlalu luas cukup untukku sendiri. Pekerjaan sehari-hariku pun hanya mengurus anjing itu. Memandikannya,memberinya makan, atau mengajaknya jalan-jalan. Kadang karena tak enak mengerjakan sesuatu, aku turut membantu pelayan Tuan Yon melayani pembeli tokonya yang kian laris.
Semua kemujuran itu aku terima sebagai anugerah Tuhan. Kupikir aku tidak merugikan atau membuat salah pada siapapun, Tuan Yon percaya dengan keberuntungannya. Yang aku sesalkan hanyalah kepergian istri dan anak Tuan Yon. Istrinya tak suka ia memelihara anjing, apalagi anjing yang buruk seperti ini. Sejak dulu ia paling takut melihat anjing, entah mengapa, mungkin sebuah trauma.
Tapi Tuan Yon seperti tak peduli akan hal itu. Karena keberuntungan itu memang terbukti. Hari demi hari keberuntungan menghinggapinya. Tokonya maju dengan pesat. Kemajuan tokonya terasa di luar perhitungan. Dari toko kecil akhirnya berkembang luas. Sejak memiliki keyakinan akan keberuntungannya Tuan Yon tambah giat bekerja.
Aku dan anjingku, turut kecipratan untung. Tapi kurasa Tuan Yon tak pernah menganggapku apa-apa selain perawat anjing. Dia tak pernah peduli padaku, ia lebih mengutamakan pemeliharaan anjing itu ketimbang aku. Anjing itu disediakan ruangan khusus, makanan yang enak-enak, daging, dan sayuran yang mahal. Mungkin bila anjing itu bisa mengenakan pakaian Tuan Yon akan memberinya pakain yang mahal.
Mengalami beda perlakuan seperti itu aku jadi terkenang diriku sendiri. Betapa hina diriku dahulu. Mengais-kais tong sampah dengan harapan mendapatkan sedikit makanan dan dengan sangat rakusnya melahap makanan kotor itu. Sungguh diriku tak berharga dibanding anjing itu kini.
Tahun demi tahun pun berlalu,dan menghantar Tuan Yon ke tangga kesuksesan yang gemilang. Tuan Yon tidak lagi memiliki toko kecil dengan satu dua pelayan, ia kini memiliki lima pasar swalayan, tiga diantaranya tersebar di daerah. Untuk mengisi peluang, ia membuka usaha baru berupa angkutan kota. Saham-sahamnya juga tersebar di banyak perusahaan. Semua itu sebenarnya hanya sampingan, usaha utamanya adalah menjalankan pabrik produk kebutuhan dapur yang lumayan besar. Maka wajar kalau ada orang yang menyebutnya konglomerat, walau bukan nomor satu.
Sesuai kesibukannya, Tuan Yon jarang berada di rumah. Bila berada di rumah paling-paling yang ia perhatikan cuma anjing keberuntungannya. Ia sadar keberuntungannya tak lepas dari anjing itu. Untuk itu ia tak pernah lengah dalam perwatan anjing itu. Segala kebutuhan mewah anjing itu dipenuhi. Malah anjing betina dari ras yang paling unggul di dunia disediakan Tuan Yoan buatnya. Tuan Yon berpikir, siapa tahu dari anjing itu ia memperoleh keturunan yang mewarisi keberuntungannya. Ini berarti sampai sekian turunan Tuan Yon akan selalu beruntung. Tapi sayang anjing itu tak seekor pun menghasilkan anak. Anaknya selalu mati.
Memang sukar diterima, seekor anjing bisa sampai taraf yang lebih terhormat dibanding manusia itu sendiri. Kadang aku berpikir siapakah yang sebenarnya majikan; si anjing atau Tuan Yon? Pertanyaanku itu selalu terbentur pada diriku sendiri, sebagai manusia tidak berharga di mata Tuan Yon.
Suatu kali aku membuat kesalahan teramat fatal, anjing itu jatuh sakit. Mungkin salah makan atau apa, aku tak tahu. Aku tak berani menduga macam-macam karena ini menyangkut nasibku. Anjing itu hanya terbaring lemas. Aku takut sekali bila Tuan Yon sampai tahu hal ini.
Pulang kerja sore itu Tuan Yon tampak lesu. Ia mengatakan salah satu rencana yang disiapkan berbulan-bulan dan bakal mengeruk keuntungan besar mendadak batal. Mandengar ia berkata begitu aku tak berani mengungkapkan perihal anjing itu. Ia pasti menghubungkan kegagalannya dengan sakitnya anjing itu, walau tentu benar.
Namun naluri Tuan Yon yang telah terbiasa menerima keberuntungan itu rupanya menangkap gelagat tak beres. Ia menanyakan keadaan anjing itu. Aku tak bisa berbohong, aku terpaksa mengatakan yang sebenarnya. Mendengar penuturan Tuan Yon seketika marah besar. Ia tak mau lagi mendengar penjelasanku. Ia memaki-maki dengan kata-kata kasar.
“Kau berada di sini untuk merawat anjing,bukan cuma makan dan tidur saja. Masak hanya merawat anjing saja kau tak becus!”
Hatiku tersinggung. Aku manusia, harga diriku jatuh begitu ia menganggapku pelayan anjing bulukan. Hari itu juga aku langsung pergi. Dengan sedih kuterima kehidupan yang dulu.
Rupanya anjing itu tidak bisa terima akan kepergianku. Dia datang menemuiku, di rumah kardusku. Tubuhnya bergetar, ia masih sakit. Aku tahu ia anjing setia, kami telah melewati masa-masa sulit bersama. Dia tak memikirkan segala kebutuhannya di rumah megah itu. Nalurinya berkata ia membutuhkanku, majikannya yang sesungguhnya.
Sehari sesudah minggatnya anjing itu Tuan Yon datang menemuiku, atau tepatnya menemui anjing itu. Wajahnya nampak sangat kusut. “Saya ingin minta maaf yang sebesar-besarnya pada bapak. Saya telah melakukan kesalahan besar. Saya harap sudi kiranya bapak memaafkan saya,dan kembali tinggal bersana saya,” katanya dengan teramat sopan.
Aku tahu ia cuma takut ditimpa kesialan yang besar. Dan, aku juga memaki-maki kesalahanku sendiri yang takut pada keadaan. Aku setuju untuk kembali. Aku butuh makan dan tempat tinggal. Usiaku kini sudah hampir enam puluh tahun, aku tak ingin menghembuskan nafas terakhir dan terkubur di kardus-kardus ini.
Sekembalinya aku, Tuan Yon memang lebih memperhatikanku ketimbang sebelumnya. Namun sekembalinya aku bukan berarti kesehatan anjing itu membaik. Kesehatannya tetap saja memburuk, walau Tuan Yon yang selalu menemaninya siang malam telah memberinya segala obat-obatan. Anjing itu diserang penyakit yang takkan bisa disembuhkan; ketuaan. Sebagaimana kodrat binatang, proses ketuaannya tentu lebih cepat dari manusia. Ini sudah ketetapan Tuhan, tak ada yang bisa mencegah.
Adalah ketetapan Tuhan pula bila tiga hari kemudian anjing itu mati. Tubuhnya kaku dalam posisi melingkar. Mengetahui hal itu wajah Tuan Yon memucat. Aku dapat membayangkan kesialan besar dalam benaknya yang terderak retak bagai bangunan tua menunggu waktunya runtuh. (***)
Samarinda, 20 Februari 1996
Di Depan Etalase Toko
Oleh : mukhransyah
RATI masih berdiri di depan etalase sebuah toko pakaian. Mengamati dengan seksama pakaian-pakaian yang dipajang dalam kaca itu. Yang ia amati tentu pakaian untuk perempuan. Ada berbagai macam pakaian di sana, dengan warna dan model yang indah dipandang mata. Tentunya juga dengan harga yang bukan main mahalnya. Rati menghitung-hitung harga satu stel pakaian mungkin sama dengan biaya hidup dia dan neneknya selama tiga bulan.
Tanpa sadar tangan mungil gadis usia 12 tahun itu bergerak menyentuh kaca etalase. Seakan ingin meraih pakaian mahal harga itu, sekadar ingin merasakan halusnya kain pakaian. Ia tak peduli apakah pemilik toko nantinya marah melihat tangannya mengotori kaca etalase. Ia tak mau tahu, seperti juga orang-orang yang berbelanja di pusat pertokoan itu, lalu lalang begitu saja tanpa pernah memerdulikannya.
Untuk kesekian kalinya gadis kecil itu mendesah. Selama ini sekalipun dalam tidur, ia belum pernah bermimpi mengenakan pakaian indah itu. Padahal ia selalu berharap Tuhan memberinya sekadar mimpi indah, seperti pakaian bersih dan bagus, boneka lucu, sepatu bagus, rumah dengan pekarangan yang asri, sebuah keluarga yang bahagia. Entah kapan Tuhan akan memberi kenyataan pada mimpi-mimpinya itu.
Dari dalam toko pakaian itu mendadak keluar seorang ibu muda beserta anak perempuannya yang sebaya dengan Rati. Pakaian yang dikenakan mereka sama bagusnya dengan pakaian dalam etalase. Serasi dengan kulit mereka yang putih bersih, yang tentu sangat terawat dengan baik. Kulit yang tak pernah merasakan ganasnya terik matahari dan kasarnya lingkungan sekitar. Sangat kontras dengan kulit Rati yang kasar dan hitam legam lantaran puas merasakan terik dan debu jalanan.
Ah, Rati menepis bayangan itu. Ia tak ingin membanding-bandingkan keberadaan dirinya dengan orang lain yang kepadanya Tuhan telah memberi nasib lebih baik. Nenek pernah berkata padanya, membanding-membandingkan kelebihan orang lain dengan diri sendiri bisa membuat kita menjadi jahat.
Rati ingin menikmati hidupnya apa adanya. Tuhan telah menentukan garis nasib tersendiri baginya. Bahwa ia cuma seorang anak gembel, yang hanya tinggal dengan seorang perempuan tua yang sering sakit-sakitan karena begitu pasrah menerima kehendak zaman.
Sebenarnya Rati sendiri tidak begitu tahu, apakah di darahnya juga mengalir darah perempuan tua itu. Menurut cerita yang ia dengar dari para tetangga di lokasi pembuangan sampah, perempuan tua yang pekerjaan sehari-harinya mengumpulkan barang bekas itu beberapa tahun lalu menemukan bayi yang masih merah di dekat tong sampah. Perempuan tua itu lalu membawa bayi itu ke tempat tinggalnya di lokasi penampungan sampah. Di tempat seperti itulah ia membesarkan dan memelihara bayi itu seperti juga merawat anaknya sendiri. Bayi tak berdosa itu kemudian diberi nama Rati.
Nenek tak pernah menceritakan riwayat hidup itu pada Rati. Sudah beberapa kali Rati mendesak, namun nenek tetap tak ingin mengetahui cerita awal hidupnya yang menyedihkan. Dari tolakan nenek itulah sebenarnya yang menyakinkan hati Rati bahwa apa yang diceritakan orang-orang itu adalah benar adanya.
Sampai sekarang Rati tak pernah tahu dari rahim perempuan bagaimana ia terlahirkan dan dari darah lelaki manakah yang mengalir di dalam tubuhnya. Tapi Rati tak pernah peduli. Apalagi berharap dapat bertemu dengan kedua orang tuanya. Ia juga tidak menyimpan dendam pada kedua manusia yang menyebabkannya terlahir dengan kesengsaraan. Itu adalah urusan Tuhan, kata batinnya. Ia berusaha menjalani hidup apa adanya. Tanpa pernah mengeluh dan menyesali nasib buruknya.
Kini ia merasa sudah cukup bahagia tinggal dengan perempuan tua itu. Sejelek apapun perempuan tua itu di pandangan masyarakat, yang terpenting bagi Rati, dia telah menyelamatkan dirinya dari kehidupan. Baginya perempuan tua itu lebih dari seorang ibu. Lebih dari seorang ayah.
Bosan melihat pakaian-pakaian, Rati beralih pada etalase toko berikutnya. Toko buku. Ada buku-buku karya cendikiawan berderet rapi di etalase. Buku-buku yang berisi teori tentang kehidupan. Rati yang tak pernah kenal bangku sekolah hanya menatap sebentar buku-buku tebal itu. Ia tak senang melihat orang yang lincah bicara dalam buku, tapi sangat buta begitu berhadapan dengan kenyataan sebenarnya.
Dari toko buku Rati menghentikan langkahnya di depan toko furniture. Ketika sepasang mata Rati terbentuk pada kasur empuk, ia jadi berangan-berangan bagaimana rasanya tidur di atas kasur empuk itu. Apa akan mimpi indah selalu? tanyanya pada diri sendiri. Selama ini ia hanya tidur beralaskan kardus-kardus bekas dengan dinding yang juga dari kardus bekas. Apabila hujan turun maka ia dan nenek akan kelabakan setengah mati.
Rati tersenyum sendiri mengingat hal itu. Senyum yang berasal dari kepahitan. Kadang memang mengharukan bila mengingat saat mengalami kepahitan, sementara orang lain dapat hidup dengan tenang.
Pagi mulai bergerak pergi untuk menjemput siang. Matahari di atas sana masih setia menemani bumi yang mulai terasa panas. Mata Rati telah letih menatapi barang-barang mewah di etalase. Ia terduduk di etalase sebuah toko. Di sudut sana tak jauh darinya, Rati melihat seorang perempuan setengah baya dengan bayi dipangkuannya duduk di tengah keramaian orang yang lalu lalang. Tangan kanannya menadah, mengharap belas kasihan orang yang lewat di depannya. Seorang lelaki muda yang lewat tanpa menjatuhkan uang logam ke tangan perempuan itu. Mungkin uang kembalian ketika lelaki itu berbelanja, atau uang receh yang baginya hanya memberati kantong. Seperti tidak peduli berapa nilai uang yang ia dapat, perempuan pengemis itu langsung memasukkannya ke sebuah kantongan. Tanpa ada perubahan ekspresi, wajahnya tetap memelas penuh iba.
Rati teringat nasehat nenek. Nenek pernah bilang jangan sekalipun ia mengharapkan belas kasihan orang lain. Selagi mampu bekerja memperoleh uang, lakukanlah dengan suka cita selama pekerjaan itu halal dan baik. Sebab itu, Rati tak pernah mau melakukan perbuatan mengemis. Ia lebih senang mengumpulkan uang barang-barang bekas yang layak untuk sekadar ditukarkan dengan sesuap nasi.
“Hey!! Sedang apa kamu di sini? Suara keras dan kasar pemilik toko menyentakkan Rati. Ia mendongakkan kepala, menatap pemilik toko yang berdiri angkuh di sampingnya dengan berkecak pinggang.
“Hey monyet! Pergi sana! Jangan duduk di depan etalase. Cepat pergi!”
Dengan sedikit malas-malasan Rati bangkit dan menyeret kakinya dari depan etalase. Ia tak menghiraukan ucapan kasar orang tadi. Ia sudah biasa menerima perlakuan seperti itu. Terbuang, bagai sampah. Seakan dirinya hanya akan merusak keindangan barang-barang mewah yang dipajang di etalase itu.
Rati terus mengayunkan langkahnya. Ia muak melihat orang-orang yang lalu lalang, yang hanya memamerkan kekayaannya. Ia ingin pulang ke lokasi penampungan sampah. Di sana sesungguhnya masyarakat Rati, bukan di tengah masyarakat borjuis.
Di lokasi penampungan sampah itu, ia dan teman-teman senasib mencari tali penyambung nafas dan hidup. Mereka sama-sama tahu bahwa mereka berada di tempat itu untuk satu tujuan yang sama; mencari rezeki halal sebagai penyambung hidup. Sebagai tempat tinggal, mereka membangun ‘rumah’ di atas jengkalan-jengkalan tanah kosong di sekitar gunung-gunung sampah itu dengan papan atau bahkan kardus-kardus bekas. Di situ mereka membangun masyarakat kecil. Masyarakat “tukang gorek”. Masyarakat pencari barang-barang terbuang.
Sbenarnya mereka sendiri menyadari, bahwa status mereka di tengah masyarakat luas tak jauh berbeda dengan barang-barang yang mereka kais-kais itu. Mereka adalah orang-orang buangan. Orang-orang yang tersisih. Orang-orang yang mengungsi karena kalah perang dalam kehidupan yang teramat kejam. Tetapi mereka rata-rata adalah orang-orang yang pasrah dan tabah. Yang mampu menghadapi kehidupan dengan segala keadaannya. Lumpur, rambut kusut, bau busuk, tanah becek, dan baju sobek-sobek adalah dunia mereka. Caci maki, sumpah serapah adalah bagian dari rezeki mereka.
Begitulah sesuangguhnya masyarakat Rati. Masyarakat yang telah membesarkan dan mendidiknya. Di sana ia belajar banyak tentang sifat-watak manusia.
Waktu terus bergulir. Siang berganti malam, malam berganti siang. Hari berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Zaman pun berubah. Bersamaan dengan sifat dan watak manusia.
Rati kini telah menjelma menjadi seorang wanita berusia 22 tahun. Ia bukan lagi seperti Rati yang dulu. Rati sekarang adalah Rati dengan bibir berlapis lipstik merah menyala. Tubuhnya yang sempurna sebagai wanita tidak lagi diselimuti debu dan bau pesing. Tapi berupa parfum murahan yang merebak ke mana-mana. Ia juga kelihatan makin seksi dengan rok mini merah ketat dan kaus you-can see yang juga ketat.
Satu yang tak berubah darinya adalah ia masih sering berdiri di depan etalase toko. Walau tujuannya berbeda. Dulu ia hanya ingin melihat barang-barang indah dan menarik di etalase itu, tapi sekarang keadaan berbalik, sesuangguhnya tanpa ia sadari dirinyalah yang menjadi barang pajangan. Memamerkan keindahan dan kemenarikan dirinya pada lelaki hidung belang.
Itulah Rati sekarang. Seorang wanita yang telah kehilangan segala-galanya.
Semuanya berawal pada kejadian lima tahun silam. Waktu itu malam hari, ketika Rati usai membeli makanan di warung, ia ingin segera pulang menuju lokasi tempat tinggalnya. Ia tahu neneknya tentunya tak sabar menunggu makanan yang dibelinya. Rati sedang melewati sebuah lorong ketika tiga pemuda berandalan yang lagi teler mencegat langkahnya. Salah seorang dari pemuda itu menyergap dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. Rati mencoba berontak, melepaskan diri. Tapi sayang tenaganya tidaklah berarti bagi ketiga pemuda itu. Ia dibawa ke tempat yang sepi. Dan.. Rati pun kehilangan kehormatannya..
Oh, Rati yang malang.. Rati gadis kecil yang terluka dan kalah.
Kepedihan Rati kian menjadi ketika nenek yang selama ini merawatnya dengan penuh kasih telah pulang menghadap Yang Maha Kuasa dua tahun setelah kejadian itu. Nenek wafat di gubuk kecil mereka yang kumuh. Bukan di rumah sakit. Rati sangat sedih untuk menghembuskan napas yang terakhir pun nenek tak merasakan pergi dengan tenang dan damai. Perempuan tua yang malang, yang memulai tidur abadinya di atas kardus bekas dan dikelilingi sampah.
Rati masih berdiri di depan etalase toko. Sepasang matanya, yang dihiasi eye-shadow selalu waspada terhadap petugas yang tak pernah bosan menangkap pelacur-pelacur liar.
Di depan jalan sana, Rati melihat di dalam mobil mewah, seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun melambaikan tangan ke arahnya. Rati kenal lelaki itu. Namanya Pak Sugeng. Sopir seorang pejabat tinggi negara namun kesepian, walau telah beristri dan mempunyai anak lima.
Rati mendekati si sopir yang memang biasa menjemput perempuan nakal untuk tuannya. Seperti biasa, Rati menawarkan senyuman menggoda, seperti kepada lelaki hidung belang lainnya. “Halo Pak Sugeng.” Sapa Rati dengan suara manja. “Halo juga, Rati. Bos perlu teman,” balas Sugeng singkat. Tanpa banyak kata, namun mereka sudah tahu sama tahu. Sugeng membukakan pintu untuk Rati. Tanpa berpikir dua kali, Rati langsung masuk mobil. Rezeki seperti ini kata batinnya, tak bisa ditolak.
Tak lama mobil itu meluncur pergi. Menuju sebuah villa tempat biasa sang pejabat istirahat, setelah letih melancong keluar negeri. Membawa Rati menembus dingin dan gelap malam, membawa Rati yang selalu menangis walau dalam tawa. @
Samarinda, Februari 1993