RIATRY LESTARI

 

RIATRY Lestari. Tapi dia lebih suka mencantumkan Try lestari Soemariyono pada setiap karyanya dalam menulis, baik itu puisi, cerpen atau essai. Memulai menulis sejak SD, namun publikasi pertama karyanya berupa cerpen ditampilkan dalam majalah dinding ketika ia duduk di bangku SMP. Kecintaannya pada dunia menulis membawa karya-karyanya muncul di majalah dan harian baik lokal maupun nasional.

Cerpennya yang berjudul Dalam lingkar  kebimbangan dan keajaiban masuk dalam kumpulan cerpen Forum Lingkar Pena. Tulisannya yang berjudul Lemang Sang  Penyelamat Hidup, meraih juara tiga dalam Lomba Penulisan Pemberdayaan Penduduk Miskin yang diselenggarakan Lembaga Pers Dr. Soetomo Jakarta.

Profilnya pernah muncul di majalah Pantau terbitan ibukota. Perempuan yang lahir tanggal 7 April ini rajin menulis naskah radio untuk sandiwara dan menulis naskah untuk feature udara, menyorot kehidupan sosial dan orang yang terpinggirkan. Tahun 2006 lalu, ia mengikuti Confrence Women Playwrights Internasional di Jakarta. Mantan wartawati Tabloid Koran Kita ini, baru saja meluncurkan kumpulan essai bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam FLP Samarinda, berupa TTM, in the name of friendship.

TRY telah dipanggil_NYA di awal tahun 2010, Try korban tabrak lari saat pulang dari bekerja sebagai penyiar radio RRI Kota Samarinda, di malam dingin sehabis hujan.*

RUMAH KUNING

Oleh : Try Lestari Soemariyono

 (Kalimantan Timur – INDONESIA)

Gambar

Tidak ada yang istimewa sesungguhnya dari bangunan itu. Semuanya serba sederhana. Satu yang paling menonjol, hanya warna catnya yang menantang, kuning terang. Selebihnya, semua biasa.

Seperti warna kuning, yang konon adalah warna cemburu, penghuninya selalu berganti-ganti setiap tiga atau empat bulan sekali. Hidup sendiri, menunggu seseorang dengan kecemburuan yang mendalam. Silih berganti.

Rumah kuning itu adalah rumah kontrakan dari Bu Kadar, tetanggaku yang berpredikat janda. Entah kenapa, mereka yang ngontrak, selalu isteri kedua yang dinikahi siri. Posisi rumah itu tepat berhadapan dengan rumahku. Cukup strategis untuk menyiumpan isteri kedua atau ketiga, karena lingkungan kami jauh dari keramaian.

“ Kita memiliki tetangga baru lagi, Rat,” Mas Deny membisikiku suatu sore saat aku baru tiba dari kantor. Aku keheranan, sebab suamiku itu tak pernah peduli selama ini siapa tetangga kami. Tetangga kamipun jarang memperkenalkan diri. Pintu rumah itu selalu tertutup rapat, kapanpun. Seperti tak ada kehidupan. Kecuali jika ada suara mobil yang menderu, pintu itu terbuka sesaat, untuk kemudian tertutup lagi.

“ Kami masih ingat Adisti,kan?”

Aku mengangguk

“Dialah penghuni rumah kuning itu”

Jantungku langsung berdegup. Adisti? Aku ingat nama itu. Sahabatku semasa kuliah, mantan pacar Mas Deny suamiku.

“Tadi pagi ia pindah”

“ Ia ke sini?”

“Ya” Mas Deny mengangguk

Kuhirup jus tomat. Serasa dingin mengaliri kerongkonganku. Tetapi…, hei, dadaku terasa mulai memanas. Cemburu? God! Rasanya tidak. Lalu?

“ Rat, dia agak kurusan.” Mas Deny berucap pelan. Aku menangkap nada simpati kutatap mata suamiku. Biasa saja.

“ Istri simpanan juga? Aku berusaha tak terpengaruh pada perasaanku

“ Aku tak tahu.” Mas Deny mengangkat bahu.” Mandi dulu, kamu kelihatan lelah.”

Tanpa komentar, aku menuruti saran mas Deny. Seharian ini aku memang lelah. Banyak yang harus kukerjakan, demi kemajuan perusahaan.

Seusai mandi, aku memang lebih segar, tetapi tidak dengan pikiranku. Kuoles lipstik pink ke bibir mungilku. Kubiarkan rambut cokelatku tergerai Sret… Sret …, parfum menyentuh bagian telingaku dan pergelangan tanganku. Aku tak ingin kelihatan lusuh, apabila tetangga baruku adalah adisti!

*   *   *

Ting … tong

Bel rumahku menjerit. Bik Maimun membukakan pintu, dan seorang wanita bergaun kuning, berdiri di depan pintu. Adisti.

“ Malam, Rat” Adisti menyapaku. Senyumnya mengambang manis. “ Apa kabar?”

“Baik,” aku menjawab.

Kami berpelukan sesaat. Tujuh tahun tak bertemu, sesungguhnya aku begitu kangen pada sahabatku ini. Ia memang kelihatan lebih kurus, tetapi makin cantik.

“Ayo rezki tak boleh ditolak. Aku dan Mas Deny kebetulan mau makan malam, kamu harus makan bersama kami,” kugandeng tangannya menuju ruang makan. Ia sedikit ragu, tetapi akhirnya mengikuti langkahku.

Sesaat ia melihat sungkan ketika menjumpai mas Deny di ruang makan, tetapi menjadi hangat ketika menjabat tangan Alia, putri tunggalku. Lima belas menit kemudian, sifatnya normal, seperti tujuh tahun yang lalu, penuh canda dan riang. Sifat inilah yang bisa membujuk kependiamanku menjadi lumer, dan bisa bersosialisasi dengan siapapun. Pengaruh Adisti begitu kuat terhadapku. Ia sosok wanita yang smart, dalam sikap maupun pikiran. Aku memang megaguminya. Ia populer di kampus dengan segudang prestasi akademik dan wajah orientalnya yang menyenangkan

“ Ratna sayang, aku akan menikah bulan depan,” Adisti , membisikiku suatu senja ketika aku akan sholat magrib di kamar kostku. Senyumnya mengembang menagkap raut keheranan diwajahku. Menikah? Diusia muda dan kuliah belum kelar?

“Sholatlah dulu. Engkau pasti berprasangka aku kebobolan, kan? Adisti tertawa. “ Aku masih perawan, Non.”

Ketika lengking cacing tak lagi bergema, sebagai tanda bahwa senja telah terlewati, kusodorkan segelas teh hangat pada Adisti.

“ Siapa lelaki beruntung itu, Adis?” aku bertanya tak sabar.

“Ia lelaki sederhana yang pernah kuliah di ISI Jogjakarta. Aku baru mengenalnya dua minggu.”

“ Dua minggu? Kamu tak bercerita padaku?” aku ,e,belalak. “ Secepat itu mau menikah?”

“ Dia baik, Rat. Ia mencintaiku lulus, dan aku mencintainya amat sangat. Aku mengenalnya ketika nonton pameran lukisan di taman Budaya, kamu masih ingat?”

“Seniman gondrong itu?” aku makin terbelalak.

“ Ingatanmu sangat bagus. Yap, deny Asmara.”

Aku terdiam. God, cinta seperti apa itu?

“Itu namanya cinta kilat, Dis. Perkawinan itu tidak hanya untuk satu dan dua bulan saja, tetapi seumur hidup. Bagaimana dengan mama? Papa? Keluarga lainnya? Dua minggu Dis, terlalu singkat dan sinting untuk mengambil satu keputusan yang penting.” Aku menatapnya galak.

“Aku tak peduli. Aku mencintainya.Titik.”

Dua minggu kemudian, tak ada janur melengkung dan tenda biru di rumah Adisti.Yang ada justru karangan bunga sebagai tanda bela sungkawa atas kematian Tante Ine, Ibunda Adisti. Serangan jantung telah menghentikan nafas wanita baik itu. Permohonan restu untuk pernikahan, tak pernah ada.

Dan Adisti menghilang. Sebulan kemudian aku mendapat phone darinya. Ia di Belanda. Opanya memang ada di sana. Dan setelah itu kami tak pernah lagi berhubungan. Ketika aku telah menyandang gelar sarjana ekonomi dan akan menikah dengan Mas Deny, aku minta izin dan restu pada Adisti melalui Mbak Mery kakak satu-satunya dari sahabat tersayangku itu.

“ Kamu pagar makan tanaman, Rat. Aku benci padamu.” Adisti menelpon menjelang pernikahanku. Tangisnya mengalun pilu. Mas Deny membisu. Akupun demikian.

Maafkan aku, Dis.

Dan hari ini kami kembali bertemu setelah hampir tujuh tahun berpisah.

*      *     *

Sisa kemarahan tak ada lagi pada Adisti

Bibir merahnya banyak menyunggingkan senyum, tetapi juga menyimpan misteri dari kepergiannya selama ini. Hari ini aku ingin semuanya menjadi jelas. Dari bibir Adisti sendiri, bukan dari Mas Deny suamiku. Tentang Tante Ine yang meninggal tiba-tiba, Om Hendry yang murung, Mbak Mery yang gelisah, pernikahan yang tak pernah ada, dan Adisti yang kabur keluar negeri. Oh!

Percayakan engkau pada takdir, Ratna?” Adisti menatapku dalam.

“Tentu saja” Aku menjawab menggenggam tangannya.

Kebisuan meyergap kami. Helaan nafas terdengar, ditingkahi denting jam pukul dua belas malam. Mas Deny sejak pukul sebelas tadi sudah masuk kamar, mengeloni Alia yang agak cerewet malam ini. Aku dan Adisti masih melepas kangen, menumpahkannya dalam bingkai waktu tujuh tahun perpisahan kami.

“Dulu aku marah pada papa. Marah pada keadaan, marah pada Tuhan.., dan  takdir yang ditentukannya. Takdir yang disuratkan padaku, begitu berat. Aku tidak boleh menikah dengan orang yang kucinta, yang kusayang, yang begitu mengerti aku.” Adisti memulai membuka kisah yang belum  aku ketahui.

“Keterus terangan papa, menyebabkan mama meninggal secara tiba-tiba, juga membuatku marah. Kejujuran yang memang harus diakui papa, menyebabakan takdir yang digoreskan, harus kujalani. Aku mesti berpisah dari Mas deny, pria yang kucinta yang semestinya menjalani hidup denganku. Engkau tahu, Rat? Tak pernah ada restu dari papa. Mas deny adalah anak kandung papa, dari wanita lain. Pengakuan yang mengejutkan  mama, mbak Mery dan aku. Mama yang merasa dikhianati, dan aku yang sedarah dengan Mas Deny…” Adisti mulai terbata.

“Tidak ada satupun wanita yang rela ketika suaminya mencintai wanita lain dan menghadirkan seorang anak dari percintaannya yang lain pula. Demikian juga dengan mama. Jantung mama tak kuat menerima itu semua, apabila papa diakui mama sebagai suami yang paling setia.” Mata Adisti membasah.

“Aku marah pada papa. Pada Tante Minarsih, ibu Mas Deny. Mengapa mengambil cinta dari kami. Ia tak berhak…” Adisti terisak. Aku diam, merengkuh bahunya. Kubiarkan ia sesenggukan. Barangkali dengan demikin, ia bisa sedikit lebih lega.

“ Tetapi takdir harus kujalani lagi, rat. Kalau akau dulu menghardik Tante Minasih dengan perkataan keji, merebut suami orang tanpa perasaan, sekarang aku  tahu.., bahwa ketika cinta menyapa dan mengisi relung hati seseorang, tiada satupun bisa menolak. Rat, aku menikah dengan Mas Erlangga, yang telah memiliki istri yang baik dan anak yang baik pula.., aku menjadi isttri kedua seperti halnya Tante Minasih. Di luar logikaku. Ia pria biasa yang tidak kaya. Jabatannya biasa juga. Tetapi aku mencintainya, dan ia mencintaiku..”

Aku tetap diam. Mencoba berkompromi dengan perasaanku. Begitu dahsyatkah sebuah cinta? Mempermainkan kehidupan seseorang dengan dalaih takdir? Betapa mahaberkuasanya cinta, memporakporandakan rasa tanpa logika. Mengubah seorang Adisti yang benci akan perkawinan dibawah tangan, justru menjalaninya. Ah!

*      *       *

Rumah kuning itu ditakdirkan untuk menampung penghuninya yang menjadi istri kedua atau simpanan. Menyimpulkan warna kecemburuan. Menyimpan banyak kisah yang direkam oleh dindingnya yang kuning. Pagarnya yang kuning. Atapnya yang kuning. Merangkumnya dalam satu permainan, bahwa penghuninya adalah wanita-wanita yang siap cintanya dibagi.

Tiga bulan kemudian, aku kembali kedatangan tetangga baru. Adisti telah pindah dan mengikuti suaminya ke Brunai.

Ketika pagi menjelang dan aku bersiap menuju kantor bersama Mas Deny, kulihat Pak Sinaga, bosku di kantor memasuki mobilnya dianatar wanita muda sexy berkulit putih. Dan aku tahu, itu adalah wanita simpanannya yang dinikahinya empat minggu yang lalu.

Rumah kuning itu kembali menjadi saksi bisu. Percintaan, kegelisahan dan kecemburuan, menyatu dalam satu kisah, tersimpan dalam pintu yang selalu tertutup rapat, berwarna kuning.*

JINGGA

OLEH : TRY LESTARY SOEMARIYONO

Sembilan bulan yang lalu Va, masih berkeliaran di jalan selepas senja. Senyum tipisnya sanggup menghentikan langkah lelaki manapun . Mengajaknya berbincang, pergi dan kemudian bercinta. Semakin malam, kawasan tepian yang menyajikan jagung bakar manis, kopi susu kental dan tebaran wajah ranum tak menyurutkan gairah cinta semalam. Va yang suka berpakaian hitam, akan tenggelam dalam tawa tanpa makna dengan teman-temannya.

Tapi malam itu Va akan menjadi milik Jati. Tak akan lagi ada transaksi menghasilkan rupiah. Va menjadi istri syah Jati, pengusaha berduit asal Surabaya.

“Bapak tidak menyesal mengawini saya?” Va bertanya ragu.

“Saya akan menyesal jika tidak kawin denganmu,” Jati tertawa. Va kelihatan bingung. Hampir lima bulan Va bersama Jati, tetapi lelaki separuh baya itu tak pernah menyentuhnya. Paling ahnya memeluk, mencium keningnya. Selepas itu,  Jati akan membawanya memutari kota Samarinda, mendengarkan musik di Pub Alamanda Hotel mesra, dan memulangkan Va ke rumah kontrakan sederhana jika batas malam berganti pagi.

“Kamu manis, siapa namamu?”itu kalimat pertama dari Jati, ketika pertama kali bertemu Va di Tepian. Saat itu Jati menikmati jagung bakar bersama Hendra, kawan bisnisnya di Samarinda. Jati memang pecinta jagung bakar, dan daerah tepian di Samarinda adalah tempat yang paling nyaman untuk menikmati jagung bakar sambil menatap mahakam dalam riak gelombang kecil yang di naungi bulan.

“Saya Va.” Va seperti biasa, tersenyum.

“Singkat sekali? Punya arti tersendiri?” Jati mencoba berakrab dengan wanita dua puluh satu tahun itu.

“Ah, Wiliam shakespiere mengatakan apa arti sebuah nama. Saya tidak suka menyebut nama lengkap, karena setiap orang yang mendengarnya akan mengulang, dan merasa heran. Panggil saja, Va.” Va enggan menyebutkan nama lengkapnya.

Dan kemudian daya tarik Va seperti tidak terbendung. Jati meminta nomor phone selulernya, dan memberi nomor pribadinya. Komunikasi terus bergulir, sampai pada akhirnya Jati menawarkan sesuatu yang tak pernah di duga Va.

“Menikahlah denganku, Va. Tinggalkan Samarinda, hidup denganku di Surabaya.” Jati menatap Va dengan pandangan berharap. Va ternganga. Sesaat kemudiania tersenyum menggoda.

“Istri keberapa nih? Tiga, atau empat?”

“Kamu tahu, istirku sudah meninggal tiga belas taun yang lalu.” Jati menatap wajah Va lembut. “Kamu akan menikah dengan duda keren.” Tawa halus Jati terdengar lagi.

Va tertawa keras.

“Jangan menggodaku seperti itu, ganteng.” Va mengelus wajah Jati. “Aku tak tahu siapa ayahku. Kata ibu sih, orang Thailan yang tak pernah menikahi ibuku. Ibu meninggal dalam sakit tanpa obat.dua tahun aku menjadi istri simpanan pejabat yang telah mati akrena serangan jantung, setahun aku menjadi istri kontrakan dari lelaki Korea, bertahun-tahun aku bisnis cinta sejak berusia tujuh belas tahun. Adakah lelaki yang sudi menjadikanku istri sahnya, dari hukum agama dan Negara? Menikahi seorang mesti tahu dulu bibit, bebet, bobot.” Va masih terpingkal, menutup kerawanan hatinya.

“tak ada rumah megah yang dijanjikan dan jutaan uang di Bank. Janji mereka isapan jempol, mereka hanya ingin tubuhku, curhat ketika ada masalah dengan istri..! Ah, enakan hidup tanpa ikatan.” Va tertawa namun terdengar sumbang.

“Va manis, aku lelaki tak pandai berkata. Jika lamaranku tidak kau tolak, maka takdirmu akan berubah. Kamu tidak ingin hidup terus begini, kan?’ jati menyentuh jemari Va. Ada getaran halus mengalir.

“Bapak, saya tidur dengan banyak lelaki.” Va membiarkan jemarinya di dalam genggaman Jati.

“Aku tidak peduli. Ketika kau sudah menjadi istriku, kamu adalah milikku, tanpa satu lelakipun bias menyentuhmu lagi.”

Va menatap Jati takjub, antara percaya dan tidak.

“Bulan depan kita menikah, lupakan kehidupan dulu, jalani masa depanmu, Va sayang. Surabaya akan menjadi kotamu. Hm?”

Sembilan bulan yang lalu Va masih duduk di tepian mencari mangsa, menawarkan cinta sesaat dan menggenggam rupiah. Kulitnya yang putih selalu terbalut dalam baju warna hitam, seperti hatinya yang sesungguhnya gelisah. Jati dating menawarkan cinta abadi, menyuntingnya. Sekarang ia telah menjadi nyonya Jati, bukan lagi Va. Setiap orang yang bertemu dengannya akan menyapa; Nyonya Jati Perwira. Menebar senyum, dan mengangguk hormat.

“Ini hadiah untukmu, Jingga cintaku,” Jati mengecup bibir Va pagi ini. Sebuah restauran elegan bernuansa jingga akan dibuka siang ini, menawarkan makanan khas Kalimantan. Atas nama Va, seperti juga butik yang telah dibuka dua minggu lalu.

“Kamu suka, Jingga?” Jati memeluknya.

“Bapak, aku va. Aku bukan Jingga.” Va membiarkan tubuh mungilnya dipeluk Jati. Ini untuk kesekian kali Va mengingkari. Ia Va, bukan Jingga!

“Jingga sayang, Jingga cintaku…” Jati semakin erat memeluknya, menciumnya. Va melihat kedua mata Jati menebar saying.Mengaca. Ah…! Lelaki ini telah mengubahnya menjadi Jingga, istrinya yang telah mati bersama bayinya saat melahirkan. Jingga yang amat dicintainya. Jingga yang selalu berpakaianwarna jingga sesuai namanya. Jingga yang teramat mirip dengan Va, bagai pinang di belah dua…!

Tiga hari setelah pernikahan, Jati memberikan beberapa cd berisikan rekaman kegiatan sehari-hari Jingga yang selalu di handicam Jati. Membuang baju-baju hitam Va, menggantinya denganwarna jingga, warna yang dibenci Va. Jati mengubah Va seperti Jingga. Seluruhnya. Inikah sebab, mengapa Jati begitu menginginkannya? Menghidupkan kembali diri Jingga melalui Va?

“Jingga sayang, aku telah memenuhi keinginanmu untuk membuka restaurant dan butik. Engkau bahagia?”

Va tidak menyahut. Sesungguhnya ia ingin menjadi Va, bukan harus berperan seperti Jingga. Jingga yang lembut dan bertutur halus, Jingga yang punya kebiasaan menidur kan Jati dengan nyanyian cinta, Jingga yang mendapatkan siksaan saat akan bercinta karena Jati mempunyai kelainan.

Ah!

“Engkau bahagia Jingga?” Jati mengecup kening Va. Kening yang masih memar karena pukulan Jati semalam. Selalu begitu. Punggung yang kebiruan, pinggang memar, atau pipi yang memerah. Va sudah kehabisan air mata.

Betapa ia lelah dalam menjalani hidup. Tersenyum memberikan cinta palsu pada setiap lelaki yang membawanya pergi untuk mendapatkan rupiah, membiarkan hatinya tersayat ketika tetangga kiri kanan rumah kontrakannya mencibir dan meludah saat ia pulang selepas subuh. Dan kini, ketika semua orang menganggukan kepala sebagai tanda hormat akan statusnya sebagai istri Jati, memanjakannya dalam harta yang berlimpah, kebahagiaan tak seutuhnya berpihak pada Va.

“Jingga sayang, kamu sakit?” suara Jati menepis lamunan Va.

Va menggeleng. Memberikan senyumnya pada Jati.

“Kita berangkat sekarang?” Jingga menawarkan. Jati mengangguk. Mengusap pipi Va perlahan. Va sedikit meringis, pipi yang memerah karena Jati menamparnya semalam.

“Pagi ini kamu sangat cantik.” Jati menggandeng tangan Va menuju mobilnya.

*          *          *

Mall Tunjungan sore hari.

“Gina…!”

Va menghentikan langkah. Suara itu amat dikenalnya. Suara Emi, teman seperjuangannya dulu dalam mempertahankan hidup dengan menawarkan cinta semalam.

“Gina…, hai.., kamu Gina?”

“Emi..,” Va memeluk Emi. “Apa kabar?”

“Baik. Baik sekali. Kamu menghilang, dulu katanyasudah menjadi nyonya kaya di sini, Surabaya.” Emi tertawa. “Duh, kamu memang kelihatan lain, tapi.. agak kurusan. Sengaja diet?”

Va ikut tertawa. “Kamu sendirian?” mata Va mencari-cari seseorang, tidak menanggapi pertanyaan Emi.

“Sejak kapan aku punya uang untuk membayar hotel dan terbang?’ Emi cekikikan. “Biasa, cukong kayu pengen membuang sedikit duitnya, memanjakanku shooping dan menjenguk kota orang. Tuh, dia lagi ambil duit di ATM.” Emi menunjuk dengan mata seorang lelaki botak berperut buncit.

“Nasib kamu bagus banget Gin. Banyakn uang, dikawini secara syah, dihormati.., kawan-kawan setiap hari membicarakan kamu. Mereka bilang, karena namamu yang aneh, kamu beruntung.” Emi terus berkomentar. “Hm, mana suami kamu?”

“Jingga… “ Jati telah berdiri di samping Va. “Lama sekali, aku menunggu kamu di bawah.”

“Jingga?” Emi keheranan. Ditatapnya Jati dengan tanda Tanya. “Bukannya kamu Gina? Vagina..?” Emi menggantungkan kalimatnya.

Va mengangguk.

Aku mempunyai panggilan kesayangan. Jingga. Nama yang cantik, bukan?” Va menggandeng suaminya. “Main kerumahku ya Em. Kamu masih lama di sini,kan?” Va memberikan kartu namanya. Senyumnya masih mengembang.

“Ah Gin, esok aku sudah balik. Istri cukong sialan itu menyusul. Aku mah gak mau rebut. Yang jelas, uangnya sudah pindah ke rekeningku.” Emi berbisik. “KAmu tahukan, Mala anakku mesti bayar uang sekolah. Cukup aku aja deh yang gini, Mala mesti jadi sarjana.” Emi mengedipkan matanya. “Doakan aku ketemu jodoh yang baik ya, aku sudah capek hidup begini.”

Va mengangguk. Dipeluknya Emi sekali lagi sebagai salam perpisahan. Kemudian tangannya menggenggam tanga Jati, menuntun menuju tempay parker. Sesaat ditatapnya lelaki paruh baya itu. Digelengkannya kepala lemah. Ia tak sanggup melarikan diri, tapi jugatak sanggup hidup bersama. Jati menyakitinya, tetapi juga membuatnya bahagia. *

INGKAR

Oleh : Try Lestari Soemariyono

TIDAK  berlebihan rasanya jika aku telah jatuh cinta padanya.Ia cerdas, sedikit jail tapi santun, dan lumayan ganteng. Gaya bicaranya santai, penuh humor yang kadang sanggup metbuatku tertawa lepas. Hal yang aku suka dan selalu ingin mendengarkan suaranya adalah jika ia melafalkan huruf ‘r’. Cukup aneh bagiku, sebab jarang ada pria yang tak sampai menyebut huruf ke delapanbelas dari abzad yang ada.

Tiga minggu perkenalan itu, memang terlalu singkat untuk menyukainya. Tetapi bukanlah satu kesalahan bila akhirnya aku jatuh cinta pada sikapnya. Pada kalimat-kalimatnya yang spontan. Pada tatapan matanya. Pada ide-ide gilanya. Ah! Yang menjadi salah, adalah aku mencintai lelaki yang sudah memiliki kekasih.

Dalam kamus percintaanku dengan berbagai pria, dialah pria yang paling sederhana dari segi nama dan penampilan, terkesan awut-awutan, cuek, berkantong tipis. Namun semua itu bukan satu penghalang sesungguhnya. Satu hal yang semestinya kusadari, perbedaan usiaku begitu jauh.

“Aku buatkan mie rebus, ya, Wi?”

“Hm, bolehlah.” Aku mengangguk, menyetujui tawaran Budiman, lelaki itu. Ia menyapaku dengan panggilan khusus; Uwi, padahal namaku Ruri Riswari. Mungkin menyiasati agar lafal ‘r’ yang diucapkannya tidak terdengar. Aku menyukai nama baruku, pemberian Budiman.

“Pedas?”

“Sedang saja.”

Ia menghilang ke dapur, meninggalkanku di ruang tamu mungil rumah kontrakannya. Tak berapa lama ia kembali membawa dua mangkuk kecil mie rebus buatannya.

“Ini special buatmu..” ia tertawa. “Kamu pasti ketagihan makan mie buatanku, dan selalu kangen…”

“Ge-er ah!” aku mencibir. Ia masih tertawa. Dan aku menyukai tawanya.

“Asin?” ia bertanya saat aku mulai menikmati mie rebusku.

“Hm…, sedikit.”

“Kalau asin…, itu tandanya aku sudah kebelet kawin…!” Budiman menyodorkan kecap manis. Matanya menatapku jenaka. Aku tertawa.

“Memangnya kamu sudah ada calon?”

Ia terbatuk. Agaknya disengaja.

“Begitulah. Aku mencintainya. Amat sangat.”

Ah!

Artinya aku harus patah hati dengan jawabannya barusan. Budiman telah mengakui, bahwa dirinya telah ada yang memiliki. Gadis Jawa pasti telah menantinya, mengikatnya dalam cinta setia.

*   *   *

Tuwit…tuwit…tuwit…

Ruri sayang, bercintalah denganku. Aku mempunyai gaya baru yang pasti asyik. Mhhh…, gimana?

Sms Profesor Diaz, ahli sejarah. Pria beristri bule yang mempunyai keisengan luar biasa tanpa batas. Gaya bahasanya kalau meng-sms, selalu berbau porno. Aku tak pernah menanggapi. Usianya baru tigapuluh lima tahun, cukup muda untuk menyandang gelar professor. Suka dugem, energik, berduit, good looking. Perempuan manapun pasti suka berada didekatnya. Jauh dari gambaran profesor-profesor dulu yang selalu berkaca mata tebal, botak dan kutu buku. Beberapa kali ia merayuku untuk bisa berkencan, dan berkali-kali pula kutolak. Dasar profesor sableng, semakin aku menolak, semakin bersemangat ia ingin menikahiku.

Kalaulah seorang budiman yang wartawan itu yang mengajak menikah, hm, aku tak akan menolaknya. Tapi…, ah! Ia telah memiliki seorang kekasih, dan siap melamarnya! Aku tak berhak mengganggu kebahagiaan insane yang berbahagia, dan aku tak berhak menawarkan cinta terlebih dahulu.

“Cinta itu perlu diperjuangkan, Rur. Pengecut sekali jika kamu mundur sebelum mencoba.” Nike, sahabatku sejak di SMU mentertawakanku ketika kukatakan aku telah patah hati pada seorang Budiman.

“Usianya lebih muda tujuh tahun dariku.” Aku berucap malas. “Ia telah memiliki kekasih dan akan menikah.”

“Lalu?”

“Aib sekali menjalin cinta dengan lelaki yang usianya di bawahku, dan ternista jika aku menyakiti perempuan lain dengan merebut kekasihnya.”

Nike terbahak. “Dan membiarkan perasaanmu sendiri sakit? Oh God! Sahabatku sekarang sudah menjadi lilin, rela hancur demi menerangi orang!” Aku membiarkan Nike terbahak.

“Seberapa besar cinta kamu padanya?” Nike menyimpan senyumnya.

“Seluas laut dan cakrawala.”

“Gila! Kamu benar-benar jatuh cinta, Rur?” Mata bulat Nike membelalak.

Aku mengangguk, ada kesalahan dikalbuku. Kontradiksi. Ingkar atau sakit selamanya? Ah, mengapa sampai separah ini? Bukannya cinta dapat menguap suatu saat? Tetapi, aku perempuan yang tak gampang jatuh cinta! Jika selama ini aku memilih masih sendiri diusia tigapuluh tahun, ada alas an yang tak dapat aku jelaskan pada semua orang. Hanya mama yang paham dan tahu persis mengapa aku takut jatuh cinta dan menikah. Papa yang tega menghianati mama, menelantarkan kami dengan bahagia bersama istri mudanya. Ah, aku tak bisa lupa, mama yang sering dipukul, di bentak, dilecehkan, hingga akhirnya masuk rumah sakit ketika papa memutuskan kawin dengan wanita lain.

Aku trauma, dan menganggap semua laki-laki berhak menyakiti wanita, ketika telah menjadi istrinya.

Aku tak ingin menikah. Toh tak ada undang-undang yang melarang perempuan untuk tidak menikah. Toh aku berhak untuk mengatur hidup dan diriku sendiri. Toh tanpa lelaki aku bisa hidup senang dengan penghasilan besar, bisa bersedekah, memberi rezki pada orang-orang yang memerlukan, menggaji karyawan di cafeku, memimpin rapat diruang ber-ac di sebuah penginapan sederhana milikku, menyekolahkan anak asuhku…, apa yang kurang? Rasanya memang tidak memerlukan lelaki!

Tetapi, Budiman datang dengan mengetuk hatiku, bahwa cinta itu memang ada, dan aku bergetar karenanya. Ketika senja dating, ada senyumnya yang membayang, dan ketika pagi menjelang ada tawanya yang renyah, membawaku untuk menyunggingkan senyum tanpa sadar. Aku selalu kangen dengan kalimatnya yang spontan, kangen dengan lafal ‘r’ nya yang cadel, kangen dengan mie rebusnya…

“Cinta adalah berkah, Ruri. Merebut cinta dari seseorang memang kejam. Tetapi membiarkan cinta dengan mengingkarinya dan membuatmu menderita juga kejam. Keputusan ada dihatimu.” Nike menghela nafas serius.

“Dengar Ruri, cinta tak pernah di batasi kasta. Apalagi usia. Menawarkan cinta lebih dahulu, bukanlah suatu dosa. Jangan menyiksa diri hanya karena trauma masa lalu.” Nike menyambung.

Ketika senja menyapu cakrawala, aku tercenung disejadah. Ada wajah papa dan Budiman bergantian. Aku menggigil. Tamparan papa yang keras membuat mama tersungkur, jeritan mama, bentakan papa, mama yang rubuh tiba-tiba…,Ah! Lalu muncul wajah Budiman yang menyejukkan, yang sanggup membuatku tertawa lepas, mampu membuatku tertawa lepas, mampu membuatku merasa perlu dilindungi, dihargai…, mendekapku dalam kehangatan lelaki yang tak pernah kurasakan…!

Dan malam bergulir dalam hitungan bulan.

Budiman yang kukenal saat menghadiri lounching suatu produk di Mesra Hotel Internasional, semakin menjeratku dalam pesonanya. Kesederhanaannya justru membuatku selalu ingin bersamanya. Dan malam ini ia berjanji akan membuatkanku mie rebus lagi, seraya memperkenalkan seorang wanita yang ada dihatinya. Jujur, aku terluka. Sakit. Barangkali sudah ditakdirkan, lelaki acap kali menyakiti hati wanita.

Pukul delapan malam. Tiga puluh menit sudah Budiman terlambat. Aku mulai gelisah. Barangkali ia telah lupa, sebab wanita yang dicintainya ada bersamanya. Kalimantan dan Jawa mampu membuat keduanya lupa akan janji, terlena dalam kerinduan yang lama terpendam. Setahun, bukan waktu yang singkat untuk meniti cinta yang dipisahkan laut. Betapa aku cemburu! Tetapi…, aku tak berhak. Budiman bukan kekasihku. Bukan. Tak pernah ada pernyataan. Terlalu berlebihan jika aku banyak berharap!

Bel menjerit. Jantungku berdebar. Seorang wanita cantik setengah baya berdiri di depan pintu bersama Budiman. Wanita itu tersenyum. Ramah. God! Selera Budiman boleh juga. Tetapi…, heh, apakah Budiman penyuka perempuan dewasa? Inikah wanita beruntung itu?

“Boleh kami masuk?” Budiman menyadarkanku.

“Oh, ya, tentu saja. Masuklah, ayo Mbak..” aku tersenyum membujuk hatiku agar tidak cemburu. Mencoba Familiar.

“Hei, jangan panggil calon mertuamu Mbak, dong. Nanti kualat…” Budiman tertawa lepas. “Ibiu ingin berkenalan denganmu, sebelum melamar. Engkau cinta padaku,kan?”

Aku ternganga. Surprise apalagi, ini Bud?

“Ibu, ini Uwi yang sering aku ceritakan. Cantik?”

Wanita separuh baya itu tersenyum menyalamiku, memelukku dalam hangat seorang ibu.

“Budiman selalu bercerita tentang kamu. Semuanya. Bersediakah engkau menikah dengan anakku, Uwi?” perempuan itu menatapku dengan kasih.

“Ibu, bukannya Budi sudah memiliki kekasih…?” aku terbata dalam keterkejutan luar biasa.

“Hanya ada dua wanita yang aku kasihi, Uwi. Ibuku dan engkau.” Budiman berucap lembut. Aku ternganga dengan mata mengaca. Sesaat kemudian aku ingin menjerit sekuat tenaga, bahwa aku memang memerlukan seorang pria untuk meniti waktu, menjalani hari-hati tanpa kegelisahan. Aku tak perduli dengan janjiku. Aku telah mengingkarinya. Ya aku telah ingkar. Tapi, apakah itu salah?*

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s