Ziarah
Sandy Firly
(Kalimantan Tengah – INDONESIA)
PADA sisa seperempat malam itu ia terbangun. Ditengoknya istrinya yang tertidur membelakanginya. Suara ngorok istrinya seperti peluit kapal di malam tanpa angin dan gelombang. Disibaknya selimut, diraihnya jaket yang tergantung di dinding pintu kamar, dan sebuah senter di atas meja. Dia bertekad tetap ke luar rumah menuju pekuburan di belakang surau, sekitar 500 meter dari rumahnya ke arah barat. “Aku mesti ke kubur, ke kubur.” Hatinya begitu gelisah. Di luar bulan terang, langit luas membentang, awan-awan tipis menepi. “Pekuburan itu pasti terang cahaya bulan. Aku mesti ke kubur, ke kubur.”
***
Cerita ini bermula dari sebuah nazar. Salim telah bernazar, bila ia bersama tiga anak buahnya berhasil mendapatkan intan di pendulangan Cempaka, maka ia akan berziarah ke makam Wali Songo di Jawa. Tak hanya sendiri, ia akan mengajak anak istri dan tiga anak buahnya. Ini adalah kaul pertamanya untuk pekerjaan mendulang.
Peruntungan Salim memang sedang sepi. Setahun belakangan ini hasil mendulangnya hanya mampu untuk makan sehari-hari dan membayar utang sembako bekal mendulang di warung. “Cobalah Pak Salim bernazar, insya Allah. Nazar apa saja, tentu yang baik-baik. Pak Salim pasti tahulah itu,” begitu saran Pak Majid, ustaz di pesantren dekat rumahnya di Desa Antaraku, ketika ia menceritakan perihal usaha mendulangnya yang kian tak menghasilkan.
Salim merasa hanya mendulanglah pekerjaan yang mampu dilakukannya, seperti juga dulu almarhum bapaknya. Lagi pula ia telah mendulang sejak muda. Dari hasil mendulang juga ia akhirnya bisa mengawini Saidah, istrinya, yang kemudian melahirkan Diyang, Murni, dan Nanang. Dua anak perempuannya telah dibawa laki mereka masing-masing. Mereka kawin dalam usia muda, Diyang 18 tahun, Murni 16 tahun. Diyang kini di Samarinda, suaminya bekerja sebagai penjual buah. Sedangkan Murni di Pangkalanbun ikut suaminya yang bekerja di perkebunan kelapa sawit. Jadi tersisa si bungsu Nanang yang masih bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah—di kampung biasa disebut Sekolah Arab.
Bagi orang Banjar yang berdiam di Martapura, berziarah ke makam para wali menjadi semacam cita-cita rohani, seperti halnya berhaji meski tingkatannya tidaklah setinggi itu. Namun dimafhumi, berziarah ke makam para wali sudah mentradisi. Salim juga tahu, tiap tahun ustaz-ustaz di pesantren di desanya mengadakan ziarah ke makam Wali Songo, dan selalu saja ada warga di sekitarnya yang ikut berziarah bersama. Mereka berangkat rombongan, kadang sampai 20 orang. Dan setiap pulang dari ziarah Wali Songo, seolah-olah mereka seperti pulang dari berhaji.
Salim memang sudah sering mendengar, kalau nazar adalah salah satu kunci untuk membuka pintu rezeki. Dan ia yakin, dengan nazar berziarah ke makam wali-wali di tanah Jawa, maka Tuhan akan memudahkan ia dan anak buahnya bekerja dan bahkan menunjuki mereka lubang galian mana yang harus dikerjakan untuk mendapatkan intan. “Para wali adalah kekasih Tuhan, sudah tentu berziarah ke sana sangat baik. Tuhan pasti senang,” begitu bisik hati Salim. Kendati ia sebenarnya merasa tidak enak dengan Tuhan karena bernazar seperti itu. Sebab ia sudah lama meninggalkan salat lima waktu, jarang beramal sedekah, dan entah berapa tahun tak lagi berzakat.
Namun Salim juga merasa tak punya pilihan bagus untuk merayu Tuhan selain nazar ke makam Wali Songo. Sementara untuk nazar berhaji, ia merasa belum siap secara mental – tentu saja selain ongkosnya yang mahal. “Di tanah suci, apa-apa yang dilakukan orang selama hidupnya, terutama yang tidak baik, akan ditampakkan oleh Tuhan dan bahkan dibalas langsung. Ada jamaah yang tersesat berjam-jam, ada yang ditarik-tarik askar Arab, atau bibirnya tak bisa lepas ketika mengecup hajar aswad.” Tambahan cerita itu pula yang membuat Salim merasa tak siap berhaji. Ia takut salat yang ditinggalkan dan zakat yang dilupakan akan berubah menjadi askar Arab, sering diceritakan bertubuh tinggi besar dengar wajah hitam sangar, yang akan mengejar-ngejarnya di tanah suci. Sebab itulah ia cukup bernazar ziarah ke makam Wali Songo saja.
Sudah tentu Salim tidak menceritakan perihal nazarnya ini kepada anak buahnya maupun anak istrinya. Memang begitulah. Sebuah nazar tak seharusnya diceritakan kepada orang lain. Cukup kita sendiri yang mengetahui. Cukup hati kita. Sebab nazar adalah sebuah permintaan terdalam, dari lubuk hati. Harus murni, tulus. Karena bila sebuah nazar diceritakan, itu bisa mengurangi keikhlasan. Takut dianggap ria, takut dianggap gagah-gagahan, dan yang paling dikhawatirkan adalah takut tidak bisa melaksanakan nazar tersebut bila memang hajat telah dipenuhi oleh Tuhan.
Salim pernah mendengar sebuah cerita tentang nazar ini. Di kampung seberang sungai desanya ada seorang pendulang yang rumahnya terbakar dan menghanguskan seluruh harta di dalamnya. Kejadian itu hanya berselang satu bulan setelah si pendulang berhasil mendapatkan intan cukup besar. Dari cerita yang beredar, si pendulang pernah bernazar akan menyantuni 100 anak yatim bila ia mendapat intan. Rupanya Tuhan memperkenankan nazarnya. Si pendulang diberi rezeki dengan mendapatkan sebiji intan berkualitas bagus dan laku dijual seharga Rp 1 miliar. Setelah uang itu dibagi-bagi terlebih dulu dengan beberapa rekan kerjanya, si pendulang tetap mendapatkan bagian yang cukup besar. Uang hasil penjualan intan itu pun lalu dibelikannya perabotan seperti televisi, vcd, kulkas, kipas angin, sofa, lemari kaca, baju-baju baru untuk anak istrinya, serta dua buah sepeda motor (konon menurut cerita lagi, si pendulang itu sebenarnya ingin membeli mobil, namun karena tak bisa menyetir dan tak ada garasi di rumahnya maka dibelilah sepeda motor. Sebelumnya cuma beli satu, tapi karena rumahnya dirasa masih bisa menampung satu sepeda motor lagi, maka dibelinya lagi sebuah). Sementara ia sibuk dengan barang-barang barunya itu, nazarnya menyantuni 100 anak yatim pun terlupakan.
Begitulah, satu bulan berselang, rumahnya terbakar dan menghanguskan barang-barang yang baru dibelinya. Meski penyebab kebakaran diduga akibat korsleting listrik, namun orang-orang tetap saja mengaitkan musibah itu dengan nazarnya menyantuni 100 anak yatim yang tidak ditunaikannya.
“Nazar itu baik. Namun jangan sekali-sekali berani bernazar bila kamu tidak sanggup memenuhinya.” Itulah pesan Pak Majid yang terus diingat Salim. Sepulang dari rumah Pak Majid, pesan itu berdenyut-denyut di kepalanya. Itu sehari sebelum ia dan tiga anak buahnya berangkat ke Cempaka untuk mendulang. Malam itu juga ia meluruskan nazarnya berziarah ke makam Wali Songo bila berhasil mendapatkan intan. Sepanjang perjalanan pulang ia terus mengucapkan nazarnya dalam hati seperti doa. Berulang-ulang. Berulang-ulang hingga ia tiba di depan pintu rumahnya. Sebelum memasuki rumah, sekali lagi dia niatkan nazarnya, sambil pula ia meyakinkan Tuhan bahwa ia pasti akan melunasi nazarnya bila Tuhan berkenan memberinya rezeki di pendulangan.
***
Pada hari ketiga di pendulangan, Salim mendengar jeritan Zakir, anak buahnya, dari dalam lubang pendulangan seperti orang kerasukan. “Galuh! Galuh!” teriak anak muda itu. Sudah dipahami dalam adab pendulangan, bila seseorang menyebut nama Galuh di pendulangan, itu bukanlah sedang memanggil nama seorang anak gadis, terlebih lagi merayunya. Galuh itu sebutan untuk intan yang didapat. Sebab menurut hikayat, bila menyebut nama intan dengan nama sebenarnya, maka intan tersebut bisa lenyap secara gaib. Masih dipercaya pula, bahwa intan adalah penjelmaan putri dari alam tak kasat mata.
Salim sempat terpukau melihat benda yang diperlihatkan Zakir di antara jempol dan telunjuknya. Benda seukuran pentol bakso itu tampak hitam mengkilap. “Ya, ini memang Galuh. Galuh,” ucap Salim setelah benda bulat seukuran pentol bakso itu ditelitinya dengan cermat. Pengalamannya bertahun-tahun tak mungkin luput. “Ini memang Galuh, Zakir,” ulang Salim dengan mata berbinar-binar kepada Zakir yang senyumnya terus mengembang, juga kepada dua anak buahnya yang lain, Rasid dan Umar, secara bergantian. “Akhirnya saya jadi kawin juga,” sambut Zakir, yang rupanya telah terbayang uang yang akan didapatnya dari penjualan intan itu nantinya. Sedangkan Salim teringat dengan nazarnya berziarah ke makam Wali Songo.
Seketika saja kabar penemuan intan sebesar pentol bakso oleh kelompok Salim tersiar ke seantero masyarakat Banjar. Layaknya setiap intan yang ditemukan adalah penjelmaan seorang putri, maka intan sebesar pentol bakso itu pun diberi nama “Putri Malu”.
Bergantian rombongan pejabat ibukota setempat mengunjungi Desa Antaraku, yang jalannya seperti kubangan kerbau dan hanya bisa dilewati sebuah mobil satu arah. Begitu pula beberapa pengusaha intan, baik dalam kota maupun luar daerah, rela menempuh perjalanan hampir tiga jam untuk melihat dengan mata kepala sendiri intan yang disiarkan sebesar pentol bakso itu. Di antara pengusaha tersebut ada juga yang telah menyiapkan uang kontan untuk tawar menawar, namun ternyata harga yang dipasang Salim untuk si “Putri Malu” membuat para pengusaha benar-benar malu merogoh kocek mereka.
Seiring itu, sontak nama Desa Antaraku yang sebelumnya terisolir, menjadi terkenal. Imbasnya, jalan menuju desa pelan-pelan mulai dilakukan peninggian oleh pemerintah dengan menguruk pasir dan batu kerikil. Begitu pula Sekolah Arab, tempat Nanang putra Salim belajar, membuka mata pejabat yang berkunjung untuk melakukan perbaikan; menambal atap yang bocor dan menambah meja kursi untuk murid.
Dua minggu sejak ditemukan, belum ada juga yang berani meminang “Putri Malu” dengan mahar yang pantas. Salim pun mulai diserang gelisah. Ia terus teringat dengan nazarnya berziarah ke makam Wali Songo. Ia khawatir ada apa-apa bila nazarnya itu tidak segera dilaksanakan.
Pada hari keduapuluh, akhirnya datang H. Lihanuddin, pengusaha asal kota intan Martapura yang mau meminang “Putri Malu” dengan nilai mahar tertinggi, Rp 3 miliar. Setelah berunding dengan ketiga anak buahnya, Zakir, Rasid dan Umar serta melibatkan Pak Majid sebagai tokoh Desa Antaraku, Salim pun memutuskan menerima pinangan H. Lihanuddin.
Usai pembayaran intan, Salim memberitahukan tentang nazarnya kepada anak istrinya, ketiga anak buahnya, termasuk juga kepada Pak Majid yang dulu menyarankannya untuk bernazar. “Karena saya belum pernah naik pesawat, maka saya memohon kepada Pak Majid yang sudah berpengalaman untuk menjadi kepala rombongan kita untuk berziarah ke makam Wali Songo, seperti yang telah saya nazarkan. Semua ongkos, saya yang tanggung,” ucap Salim sambil tersenyum. Semua yang hadir tampak senang.
“Alhamdulillah, saya akan siapkan secepatnya rencana ziarah kita,” sahut Pak Majid, “Tapi, Pak Salim tampaknya buru-buru sekali ingin menunaikan nazarnya. Takut kualat ya,” canda Pak Majid yang langsung disambut gelak tawa. Salim hanya tersenyum masam sambil mengelus rambut di kepala depannya yang mulai menipis.
***
Perjalanan ziarah ke makam Wali Songo berjalan lancar. Salim juga membawa banyak oleh-oleh untuk para tetangganya. Namun, meski telah menunaikan nazarnya, Salim merasa ada yang menggelisahkan hatinya. Tiga hari sudah ia terbangun tiba-tiba di tengah malam. Seperti ada suara yang memanggil-manggil dalam tidurnya, tak tahu suara siapa.
“Apakah mungkin karena nazarnya terlambat dilaksanakan?” tanya istrinya ketika Salim menceritakan perihal mimpi dan kegelisahan hatinya saat sarapan pagi.
“Rasanya tidak juga. Bukankah kita cepat saja menjual intan itu dan langsung berangkat ziarah.” Atau, jangan-jangan karena saya tidak menziarahi makam wali-wali di kota Martapura ini? pikir Salim. “Iya, saya tahu, Bu,” ucap Salim cepat, “Usai sarapan kita langsung pergi ziarah ke Kalampayan dan Sekumpul.”
Istri Salim hanya menatap bingung dengan keputusan tiba-tiba itu.
“Oya, jangan lupa, nanti kita mampir dulu di pasar Martapura, beli kembang rampai.”
“Lho, bukankah di Kalampayan dan Sekumpul ada banyak penjual kembang rampai buat peziarah?”
“Oh iya, lupa. Entah kapan terakhir aku tak ziarah ke sana,” sahut Salim agak kikuk. Sebab ia sadar, seumur hidupnya belum pernah ziarah ke Kalampayan dan Sekumpul.
Jadilah hari itu, sehari penuh Salim, istri dan anaknya berziarah ke Kalampayan dan Sekumpul. Ketika kembali ke rumah, hari telah menjelang maghrib. Selesai mandi, Salim langsung tidur. Ia merasakan lelah yang sangat.
***
Seperti malam-malam sebelumnya, pada sisa seperempat malam itu ia kembali terbangun. Namun kali ini ia benar-benar dapat mengingat mimpi itu. Ia juga mengenal benar suara yang memanggil-manggil dalam tidurnya, suara yang selama ini menggelisahkan hatinya. “Aku mesti ke kubur, ke kubur.”
Di luar bulan terang, langit luas membentang, awan-awan tipis menepi. Sepanjang perjalanan menuju pekuburan di belakang surau, sekitar 500 meter dari rumahnya ke arah barat, Salim melihat di kedua bola matanya yang basah hanya ada sosok ayah ibunya yang terus berucap, “Aku rindu, kau tak menjengukku.Aku rindu, kau tak menjengukku.”
Salim tersungkur. Tangannya terbentang memeluk dua kubur yang terang bermandikan cahaya bulan malam itu.***
Martapura, 2008
: ilustrasi oleh sandi firly
Kematian yang Terlalu Pagi
:: Sandy Firly
(ini cerpen saya yang terdapat dalam kumpulan cerpen Perempuan yang Memburu Hujan, juga terdapat dalam Jurnal Cerpen Indonesia edisi 07)
BERSAMA harum kamboja, tiba-tiba saja cahaya berebutan menerobos kamar dari jendela. Udara berpusing, teraduk-aduk, kertas-kertas berterbangan, buku-buku berbukaan bersicepat membolak-balik lembar halamannya sendiri di tengah lesatan bilah-bilah cahaya yang menyakitkan mata. Kamar pun banjir cahaya, menggigilkanku dalam sergapan ketakutan sekaligus ketakjuban. Gigilku dalam kecemasan melebihi kecemasanku atas kata-kata.
Seperti sepasang sayap yang saling bersedekap, perlahan cahaya menjadi lebih tenang. Gelombang udara pun membantun pelan. Dalam gentar yang teramat, kuberanikan membuka perih mata menangkap sesosok. Cahaya! Cahaya! Ahai! Tuankah malaikat itu? Tuankah?
Tuankah yang datang sepagi ini memenuhi undanganku yang kukirimkan lewat pertanyaan kalut dalam leretan waktu? O, tak siap aku menyambut kedatangan Tuan, meski pertanyaan-pertanyaanku tentang kematian kekasihku sepagi itu pada Tuan masih memburu dan terus memburu. Seperti Tuan yang memburunya dalam dingin pagi di jalan depan rumahnya, menyergap dan membawa ruhnya dari batang tubuh kecil itu yang kemudian bak ranting patah terempas di aspal yang basah. Lalu darah. O, Samira!
“Sebuah pikap sayuran menabraknya!” Teriak orang-orang di pagi itu seperti melupakan kuasa Tuan! Padahal kaulah sosok sesungguhnya di balik kematian kekasihku pagi itu. Heh, tapi aku tidak! Aku takkan tertipu oleh pikap sayuran yang melaju dan menyambar tubuh kekasihku Samira sebagai akibat kematiannya. Tak akan. Kaulah Tuan. Kaulah tuju dari segala tuju atas sebuah sebab kematian. Kaulah! Dan kepada kaulah, Tuan, aku bebal untuk terus memburukan tanya atas kematian kekasihku Samira. Sebab kami telah menyaurkan hati. Semalam. Baru semalam dalam sebuah pinangan.
Assalamu’alaikum
O, suara yang bercahaya! Suara yang teduh tanpa prasangka. Kau, kau Tuan? Malaikat kematian bersayap cahaya? Tapi mengapa suara dan tubuh cahaya Tuan seindah perempuan? Kelembutan yang mematikan. Bagaimana keindahan ini suntuk dengan yang bernama kematian? Bukankah kematian seperti memiliki kelamin pejantan? Sebuah kerja yang memerlukan renggutan kuat tangan lelaki pada jantung-jantung yang hidup. Menyemburatkan warna merah darah, meski dalam kematian yang sunyi bahkan seputih kapur. Atau bahkan kematian seayunan daun dalam embusan angin yang kering. Ternyata kau, Tuan, pemegang titah kematian itu.
Terperenyaklah semua mitos dalam pikiran manusia yang menyimpan nama kematian adalah sekepal tangan kasar lelaki. Lihatlah maha cahaya indah ini, yang meski itu pun tetap kupanggil dengan sebutan Tuan. Sebab dialah Tuan bagi penjemput kematian-kematian kita. Dan Tuan maha cahaya yang memenuhi ruang kamarku, yang berkuasa atas nama kematian, adalah sebuah tuju bagi pertanyaanku yang bertubi-tubi bagi kematian kekasihku sepagi waktu lalu itu.
Gentar. Tubuhku masih menggigil dalam gelombang cahayanya. Akankah dia merenggut ruhku juga dan mempertemukanku dengan kekasihku, juga sepagi ini? Ataukah memberi jawab bagi pertanyaan-pertanyaanku yang telah mendarah dalam hati; tentang kematian kekasihku yang terlalu pagi?
Rupanya kau tak pernah belajar tentang kematian. Tahukah kau, baru saja aku meraup lebih dua ribu nyawa ketika sehelai rambutmu meriap.
Dua ribu nyawa! Sepagi ini? Sedang ia tak sedetik pun beranjak dari kamar ini, tapi telah mengitari semesta? Inikah yang disebut kecepatan maha cahaya dalam dimensi ruang dan waktu yang tak berukur? Aku terduduk lemas bertumpu pada dua lutut. Tubuhku masih terguncang dalam gigil. Cahayanya menembusi seluruh pori-poriku, menelanjangi jasadku yang kini hanya serupa irisan-irisan daging. Aku tak lagi berbentuk.
Tapi aku masih menyimpan pengkhianatan atas kematian kekasihku, yang dalam genangan waktu selalu dilulur tanya. Meski aku sadar, kematian memang tak pantas untuk dipertanyakan. Hanya tersebab aku berlebih mencintai kekasihku itulah tanya terus memburu. Pada apa-apa telah kucoba cari jawab. Kata-kata sudah habis rangkai dalam kertas-kertas ceritaku. Aku telah terkepung tanya; sebuah kematian kekasih yang terlalu pagi.
Akankah pada maha cahaya ini tanyaku akan berbilas? Sebab rahasia kematian kekasihku ada padanya. O, Tuan, kelembutan yang mematikan. Cahaya yang tenang layaknya sayap yang disedekapkan, dan berubah bilah-bilah pisau siap melukai kala sayap cahaya direntangkan. O, Tuan, berilah aku jawaban.
Tidak kau hitungkah, berapa kehidupan di dekatmu yang terenggut sudah? Pun, kekasihmu dalam kematian yang dingin sepagi waktu lalu itu. Tidakkah kau berpikir?
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.1
O, maha cahaya! Tahulah Tuan telah banyak kematian yang mengepung ingatanku. Juga cinta, bukan? Tak diragukan lagi. Seberapa aku memuja kekasihku, serupa perempuan-perempuan memuja ketampanan paras Yusuf. Kekasihku adalah perempuan biasa, tapi cinta tak perlu penjelasan. Tahulah Tuan itu. Benar, aku bukanlah Adam yang hanya bisa memilih seorang perempuan. Hanya saja hatiku, Tuan. Tahulah pasti Tuan, betapa rapuhnya hati anak manusia. Cinta, inilah yang menjadi kisah-kisah dalam perjalanan abad-abad. Menjadi artifak. Tahulah Tuan itu. Begitulah aku mencintainya, Tuan – akh, pengakuan yang tak diragukan dalam pengetahuan Tuan.
Ketakberdayaanku, pun tahulah Tuan. Dan maafkanlah, karena aku menyimpan pengkhianatan atas kematian kekasihku. Mungkin sampai nanti, sampai satu-satu penanda kehidupan luruh dan menyadarkanku. Tahulah Tuan, bila aku juga sudah mencoba belajar pada guru kehidupan bernama kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi kematian. Dalam senyum yang ringan, dalam mata yang tenang, sudah pula aku berbenam. Namun berkali-kali juga aku remuk, untuk kemudian bangkit lagi menyusun batu-batu pijak. Pada laut yang gemilang, aku pun pernah tenggelamkan diri mencari seserpih mutiara hikmah atas kematian. Lalu gunung dan hutan-hutan telah pula menjadi ladang penjelajahan diri yang tak habis-habis. Tapi selalu saja, setelahnya kubawa pulang lagi tubuh kembaraku yang tercabik menjadi lelatu. Dan tahulah Tuan, itulah yang berulang-ulang. Berulang-ulang. Maka tahulah lagi Tuan, bila aku kembali mengetuk-ngetuk pintu jawab bagi sebuah kematian kekasihku. Sebab aku masih tak berterima, Tuan. Jangan tanya soal alasan, tahulah Tuan apa yang menjadi sebab.
Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.2
O, Tuan sang maha cahaya! Aku tak pernah berusaha lari dari kematian. Pun, kekasihku tak bisa berlari dari kematian yang menjemputnya sepagi waktu itu. Yang kutahu, itulah kematian yang terlalu pagi. Siapa yang bisa meramal, pada pagi tiga puluh hari lalu itu adalah pagi terakhir kekasihku yang pada malam hari sebelumnya aku masih bersamanya, berdua di kursi beranda rumahnya. Dan pada malam itu, sungguh aku telah menyerahkan separuh hidup dan pengharapanku atas hidupnya, aku meminangnya.
“Samira, aku ingin menggenapkan hidup sebelum mati. Maukah kau kujadikan istri?” Sebuah kata sakral kuucapkan, yang dengannya telah pula siap kurelakan sebagian hidupku untuk dimilikinya, dan siap kuterima pula sebagian hidupnya. Sebuah kata yang sering kurapalkan pada malam-malam yang sunyi dan suntuk, dan dengan keberanian yang berlipat-lipat untuk bisa terucap. “Perjalanan kita sudah panjang, Samira, sudah hampir setahun, sudah waktunyalah kita untuk saling menyaurkan cincin.”
“Menikah untuk menggenapkan hidup sebelum mati?”
“Ya. Pernikahan itu seperti menggenapkan hidup sebelum mati, Samira. Kita sudah mengalami masa kelahiran, anak-anak, remaja, dewasa, dan tentu pernikahanlah selanjutnya. Dan aku memilihmu untuk menjadi tautan hidupku, melahirkan dan membesarkan anak-anakku yang juga tentu anakmu. Kelak.”
Samira terpagut diam—sebuah bicara dalam bentuk yang berbeda kukira. Namun aku bisa membaca kata-kata dari wajahnya, juga rona dalam mata dan senyumnya yang memberi isyarat. Seperti bayang, aku melihat anggukan kepalanya meski tak dalam. Pelan. “Terima kasih, Bang. Nanti Samira bicarakan sama keluarga.”
Ah.., tunailah sudah sebuah pengharapan. Kugenggam tangannya, kukecup, dan kuucapkan terima kasih. Selanjutnya kami pun sama-sama merangkai dan membayangkan sebuah kehidupan rumah tangga yang bahagia – lazimnya impian setiap manusia dewasa.
Namun tak sesiapa pun tahu, bagaimana maut mengincar dan datang menjemput, begitu pun lonceng kematian tak ada yang bisa menerka kapan berdentang. Diam-diam, rupanya sang maut telah menghitung waktu bagi kematian kekasihku malam itu. Ya, kau Tuan, malaikatulmaut itu. Kenapa sepagi itu Tuan datang menjemputnya? Kenapa, Tuan? Tuan pasti masih sempat melihat senyum manisnya di pagi itu sisa kebahagiaan yang kami ciptakan semalam, juga matanya yang terbuka pertama kali dari tidurnya. Atau, jangan-jangan Tuan sudah mengintai nyawanya sesaat sebelum dia terbangun – atu malah sejak malam kami duduk berdua di kursi beranda rumahnya? Tuan berdiri di sudut kamarnya, mungkin di dekat jendela kaca kamarnya yang masih tertutup gorden. Dan sebelum dia membuka mata, Tuan tatap wajah mungilnya yang tanpa dosa itu, namun Tuan cepat-cepat memalingkan wajah karena tak ingin tergoda oleh perasaan iba –meski aku sangsikan ini, karena aku tahu Tuan tak pernah pilih nyawa bila ajal seseorang itu harus Tuan jemput sesuai janjinya, tak peduli dia bayi merah atau orang tua yang lemah. Lalu Tuan alihkan pandangan ke luar jendela kaca kamarnya, memandang pagi yang masih bening embun. Mungkin waktu itu Tuan dengan perasaan muram, atau jangan-jangan riang?
O, Tuan! Sungguh jeli kematian atas kekasihku diatur pagi itu. Sebuah kematian yang tak terduga, namun itulah bukti nyata bahwa kematian bisa datang tiba-tiba. Meski sesaat sebelumnya masih sempat dihadirkan kegembiraan, kekasihku Samira penuh canda di meja makan keluarga, yang mengundang keheranan dan tanya ayah bunda dan seorang adiknya. Kita memang sering terlupa akan isyarat, bahwa di antara suka cita bisa saja terselip kabar duka.
Tawa pagi kekasihku yang sempat pecah di tengah ruang makan, tinggal gema tertahan ketika sesaat dia berangkat menuju jalan di depan rumah entah untuk keperluan apa –barangkali ini hanyalah cara kematian menjemputnya tanpa harus dijelaskan apa yang menjadi sebab dia menyeberang jalan, yang lalu Tuan memburunya, dan dengan sekali sergapan telah Tuan bawa nyawanya dari jasadnya yang terkulai layu di aspal yang dingin bersimbah darah. Apa itu tadi yang menyambar tubuhnya? Sebuah pikap sayuran? Tapi sungguh tak terlalu penting apapun yang menjadi sebab kematiannya, hanya ceracau hatiku mempertanyakan mengapa dia mati sepagi itu, tepat saat semalam kami memintal janji untuk sama-sama menggenapkan hidup sebelum mati, menyaurkan hati. O, Tuan, mengapa Tuan?
Sungguh, Tuan, kematian kekasih di pagi itu seperti bukan waktu yang tepat, terlebih di tengah kegembiraan kami. Meski benar kematian tak mengenal waktu dan tempat; di dalam sebuah pesawat yang celaka karena kalut dihantam cuaca, di atas kapal yang karam dipulun gelombang, di dalam kereta yang relnya terlepas, tertimbun longsoran tanah, diamuk gempa, atau kematian yang sunyi di hadapan regu tembak atau pada seutas tali yang dikalungkan pada batang leher. Begitulah, tiap kematian memiliki misterinya sendiri. Dan bila kebahagiaan sering memiliki wajah yang sama, tak halnya kesedihan. Bisakah kita samakan kesedihan mereka yang sama-sama kehilangan keluarganya yang tewas dalam kecelakaan pesawat atau kapal yang karam? Samakah sakitnya kehilangan si kecil buah hati tercinta dengan orangtua yang teregut dari hidup selamanya? Atau antara kekasih dan saudara yang sama-sama lenyap senyap tak berbekas? Bagaimanakah kita bisa meraba lukanya, sedihnya, pahit getirnya? Air mata mungkin sama-sama menggabak, tapi adakah kata yang bisa mengungkap sebuah kedukaan dengan kadar yang sama? Kegembiraan seringkali usai sekali reguk dalam satu perayaan semalam, tapi kesedihan bisa serupa duri di dalam hati, bernanah, berdarah, dan akan terus terbawa bahkan hingga mati. Begitulah aku, Tuan.
Dan maafkanlah bila aku bebal memaksakan tanya tentang kematian kekasih di pagi itu, yang barangkali tak penting benar dalam keluasan semesta. Sebab menantang cahaya Tuan saja aku tak bisa. Sungguh hina dan tak sopannya aku menanyakan tugas Tuan. Ketahuilah, sesungguhnya tak ada keraguan padaku atas kerja Tuan menjalankan titah dan perjanjian dari Yang Maha Agung, bahwa nyawa kekasihku harus Tuan renggut. Hanya aku saja, Tuan, yang kemudian selalu mengingatnya sebagai sebuah kematian yang terlalu pagi. Ya, terlalu pagi. Pagi Minggu yang di ruang kamarku masih hangat aroma kopi. Sepotong roti, asap rokok pertama, dan sebuah koran dengan cerita pendekku di dalamnya. Sedemikianlah kabar yang meruntuhkan ketenteraman pagi itu datang. Sebuah kematian kekasih. Tidakkah kematian yang terlalu pagi, saat dentang jam kehidupan baru dimulai, hanyalah sebuah kabar yang terlalu mengada-ada? Jendela yang baru kubuka pun masih tampak dingin basah embun. Udara di luar sewarna susu. Bagaimana bisa kemurnian pagi seperti itu diusik oleh sebuah kematian? Pagi yang tidak tepat untuk sebuah kematian. Tidak sesiapa pun! Terlebih untuk seseorang bernama kekasih!
“Aku ingin menggenapkan hidup sebelum mati. Kata itulah yang berulangkali diucapkannya seperti membaca puisi kepada kami pagi itu di meja makan. Samira mengucapkannya sambil tertawa, makanya kami kira bercanda. Ah.., ternyata itu pertanda,” lirih suara ibunya mengabarkan.
Dan kabar itu tak bisa ditolak. Kematian tak bisa ditawar. Maka pagi yang murni itu pun menjadi sewarna api.
Demikianlah awal tumbuhnya pengkhianatanku kepada sebuah kematian. Demi waktu, lalu kuundang jawab bagi kematian kekasih yang terlalu pagi. Hanya tanyalah yang terus kugugatkan kepada yang merenggut napas kekasihku, yang padanya ikut pula tercerabut hidupku. Aku tak pernah lelah menunggu jawab. Meski mungkin tetap takkan ada jawab yang dapat membuatku lebih lapang menerima kematian sang kekasih yang terlalu pagi. Sebab aku bersikeras, kematian yang terlalu pagi hanyalah kabar yang mengada-ada. Bukankah merenggut nyawa pagi-pagi adalah kerja yang tergesa-gesa bagi keberartian sebuah kehilangan?
Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian) kamu tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.3
O, Tuan! Sungguh aku tak mendustakan kebenaran ayat itu. Hati inilah, Tuan. O, betapa rapuhnya. Kenapa tidak Tuan biarkanlah kami mengecap kesenangan walau sebentar saja. Sebentar saja. Cukup menggenapkan hidup sebelum mati, menjadikan kami sepasang suami istri. Kenapa Tuan, tidak ditunda kematian atasnya?
Wahai keturunan Adam, aku pun sebenarnya sedih diberi tugas mencabut roh makhluk-makhluk bernyawa karena di antaranya itu termasuk manusia yang terdiri dari kekasih-kekasih Allah, para rasul, para nabi, para wali dan orang-orang solihin. Betapa aku tidak disenangi oleh keturunan Adam, mungkin aku akan dicemooh karena ditugaskan mencabut roh manusia yang menyebabkan orang berdukacita kehilangan sanak keluarga dan orang-orang yang tersayang di kalangan mereka.
Namun Allah berjanji akan menjadikan berbagai sebab kepada kematian yang akan dilalui oleh keturunan Adam. Sehingga keturunan Adam itu akan memikirkan dan mengaitkan kematian itu dengan sebab-sebab yang dialami oleh mereka. Apabila berlaku kematian, mereka akan berkata bahwa si anu itu mati karena mengidap sakit, ataupun karena mendapat kemalangan, mereka akan terlupa mengaitkan aku dengan kematian itu.
Pada hakikatnya ajal itu adalah ketetapan Allah, yang telah termaktub sejak azali. Semuanya telah nyata di dalam takdir Allah, bahwa kematian pasti tiba pada saat yang ditetapkan. Aku hanyalah tentara-tentara Allah yang menjalankan tugas seperti yang telah diamanahkan.4
Tapi rupanya kau tetap mengaitkan kematian kekasihmu itu kepadaku. Sungguh aku merasa sedih dan malu, dan karenanya aku akan terus menemuimu. Namun setidaknya kau harus ingat:
Tiap-tiap umat mempunyai ajal, maka apabila telah datang ajalnya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) mencepatkannya.5
Wassalam
UDARA di ruang kamar mendadak berkibar-kibar. Sang maha cahaya merentangkan sayapnya. Bilah-bilah cahayanya berlesatan dan menusuk. Aku terpuruk, tersungkur di lantai dengan kertas-kertas yang berterbangan dan buku-buku yang berbukaan. Lalu, sekali lagi aku mencium harum kamboja seperti ketika maha cahaya datang. Aroma kematian saat datang dan saat pulang. O, pergikah, Tuan? Tuan? Bilah-bilah cahaya tersedot ke luar jendela. Perlahan suasana dalam kamar menjadi tenang. Hening. Tinggal aku yang dalam keterpurukan menggapai-gapai ke arah jendela yang terbuka. Selalu saja dia pergi seperti pagi-pagi yang lalu, dan pasti datang lagi pada pagi-pagi yang akan. Namun yang aneh, setiap dia datang, aku merasa itu adalah kedatangannya yang pertama.
Seketika kudengar pintu kamar dibuka dengan tegesa-gesa.
“Duh…, kenapa? Dia datang lagi, ya?” suara ibu di pintu selalu saja bernada cemas dan sedih.
“Ya, dia datang lagi, bu. Datang lagi.”
Ibu menghambur memeluk tubuhku di lantai. Aku merasa payah sekali. Lalu dibimbingnya aku menuju ranjang. Usai merebahkanku dan memberi selimut, ibu mulai merapikan kamarku, terutama kertas-kertas yang berhamburan dan buku-buku.
“Kamu harusnya mulai belajar, tiap usai menulis dan membaca, kertas-kertas catatan dan buku-bukunya musti dirapiin lagi. Masa ibu terus yang merapikan. Jadi penulis itu tak mesti awut-awutan.”
Ah.. ibu. Selalu saja kalimat itu yang diucapkan setiap membereskan catatan-catatan dan buku-bukuku.
“Cerpen apa lagi yang kamu tulis? Harus ibu bacakan lagi?” ucap ibu sambil memeriksa lembar-lembar kertas catatanku.
Aku cukup tersenyum kecil, tahulah sudah ibu.
“Baiklah, ibu akan bacakan. Tapi, sebelumnya kamu harus makan bubur yang sudah ibu siapkan dan juga obatnya ya?”
Dan aku tak perlu menjawab dengan kata atau isyarat apapun. Sebab seperti biasa ibu akan selalu menempelkan pipinya di pipiku. Kemudian aku pun merasakan ada air yang membulir dari ujung mata ibu membasahi pipiku. Hangat. Selalu, seperti pagi-pagi yang lewat, semejak kematian kekasihku yang terlalu pagi waktu itu.***
Banjarbaru, 2006-2007
Keterangan:
1. (QS. 29 : 57)
2. (QS. 62:8)
3. (QS. 33:16)
4. (Sebab-sebab kematian bagi memenuhi janji Allah kepada malaikat maut, sebagaimana diriwayatkan oleh Saidina Abbas r.a dalam sebuah hadis Nabi. Terdapat dalam Kitab Syarh Tadzkrtul Qurthubi, halaman 24)
5. (Surah Al-A’raf: ayat 34)
Lelaki dan Pelacur
:: Sandy Firly
(Ini cerpen lama, yang saya tulis tahun 1998. Yeah, sekadar iseng, saya coba tampilkan di sini. Barangkali ada yang baca… )
BEGITULAH. Abidin seolah-olah baru tersadar. Dan mendapatkan dirinya sudah berada di sebuah lokalisasi, dalam kamar bersama seorang pelacur. Ketika pelacur itu hendak melucuti pakaiannya sendiri, kontan Abidin tersentak. Kaget.
“Tunggu…tunggu. Apa-apaan ini,” katanya bingung.
“Lho, bukankah mas berada di sini untuk ini?” jawab pelacur itu tak kalah bingung.
Sialan, maki Abidin dalam hati. Dia menyalahkan diri sendiri.
“Begini mbak, sebenarnya keberadaan saya di sini tanpa saya sadari. Saya tidak mengerti, kenapa tahu-tahu saya sudah berada di tempat ini,”
katanya mencoba menjelaskan keberadaan dirinya.
“Ha..ha…ha mas jangan bersandiwara. Emangnya mas dibawa hantu, lantas diletakkan di kamar ini?”
“Sunguh, saya benar-benar tak menyadarinya.” Abidin tetap mencoba meyakinkan pelacur di depannya.
“Baiklah, jika mas benar-benar tak menyadarinya. Tapi mas mau kan?” Pelacur itu lantas mulai membuka kancing bajunya sembari melirik genit.
“Hai…hai, saya bukan tipe lelaki begituan,” cegahnya setengah berteriak.
“Mas, gimana sih?” pelacur itu mulai gusar. “Kalau memang nggak mau, ya cepat ke luar sana. Buang-buang waktu saya saja.”
Bagaimana pelacur itu tidak marah, sudah hampir seminggu dia tidak mendapat tamu. Sedang ada lelaki di depannya malah main-main.
“Sungguh mbak, saya benar-benar tidak mengerti mengapa bisa sampai berada di sini.” Abidin mencoba meyakinkan perempuan itu. “Tapi karena saya sudah terlanjur membuang-buang waktu mbak, dan saya juga sudah kepalang basah masuk ke kamar mbak, bagaimana bila mbak menemani saya bicara saja? Dan saya tetap akan membayar.”
Sebenarnya janji Abidin untuk membayar hanyalah akal-akalan saja. Bagaimana mau bayar, di kantongnya cuma ada dua lembar ribuan yang hanya cukup untuk ongkos pulang.
Didorong rasa ingin tahu dan untuk menumpahkan kekesalan yang menyesak, juga karena pengaruh minuman keras masih menguasai dirinya, dia terpaksa berbohong.
“Ha… ha… ha… mas ini lucu. Mana ada orang ke tempat seperti ini hanya untuk bicara saja. Ha… ha… ha…” tawa pelacur itu sinis.
“Jika mbak tidak mau diajak bicara, jadi pendengar saja juga boleh. Saya juga tetap akan bayar.”
Pelacur itu kembali tertawa, hingga dadanya terguncang-guncang. Guncangan ini terlihat jelas dari celah baju, yang dua kancingnya atasnya terlepas.
Meski kelelakian Abidin sempat tersentuh juga, namun ia berusaha meredamnya. Sejak pertama dia menyadari, begitu berada di tempat mesum itu, hatinya sudah bersikukuh agar tak terpikat pelacur di depannya. Walaupun dalam hati kecilnya, Abidin mengakui pelacur yang bertubuh montok ini, cukup menggairahkan.
“Mas sudah beristri atau belum?” selidik pelacur itu, setelah tawanya reda.
“Su…sudah,” jawab Abidin ragu.
“Nah, kalau begitu mengapa tidak mengajak istri mas saja bicara?”
“Justru itu….”
“Justru apanya?”
“Justru masalah istri saya itulah, yang ingin saya bicarakan sama mbak.”
“Lho mengapa mesti dengan saya? Mengapa tidak dengan yang lainnya saja?” tanya pelacur itu tambah tak mengerti.
“Bukankah dari semula tadi sudah saya katakan, saya terlanjur masuk ke kamar mbak dan membuang-buang waktu mbak? Jadi, untuk menebusnya saya minta mbak mendengarkan cerita saya. Dan jangan khawatir, saya pasti bayar.”
“Memangnya ada apa dengan istri mas?”
“Jadi mbak setuju?”
“Sudahlah. Sekarang mas cerita saja,” jawab pelacur itu sambil meletakkan rokok putih di bibirnya yang merah menyala. Cepat-cepat Abidin merogoh korek api dan menyalakan untuk si pelacur. Kemudian Abidin menyalakan rokoknya sendiri.
Ia mulai bercerita. Pertama dia menceritakan bagaimana sampai berada di kamar si pelacur. Setelah menenggak habis minuman sebotol minuman keras di kedai pinggir jalan bersama-sama temannya, Abidin mulai kehilangan kesadaran. Dia tidak dapat mengontrol dirinya lagi. Langkah kakinya menghempaskan kesadarannya di tempat di mana sekarang dia berada.
“Sebenarnya saya bukan laki-laki pemabuk,” tegas Abidin.
“Lalu kenapa kamu tenggak minuman itu?”
Abidin terdiam. Pelacur menunggu. Dia juga terdiam duduk di kursi meja rias sambil menikmati rokok putihnya. Dalam hati si pelacur memuji ketampanan laki-laki di hadapannya.
Merasa tidak enak diperhatikan, Abidin meneruskan ceritanya. Bahwa dia bertengkar dengan istrinya. Hampir sebulan ini, rumah tangga Abidin memang sering diwarnai pertengkaran. Dan pertengkaran malam ini merupakan klimaks dari ketidaktahanan Abidin mendengar omelan istrinya.
Semenjak terkena PHK dari tempatnya bekerja, pertengkaran-pertengkaran kecil mulai sering terjadi dengan istrinya. Pokok persoalan sebenarnya berawal dari masalah perut.
Setelah uang pesangon menipis dan pekerjaan belum juga didapat, istrinya mulai sering ngomel, karena pemenuhan keperluan dapur menjadi tersendat-sendat. Ditambah lagi persoalan dua anaknya. Si Junai yang duduk di bangku kelas tiga SD, sudah dua bulan SPP-nya tertunggak. Si Jufri yang berumur 2 tahun, hampir dua minggu ini sering menangis terus karena susunya tak terbeli lagi.
“Saya bingung. Benar-benar bingung,” sungut Abidin sambil mengucek-ucek rambutnya. Lelaki ini salah satu korban keadaan, batin pelacur itu.
Tiba-tiba wanita ini tertawa keras. Abidin tersentak kaget.
“Ha.. ha.. ha.., kamu salah alamat. Salah alamat,” kata pelacur itu masih dalam sisa tawanya.
“Aaa…aaapanya yang salah alamat?” tanya Abidin bingung.
“Kau salah. Kau salah menumpahkan keluh kesahnya padaku. Kupikir, hidupku lebih susah dari kamu. Kamu hanya terlalu lemah. Sebagai seorang lelaki, apalagi seorang bapak, kepala rumah tangga, kamu harus mampu mempertahankan kehidupan keluargamu. Sekarang keadaan memang lagi susah. Tapi jangan sampai keadaan itu, menghancurkan kehidupan rumah tanggamu. Kita jangan begitu saja menyerah dengan keadaan. Kita harus mampu menyiasati kehidupan, jika tetap ingin bertahan hidup.”
Perlahan pelacur itu bangkit dari tempat duduknya dan membuka pintu.
“Sekarang kau pulanglah kepada istri dan anak-anakmu. Jangan sampai mereka tambah menderita lagi karena kau tidak ada di antara mereka. Simpan saja uang yang kau janjikan kepadaku.” Pelacur itu mempersilakan tamu lelakinya keluar.
Abidin cepat bangkit dari duduknya. Dalam benaknya hanya ada satu keinginan, memeluk istri dan anak-anaknya.***
Senja Kuning Sungai Martapura
:: Sandy Firly
Bamula angin manyapu banyu/ maniup di batang banyu/ maantar alang tarabang/ handak bulik ka sarangnya
(Bermula angin menyapu air
meniup di batang air
mengantar elang terbang
hendak pulang ke sarangnya)
Senja kuning luruh. Kuning, sewarna kuning kunyit. Seperti biasa kau duduk di situ, di batang banyu rumah lantingmu1, dengan rambut panjang tergerai masai, kaki tercelup sungai. Matamu berkabut air mata, meriak, sebelum akhirnya satu-satu bulir bening itu jatuh melincir di pipimu. Hening dalam senja kuning.
Air sungai yang surut memperlihatkan kaki-kaki kurus rumah kayu. Satu dua kelotok2 bergerak pelan, suara mesinnya yang memekakkan telinga beradu dengan lantunan ayat-ayat suci yang menyeruak dari corong-corong pengeras suara masjid dan surau. Melengkapi parade senja kuning itu, jukung-jukung3 dikayuh menyisir, melewati orang-orang mandi di batang atau mengambil wudhu untuk sembahyang. Jukung-jukung itu biasanya baru kembali dari Pasar Terapung di muara Sungai Barito, tempat bertemunya sungai-sungai kecil yang membelah kota Banjarmasin, pun Sungai Martapura yang berada di jantung kota bergelar Kota Seribu Sungai ini – akh.., gelar yang terlalu berlebihan, karena banyak sungai kecil yang tidak lagi mengalir karena tersumpal sampah, ilung4, atau bangunan yang didirikan sesuka-sukanya hingga menutup sungai yang lantas tercekik, lalu mati.
Tapi kau adalah perempuan tersendiri yang selalu duduk di batang rumah lantingmu di pinggiran sungai itu bila senja tiba. Sungai yang sekian waktu telah menjadi tambatan matamu, mungkin juga hatimu. Entah berapa senja telah kau lewati dan menelan bayang-bayangmu di sudut rumah lantingmu itu, satu dari sedikit rumah lanting yang masih tersisa, sebab hanya rumah lanting itulah warisan turun temurun keluargamu yang memang tidak punya tanah daratan. Di rumah lanting itu jualah kau dilahirkan, dan kemudian juga melahirkan. Rumah lanting yang di musim penghujan tak pernah takut kebanjiran, meskipun Sungai Martapura meluap dan menggenangi jalan-jalan kota seperti yang sering terjadi tahun-tahun belakangan ini akibat pembabatan hutan yang membabi buta dan eksploitasi habis-habisan tambang batubara.
Kau tahu, sungai itu tak terlalu banyak berubah sejak puluhan tahun, kecuali airnya kian terlihat keruh saat naik pasang, dan sebuah siring taman yang baru selesai dibangun persis di seberang Masjid Sabilal Muhtadin itu. Tapi apa yang bisa dipandang dan dinikmati dari siring taman itu? Di seberang sungai sana tak ada bangunan yang menawan hati, kecuali rumah-rumah penduduk yang sekian tahun tak berhasil digusur untuk pembangunan Banjarmasin Park yang kini terhenti, juga rumah lantingmu yang terayun-ayun dialun riak gelombang bila kelotok-kelotok lewat.
Seperti saat ini, di batang rumah lantingmu itulah selalu kau tunggui senja, duduk dengan kaki tercelup di sungai yang tenang. Elang-elang yang melayang-layang di atas sungai itukah yang menjaga rindumu? Arus sungai yang tenang namun menyimpan banyak kenangan itukah yang menyeret lamunanmu? jukung-jukung dan kelotok yang membawa harapan itukah yang membasuh mimpimu? Ataukah anak-anak yang bermain di air itu yang menyempurnakan keindahan senjamu? Tak ada yang bisa membacanya dalam tatapan matamu yang kosong dan selalu berkabut air mata, juga dalam wajahmu yang bisu dan membatu. Namun semua orang tahu, kau masih menunggu anakmu yang terbenam di sungai itu di suatu senja kuning berapa bulan lalu.
“Dia pasti pulang, aku menunggunya,” begitu ucapmu selalu setiap suamimu menyuruhmu masuk ke dalam rumah lanting ketika senja telah menghilang. Meski suamimu tak pernah berhasil membujukmu, namun ia selalu saja mengulang ucapannya itu setiap senja, seperti sebuah alarm yang selalu berbunyi tepat pada waktunya.
“Galuh.., Galuh…, kenapa tidak pulang-pulang juga, Nak?” dengan bibir bergetar kau berucap pelan, masih kepada sungai itu. Sungai yang telah menelan Galuh, anakmu, dan seakan-akan menyimpannya di liang terdalam saat senja kuning dalam bayang-bayang malam. Usianya belumlah genap dua tahun, usia seorang anak manusia yang masih hangat dalam kerinduan dan kemanisan masa kecil. Mungkin kehilangan yang sedini itulah yang tak terelakan di hatimu. Sungai yang merenggutnya di kala senja kuning itupun lalu kau tunggui, berharap kelak suatu senja akan mengantarkannya pulang, ke pinggiran batang rumah lantingmu. Jasadnya. Ya, kau hanya berharap melihat jasadnya, yang meski sudah membusuk remuk, mungkin cukuplah untuk memberikan kerelaan itu, kerelaan sebuah kehilangan yang abadi.
Saat senja kuning hampir lindap inipun, kau masih duduk di sudut rumah lantingmu memandang air sungai, menunggu Galuh pulang di bawah bayang-bayang senja kuning yang segera hilang.
***
Kau masih ingat senja penghabisan Galuh-mu, saat senja kuning sewarna kunyit.
Bocah itu seperti biasa kau ajak duduk di samping rumah lantingmu sambil menikmati kehidupan sungai yang masih berdenyut saat menjelang malam. Elang-elang yang melayang adalah pemandangan yang paling Galuh suka. Burung perkasa bersayap lebar itu melayang tanpa mengepakkan sayap, menggiring angin, lalu menukik ke sungai, dan kembali mengangkasa dengan sesuatu di cakarnya, ikan kecil atau entah apa.
Lalu lintas di atas jembatan yang membentang di atas sungai itu juga sesekali menarik perhatian Galuh, jembatan yang selalu padat oleh kendaraan di siang hari, dan penuh pengail ikan saat malam. Kelotok dan jukung yang keluar dari bawah jembatan itu juga menjadi sesuatu yang menggugah perhatian Galuh. Entah, mungkin Galuh mengira kelotok dan jukung itu keluar dari sebuah tempat yang asing dan tak terduga karena bagian bawah jembatan itu memang semakin gelap bila senja kian melindap, seolah-olah kelelawar yang keluar dari gua.
Di batang banyu itu kau selalu bermain dengan Galuh-mu. Kakinya sesekali kau celupkan ke air sungai, yang membuatnya tertawa senang. Anak-anak kecil yang berenang di sungai juga kadang menghampiri Galuh, menyelam lalu menyembulkan kepala di dekat kakinya. Begitulah tawa Galuh selalu pecah di setiap senja. Sampai kemudian keindahan senja itu berubah menjadi huru-hara dalam hatimu; Galuh tercebur, tenggelam. Hilang.
Bagaimana Galuh tiba-tiba menghilang dari pandanganmu, adalah sebuah pita ingatan yang selalu berputar ulang setiap waktu; seperti ada tangan dari sungai yang secepat kilat merenggut Galuh yang sedang duduk di sampingmu, sesaat ketika kau mengalihkan pandangan darinya menengok ke arah pintu rumah mendengarkan panggilan sang suami untuk mengajak Galuh agar lekas masuk ke dalam rumah lanting karena senja kuning.
“Mamaa.., jangan lama-lama di luar. Lekas bawa Galuh masuk. Ingat, senja kuning tidak baik,” teriak suamimu dari dalam rumah.
“Iya, sebentar lagi..,” sahutmu sambil menoleh ke pintu rumah. Ya, begitu saja. Namun entah bagaimana, ketika kau kembali mengalihkan pandanganmu ke tempat duduk Galuh di sampingmu, ia sudah tak ada di situ. Lalu kau sesaat sempat melihat tangan mungil itu tenggelam di sungai sejarak pengayuh dari tempat dudukmu. Seperti ada tangan dari dalam sungai yang secepat kilat merenggutnya. Kau pun berteriak histeris sambil menyeburkan diri ke sungai di tempat terakhir tangan mungil itu terlihat. Menyelam. Lebih dalam. Lebih dalam. Namun Galuh seperti terbenam.
“Galuuuh… Galuuuh..,” teriakmu berulang-ulang setiap menyembul ke permukaan.
Suamimu sudah pula berada di sungai sejak teriakan pertamamu memanggil Galuh. Ia menyelam di bawah batang rumah lanting kalian, di bawah rumah-rumah pinggiran sungai, di bawah kelotok dan jukung yang ditambat, tapi Galuh seperti terbenam di liang terdalam sungai yang disepuh cahaya senja kuning, senja yang oleh sebagian orang dipercaya membawa malapetaka.
“Galuuuh… Bapaak, Galuuuh…,” teriakmu kepada suamimu yang terus timbul tenggelam di sungai yang dalam..
Orang-orang mulai berkerumun di batang rumah lantingmu. Sebagian dari lelaki segera menceburkan diri ke sungai. Jala-jala dilemparkan berharap berhasil memerangkap Galuh seperti ikan. Setengah jam berlalu, Galuh-mu tak juga ditemukan. Tim SAR pun didatangkan untuk ikut melakukan pencarian dengan perahu karet, menyisir tiang-tiang bawah rumah atau sampah-sampah yang menumpuk terhalang di bawah jembatan. Hingga senja menghilang, dan azan magrib telah lama berlalu, tubuh kecil Galuh tidak juga terlihat mengambang, ia seperti benar-benar ditelan sungai yang menyimpannya di liang terdalam. Menjelang salat isya, pencarian dihentikan.
“Besok pagi kita akan cari lagi. Insya Allah, kita akan temukan,” janji salah satu Tim SAR. Kau tak sanggup lagi bersuara, meski hanya sekadar mengucapkan terima kasih karena telah membantu mencari Galuh.
Ketika malam semakin sempurna, pelan orang-orang beranjak meninggalkan batang rumah lantingmu, hingga akhirnya tinggal kau dan suamimu yang masih duduk kuyup dengan mata sembab di batang itu. Kalian masih mengawasi sungai dengan sebuah lampu senter dan pendar cahaya bulan bulat penuh, juga lampu-lampu taman di seberang sungai sana. Setiap ada benda yang mengapung, dengan cepat kalian menyorotkan senter berharap itu adalah Galuh. Namun kekecewaanlah yang selalu dirasa karena benda-benda mengapung itu hanyalah sampah-sampah, potongan-potongan kayu, ada pula bangkai anjing dan kucing.
Terkadang kau dengarkan suamimu menggerunum5 dalam kekesalannya, menyalahkanmu karena tak segera membawa Galuh masuk ke rumah saat senja kuning itu. Dan rasa bersalah yang memuncak di dalam dada membuatmu tak sanggup bicara. Apa yang hendak dikata? Kata maaf pun sepertinya tak berarti.
Sepenuh rasa sesal, kau tahu Galuh tak seharusnya tenggelam andai kau mendengarkan peringatan suamimu untuk segera membawanya masuk rumah saat senja kuning itu. Tapi, apakah benar senja kuning bisa membawa malapetaka? Ada kekuatan apakah pada senja yang menyepuh warna kuning kunyit itu sehingga bisa menebarkan hawa kematian lewat penyakit atau kemalangan? Sungguh, sebagai seorang yang memiliki iman di dada, kau tak bisa mempercayainya.
Namun tentang cerita senja kuning itu, kau tidak bisa membantahnya, hingga kini masih sering dipetuahkan sebagian orangtua meski mereka sendiri tidak tahu bagaimana mitos senja kuning itu dipercaya. “Jangan mencela, ini sudah sejak kai nini dahulu,” begitulah jawab mereka bila ada yang menanyakan mengapa senja kuning dipercaya bisa membawa penyakit dan kemalangan seperti mata yang menjadi rabun, panas dingin6 berkepanjangan, serta malapetaka yang bisa datang tak terduga, dan tiba-tiba.
Bila senja kuning luruh, pengayuh mesti disimpan dan jukung-jukung ditambatkan, yang hendak turun mandi ke batang harus diurungkan karena buaya-buaya sedang mencari mangsa– yang ketika dahulu sungai-sungai masih dipenuhi rawa-rawa. “Pengantin baru, sebelum tiga hari, jangan sekali-sekali mencoba mandi di sungai saat senja kuning. Sambaran, sambaran buaya-buaya. Ingat itu!” Anak-anak yang masih berada di tanah harus segera masuk ke rumah, sebab hantu-hantu mengintai di keremangan senja kuning dan akan menyembunyikan anak yang masih bermain di tanah.
Sanja kuning luruh/ tatanaman layu, apa wahananya/ sanja kuning luruh
tatanaman layu, sasuka duka
(Senja kuning luruh
tanam-tanaman layu, apa wahananya
senja kuning luruh
tanam-tanaman layu, sesuka duka)
Begitulah senja kuning dalam cerita-cerita, hingga abadi dalam lagu Sanja Kuning7 untuk menjadi pengingat agar anak cucu tetap terpelihara dari segala hawa buruk yang disebarkan senja kuning. Dan bila azan magrib dikumandangkan, maka tutuplah rapat-rapat pintu rumah, atau lekaslah masuk ke dalam surau-surau, sebab saat itu dipercayai juga orang-orang gaib yang tidak mempunyai tumit sedang mencari manusia untuk diangkat menjadi saudara di alamnya. Maka, tutuplah rapat-rapat pintu rumah, jangan duduk di muara pintu. Tutup rapat-rapat, bila mungkin tak seberkas cahaya senja kuning pun menerobos ke dalam rumah.
“Galuuuh.. Galuuuh…” Seperti bisikan, antara sadar dan terjaga dengan mata berkabut, hanya nama anakmu itulah yang bisa kau sebut berulang-ulang. Berulang-ulang. “Galuuuh.. Galuuuh…” Seperti rintihan, lirih, mengiris sepanjang malam di antara kau dan suamimu yang duduk berjaga di pinggiran sungai, hingga suara azan subuh membangkitkan kalian untuk masuk ke dalam rumah, salat berdua dan memanjatkan doa panjang, panjang, bercampur air mata meminta agar Galuh ditemukan untuk kalian kuburkan.
***
Pagi itu, usai memasak nasi dan kalian makan berdua dalam diam dan tetesan air mata, kalian kembali menunggu di batang rumah lanting berharap menemukan Galuh. Agak terang, beberapa lelaki kembali turun ke batang, juga Tim SAR dengan perahu karet. Seperti senja sebelumnya, pencarian Galuh dilanjutkan pagi itu.
Satu-persatu orang mulai ramai berkumpul di batang mengamati proses pencarian dan ingin tahu akhir dari pencarian anakmu. Di antaranya ada yang membawa koran yang memuat berita tentang tenggelamnya Galuh. Dan ketika anak muda yang membawa koran itu berdiri di dekatmu, hatimu berdesir membaca judul berita itu: SUNGAI MARTAPURA KEMBALI MEMINTA TUMBAL, dicetak tebal-tebal dengan hurup besar. Itulah judul dari berita tentang tenggelamnya anakmu, Galuh, semalam. Benarkah anakku menjadi tumbal? Begitulah pertanyaan di dalam benakmu. Mengapa orang-orang koran itu yakin Galuh menjadi tumbal sungai? Tumbal untuk apa? Apakah di Sungai Martapura ada penunggunya, sesuatu yang perlu sesembahan untuk dijadikan tumbal? Apakah juga ada hubungannya dengan senja kuning yang diyakini membawa malapetaka?
Kau sama sekali tak meyakini itu, sama tak berterimanya kau bila Galuh dianggap menjadi tumbal sungai di senja kuning raya itu. Kata tumbal begitu menyakitkan perasaanmu, sebab itu bukanlah sebuah kematian yang wajar. Apa haknya orang-orang koran itu menyebut Galuh menjadi tumbal? Meski memang kau tahu Galuh begitu cepat tenggelam, seperti ada tangan dari dalam sungai yang tiba-tiba merenggutnya dan membenamkannya ke liang terdalam.
Kau pun tahu, sudah banyak orang yang mati tenggelam di sungai itu. Apakah mereka juga menjadi tumbal? Koranlah yang sering mengatakan itu. Tidak pernah ada masyarakat yang membicarakan kata tumbal setiap ada orang yang mati lamas8. Koran itu hanya membuat sensasi, menghubung-hubungkan sebuah kematian dengan hal yang mistis. Tidakkah orang-orang koran itu tahu, betapa menyakitkannya kata tumbal itu bagi keluarga si korban. Dan kau merasakan itu, seperti luka yang digarami.
Dengan setengah geram, tiba-tiba kau rebut koran dari tangan lelaki muda itu. Kau remas-remas sepenuh marah, lalu kau lemparkan ke sungai. “Tidakkah kalian punya hati sehingga tega menyebut anakku Galuh sebagai tumbal!” hardikmu lantang mengagetkan orang-orang. Seketika suasana menjadi tegang, orang-orang melongo memandang tingkah polahmu yang mengeluarkan sumpah serapah ke arah koran yang tadi kau lemparkan dan kini mulai tenggelam terseret air. Kau terus menceracau, menjambak rambutmu yang tergerai masai, meludah, mencakar-cakar tubuhmu. “Aku tak rela…! Aku tak rela Galuh dikatakan tumbal! Tak rela..! Tak relaa..!”
Orang-orang tersentak. Kaget. Kau terus menjambak, meludah, mencakar, bergerak liar. Orang-orang menyingkir. Kau terus teriak, “Tak rela..! Tak rela…! Galuh bukan tumbal! Galuuuh…”
Suamimu yang saat itu berada di air, lekas naik ke batang. “Maa…, istighfar… istighfar…,” buru-buru ia datang menenangkan. Kau yang berusaha dipeluknya, berontak dan mencakar. Beberapa tetangga dekatmu datang membantu suamimu untuk menahan tubuhmu yang kalap. Dengan susah payah, akhirnya kau berhasil juga dibawa masuk ke rumah lantingmu, masih dalam teriak ceracau dan cakar-cakar, “Galuuuh… Galuuuh… Gila! Mereka gila! Galuh bukan tumbal…! Galuuuh…”
Sementara pencarian Galuh tak kunjung jua berhasil. Galuh seperti telah terbenam di liang sungai terdalam, dan tak akan pernah kembali ke permukaan.
***
Azan magrib telah memenuhi angkasa. Senja kuning memudar, dan dingin angin sungai seperti mempercepat malam. Tapi kau masih saja duduk di situ, di pinggiran sungai dengan rambut panjang tergerai masai, kaki tercelup air sungai. Dan kabut bening di matamu terus meriak, sebelum akhirnya satu-satu membulir jatuh melincir di pipimu.
“Maa, lekas masuk, sudah magrib. Galuh tidak akan pulang. Relakan saja,” suara suamimu dari pintu rumah lanting kalian. Sebentar menunggu, namun kembali masuk ke dalam rumah ketika kau tak jua beranjak dari dudukmu di batang itu.
Setelah sekian senja kau lewati, kau mulai sadar kalau Galuh mungkin tidak akan pernah pulang. Dan kau tahu, satu-satunya cara agar bisa bertemu dengan Galuh-mu, kau harus membenamkan diri ke dalam sungai itu seperti halnya Galuh yang terbenam. Kau harus menjemputnya meski mungkin di liang terdalam sungai untuk kemudian membawanya pulang. Atau mungkin kau akan betah bersama Galuh di tempat barunya, di mana di sana kalian juga bisa menikmati senja raya di sungai itu, memandang elang-elang melayang, kelotok dan jukung hilir mudik, anak-anak bermain air, dan ketika cahaya senja menghilang kalian berdua pun berkumpul di suatu tempat yang lebih nyaman dari rumah lantingmu. Bukankah ketidakpulangan Galuh ke rumah lanting kalian, itu bisa berarti karena tempat baru Galuh lebih nyaman?
Lalu kau pun ingin pergi ke sana, menjemputnya atau ikut berbenam bersamanya di liang terdalam Sungai Martapura, tepat saat senja kuning kian hening.
Galuh, lakasi naik/ sanja kuning sanja luruh di muara/ bakayuh jukung-jukung hancap bulik/ sudah dikiau abahnya
(Galuh, lekas naik
senja kuning senja luruh
di muara
berkayuh sampan-sampan cepat pulang
sudah dipanggil bapaknya)***
: Cerpen ini terdapat di dalam buku “Perempuan yang Memburu Hujan” kumpulan cerpen saya bersama Harie Insani Putra. (Buku cerpen ini akan di-launching, Sabtu (8/3) pkl 09.00 di FKIP Unlam, Banjarmasin). Bagi Anda yang tinggal di Banjarmasin dan sekitarnya dipersilakan berhadir. Yang tinggal di kota jauh, juga silakan bila mau datang, hehee…
Keterangan:
1) Rumah lanting = Rumah kayu khas yang dibangun di atas gelondongan kayu di pinggir sungai (banyak terdapat di wilayah Kalimantan).
2) Kelotok = Kapal kecil bermesin.
3) Jukung = Sampan.
4) Ilung = Enceng gondok.
5) Menggerunum = Menggerundel, menggerutu.
6) Panas dingin = Sakit demam.
7) Sanja Kuning = Senja Kuning, judul lagu berbahasa Banjar karya Anang Ardiansyah.
8. Mati lamas = Mati tenggelam di air (sungai).
———-
sumber http://sfirly.wordpress.com