AKHMAD ZAILANI
– Koordinator Divisi Komunikasi Publik DPC Partai Demokrat Kota Samarinda periode 2011 – 2015
– Salah satu inisiator pembentukan DPW Partai Amanat Nasional (PAN) Kaltim – (tahun 1999)
– Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia (1993)
– Asosisiasi Kontraktor Seluruh Indonesia (AKSI) Kaltim – (2000 – 2002).
– Gabungan
– Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) – mengikuti Work Shop AJI di Jakarta (1999-2001)
– Direktur Lembaga Informasi Kerakyatan (LINK) – (2001-sekarang)
– Ketua Umum FORKKOT (Forum Kepedulian Kota) Kalimantan Timur (2009-sekarang)
– Wakil Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Ormas Nasional Demokrat (Nasdem) Samarinda – (2011 – 2015)
– Wakil Ketua DPD Partai Amanat Nasional Indonesia Kota Samarinda (2011 – 2015)
– Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) – (2010-2012)
– menulis sejak kelas VI SD. Menulis puisi dan cerita anak-anak di majalah Kuncung dan Bobo.
– Saat SMP kelas 3 hingga kuliah, beberapa cerpennya pernah dimuat di majalah Kawanku, majalah HAI, Aneka dan Anita Cemerlang, Koran manutung
Kaltim Post dan Koran Suara Kaltim (alm).
– Tahun 1996-1997 bekerja sebagai koresponden Majalah FAKTA Surabaya.
– Tahun 1997-2001 – wartawan Suara Kaltim.
– Tahun 2000-2001 – wartawan tabloid-harian Harian Kutai Baru
-Tahun 2001-2005 – redaktur Koran harian Poskota Kaltim
-Tahun 2003 – redaktur pelaksana Koran harian Kaltim Times
– Tahun 2004- redaktur pelaksana Koran harian Matahari Kaltim
-Tahun 2001-2007 – pemimpin umum/pemimpin redaksi tabloid Pemkot
Samarinda “ Habar Samarinda”.
– Tahun 2005-2006 – pemimpin umum/pemimpin redaksi majalah Metro.
– Tahun 2005 – pemimpin umum/pemimpin redaksi tabloid Qolbu
– Tahun 2006- pemimpin umum/pemimpin redaksi majalah Qalam
– tahun 2006-2007 – pemimpin umum/pemimpin redaksi majalah Suara Rakyat.
– antara tahun 2004 – 2008 menjadi pemimpin umum/pemimpin redaksi tabloid Suara Hati, tabloid Rakyat (kaltim) Merdeka, tabloid Info (media sosialisasi Dispenda Samarinda).
– media center Amins-Jaang periode 2000-2005 dan media center Amins-Jaang 2005-2010, direktur media center Jaang-Nusyirwan periode 2010-2015.
– konsultan media pasangan Calon Bupati Kabupaten Nunukan H Gusti Aseng-Asmah Gani 2000-2005 Pilkada Nunukan, konsultan media Cabub Naswin Datu Norbeck 2000-2005 Pilkada Berau. Hj Asmah Gani sekarang terpilih sebagai Wakil Bupati Nunukan periode 2011-2015 bersama Bupati M Basri.
Menulis puisi, cerpen dan cerita bersambung. Di antara cerita bersambung dimuat di Koran Harian Suara Kaltim, yaitu Ah (1999), Opera Pak Karto (1999) dan cerita silat politik : Dinasti Su Hat Su (cerita tentang keadaan politik tahun 1998). Salah satu tulisannya, Mengungkap Bisnis Sampingan TNI-Polri, termasuk tulisan terbaik menurut penilaian National Democratic Institute (NDI) – tahun 1999.
Di Bawah ini beberapa cerpennya yang dibuat sekitar tahun 1990-an.
BULAN LUKA
Samarinda, Minggu 20 Juni 1993.
Aminah Sjoekoer di Kapal Nederland
DENDAM BULAN
(Pernah dimuat di Koran harian Manuntung, kini Kaltim Post, 26 Juni 1994)
Surat Kepada Yth. Tikus
:: akhmad Zailani
SEBELUMNYA saya mohon maaf kepada bangsa tikus, baik tikus comberan maupun tikus yang hidup dimana pun, di kantor dewan, di kantor Pemerintah Propinsi (pemprop), di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Pemerintah Kota (Pemkot) serta di departemen dan instansi pemerintahan lainnya, di kantor kejaksaan, di kantor KPK, di kantor kepolisian ataupun di plafon rumah kita. Saya minta maaf, karena saya menyamakan mereka dengan manusia yang mengkorupsi uang negara.
Kepada bangsa tikus di manapun berada,
Entah kalian harus marah atau bangga, karena derajat kalian sama dengan koruptor, yang jelas kalian harus dibasmi. Bila tikus penggeret batang padi di sawah dibunuh-bila perlu dibakar-entah apakah manusia tikus atau tikus manusis (tikus yang berbentuk manusia) perlu dihukum yang sama, sama-sama diburu, dibunuh lantas dibakar. Tapi rasanya kurang tikusiawi. Kasihan. Mungkin, kalian para tikus boleh iri, tapi begitulah. Manusia tikus ini sulit sekali dijerat, karena memang rata-rata mereka lihai, pandai berkelit.
Perlu kalian juga ketahui, manusia tikus ini berada di mana-mana. Ada yang tugasnya (semestinya) menangkap manusia tikus, eh gak ketangkap-tangkap. Kenapa? Ini sulit, karena si penangkap atau si penjerat manusia tikus itu, terdapat juga manusia tikus. Aneh kan. Mana bisa manusia tikus memangkap manusia tikus juga, konco sendiri.
Saya tadi menyebutkan, manusia tikus yang akan ditangkap lihai dan pandai berkelit. Begini; ketika mereka ketahuan, mereka lalu “menyisihkan bagian makanan yang dicuri” untuk diberikankepada si manusia tikus penangkap. Akhirnya, karena telah mendapat bagian makanan hasil curian, manusia tikus yang mestinya menggurung manusia tikus malah “kekenyangan” dan diam saja. Diam saja bisa pura-pura bersikap garang, tapi garang tak bertindak. Sebatas di mulut saja, tapi gak bergerak.
Begitulah.
Kepada bangsa tikus, saya juga perlu menyampaikan, masyarakat manusia juga gak bisa bertindak apa-apa. Mungkin hanya bisa menunggu saja; berharap manusia tikus itu mati sendiri, karena kekenyangan. Tapi itu tidak mungkin. Paling-paling manusia tikus yang terjerat itu manusia tikus comberan, sementara bos-bos tikus yang banyak memakan uang negara bebas berkeliaran.
Kepada bangsa tikus, saya mohon maaf tanpa konfirmasi karena menyamakan kalian dengan koruptor, penggerogot uang negara. Mungkin kalian tersinggung, karena merasa tidak banyak merugikan manusia. Namun terlepas soal membawa-bawa “nama tikus”, pada dasarnya tikus adalah musuh manusia, karena merugikan. Terlepas dari siklus simbiose ular makan tikus, tikus makan kodok, kodok makan nyamuk dan seterusnya. Ini menyangkut tentang hak dan bukan hak.
Akhirnya, mungkin kita perlu bersama-sama menyatakan perang terhadap manusia tikus, yang merugikan masyarakat tikus dan manusia itu sendiri. Untuk hal ini, tiada maaf bagi manusia tikus, yang meniru-niru tikus.
Surat tersebut tak sempat dikirimkan, karena keburu digigiti tikus hingga hancur. ***
Ibu Terus Menunggu dan Tidak Ingin Dia Menyentuh Ikan Bakar Itu
:: Akhmad Zailani (Indonesia)
“MAMAAAT…”, berbarengan dengan suara lembut itu, pintu kamar lelaki kurus itu kini telah terbuka. Seraut wajah wanita setengah baya nongol dari balik pintu. Ada bekas-bekas kecantikan pada wajah wanita itu! Dia adalah ibu dari lelaki kurus itu.“Makan dulu, Mat…, “. Wanita yang masih cantik itu mengajak makan sang anak.
“Iya bu…, “Mamat bangkit. Dia mengambil kruk-nya yang asik bersandar di tepi ranjang. Diletakkannya kedua kruk itu di bawah kedua ketiaknya. Dengan kedua kruk itulah dia berjalan melangkah keluar dari kamar. Kaki kirinya yang ‘tumbuh’ kecil, berkibar-kibar akibat ayunan langkahnya. “Masak apa bu, “Tanya si anak.
“Sayur bening dengan Ikan Mas Bakar kesukaanmu, “jawab ibu. “Asik ….,” si anak tersenyum. Ibu juga ikut tersenyum. Ada perasaan bahagia bila melihat anak satu-satunya itu ikut tersenyum. Dia ikut merasakannya. Juga bila sang anak bersedih, ingin pula dia ikut berbagi kesedihan dengan sang anak. Atau seumpama kesedihan itu bisa dipindahkan, inginlah dia agar kesedihan itu dipindahkan saja kepada dirinya. Itulah ibu.
Ibu dan anak itu makan. Tak ada meja makan di rumah itu. Duduk lesehan di lantai itu sudah cukup. Ibu menatap anaknya yang makan dengan lahapnya. “Ayo tambah lagi Mat”.
“Iya, bu,” mulut Mamat penuh dengan nasi.
Kembali sang ibu tersenyum. Dan pelan-pelan kembali ia menyuapkan nasi lagi ke mulutnya. Pelan sang ibu mengunyah-ngunyah nasi yang ada di mulutnya. Mamat menambahkan lagi dua sendok nasi ke dalam piringnya. Ibu dan anak itu asik makan. Yang ada hanya dua ekor Ikan Mas Bakar (ukurannya kecil), tempe dan sayur bening serta sambal di cobek. Itu sudah cukup menurut Mamat. Ikan Mas Bakar itulah kesukaanya sejak kecil.
Ibu itu memperhatikan kembali wajah anaknya, di sela-sela ‘kegiatannya’ menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Ingatannya kembali terbayang pada suaminya. Persis benar raut wajah sang anak dengan wajah sang bapak. Juga cara makannya yang lahap, dengan ikan bakar kesukaan mereka. Persis benar…, gumam sang ibu. Bila sang bapak pulang dari menyopir taksi untuk makan siang, yang ditanyakannya pasti apakah ada ikan bakar di pasar. Kalau makan Sang bapak ‘gila’ ikan bakar. Setiap makan siang, selalu ada ikan bakarnya (kecuali di pasar tidak ada orang yang menjual ikan). Selalu dia begitu. Tak bosan-bosannya dia makan ikan bakar. Si ibu pernah menanyakan seandainya kalau makan siang ini tak ada ikan bakarnya dan cuma ada ayam goreng misalnya, bapak tetap akan makan? “
Setengah bercanda Si bapak menjawab ikan bakar bagi saya, bu, sama dengan ‘kebutuhan’ saya terhadap ibu. Kalau tak ada ikan bakar yah…bukankah masih ada ibu, “jawab bapak. Selanjutnya cubitan manislah yang ‘menjawab’ canda bapak itu. Bapak tak suka daging ayam atau sapi.
Ah, itu dulu… selagi masih ada bapak bersama mereka. Bapak sudah ‘pergi’ beberapa tahun yang lalu (sekitar enam tahunan). Taksi yang di kendarai bapak bertabrakan dengan truk di persimpangan jalan. Tak ada pesan-pesan penting yang di tinggalkan bapak. Bapak hanya berkata : “ Bu, tolong nanti siang bakarkan bapak ikan mas”. Itu saja pesannya. Dan siangnya, saat bau ikan mas bakar menunggu bapak yang datang malah kabar duka : Bapak tabrakan dan meninggal. Oh, bapak. Bapak sudah pergi meninggalkan mereka berdua. Bapak sudah pergi…ibu mengusir bayangan bapak di sela-sela makan siangnya.
“Kenapa melamun, bu?” tanya Mamat. Piring di tangannya kini telah kosong. Isinya sudah ‘licin mengkilat’. Dibasuhnya tangannya. “ingat bapak lagi ya?”
“Oh, ndak…,”ibu bergegas ‘menyelesaikan’ nasi yang tersisa di piringnya. Tak berapa lama nasi di piring ibu juga tandas. Alhamdullillah…
“Bu, saya nanti mau ke rumah Marno. Hari ini kan hari Minggu. Sudah lama saya ndak ke rumahnya. Saya nginap di saya ya bu? Besok siang baru saya pulang.”.
“Besok pagi kan kamu sekolah, Mat?”. “Sekali ini saya bolos dulu bu. Sehari ini saja, bu .. Saya kangen dengan suasana di kampung Marno. Besok siang saya pulang bu,”.
Ibu memang terlalu memanjakan anak satu-satunya itu. Dan selalu tak bisa menolak keinginan Mamat. “Hati-hati ya Mat,”Si ibu menatap sang anak.
“Sip, bu,”jawab Mamat seraya mencium kening sang ibu. Dia kembali mengambil kruk di sampingnya lantas bergegas masuk kembali ke dalam kamarnya. Dia sudah kangen tampaknya dengan Marno sahabatnya sewaktu SD. Dia sudah berteman dengan Marno sejak itu. Hingga kini sampai SMA dan Mamat berhenti sekolah karena biaya SPP tak dapat dijangkau lagi oleh kehidupannya yang miskin. Ayah Marno hanyalah petani. Dan itu pun hanya menggarapkan tanah milik orang , lalu hasilnya di bagi dua dengan pemilik tanah. Tanah Bapak Marno sudah dijualnya dan kini jadi lapangan golf. Tanah itu terpaksa dijual untuk biaya pengobatan ibu Marno yang terkena tumor.
Ibu memberesi piring-piring makan dan perkakas makanan lainnya yang tak seberapa lengkap itu. Bergegas dia. Karena setelah itu kembali dia menjaga warungnya. Ibu punya warung hasil dari tabungan bapak selama menyopir taksi. Pelan-pelan ibu lantas menabung dari usaha warungnya. Rezeki dari warung itulah-setelah meninggalnya bapak-untuk menghidupi mereka berdua. Usaha warung itulah yang membuat mereka masih bisa bernapas himgga sekarang. Mamat memberesi alat-alat melukisnya. Tube-tube cat minyak yang berserakan di lantai dimasukkannya ke dalam plastik, lantas dimasukkannya lagi ke dalam ranselnya. Kuas-kuas dari berbagai ukuran diikatnya dengan karet, lantas dimasukkannya pula ke dalam ransel. Kain kanvas tak lupa pula dibawanya. Dia ingin melukis di kampung Marno.Pemandangan di sana tak habis-habisnya untuk dipindahkan di kanvas. Sesaat Mamat ingin melupakan kegundahan hatinya. Dia ingin melupakan ‘masalah kecil’ kemarin di sekolah. Tentang Ryan yang merupakan anak orang kaya, bersama-sama dengan teman-temannya mempermainkannya. Menyembunyikan kruknya, mengolok-ngolok dan menyinggung-nyinggung tentang kemiskinannya atau menjodoh-jodohkannya dengan Sinta atau hal-hal lainnya lagi yang begitu merendahkannya. Sesaat Mamat ingin melupakan itu semua.
Dimasukkannya pula beberapa potong pakaiannya, lantas diselempangkannya menyilang di tubuhnya. Sip. Tinggal berangkat. Sudah lama dia memang tidak ke rumah Marno. Setahun yang lalu, pada saat Idul Fitri, itu pun yang terakhir kali. Mamat lalu melangkah ke luar kamar. Dia menemui ibunya. “Bu…, panggilnya.
Ibu yang asik mencuci piring menghentikan kesibukannya. “Sebentar Mat…tangan ibu kotor,” ibu melanjutkan pekerjaannya.
Mamat memperhatikan ibu yang mencuci piring. Ibu yang sering berlomba duluan bangun dengan suara kokok ayam. Dan, walaupun ibu ketinggalan bangun dengan suara kokok ayam, namun masih duluan bangun dibandingkan dengan matahari, tapi ibu masih bilang begini :”ah, ibu terlambat bangun …” . Ibu yang di pagi buta sudah memasakkan nasi buat sarapan pagi untuknya sebelum berangkat sekolah.
Mamat masih berdiri…. Ibu melap tangannya dengan serbet. Pekerjaannya yang hanya mencuci beberapa piring dan gelas serta membereskan peralatan makan lainnya sudah selesai.
“Bu, Mamat pergi dulu… “Mamat mencium wanita lima puluh tahunan itu. Mencium tangannya… “Hati-hati ya Mat. Cepat pulang…”. Mamat mengangguk. “Bu,besok siang siapkan ikan mas bakar ya?”. Ibu mengangguk. Mamat lalu menyeret langkahnya ke luar rumah. Dan ibu mengiringi kepergian anaknya dengan matanya yang lelah. “Hati-hati ya Mat..”. Lagi-lagi Mamat mengangguk lantas kembali menyeret langkahnya.
Sang ibu masih berdiri di situ sampai Mamat menghilang dari pandangannya. Dia begitu sayang dengan anaknya. Hanya rasa itulah yang tertinggal. Rasa sayang ibu Mamat begitu murni. Tak dapatlah dibanding dengan apapun. Tak bisa dinilai dengan apapun. Emas yang begitu murni sekalipun tak akan bernilai bila di bandingkan dengan peraasaan sayang seorang ibunya Mamat. Tak bisa ditukarkan dengan berton-ton berlian sekali pun! Ibu sangat menyayangi Mamat. Ibu tahu, bila Mamat tidak ada maka sunyilah hatinya. Dan setelah Mamat kembali pulang hatinya kembali gembira. Ibu tidak ingin lama berpisah dengan Mamat. Menunggu Mamat dari pulang sekolah pun bagi ibu bagaikan sudah menunggu bertahun-tahun. Hanya Mamat-lah yang tersisa bagi ibu, setelah kepergian bapak. Dan bagi ibu hanya dialah tempat kasih sayang buat si Mamat. Ibu ingin membahagiakan Mamat. Ibu ingin Mamat berhasil jadi ‘orang’. Dan menyekolahkan Mamat setinggi-tingginya, itulah keinginannya. Ibu berharap, nantinya Mamat bisa berbahagia. Kini setelah Mamat pergi ke rumah Marno di kampung Lempake, sunyilah hati ibu. Mamat persis betul wajah bapak. Kenangan dulu terbongkar kembali. Kenangan saat bapak masih ada. Kenangan ibu bersama bapak waktu pacaran dulu. Perkawinan ibu dan bapak yang tidak disetujui oleh orang tua ibu karena orang tua ibu tidak setuju kalau putrinya kawin dengan seorang yang pekerjaannya tidak tetap. Karena orang tua ibu tidak setuju kalau putrinya kawin dengan orang yang senangnya bikin puisi dan cerpen. “Seniman edan,” kata orang tua ibu. Orang tua ibu tidak setuju putrinya hidup menderita. Tapi akhirnya ibu tetap nekat kawin sama bapak. Walaupun hidup ibu dan bapak pas-pasan tapi ibu berbahagia. Akibat menikah dengan bapaklah, akhirnya ibu tidak diakui anak lagi oleh orang tua ibu. Itu dulu… selagi masih ada bapak. Saat ini pun ibu masih berbahagia karena ada Mamat. Walaupun bapak sudah ‘pergi’, hubungan ibu dengan orang tuanya pun masih seperti dulu. Pernah suatu hari, ibu dan Mamat ke rumah orang tua ibu, tapi sesampainya di sana ibu dan Mamat tidak dihiraukan. Orang tua ibu tidak berbicara sepatah kata pun. Ibu pulang dengan kekecewaan.
Bila tidak ada kerjaan memasak (pekerjaan memasak dan lain sebagainya) dan ibu sedang duduk menunggu warung, seringlah ibu melamun-lamun sendiri. Kenangan bapak sewaktu masih hiduplah yang paling banyak hadir dalam lamunan ibu. Perkenalan ibu dengan bapak. Masa-masa pacaran ibu dengan bapak. Dan sampai lahirnya Mamat. Bagi ibu bapak adalah hal terindah yang pernah ada dalam hidup ibu. Juga setelah Mamat lahir. Bagi ibu kedua laki-laki itulah yang membuatnya bahagia. Setelah bapak pergi, Mamatlah kini ’sisa kegembiraan’ ibu.
Oh, hari ini Mamat pulang, hati ibu sedikit gembira. Sudah sehari semalam ibu tidak melihat Mamat. Selagi Mamat ke rumah Marno, ibu benar-benar disiksa sunyi. Ibu kangen dengan Mamat. Makanya sebentar-sebentar ibu memperhatikan jalan di depan rumah, apakah Mamat sudah pulang. Tapi ibu kecewa, karena sudah siang begini tapi Mamat belum muncul juga. Padahal ikan bakar sudah tidak sabaran menunggu Mamat. Kali ini ibu menyiapkan ikan Nila yang besar-besar untuk sang anak. Ibu ingin melihat Mamat makan dengan lahapnya seperti bapak.
Oh, tapi Mamat belum pulang-pulang juga. Ada suara. Ah,tapi itu bukan suara Mamat. Mamat kalau pulang memang suka berteriak-teriak memanggil ibu. Itu bukan suara Mamat. Masa Mamat memanggil ibunya dengan Bu Mamat. Itu suara Ibu Tatang, tetangga ujung. Pasti dia mau beli sesuatu. “Ada lombok bu,”. Benar. Itu Ibu Tatang. “Ada. Mau beli berapa bu?” Lima ratus saja.” Lombok lantas ditukar dengan uang. Dan Mamat belum pulang juga. Ke mana si Mamat? Padahal ikan bakarnya sudah menunggu.
Ibu gelisah. Hari sudah sore. Sebentar lagi malam. Tapi Mamat belum juga pulang.
Ah, ibu tidak tahu, kalau Mamat tidak akan pernah bisa pulang lagi. Taksi yang ditumpanginya saat pulang telah bertabrakkan dengan sebuah truk di persimpangan yang sama pada saat taksi yang dikemudikan bapaknya bertabrakkan dengan truk enam tahun yang lalu. Ibu belum tahu kalau ikan bakar yang telah disiapkannya untuk Mamat tidak akan pernah dihabiskan anaknya.
Ibu terus menunggu Mamat dan tidak ingin pula dia menyentuh ikan bakar itu. Itu ikan bakar untuk anak kesayangannya. Dan ibu terus menunggu… ****
Hati dalam Toples
:: Akhmad Zailani
(Indonesia)
KATA orang menunggu adalah suatu pekerjaan yang membosankan, terkadang memang begitu. Tapi kali ini, bagiku menunggu tidaklah begitu membosankan. Aku sedang menunggu bis di Terminal Sungai Kunjang. Dan aku menunggu ditemani oleh pacarku. Hal itulah yang tidak membosankan bagiku. Biarlah bis berangkatnya lebih lama. Agak siang sedikit juga tak apa. Aku tak tergesa-gesa. Waktu masih panjang. Aku masih ingin bercakap-cakap.
Sebagai seorang mahasiswa aku harus mengadakan penelitian untuk menulis sebuah skripsi, yang merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan. Sesuai dengan judul penelitianku yang telah disetujui oleh pembimbingku, yaitu Pengaruh Pemberian Artemia Flake dengan Frekuensi dan Persentase yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Benur Udang Windu (Panaeus Monodon Faricius), maka aku harus ke Balai Benih Udang Manggar di Balikpapan.
Sebelumnya aku survey duluan ke sana. Aku juga sudah mempersiapkan alat-alat dan bahan yang diperlukan untuk penelitian tersebut. Timbangan dengan ketelitian yang cermat juga telah aku temukan tempatnya ; di sebuah lab rumah sakit Balikpapan. Aku merasa lega. Di laboratorium itu aku bisa menimbang udang dan dosis pakan yang diinginkan. Dan di rumah sakit itu juga aku bisa bertemu dengan seorang dokter yang walaupun sudah bersuami tapi masih bersemangat. Dengan bodynya yang tinggi langsing dan kaki indah yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Ah, aku jadi ngelantur terlalu jauh. Maaf.
Aku melempar pandanganku ke bis yang hampir penuh. Ah, tampaknya banyak juga orang yang akan berpergian ke Balikpapan. Aku kembali menatap pacarku : “ hati-hati selama aku ngak ada”.
”Kamu juga, jangan lupa telpon,” balasnya.
Aku meraih ranselku, lalu melangkah masuk ke dalam bis. Duduk di ujung, dekat jendela yang terbuka tentu merupakan tempat yang nyaman. Ransel aku letakkan. Seorang penjual karcis menyodorkan karcis kepadaku. Karcisnya aku tukar dengan uang. Bis mulai bergerak dan dari balik jendela kaca; pacarku melambaikan tangan. Bis bergerak melewati Jembatan Mahakam. Dengusnya kian terasa, aku diam. Melamun dengan pandangan keluar bis. Kursi di sampingku kosong. Sedangkan kursi di deretan kiri duduk sepasang suami istri. Mereka hanya sesekali bercerita. Selebihnya sang suami membaca koran terbitan hari ini. Pagi tadi aku pun sempat membaca Manuntung tentang beberapa peristiwa yang cukup menarik. Penggunaan obat-obat daftar G di kalangan remaja. Pembunuhan atau pemerkosaan juga mewarnai tiap hari halaman surat kabar. Atau tentang hal-hal yang kesimpulannya ketidakpuasan terhadap hal-hal yang mendasar. Tentang penggusuran dan lain sebagainya. Itulah cerita. Dan seandainya tak ada berita yang menarik atau dibuat agar menarik apa bisa laku surat kabar, yang begitu membutuhkan berita. Itulah hidup. Ada warna-warninya. Ada hitam putihnya. Ada buruk baiknya. Kalau tidak begitu bukankah tidak menarik?
Bis berhenti di Sungai Keledang. Seorang wanita yang aku taksir sekitar dua puluh tahunan naik dan masuk ke dalam bis. Cukup menarik dan manis. Rok span yang pendek seolah-olah memperlihatkan kaki-kakinya yang putih mulus. Sekali lagi aku menaksir, tingginya sekitar seratus enam puluh lima cm. Lumayan tinggi bukan? Untuk wanita pada umumnya. Dia meletakkan kopernya. Kernet bis membantu (dengan senang hati tentunya) mengangkatkan karung goni miliknya. Tampaknya tidak begitu berat. “ Yang itu biar diletakkan dibelakang aja,”ujarnya. Kernet itu pun meletakkan karung goni dekat kursi deretan kursi di belakang. Tak sempat bertanya-tanya pula kernet itu apa isinya. Yang dilakukan hanyalah; sehabis meletakkan karung goni itu lantas dia kembali duduk di kursi deretan paling belakang. Kembali dia tidur-tiduran ayam lagi. Dan lewat kaca spion sang sopir melihat keadaannya sudah beres, bis pun digerakkanya lagi. Wanita yang berspan pendek itu pun tanpa berbasa-basi telah meletakkan pantatnya di kursi tepat di sampingku. Sempat-sempatnya pula mata coklatku meliriknya. Memang manis, gumam hatiku. Beberapa saat sunyi menggangguku.
Aku ingin bercakap-cakap dengannya. Tapi rasa maluku menghambat. Sunyi tanpa bicara, padahal duduk bersebelahan adalah suatu hal yang canggung bagiku tanpa basa-basi. Aku kembali meliriknya. Sedikit saja. Pas kebetulan juga dia melirik ke arahku. Dia tersenyum, otomatis aku pun jadi ikut tersenyum. Cihui, hatiku jadi berdebar-debar. Lantas hening kembali. Aku kembali dengan aktivitasku, membuang pandangan keluar jendela. Melamun-lamun sebentar dengan khayalan yang terbang ke awan. Di luar jendela pohon-pohon berlarian. Dan dengus bis masih terdengar. Kalau pun suara bis tidak terdengar, sudah pasti bis itu mesinnya tidak berbunyi dong hehehe.
Wanita manis (kulit putih mulus ada bulu-bulu halus di tangannya) yang duduk di bangku sampingku meraih minuman kotak yang di belinya dari pedagang asongan. Ditusukkannya sedotannya ke atas kotak yang ada tandanya, lantas bibirnya yang tipis ( bak jeruk nipis) mulai menyedot teh dalam kotak.” Mau?”dia menawariku. Ada satu teh kotak lagi. Sebenarnya inginlah aku memilih teh kotak yang diisapnya. Sebenarnya ‘bekas’ sedotannya itulah yang aku inginkan. Tidak untuk teh kotaknya. Aku belum haus. Tapi akhirnya aku raih juga teh kotak yang masih ‘perawan’ itu dengan ‘terpaksa’. Lumayan gratis. Dan bila gratis pasti ‘enak’. “Pulang kampung?”dia bertanya padaku.
“Ah, nggak. Aku mau penelitian di Manggar. Kalau kamu?”aku balik bertanya. “Aku ingin pulang. Lama sudah disini (Samarinda, maksudnya), ” wanita manis itu tersenyum.”Aku kangen sama Balikpapan…”. Penumpang yang duduk pada kursi di depan kami menolehkan kepalanya. Sebentar, lantas meluruskan kembali kepalanya.
Bis masih berlari. Sebentar-sebentar menanjak. Sebentar-sebentar menurun. Dan sebentar-sebentar menikung. Kami, aku dan wanita itu terus mengobrol. Enak juga mengobrol dengannya. Baru kenal sudah begitu terbuka bicaranya. Kami bicara tentang apa saja. Sesekali mataku memperhatikannya. Indah memang.
“Lama penelitiannya?”suaranya bertanya.
“Lama juga. Memang kenapa nih? Boleh main ke rumah nanti? Itu juga kalo nggak ada yang marah…”., aku mulai nakal.
“Boleh”, dia kembali tersenyum. “Kamu juga apakah nggak ada yang marah?”.
Aku hanya tersenyum.
“Pertanyaan yang tak diinginkan. Tidak enak juga bila berbohong. Bisa saja aku menjawabnya begini :”Ah, siapa yang marah. Orang jelek kayak aku ini mana ada yang mau.”.
“Kamu kuliah dimana sih?” tanya wanita itu.
“Di Unmul Fakultas Pertanian. Kalau kamu?”.
“Aku kuli…ah,”dia tertawa. “Eh, kita belum tahu nama kita masing-masing. Namaku Selvi. Boleh jabat tangan kan?”dia mengulurkan tangan kanannya. Agresif juga nih cewek. Kalah aku. Lembut juga tangannya. “Boleh lama nih megangnya,” candaku. Mengimbangi keagresifannya? “Boleh Selvi tersenyum lagi. “Sampai Balikpapan juga boleh. O, ya nama kamu belum disebutin…” tapi dia menarik tangannya..”Namaku Rahmat”.
“Rahmat…hmm lumayanlah. Rahmat… sebenarnya aku sudah menikah,”dia menatapku. Tapi aku tertawa. “Benar Rahmat. Aku udah menikah, walaupun belum punya anak”.
“Lantas suamimu mana? kenapa nggak ikut?”. “Ikut…,”Selvi tertawa. “Kami sudah berpisah…”. Lantas dia berbicara panjang lebar tentang dirinya dan kehidupan rumah tangganya. “Aku sudah membunuhnya…aku sudah membunuhnya…,”suaranya pelan. “Aku sudah membunuhnya Rahmat, karena dia membawa perempuan ke rumah kami. Saat itu aku pulang ke Balikpapan, Rahmat. Seminggu aku berada di Balikpapan. Ketika aku pulang ke Samarinda tidak memberitahu suamiku. Saat aku tiba di rumah suasananya sunyi. Mungkin suamiku belum pulang, pikirku. Tapi ketika pintu aku buka ternyata tidak di kunci. Aku lantas masuk. Saat aku mau masuk kamar, telingaku mendengar suara suamiku dan suara seorang perempuan. Mereka tertawa-tawa. Darahku langsung saja mendidih. Rupanya selama aku ke Balikpapan, suamiku asik push-up hahaha, “sejenak selvi tertawa sinis. “Aku tidak jadi masuk kamar dan malam itu juga aku langsung ke rumah keluargaku di Kampung Jawa. Mereka nampaknya nggak tahu aku telah melihat perbuatan mereka “. Selvi kembali diam sejenak. Di sedotnya sisa minuman kotaknya. Kuperhatikan dia, ada rasa kasihanku padanya. Dia butuh teman. Yang ingin kulakukan adalah menampung segala tumpahan emosinya. Sebagai pendengar yang baik itulah yang kulakukan.
“Dua hari kemudian baru aku pulang. Perempuan itu tak ada. Suamiku menyambutku wajar saja. Dia menyangka aku tidak mengetahui perbuatannya,”Selvi kembali melanjutkan ceritanya. “Ah, kami memang kawin muda. Dan aku sangat mencintai suamiku. Aku ingin dia tetap milikku. Aku tak ingin ada perempuan lain yang merampasnya. Aku mencintainya. Pada suatu malam, saat suamiku tidur nyenyak, aku menancapkan sebuah pisau ke dadanya lalu aku potong-potong tubuhnya. Sadis memang. Tapi karena aku begitu mencintainya. Dia hanyalah milikku! Tidak untuk perempuan lain.”.
Oh. Kamu…kamu membunuhnya karena kamu mencintainya?”.
“Iya. Di dalam karung goni itulah mayatnya,” suara Selvi terdengar seperti berbisik lantas dia tersenyum sinis. Oh, ingin rasanya aku pingsan saja. “Aku ingin membuang mayat itu di pertengahan kilometer Samarinda-Balikpapan … dan menyimpan hatinya yang telah diawetkan di dalam toples,” katanya.
***
BIS masih kosong. Aku sedang menunggu bis di Terminal Batu Ampar-Balikpapan. Aku sudah selesai dengan penelitianku tentang larva udang windu. Cukup melelahkan juga. Berpanas-panas matahari di pantai selama tiga bulan tentulah cukup menghitamkan kulitku. Aku kini lega dan ingin cepat pulang. Bis masih belum penuh. Aku belum mau masuk ke dalamnya. Terlalu pagi memang aku datang. Biarlah. Aku ingin melamun-lamun di sana sambil menatap kesibukan-kesibukan di Terminal Bis Batu Ampar. Aku berpikir-pikir dan mengingat-ingat tak ada lagi sesuatu apa pun yang tertinggal. Sesuatu apapun. Juga mengenai Selvi!
Sejak perkenalanku dengannya di bis dulu sampai akhir penelitianku, Selvi selalu dekat denganku. Dia menemaniku selama penelitian di Manggar. Kami selalu bersama-sama. Sewaktu aku harus menimbang larva udang windu, yang kecilnya seperti rambut itu pun (yang jaraknya berkilo-kilo dari lokasi penelitian) dia mau saja ikut bersamaku. Dia butuh teman. Dia ternyata menyukaiku. Selvi mencintaiku! Itulah yang akhirnya aku takuti!
Bis hampir penuh. Dan mau berangkat. Mesinnya sudah terdengar. Aku melangkah. Ranselku yang dulu tetap menemaniku. Cuma ada tambahan. Ada sebuah toples yang aku bawa dari Balikpapan! Ya, sebuah karung goni lagi telah aku tinggal di pertengahan kilometer Balikpapan-Samarinda. Aku rasa kamu sudah tau isinya…
Ya, hati milik Selvi telah aku awetkan dalam toples.
Bis sudah bergerak menuju ke Samarinda. Aku melamun-lamun sendir.i Angin menerpa-nerpa wajahku. Aku ingin segera tiba di Samarinda. Aku berencana bila tiba nanti, hal pertama yang aku lakukan adalah : Aku ingin membeli satu buah toples lagi. Itu aku lakukan karena aku mencintai Selvi dan ….. pacarku. ***
- Cerpen ini pernah dimuat di Koran Harian Kaltim Post berjudul Pembunuh (Aku Membunuhnya Karena Aku Mencintainya)
LUKISAN BERDARAH
(* pernah dimuat di koran harian Kaltim Post dan terhimpun dalam buku antologi cerpen :Para Lelaki, dengan judul Maryam Melap Darah yang Memercik di Lukisan Bapak)
:: AKHMAD ZAILANI
(Indonesia)
KUAS itu masih menari-nari di atas kanvas. Bergerak membentuk garis lurus berwarna hitam, putih, merah dan warna-warna lainnya. Atau sekali melenggak lenggok dengan warna-warni yang lain. Bergoyang ke kiri atau ke kanan. Dan terkadang ke atas atau ke bawah. Kanvas yang dasarnya putih itu kini berwarna-warni.
Tangan mungil itu masih asik menyapukan cat minyaknya di kanvas, seperti juga hidup, kita sendirilah yang akan memberi warna. Bila kita ingin hidup kita indah berikanlah warna-warna yang manis dalam hidup. Hidup adalah kanvas. Sedangkan kelahiran dan kematian adalah bingkainya. Warnailah hidup kita dengan langkah-langkah yang baik, dengan perbuatan-perbuatan amal, niscaya hidup kita akan terasa indah.
Sang pemilik jari lentik itu tak bersuara sedikit pun. Hanya tangannya yang lincah, bersuara di atas kanvas. Kali ini dia melukis tak memerlukan model seperti hari-hari sebelumnya. Begitulah anak itu. Bila pikirannya sedang gundah, lukisannya jadi beraliran abstrak. Coretan-coretan kuas dengan warna-warna yang sedang disapukannya di atas kanvas, seakan mewakili perasaan hatinya yang sedang gelisah. Hanya suara kuas-kuas itu yang terdengar halus. Kuas yang asik bercumbu dengan kanvas. Sedangkan yang lain, benda-benda di dalam kamar gadis itu diam dalam bahasanya sendiri. Di dinding kamar itu berderet lukisan-lukisan yang beraliran realisme. Gadis tujuh belasan tahun itu terkadang tahan berjam-jam menggoreskan kuasnya. Hingga lupa makan. Baginya melukis itu sudah mampu mengenyangkannya dan menghilangkan rasa laparnya. Bagi dia melukis itu sudah seperti makan saja.
Ada beberapa hasil lukisan gadis itu yang tergantung di dinding kamarnya. Dan lukisannya yang terasa hidup (bagi dia dan ibunya) adalah lukisan bapak yang tergantung di dinding kamar ibu. Seakan-akan bapak masih tinggal di dalam rumah kecil yang terbuat dari kayu itu. Gadis dengan rambut panjang itu melukis sejak dia masih berusia lima tahun : dengan mencoret-coret dinding rumahnya sendiri. Bila ada dinding dengan cat yang masih baru (sehabis di cat bapak), itulah kanvas yang paling bagus baginya. Dinding dengan cat yang masih baru itulah yang membuat liurnya meleleh dan tangan mungilnya gatal untuk menggerakkan kuas dengan coretan-coretannya. Gadis kecil itu takkan puas bila dinding rumahnya masih tak ada ‘hasil karya besar-nya’. Itulah masa kanak-kanaknya yang bakat melukisnya tumbuh sejak kecil.
Dari hasil melukis dan sang ibu menjual gado-gado itulah dua anak-beranak itu mampu bertahan hidup. Bapak sudahmeninggal saat gadis itu masih berusia delapan tahun (waktu itu dia sedang berada di rumah paman di kota. Ibu yang menitipkan dia di sana untuk disekolahkan). Bapak di temukan tewas terapung di sungai dekat desa itu. Tubuh bapak ditemukan penduduk. Bapak telah tewas. Di tubuh bapak ditemukan bekas-bekas penganiayaan. Bapak dibunuh. Dan hingga saat ini belum diketahui siapa yang telah membunuh bapak. Hanya lewat mimpi-mimpilah anak dan ibu itu sering dikunjungi bapak. Hanya lewat mimpi pulalah anak dan ibu itu tahu siapa yang membunuh bapak.
Gadis itu masih mencoret-coretkan kuasnya di kanvas. Dan coretan-coretan itu masih (terasa) nampak belum berbentuk. Mungkin sang pelukis memang enggan menonjolkan bentuk realis. Karena perasaan memang tak dapat dilukiskan rupanya. Gimana bentuk wajahnya, tak bisa persis sama dengan wajah-wajah nyata lainnya. Perasaan hati atau emosi hanya bisa dilukiskan menuruti sang tuannya yang menggoreskan kuas di atas kanvas. Karena masing-masing pelukis berbeda dalam melukiskan rasa marah, rasa sedih atau perasaan lainnya. Begitu pula bila sang pelukis menumpahkan rasa itu kembali ke kanvas yang lain. Pasti berbeda.
Dan gadis semampai itu terkadang menggerakkan tangannya dengan cepat atau terkadang dengan gerakan lambat, diusapnya kanvas itu pada tempat yang itu-itu juga. Dia melukis dengan pikiran yang mengembara. Hanya perasaan emosinya sajalah yang turut membantu gerakan tangannya untuk menyapukan kuas di kanvas. Hanya perasaannyalah yang menyuruh tangan kanannya untuk mengambil warna-warna dari tube-tube yang berserakan di lantai kamarnya. Sedangkan tangan kirinya yang buntung (tumbuh sampai siku) hanya diam saja menyaksikan saudaranya (tangan kanannya yang tumbuh sempurna) bekerja.
Kanvas yang berukuran 60cm x 80cm itu kini telah berwarna-warna. Penuh warna yang dimaui sang pelukis : warna merah tampaknya lebih menyolok. Kanvas yang rencana sang pelukis akan ‘diisi’ dengan : lukisan burung-burung yang terbang bebas di awan atau tentang suasana pedesaan di mana anak itu tinggal, kini kembali di coret-coret lagi (biar aja, pikirnya. Nanti bisa pesan lagi sama paman bila memerlukan kanvas dan cat minyak lagi di kota). Tak henti-hentinya tangan itu bergerak mengikuti perasaan tuannya. Tak henti-hentinya gadis itu menumpahkan perasaannya. Dia tak peduli (seakan) apa gambar di kanvas itu. Dia hanya ingin menyalurkan emosinya lewat kuas bersama cat minyak di atas kanvasnya.
Akhirnya tangan mungil itu berhenti juga. Diletakkannya kuasnya di lantai. Dan dipandanginya ‘lukisan’ itu lekat-lekat. Agak puas dia sekarang. Tok tok tok! Telinganya sempat pula mendengar suara ketukan pada pintu kamarnya. “ Maryaaaam…,” suara ibu dari luar kamarnya. “Makan dulu…,”. Bila sudah ada peringatan semacam itu, baru Maryam mengalihkan perhatiannya dari lukisan. Bila sudah begitu, baru Maryam keluar dari kamarnya. Ibu selalu saja mengingatkan Maryam. Ibu khawatir anak satu-satunya itu nanti malah sakit. Ibu tahu Maryam tak bisa di pisahkan dengan hal yang ada sangkut pautnya dengan lukisan. Bila sudah melukis, dia terlalu asik dan lupa waktu. Salah satu lukisan Maryam yang ibu suka adalah lukisan bapak yang tergantung di dinding kamar ibu. Lukisan itu (terlebih-lebih ibu) benar-benar terasa hidup. Ibu menyayangi bapak, hingga sampai sekarang ibu belum mau untuk menikah lagi. Bagi ibu hanya bapaklah suami ibu. Hanya satu suami, bagi ibu.
Padahal ibu tahu, banyaklah sudah yang ingin melamar ibu. Ibu selalu menolak. Tak ada lelaki yang bisa menggantikan bapak, ujar ibu. Tak terkecuali Datu Hirang, seorang kaya raya di desa itu. Sudah beberapa kali Datu Hirang memberikan ibu bermacam-macam hadiah. Tapi ibu tetap tidak mau. Datu Hirang adalah seorang rentenir. Dia dulu sahabat bapak. Bersama bapak, Datu Hirang awalnya dulu berusaha. Bersama bapak Datu Hirang menemukan gua sarang burung walet. Bersama bapak, Datu Hirang mencari kayu Gaharu di hutan. Dulu, sebelum bapak menikah dengan ibu, Datu Hirang pernah datang melamar ibu.Ibu menolak. Ibu mencintai bapak dan menikah dengan bapak.
Dulu, pernah Datu Hirang mencoba memperkosa ibu, tapi sempat diketahui bapak dan Datu Hirang babak belur di hajar bapak, padahal bapak dan ibu sudah menikah waktu itu. Datu Hirang jadi sakit hati. Datu Hirang– yang kulitnya hitam– sejak itu mulai memikirkan untuk balas dendam. Dan di pinggir sungai dekat desa itu, bapak dihabisi oleh anak buah Datu Hirang. Bapak dibunuh lalu mayatnya di buang ke sungai itu. Dan sampai sekarang Datu Hirang masih saja merayu ibu. Walaupun Datu Hirang tahu ibu tidak mau menikah dengan dia, selalu saja dia memberi hadiah untuk ibu, gelang, kalung, dan sebagainya. Karena Datu Hirang mungkin berpikir suatu saat hati ibu akan luluh juga dan mau menikah dengannya. Tapi ibu tetap menolak. Barang-barang pemberian Datu Hirang selalu ibu kembalikan. Ibu tetap setia sama bapak. Dan lukisan bapak yang tergantung di dinding kamar ibu (menurut ibu) sudah mampu mengusir rasa sepi ibu. Lukisan bapak yang tergantung di dinding kamar ibu sudah mampu memberikan kehangatan bagi ibu. Tak ada orang yang mengira dan menduga, bahwa ibu yang masih cantik itu tidak mau menikah lagi.
Tak ada orang yang mengira dan menduga, bahwa bila malam tiba hingga sebelum fajar ibu bisa bercumbu dengan bapak. Bapak hadir memberi kehangatan buat ibu. Tak ada yang menyangka dan percaya bahwa lukisan yang tergantung di dinding kamar ibu benar-benar hidup! Bapak yang selalu tersenyum (hasil lukisan sang anak) selalu datang di malam yang dingin dan berembun. “Bu, ini lukisan bapak. Pakaian di lukisan ini Maryam warnai dengan darah Maryam. Warna merah di cat minyak punya Maryam telah habis, bu, jadi jari telunjuk Maryam, Maryam lukai dengan silet…,” ujar Maryam ketika menyerahkan lukisan bapak untuk di gantung di kamar ibu.
“Oh, Maryam, kenapa mesti warna merah dari darahmu. Telunjukmu tidak apa-apa kan?” ibu cemas waktu itu. “Tidak apa-apa, bu. Sudah Maryam plester…,” Maryam tersenyum. Ibu mengagumi lukisan Maryam. Lukisan bapak benar-benar hidup. Lukisan itu cukup besar (berukuran 110 m x 210 m), lukisan bapak yang mengenakan baju merah darah (yang benar-benar darah) yang selalu tersenyum. Pernah ibu bertanya kepada Maryam : “Maryam kenapa baju bapak kamu warnai merah, kenapa tidak putih atau warna yang lainnya?” Dan Maryam hanya menjawab : “Saya menyukai warna merah, bu.” Itu saja. Ah, Maryam memang suka dengan warna merah. Bila diperhatikan, cat minyak yang paling cepat habis adalah warna merah cat minyak miliknya. Warna merah yang selalu diidentikan dengan marah atau dendam yang membara mungkin selalu mewakili perasaan Maryam.
“Maryam, cat minyak masih ada?” tanya ibu. “Hampir habis bu. Cat minyak warna merah habis lagi. Ndak enak rasanya bila Maryam melukis ndak ada warna merahnya…,” jawab Maryam. “Titip sama Karto nanti. Tunggu saja. Nanti siang biasanya dia makan gado-gado di sini”. Karto adalah supir taksi. Bila siang tiba, dia makan (atau beli) gado-gado di warung ibu. Maryam selalu titip cat minyak sama dia. Karto tinggal di desa itu juga. Trayek taksinya dari desa ke kota atau kota ke desa. Biasanya yang memanfaatkan taksinya adalah para petani yang setiap pagi mengangkut hasil bertani atau berkebun untuk di jual di kota.
Taksi itu (atau tepatnya angkutan kota atau lebih tepatnya lagi gerobak besi) adalah milik Datu Hirang juga. Sudah disebutkan sebelumnya, bahwa Datu Hirang merupakan orang terkaya di desa itu. Dia memonopoli segala bidang usaha. Dia konglomerat desa itu. Kikirnya bukan main. Hanya kepada ibu dia tidak kikir karena ada maunya. Di bidang kawin pun dia jagonya. Istrinya ada sembilan. Dan dia ingin menggenapkan menjadi sepuluh tapi tidak kesampaian. Ibu masih setia sama bapak. Hidup Karto pun sulit. Dia banyak berutang dengan Datu hirang. Kerja menyupir taksi sia-sia belaka. Hanya cukup untuk makan hari itu juga bersama istri dan tiga anaknya. Tak sanggup pulalah dia melunasi utangnya. Sawahnya sudah diambil oleh Datu Hirang, tapi utangnya tetap masih ada dan terus kian membengkak. Itu hanya satu contoh.
Sebenarnya, sebagian penduduk di desa itu terjerat utang oleh Datu Hirang. Sawah miliknya sudah bukan lagi miliknya. Menggarap sawah (bekas sawahnya) dan hanya mendapat sebagian kecil saja hasilnya sebagai upah. Maryam menunggu Karto. Sebentar lagi pasti dia datang untuk makan siang di warung ibu. “Bu, kalau Kang Karto datang, tolong ya bu…Maryam ngantuk”. “Istirahatlah Maryam…”. Maryam melangkah masuk kamar dan ibu tetap melayani beberapa pembeli gado-gadonya.
Pukul tiga lewat lima belas siang, Karto belum datang-datang juga. Mungkin Karto makan di lain, pikir ibu. Warung ibu sudah sunyi. Dari jauh tampak tiga orang sedang menuju ke warung ibu. Ah, tapi sayang, itu bukan Karto. Itu…itu Datu Hirang bersama dengan dua orang kaki kanan kirinya, Gewok dan Barjah. Ah, mau apa mereka. “Halo Marni,” Datu Hirang menyapa ibu. Gewok dan Barjah tertawa. “Diam!” bentak Datu Hirang kepada kedua anak buahnya itu. “Maaf…warungnya mau tutup,” ibu memberesi isi warungnya. Hari memang sudah hampir sore. Dan ibu (seperti biasanya) mau menutup warung, tapi ’setan hitam’ itu datang.
Datu Hirang atau oleh orang-orang di desa (tentu saja beraninya cuma di belakang) memberi julukan Si Tambi itu mulai mendekati ibu.Tapi ibu segera masuk ke dalam rumah. “Kamu tunggu di sini!” Si Tambi memerintah anak buahnya. Lalu dia bergegas masuk pula mengejar ibu. Pintu di kuncinya dari dalam. “ Marniii…aku ingin bicara,” Si Tambi berdiri di depan kamar ibu. Suaranya halus merayu. Kamar ibu terkunci dari dalam. “Pergi kamu! Kalau tidak aku akan berteriak!” suara ibu dari dalam kamar. Tapi sebelum ibu melaksanakan ancamannya, pintu kamar yang terbuat dari kayu itu telah didobrak Si Tambi. Ibu hanya sebentar sempat menjerit (itu pun lebih tepat terkejut). Mulutnya kini telah disekap oleh tangan Datu Hirang. Ibu lalu diseret di ranjang. Ibu meronta-ronta, tapi Datu Hirang malah semakin erat mendekap ibu. Pakaian ibu dibuka secara paksa oleh Datu Hirang.
Kedua manusia yang berlainan jenis itu sedang berusaha, : yang satu berusaha memaksakan keinginannya dan yang satu berusaha menolak keinginan lawannya. Kedua manusia itu tidak tahu (tidak sempat melihat) bahwa lukisan bapak yang tergantung di dinding itu, wajah bapak yang biasanya tersenyum kini berubah marah. Matanya merah. Lukisan bapak di dinding kamar ibu bergoyang-goyang. Tak sempatlah dua manusia yang berlawanan itu memperhatikan lukisan bapak yang berada di dinding tepat di atas kepala keduanya.
Ibu sedang lelah meronta. Sedang Si Tambi semakin bernafsu saja. Ibu ditindihnya di bawah. Pada saat itulah Si Tambi tidak menyangka, bahwa lukisan bapak bergoyang-goyang dan akhirnya menimpa kepala Datu Hirang. Datu Hirang hanya sempat mengeluarkan suara :“ Aduh!” lantas nafasnya pun tidak terdengar lagi. Kepalanya darah.
Ibu menjerit-jerit. Orang-orang berdatangan. Tapi siang itu Datu Hirang telah mati. “kok bisa mati tertimpa lukisan”,“Kepalanya bocor”, “Dia mau memperkosa”,. “Mampus”. Hanya suara-suara orang yang bersyukur terdengar. Hanya dua orang kaki kanan Datu Hirang, yaitu : Gewok dan Barjah saja yang membawa tubuh Datu Hirang pulang. Walaupun selanjutnya mereka berdua bingung, mau dibawa ke rumah istri yang ke berapa tubuh Datu Hirang tersebut. Mereka berdua berbeda pendapat di tengah jalan, lantas akhirnya mereka tinggalkan begitu saja tubuh Datu Hirang di jalan. Gewok dan Barjah berlari-lari pulang ke rumah. Sedangkan orang-orang sibuk menolong ibu. Walaupun ibu cuma pingsan. Di hati penduduk desa itu kini ada suatu kelegaan, bak terbebas dari suatu belenggu. Maryam melap darah yang memercik ke lukisan bapak, lantas meletakkan kembali pada tempatnya semula. Dia tersenyum menatap lukisan bapak yang tergantung di dinding. Dan bapak pun kembali tersenyum. ***
Wanita pejuang itu masih di situ;
Mengingat Anaknya Di Depan Jendela Yang Menganga
:: Akhmad Zailani
ANGIN malam masih mengalun lembut bersama-sama suara-suara malam. Keheningan menyambar di segenap lingkungan. Sunyi menusuk-nusuk, makin menambah sunyilah perasaan wanita tua itu. Dia membuka jendela. Dibiarkannya angin malam berebutan masuk. Dia ingin bercanda dan bercumbu sepuas-puasnya bersama malam. Langit di luar kontras sekali dengan ruangan kamarnya yang serba putih.
Wanita tua itu membuang pandangannya ke langit. Nampak mata tua yang lelah dan kosong. Suasana malam makin membuat larut lamunan wanita tua itu. Lamunan wanita usia tujuh puluh limaan lebih itu larut bersama angin, melintas bersama bintang-bintang malam, bersama langit yang hitam.
“Bintang Margono…,” suara batin wanita tua yang rambutnya lebih banyak warna putih dibandingkan warna hitam yang menghiasi kepalanya itu kembali berkata-kata sendiri. “Aku merindukanmu saat ini, anakku. Kamu pasti merindukan ibu bukan? Aku ingin memelukmu, bintang.”
“Kamu memang anak ibu yang gagah. Kamu masih ingat ketika ikut berbaris di belakang peleton-peleton infantri. Kamu dengan senapan kayumu, dan tanpa baju. Kamu juga pernah melempar genteng rumah Mayor Verdomme, bersama dengan anak-anak sepermainanmu. Kamu menganggap batu-batu itu adalah granat. Kamu nakal Bintang dan ibu bangga itu.”
“Saya baru saja menggempur markas Belanda, bu,“ katamu waktu itu. Padahal kamu habis melempari rumah Mayor Verdomme, yang artinya dalam bahasa Indonesia ‘terkutuklah kau’.
Kamu memang bandel, bintang. Dan itulah yang ibu suka. Kamu juga masih ingat dengan rengekkanmu yang selalu ingin ikut ayahmu berjuang. Kamu masih ingat itu, Bintang. “Aku ingin ikut pula mengusir penjajah, yah…,” katamu. Bintang…Bintang usiamu kan saat itu belumlah tujuh tahun!
Kamu memang gagah seperti ayahmu, Bintang. Ayahmu Sersan Margono Jaya Poetra adalah pejuang patriot sejati yang gugur di medan pertempuran. Ah, kenangan itu selalu bermain-main dibenak ibu, Bahri. Kita yang selalu mengungsi dari desa ke desa atau terkadang ke tengah hutan. Kita yang selalu makan apa adanya yang bisa dimakan buat mengganjal perut untuk hidup demi perjuangan. Ibu rindu dengan kenangan itu Bintang. Ibu rindu dengan pekik-pekik suara merdeka. Dan ibu rindu pada suaramu, Bintang. Suara kecil yang meneriakkan dengan lantang pekik merdeka. Ah, kenangan-kenangan itu begitu manis. Begitu indah untuk dikenang kembali. Kenangan ibu ketika pertama kali bertemu dengan ayahmu pun tak akan pernah bisa ibu lupakan. Kenangan itu telah terbingkai pada hati ibu, Bintang. Pada pikiran dan ingatan ibu.
Kamu tahu, Bintang? Perkenalan ibu dengan ayahmu di dapur umum. Ibu bertugas memasak dan menyediakan makanan untuk para pejuang. Dan salah satu pejuang itu adalah ayahmu. Ah, mata ayahmu bagaikan elang, Bintang. Dia selalu memperhatikan ibu. Ibu jadi salah tingkah dibuatnya. Ayahmu memang pejuang yang gagah berani, tak takut mati. Tapi dia takut pada perempuan, Bintang. Dia sangat pemalu, tapi ibu sangat memakluminya.
Ah, kurasa kamu tak perlu tahu, Bintang. Kalau ayahmu menyatakan cinta lewat seorang temannya, sebagai penghubung. Ayahmu bukanlah seorang pengecut. Dia adalah seorang pejuang sejati yang gugur di medan pertempuran. Dan setelah itu ibu juga menyambut cinta ayahmu. Beberapa bulan kemudian ayahmu melamar ibu, Bintang. Perkawinan kami dalam suasana perjuangan. Sangat sederhana sekali. Perkawinan ibu dan ayahmu di antara desingan dan dentuman peluru dan bom. Dan dalam suasana itulah kamu lahir, Bintang. Suara-suara peluru dan bom-bom yang dijatuhkan dari pesawat tempur seakan turut menyambut kehadiranmu, anakku. Suara-suara merdeka bersamaan dengan jeritan tangismu. Jeritan tangismu nyaring, Bintang. Mengalahkan suara-suara peluru, suara-suara granat, suara-suara bom. Ayahmu senang sekali. Anak laki-lakinya telah lahir. Ah, kenangan itu terlalu manis dan tak sangup ibu melupakan itu semua.
Bintang… anak laki-laki ibu yang gagah, kamu merindukan ibumu saat ini, bukan? Kamu menyayangi ibumu, bukan?. Pertempuran-pertempuran melawan penjajah terus berlangsung di mana-mana. Berjuang untuk kemerdekaan, bintang. Untuk kebebasan yang membelenggu diri kita. Tubuh-tubuh tanpa nyawa telah banyak bergelimpangan. Darah-darah ikut pula mewarnai kemerdekaan. Penjajah harus diusir kan, Bintang? Penjajah dalam bentuk apapun.
Tangisan-tangisan anak-anak yang kehilangan ayahnya sudah biasa terdengar dimana-mana. Nyawa-nyawa terasa begitu tak berharga. Penjajah memang kejam, Bintang. Apakah kamu tahu pertempuran di Surabaya, di Bandung, di Yogyakarta dan di kota-kota lainnya di Indonesia. Kamu masih ingat itu, Bintang. Kamu tahu artinya mayat-mayat itu, Bintang? Kamu tahu artinya tulang-tulang dan darah-darah itu, Bintang? Perang memang kejam, Bintang. Dia bisa menginjak-injak kepala kita. Memborgol tangan dan kaki kita hingga sulit bergerak. Hingga kita tak bisa berbuat apa-apa. Dan perang pula yang menghancurkan harapan-harapan kita. Bintang, anak ibu yang gagah. Ibu ingin mendekap dan mencium kamu saat ini.
***
BINTANG Margono sedang duduk di kursi dalam ruangan ber-AC. Dia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursinya yang mewah. Dia menghisap kembali rokoknya. Dan asap kembali mengepul-ngepul. Dia memperbaiki dudukannya, perutnya yang buncit ikut bergerak dan kedua kakinya kini terletak di atas meja di hadapannya.
Kini kepalanya pusing. Baru kali ini dia tak bisa tidur. Biasanya jam-jam begini dia tidak berada lagi di sini, di kantornya. Kepalanya pusing, dia tersangkut masalah dengan seorang cukong kenalannya. Karena katebelece! Bintang Margono. Kepala dia pusing tujuh keliling, kini. Biasanya, sebagai seorang pejabat pemerintahan, Bintang Margono sering membuat pusing orang. Tapi kini dia pusing, jabatannya terancam. Jabatan, pangkat dan uang. Hanya itu sekarang yang ada dalam pikirannya. Tidak ibunya.
***
ANGIN malam yang membawa dingin merangkul wanita tua itu. Tapi dia tak perduli. Matanya yang kosong terus menatap kelangit, seolah-olah Bintang Margono, anaknya berada di sana. Memang, saat itu lamunannya sedang bermain-main di sana. “Bintang, anak ibu yang gagah…,” suaranya kini benar-benar keluar dari mulutnya. “Ibu rindu akan semangatmu yang dulu. Ibu rindu pekik merdeka-mu dulu,” mata wanita yang lelah itu teru menatap ke langit. Hanya di langit ada cahaya. Malam yang pekat semakin pekat. Angin malam dan suara malam masih mencumbui dan bercanda dengannya.
“Apa kabarmu, Bintang?” suara wanita tua itu lagi. “Ibu rindu kamu. Ibu ingin memelukmu. O, ya Bintang. Bagaimana dengan cita-citamu, kamu ingin menjali pembela yang lemah, kamu ingin membantu orang kecil? Bagaimana, Bintang? Apakah cita-citamu kini sudah berhasil?” suara wanita tua itu. Mengumam dia. Karena kerinduan seorang ibu?. “Bintang, anak ibu yang perkasa, kamu ingat ibumu bukan? Ibu yang melahirkan kamu. Ibu yang mencintai kamu. Oh, Bintang dimanapun kini kamu berada semoga kamu ingat ibu.”
Wanita tua itu masih di situ, di depan jendela yang menganga. Tak ingin sedikit pun dia beranjak dari situ. Tak ada tanda-tanda untuk beranjak. Padahal angin malam bukanlah sahabat yang baik.
***
BINTANG Margono kembali menyulut rokoknya. Padahal di situ jelas-jelas ada tulisan: Dilarang Merokok. Tapi dia tak perduli, karena dia pimpinan kantor itu. Sehabis menghembuskan asap rokoknya, Bintang Margono tersenyum sendiri. Lalu dia mengangkat telepon. Mengapa harus pusing-pusing semuanya bisa diatur, pikirnya. Dia masih punya taring dan cakar. Dia masih menggunakan itu, mengapa harus pusing, pikirnya. Bukankah masih banyak kenalan-kenalannya. Sehabis menelepon, Bintang Margono kembali meletakkan horn telepon. Dia ingin pulang. Dia ingin tidur bersama istrinya. Yang cantik malam ini. Dia tidak ingin ke rumah Marsa Wulandari, sekretarisnya yang aduhai itu. Biarlah besok saja. Dia ingin mulai besok semuanya berjalan normal kembali. Menyulap uang kantor dan bercinta dengan Marsa Wulandari.
Sementara itu tak jauh dari rumahnya yang mewah : Ada lapangan tennis di samping rumah. Ada kolam renang di belakang rumah. Juga rumah-rumah yang lain. Di tambah dengan tiga mobil dan isi rumah yang wah!, sekitar tiga ratus meter dari rumahnya, seorang wanita tua masih melamun sendiri di depan jendela yang masih menganga. Terkadang dia tersenyum-senyum sendiri atau sebentar-sebentar dia menangis sendiri. Hampir tiap malam (kalau tidak ada suster rumah sakit jiwa itu) dia melamun di depan jendela itu. Di benaknya dia ingin (berharap) suatu saat sang anak, Bintang Margono, segera menjemputnya.
“Lho kok Ibu Pertiwi belum tidur?” seorang suster cukup manis mengagetkan dan membuyarkan lamunan wanita tua itu. “Ibu Pertiwi!” suster itu Nampak marah, tapi hanya sebentar, lalu katanya : “Sersan Mayor Ibu Pertiwi Margono!” suster itu menegakkan badannya dengan sikap siap.
Dan wanita tua itu lalu berbalik dengan sikap siap pula.
“Sersan diharap tidur!” suara suster itu tegas.
“Siap! Merdeka!” wanita tua itu lalu pergi. “Merdeka!” . ***
Tersenyumlah Untukku, Fay …..
:: akhmad zailani
FAImasih jongkok sendirian di depan kuburan May. Gundukan tanah di depannya penuh dengan kembang dari tujuh macam rupa, yang ditaburkan merata di atasnya.Baunya menyapa dan menegur hidunya. Dia mematung sejak pagi. Sejak tubuh May dimasukkan ke dalam tanah di hadapannya.
Dia tak bergerak. Tak mengeluarkan air mata. Tak bersuara sepatah katapun. hanya diam membisu. Hanya …
Fai begitu terpukul atas kematian May!
Sementara itu, mendung yang menggantung di langit sudah letih mengajaknya berbicara. Hingga akhirnya siang itu, gerimislah yang jadi lakon utamanya ….
***
SAMARINDA yang elok.
Sinar matahari mulai pudar warnanya setelah siang tadi benda bulat itu memancarkan sinar kehidupan. Dan, kini, cuaca yang cerah milik Kota Tepian.
Pagi tadi nggak sekolah. Karena aku yakin, pelajaran Biologi kosong. Gurunya pergi ke Malinau. Aku tahu itu.
Sekarang aku berniat pergi ke rumah Fay. Aku ingin melihat keadaan sahabatku itu. Sudah berapa minggu nggak bertemu dengannya.
Nah untuk itulah aku datang beranjangsana ke rumahnya.
Ding dong …
Setelah memencet bel yang terletak di sisi pintu depan rumahnya, aku menunggu tak lama. Pintu terkuak lebar. Bukan Fay yang membuka pintu, tapi adiknya Rin.
‘’Fay ada, El?’’
‘’Ada tuh di kamarnya. Masuk aja, Bim,’’ Ela gadis tinggi semampai itu tersenyum. ‘’Faaay… ‘’ teriaknya memanggil sang kakak.
Aku melepaskan sepatu kets. Lalu melangkah menuju ke kamar Fay. Semua penghuni di rumah Fay sudah tau dan kenal siapa aku. Termasuk kucingnya si Ella, Madonna. Aku memang orang terkenal kok … di rumahnya Fay maksudnya. Aku sering mau ke rumah Fay.
Tok! Tok! Tok. Ku ketok pintu kamar Fay.
‘’Masuk! ‘’ teriak Fay dari dalam.
Aku masuk dan meletakkan pantat di bangku belajarnya. ‘’Nggak keluar, Fay?’’
Di meja belajarnya itulah Kahlin Gibran bertemu dengan Arsewendo Atmowiloto penulis idolanya, dalam bentuk buku. Berbaris rapi.
Fay berbaring di ranjang sambil menatap wajah close up May di bingkai berukuran 16 R.
‘’Enggak. Lagi malas ….’’
‘’Masih ingat dengan May, kamu Fay’’.
Sementara forever in love-nya Kenny G mengalun lemnbut dari mini compo di sudut kamarnya.
‘’May sudah tentram di sisi-Nya Fay … aku nggak ingin kamu hanyut terbawa perasaanmu sendiri!’’
‘’Aku nggak bisa melupakan dia, Bim. Enggak bisa!’’.
‘’Sebagai sahabat, aku nggak tega ngeliat kamu terus-terusan begini Fay. Sekolahmu jadi terbengkalai. Kamu selalu nggak bersemangat. Nggak bergairah. Kamu tampak loyo, Fay!’’.
‘’Kamu nggak ngerti Bim. Kamu …’’.
‘’Kita masih muda, Fay. Masih banyak yang bisa kita lakukan. Kita punya masa depan, Fay! Bukan hanya menyesali yang sudah terjadi,’’ potongku.
Aku menatap wajahnya. Menatap anak berambut gondrong itu!
Seandainya kamu tahu, Fay. Kamu lebih beruntung dari aku. Seandainya kamu tahu kalau di tubuhku yang kurus ini bersarang penyakit yang ditakuti dan mematikan. Leukimia, Fay!. Aku selalu dihantui waktu, Fay.
Walaupun suasana sekolah tak berarti lagi bagiku, tapi aku tetap turun Fay. Aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku. Bila masih diberi waktu Fay, aku ingin kuliah di Pertanian, Fay. Turun ke sawah bekerja bersama Pak Tani. Seandainya kamu tau, Fay …
‘’Aku begitu mencintainya, Bim ‘’ suara Fay mengiba.
‘’Fay …Fay. Ingat Fay, May sudah meninggal. Yakinlah May sudah bahagia di alam-Nya. Berusahalah melupakannya. Tinggal kamu aja lagi sekarang. Hadapi dan gunakan sisa hidupmu sekarang Masih banyak cewek yang perlu cinta dan dicintai. Jalani hidup ini apa adanya. Seperti air yang mengalir, seperti matahari yang terbit pagi hari lalu tenggelam sore hari …
Fai hanya diam.
Cukup lama aku menasehatinya.
‘’Aku pulang dulu, Fay. Sudah hampir magrib …,’’ ujarku akhirnya sambil melihat jam di meja belajar Fay.
Fay hanya mengangguk.
Sementara itu suara saksofon Kenny G sudah sedari tadi berhenti.
***
BEBERAPA hari kemudian.
‘’Terima kasih, Bim atas nasehatnya. Aku bangga punya sahabat sepertimu. Aku akan berusaha hidup lebih baik, walaupun aku belum bisa melupakan May …’’ kata Fay sewaktu bertemu aku di sekolah.
Aku tersenyum.
‘’Aku berkenalan dengan seorang cewek cakep, Bim. Rambutnya panjang. Dia begitu mirip dengan May. Aku berkenalan dengannya di sebuah toko buku. Dia begitu baik. Dia sering menepon ke rumah. Dialah yang membuat hidup aku kembali bergairah dan bersemangat. Dialah yang membuat hidup aku kembali berwarna dan hari-hariku kembali indah. Dialah … ‘’cerita Fay.
Aku bersyukur, Fay kembali bergairah menyongsong hidup, yang sebenarnya indah.
***
MALAM minggu yang suram bagiku …
Aku duduk termenung sendirian di teras rumah sambil menatap bulan yang iba melihatku. Aku tiada henti mengajakku bercanda, dengan memainkan rambutku yang gondrong. Tapi aku tak menghiraukannya. Biarkan angin malam yang centil mengganguku. Biarkan angin malam menambah sakit hatiku. Biar!
Aku tak peduli.
Aku baru tau, kalau yang membuat hidup Fay kembali bergairah itu sebenarnya adalah … Vi, pacarku sendiri!
Aku baru tahu!
Aku masih sendiri. Sendirian.
Pikiranku melayang jauh. Ingatanku menerawang ketika bersama Ella mengukir cinta pelangi di dua hati kami. Pada saat … ah, aku menarik napas panjang. mendesah panjang. Aku ingin menangis.
Fay sendiri hingga sekarang nggak tau kalau Vi itu pacarku. Kini Vi telah memutuskan hubungan denganku.
Oh … Tuhan bagaimana ini bisa terjadi? Mengapa mesti Vi. Padahal Vi yang membuat hidupku bergairah dan bersemangat menatap matahari. Vi yang membuatku berani menantang hidup.
Vi sebenarnya yang membuat aku mampu bertahan menghadapi leukemia yang bersarang di tubuhku.
Oh Tuhan … berilah kekuatan padaku. Mampukah aku membuat sisa hidupku agar sedikit berarti dan memulainya dengan cerita hidup yang baru lagi?
Ah, biarlah aku punya kebanggaan sendiri dengan membuat Fay, sahabatku itu tersenyum di sisa akhir hidupku.
Samarinda, Februari 1985
LA BIMBIIIII … OH
:: akhmad zailani
Seekor burung pipit kecil
Mencoba membelah langit
Kepaknya awan
Dia bernyanyi bersama angin
KAMU pernah melihat atau mendengar dan merasa tertipu oleh iklan-iklan konyol pada toko pakaian?
Ada harga runtuh. Ada obral murah. Ada discount 50 persen – 70 persen. Tapi harganya sama saja dengan harga dari toko pakaian yang tidak memasang iklan tersebut. Jika janji yang di tawarkan itu nyata dan kongkrit sih tidak apa. Tapi bila yang di iklan kan itu hanya ‘janji kosong’ belaka, maka jelas toko tersebut secara tak langsung telah membohongi pembeli dan ini jelas bertentangan dengan norma kehidupan, sopan santun dan penipuan! Memang, mana ada sih penjual yang tak mau untung, tapi…ah, sudahlah. Kalau Nani dan Ipung tak merasa pernah di tipu. Nani dan Ipung? Iya, kalian ingin kenal?
“Ini berapa?” Nani menanyakan harga jins di hadapannya. Yang ditanya lantas meneliti label harga pada jins tersebut. “Tiga puluh sembilan ribu,” jawab cowok pelayan toko itu. Cakep juga dia. “Kalo yang itu?” Ipung menunjukkan, ‘pakaian dalam’ kaumnya. Cowok pelayan toko itu kembali meneliti harga label pada ‘kaca mata’ dada wanita itu, lantas dia menyebutkan harga yang tertera di situ. “Kalo baju yang kamu pakai itu?” Nah, si Nani mulai menggoda. Eh, dari tadi hampir setengah jam dua gadis itu sebenarnya sudah menggoda sang pelayan toko pakaian itu. Tanya sana sini. Dan tak satu pun yang jadi di beli. Dua gadis itu Nani dan Ipung memang sedang ‘survey’ dari toko ke toko. Bukan sedang penelitian, walaupun si Nani seorang kapiten… eh seorang mahasiswi maksudnya. Mahasiswi yang juga sedang menyusun skripsin yang masih belum rampung. Lalu Ipung? Ah, dia juga bukan sedang penelitian. Dia pegawai POM Bensin. Jauh banget, kan hubungannya. Mereka berdua…yah hanya ingin mengetahui harga pakaian saja. Benar? O, iya. Mereka berdua juga hanya ingin menggoda cowok pelayan toko itu saja. Nah, nah…gitu ya. Ah, biasa saja, kok. Itu hanya salah satu cara dari sekian juta cara untuk ngilangin stress. Berjalan-jalan berkeliling Citra Niaga tujuh kali kan tak ada salahnya. Rekreasi.
“Jadi nggak belinya nih?” cowok pelayan toko itu mulai tampak tak sabaran. “Tawar dong…,” katanya lagi.
“Eh, itu tadi. Baju kamu di jual nggak?” Nani mengulangi pertanyaannya.
“Emang mau beli?”.
“Nah, Nan. Dijualnya tuh,” ujar ipung.
“Emang buat apaan sih?” Tanya pelayan toko itu lagi.
“Buat di jadiin lap,” jawab Nani. Ipung terkekeh.
Dan cowok penjaga toko itu semakin salah tingkah. Bingung juga dia menghadapi dua gadis yang bandel itu.
“Eh, jins tiga puluh sembilan ribu tadi ya? Nggak bisa kurang lagi?” Nani menatap cowok itu. “Dua puluh saja, ya,” Tanya Nani.
“Ih, jauh banget tawarannya”. Cowok pelayan toko itu sedikit bingung, tapi dia tersenyum. “Yah… sudah. Gimana kalau sepuluh ribu?” Ipung ikutan menawar. Lho, kok malah turun, Pung?
“ya nggak bisa dong,” jawab cowok itu.
“Lho, kok nggak bisa,” Nani tersenyum. “Katanya ada discountnya lima puluh persen? Kok harganya sama saja dengan di toko-toko yang nggak ada discountnya? Di iklan-iklan disebutkan discountnya sampai lima puluh persen, kok…,” suara Nani terpotong.
“Kok jadi kokok-kokok,” Ipung menirukan suara ayam. Persis banget. Nani tertawa. Juga sang pelayan toko itu. “Iklan-iklan itu bohong ya,” ini suara Nani lagi. “Kita jadi merasa di tipu”. “He-eh,” suara Ipung. “Omong kosong!”. “Pembualan!”. “He-eh”. “Kamu?” Ipung kesal. “He-eh. Eh, sialan kamu,” umpat Nani. “He-eh!”. Mereka tertawa : Ipung dan Nani. Pelayan toko tidak.
“Eh, ini mau bercanda, ngomel atau mau beli?” suara sang si penjaga toko itu. “Itu kan iklan. Kalau nggak mau beli ya udah,” sahut cowok pelayan toko itu lagi.
“Ya udah…,” Nani ngeloyor pergi. “He-eh.” Dan Ipung pun ikutan di belakang.
Dan cowok pelayan toko itu terlongo. Gitulah. Pembeli adalah raja. Jadi penjual adalah…abdinya, ini pendapat Nani, sambungan di belakangnya itu lho. Bukankah tak setiap yang datang ke toko itu pasti membeli? Ada juga yang hanya ingin melihat-lihat saja, tak bermaksud membeli. Melihat pelayan toko yang (kebetulan) cakep itu, misalnya. Kamu begitu pula ya? Sorry aja la yaa.
Nani dan Ipung terus melangkah. Santai. Panas membuat tubuh berkeringat. Uh, panasnya! Mobil-mobil berseliweran, lalu-lalang. Orang-orang pula. Taksi-taksi angkutan kota, motor-motor, sepeda-sepeda hilir mudik. Pedagang- pedagang makanan. Makanan? Ya, makanan. Dan rupanya Ipung dan Nani lapar, setelah membuang-buang energi, mengelilingi Citra Niaga. Mereka berdua tak berapa lama sudah asyik menikmati sate ayam, juga es kelapa. Hmm…enaknya.
Seorang anak kecil cukup dekil dengan tas lusuh tergantung menyilang pada tubuhnya, mendekati dua gadis itu. “Semir, kak?” setengah bertanya, setengah bertanya, setengah memaksa. “Tidak,” Nani menggeleng. Habis apa yang mau di semir, Nani pakai sandal jepit kok. “Kak, semir, kak…” masih suara anak itu.
Nani menatap bocah itu. Lekat-lekat. Dia perempuan! Nani heran. Biasanya tukang semir sepatu kan kebanyakan anak lelaki, tapi dia perempuan. Bocah kecil cukup dekil tukang semir itu perempuan. “Kamu mau makan?” Nani bertanya.
Bocah yang mungkin berusia enam tahun itu diam saja.
“Bu, tolong satenya sepiring lagi. Juga es kelapanya,” Nani menoleh ke wanita tiga puluhan yang sibuk melayani penggemar satenya itu. Tak berapa lama kemudian, sepiring sate dan segelas es kelapa sudah terhidang lagi di hadapan mereka. “Ayo makan…,” Nani mempersilahkan si penyemir sepatu itu.
Tak usah di suruh dua kali lagi bocah kecil itu langsung menyantap sate yang menantang di hadapannya. Dia makan dengan lahapnya, seolah-olah baru saat itulah dia makan makanan yang dirasakannya enak. Seolah-olah baru kali itulah lidahnya merasakan itu. Seolah-olah…ah, bocah kecil dekil itu ternyata memang lapar! Setelah sate itu tandas. Licin mengkilat! Dia kembali menyedot es kelapanya.
“Lagi?” Nani kembali menawari. Jarang-jarang anak itu makan sate gratis. Biasanya, perkataan kesal yang tak halus yang dia dapatkan. Biasanya, usiran yang dia peroleh, karena mengganggu makan orang-orang yang berduit dan membuat selera orang-orang berduit jadi hilang. Badan dekil, kotor dan berbau. Wahai pembaca Kamu jijik? Habis bagaimana lagi. Anak kecil itu…dan juga teman-temannya juga tak ingin seperti itu. Dia juga ingin seperti kamu. Santai-santai di rumah nonton TV, mau uang tinggal minta sama orang tua, sekolah, pekerjaan yang enak dan basah, pakaian yang bersih, sepatu, makanan yang enak. Dia juga ingin seperti itu, seperti kamu…
“Nama kamu siapa?” tanya Ipung. Setelah sate kedua selesai ‘dikerjakannya’. Dia melap mulutnya dengan tangan. “La Bimbi”, katanya. “Saya panggil La aja ya. Lebih enak kedengarannya. Soalnya juga kalo kamu saya panggil Bimbi itu mengingatkan nama seekor anjing teman saya,” Ipung berusaha bersahabat.
La Bimbi, bocah kecil kumal itu mengangguk. Baginya, terserah aja. Apapun namanya tetap saja nasibnya seperti sekarang. Tidak seperti Mona, Desi, Sisca, Marsha, dan gadis-gadis anak orang-orang berduit itu.
“Rumahmu dimana La?” tanya Ipung. “Di dekat gunung Stelleng.”
“Jauh juga ya. Kamu masih sekolah?” kali ini Nani yang bertanya.
“Saya masih bersekolah di SD Harapan Bangsa, kelas satu,” jawab La Bimbi. “Saya bekerja menjadi tukang semir sepatu ini untuk membiayai sekolah saya, kak. Orang tua saya hanya petani, yang hanya untuk makan sehari-hari pun itu enda cukup. Saya anak bungsu dari sembilan saudara. Kakak-kakak saya semuanya sudah menikah. Dan tinggal di bawah gunung Stelleng itu juga. Selain untuk membiayai sekolah, uang dari menyemir ini saya berikan pula buat ibu saya,” La Bimbi bercerita tanpa diminta, tentang dirinya.
“Kamu pintar La. Kecil-kecil sudah nyari duit. Kalo besar ingin jadi pengusaha, ya?” Nani kembali bersuara.
“Saya ingin jadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa, kak,” ujar La Bimbi.
“Jadi apa itu La?” tanya Ipung.
“Apa saja, kak. Saya ingin sekolah setinggi-tingginya,” La Bimbi tersenyum. Giginya kuning dan pasti mulutnya berbau. Mungkin giginya tak pernah bersentuhan dengan sikat gigi dan odol. La Bimbi, bocah cilik yang dekil si tukang semir sepatu atau sandal. La Bimbi yang hanya bisa menyemir bagian bawah. La bimbi bocah dekil yang berada di lapisan bawah hanya bisa bekerja pada bagian bawah, menyemir sepatu atau sandal pada kaki-kaki orang yang ingin penampilan terutama sepatu atau sandalnya, agar tampak menarik. La Bimbi yang mencoba bertahan hidup hanya dengan menggantungkan hidupnya dari menyemir, karena tak ada lagi yang bisa dilakukannya. La Bimbi selalu ingin berharap agar sepatu orang atau sandal orang berduit tampak kotor, lalu dia dapat uang dari menyemir.
“Saya mau kerja lagi, kak, terima kasih…,” La Bimbi bangkit, Prinsipnya sama pula dengan bisnisman, waktu adalah uang. Tak dapat uang, mau makan apa hari ini?. Panas membuat tubuh berkeringat. Orang-orang masih berseliweran. Taksi-taksi masih berlomba berebut penumpang untuk uang setoran. Pelayan toko masih sibuk melayani pembeli. Para mahasiswa masih aktif dengan teori. Para pegawai negeri masih saja bekerja. Para penjahat masih saja melakukan kejahatannya. Ada maling. Ada pencopet. Ada koruptor. Ada pemerkosa. Ada…ada saja.
Ciiit…buk! Suara rem menjerit. Suara rem yang terlambat diinjak, karena mobil itu berlari cepat. Seorang bocah kecil terpental. Orang-orang kaget. Ada yang menjerit, ibu hamil itu misalnya. Seorang bocah kecil cukup dekil dengan tas lusuh tergantung menyilang pada tubuhnya bersimpah darah. Gas kembali diinjak. Toyota merah itu kembali bergerak cepat. Kabur! Tabrak lari! Sungguh tak bertanggung jawab. Pengecut! Seribu sumpah serapah pun tak berguna. Sia-sia. Orang-orang berkerumunan. Menonton. Kenapa tak ada yang menolong? Kenapa tak ada yang bergerak cepat untuk menyetop taksi dan membawa anak itu ke rumah sakit? Tak mau repot? Atau apa?! Bantulah…
Tapi itu sudah percuma. Tak ada gunanya lagi. Anak keci dekil itu sudah tak bernapas lagi. Ah, anak kecil yang hidup dari menyemir sepatu atau sandal itu tak bernapas lagi! Anak kecil itu…ah. Dia adalah La Bimbi! Dia telah bersimbah darah, terbujur tak bernyawa di tengah jalan. Badan dekil, kotor dan berbau itu La Bimbi. La Bimbi! La Bimbi! La Bimbiiii… Oh.
Samarinda, Desember 1985
Diary Di Sudut Hati (Lihat kakekmu, Ben, yang berjuang dan berkorban apa saja demi kemerdekaan…)
:: AKHMAD ZAILANI
…….
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan allah (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (Al-Baqarah : 154)
…….
BEN masih membaca diary itu. Diary kakeknya, yang ia temukan di gudang, pada tumpukan buku-buku tua saat membersihkannya. Walaupun diary itu sudah usang tapi tulisannya masih jelas terbaca. Ben lalu membalikkan halaman berikutnya. Terus membalik…lalu membacanya, lembar demi lembar ;
Dan… 12 Oktober . Ibu masih sakit. Ketika aku pulang, aku masih melihat Murti menjaga ibu. Ah, gadis malang yang luhur budi. “Gimana keadaan di luar kang?” Tanya gadis itu padaku. Gadis yang kedua orang tuanya tewas diberondong senapan Belanda keparat. Dan kakak laki-lakinya, Burhan, yang juga sahabatku, sampai kini belum diketahui nasibnya.
Aku diam melamun. “Kang Murat! Kok malah melamun…,” suara Murti mengagetkanku. “Surabaya kini merupakan suatu kesatuan benteng yang kuat, Ti…hari ini, telah berdiri barisan pemberontak rakyat Indonesia atau yang disingkat BPRI yang dipimpin oleh Bung Tomo, Asmanu, Sumarno, dan lain-lain. Selain itu sudah lebih dulu bergerak angkatan muda, juga barisan-barisan buruh dengan laskar-laskarnya, dan barisan ulama Surabaya dengan pemuda dan laskar-laskarnya, serta barisan-barisan lainnya. Para ibu dan wanita-wanita lainya pun tanpa ketinggalan turut membantu di dapur umum serta pos-pos kesehatan…,” kataku sambil memandang wajah Murti.
“Syukurlah kang…”. Sementara suara batuk ibu mulai terdengar. Di sini, di rumah yang kapan saja siap dibom Belanda ini, tiba-tiba aku menemukan diri di balik kemelut yang kuat. Oh, Tuhan, berilah kekuatan untuk kami…
15 Oktober 1945. Murti! Betapapun aku ingin mengapaimu, suatu waktu, suatu saat… bagiku saat ini yang terpikir hanyalah perjuangan. Perjuangan!
22 Oktober 1945. Tidak ada yang sempat aku tulis, karena begitu banyak peristiwa…., selain Merdeka Ataoe Mati! Itu saja.
23 Oktober 1945. Oh, Tuhan mengapa engkau panggil ibuku? Tapi biarlah…. aku rela Tuhan, Sang Maha Kuasa. Biarlah ibu menemani ayah. Biarlah ibu damai bersama ayah. Sedangkan Murti tak bergerak di samping ibu. Tak berucap sepatah kata pun. Diam dan membisu, sejak ibu wafat Subuh tadi. Hanya air matanya yang keluar, meleleh melalui pipi. Mengalir dari matanya yang bening. Dia tak bergerak di samping ibu. Tak bergerak di samping orang-orang yang dianggapnya sudah menjadi ibunya sendiri…sejak dulu. Sejak bayi. Aku nggak tahu harus berbuat apa. Akupun hanya bias mendoakan semoga ibu dan ayah damai di sisi-Nya. Bahagia di dekat-Nya…
25 Oktober 1945. Kamis, tentara Inggris mendarat di Ujung dan Tanjung Karang. Mereka adalah Brigade 49 dalam pasukan sekutu yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) deengan sekitar 6 ribu prajurit yang di pimpin oleh Brigjen AWS Mallaby. Kebanyakan perwiranya orang Inggris, anak buahnya oaring Gurkha dari Nepal dan India Utara. Mereka bersenjata lengkap. Mereka mendarat dengan kapal yang bernama Wavenley, Floristan, Assidious, Malaika dan beberapa lagi, dengan di lindungi oleh beberapa kapal perang. Sedangkan Murti tidak sempat aku pikirkan pada situasi sekarang….
26 Oktober 1945. Pihak kita mengadakan perundingan dengan pimpinan tentara Inggris, di Kayoo, mulai pukul 9.00 pagi sampai siang… Malam hari anjing-anjing Belanda itu menduduki penjara Kali Sosok dan melepasakan semua tawanan Belanda, termasuk si bangsat, Kapten Hiujer dan teman-temannya. Tanpa ijin. Kurang ajar! Bangsat! Ben menarik napas panjang. Mendesah. Dan masih membaca diary yang sudah berumur sekitar empat puluh tujuh tahun itu.
27 Oktober 1945. Anjing-anjing itu sudah mulai berani mengganggu. Menggonggong!. Mereka telah mencegat dan merampas kendaraan kita. Ini sudah keterlaluan. Ini sudah menginjak-injak kepala kita! Demi kehormatan bangsa! Demi martabat bangsa! Sekali merdeka tetap merdeka! Malam harinya terjadi pertempuran.
29 Oktober1945. Pertempuran sehari penuh… Aku nggak tahu di mana Murti kini berada. Aku nggak tahu itu. Walaupun ada kangen di hati, yang menusuk dan mengiris.
30 Oktober 1945. Gedung Lindeteves, dekat jembatan semut…Gedung Internatio, dekat jembatan merah… Suasana belum mereda di kedua tempat tersebut. Sorenya, Jenderal Mallaby terbunuh dekat gedung tersebut! Mobilnya terbakar dan meledak! Ben terus membalik halaman berikutnya, yang sebagian halaman diary itu memang sudah sangat usang. Ternyata ada bagian dari halaman-halaman yang robek atau berlubang karena dimakan usia, sehingga menyulitkan Ben untuk membacanya. Ben terus membalik, lembar demi lembar…
6 November 1945. Aku masih belum bertemu Murti. Oh, Tuhan dimana kini dia berada? Lindungilah dia… Aku sangat mengkhawatirkannya… Aku sangat mencintainya… Padahal pertempuran besar kurasa akan terjadi.
10 November 1945 Selama banteng, banteng Indonesia berdarah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama ini tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun. Hanya kalimat itu yang sempat saya tuliskan, dari potongan pidato Bung Tomo melalui radio pemberontakan. Bagiku yang ada saat ini, hanya merdeka atau mati dalam dada. Dalam sanubari. Dan…aku rela berkorban nyawa untuk itu. Dan Ben terus membalik halaman berikutnya.
11 November 1945. Sebutir peluru yang bersarang di bahu kirikulah yang mempertemukan aku dengan Murti di pos kesehatan… “Murti…,” hanya suara itu yang keluar pertama kali dari mulutku. “Istirahatlah kakang…”.
…
“Beeenn,…,” tiba-tiba terdengar suara ibunya dari luar gudang. “Ngapain kamu lama-lama di gudang, Ben? Sudah selesai belum membersihkannya…”. Ben menutup diary itu. Dan melangkah keluar. Tampak diluar senja telah menegur dan mengingatkannya.
Aku putus dengan Diana. Cinta memang nggak bisa diduga. Nggak bisa di tebak. Begitu pula dengan jodoh, Ben menulis pada buku hariannya, di kamarnya. Lalu memasukkan diary itu ke laci meja belajarnya. Sementara itu, suara saxapone Kenny G, masih mengalun lembut dari tape, di sudut kamar itu. Kamar yang ditempeli poster Broke Shilds yang bertubuh polos berdampingan dengan poster Kahlil Gibran, ada gambar pesawat jet tempur, ada Duran-Duran, ada Bruce Lee, dan juga gambar Ben sendiri, sang penghuni kamar.
Ben melangkah, lalu menendang sansak yang tergantung di langit-langit kamar, di sudut kamarnya. Ia lalu mengambil botol yang tadi sempat di belinya, sehabis pulang kuliah. Membuka tutupnya dan langsung menenggaknya…sedikit demi sedikit. Ada apa dengan saya? Kenapa kamu memutuskan hubungan dengan saya, Diana? Kenapa pada saat saya sudah terlanjur mencintaimu? Kenapa kamu mempermainkan saya, Diana? Kenapa? Ben tertunduk di lantai. Wajahnya mulai agak memerah. Ada apa, Diana? Kenapa dengan saya? Ben menenggak lagi minuman itu. Meminum minuman keparat itu! Sedikit demi sedikit. Wajahnya memerah, begitu pula dengan tubuhnya. Ada apa dengan saya, Diana? Ben menenggak habis minuman itu. Ia pun tergeletak. Wajah kerasnya di gantikan oleh muka yang kuyu, kelelahan. Ben pun terlelap. Dan botol minuman keras itupun sudah kosong di sampingnya. Sementara itu suara saxophone Kenny G pun sudah lama berhenti.
***
“BEN kuliah, Bu,” Ben melangkah mendekati ibunya, lalu mencium keningnya. Mencium kening wanita setengah umur, yang ditinggalkan suaminya itu. Wanita yang berusaha menghidupi diri dan anak tunggalnya, dengan hanya mengandalkan usaha cateringnya. Wanita perkasa! Batin Ben sambil melangkah keluar. Sepasang kaki itu lalu melangkah bergantian, susul menyusul keluar halaman. Sepasang kaki itu mulai menyusuri Jalan Gatot Subroto. Menyusuri sendirian, sambil pikirannya menerawang jauh. “Malam Minggu nanti kita ngumpul lagi, Ben! Kata Sam dengan mulut bau alkohol. “Beri dia dua biji double L, Sam…,” mulut Joe juga bau alkohol. Juga mulutnya. Terngiang lagi peristiwa itu di kepalanya. Peristiwa malam Minggu kemarin. “Maaf, Ben. Terpaksa…,” suara Dina juga ikut berdengung di kepalanya. Dipikirannya. Ben pun masih melangkah menyusuri Jalan Gatot Subroto. “Tapi dia memukul teman kita, Ben!”. “Kita harus membalas Ben!”. “Minum lagi Ben…”. Ben menyusuri Jalan Gatot Subroto lalu terus ke Jalan Camar. Perkelahian dengan anak seberang itu pun masih mengendap di pikirannya. Ben menyebrang Jalan Merak menuju Jalan Tekukur. Sementara itu raungan kendaraan yang lalu lalang mulai terdengar bising. Seperti hati Ben, seperti pikiran Ben. Masa bodoh! Lalu berbelok ke Jalan Ruhui Rahayu. “Kamu dapat apa, Ben? Pujian? Pengakuan bahwa kamu lebih jago dari teman-teman mu? Kamu sudah merasa hebat, Ben? Ben terus menyusuri Jalan Ruhui Rahayu. Apa sebenarnya yang kamu cari, Ben? Suara hatinya pun mulai ikut berkata. Apakah hanya dengan seorang Dina, lalu hidupmu juga turut hancur? Kenapa kamu, Ben? Gimana dengan ibu kamu, Ben? Yang berusaha mencari nafkah untuk hidup? Yang berusaha membiayai kuliahmu, Ben?
Sepasang sepatu kets putih itu masih terus susul menyusul menyusuri sepanjang Jalan Ruhui Rahayu. Apa yang sudah kamu dapatkan, Ben? Apa yang sudah kamu berikan buat ibumu, Ben? Apa! Lalu melintasi jembatan Ruhui Rahayu. Kamu nggak ada artinya, Ben, bila dibandingkan dengan pejuang-pejuang dulu, dengan pemuda-pemuda pejuang dulu? Nggak ada apa-apanya dengan Kakekmu, Ben? Kamu nggak berarti! Lihat kakekmu, Ben, yang berjuang dan berkorban apa saja demi kemerdekaan… Menyeberang Jalan Ruhui Rahayu lalu belok kanan. Ben ingat kakeknya. Ingat diary kakeknya. Selama banteng, banteng Indonesia berdarah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama ini kita tidak akan menyerah kepada siapapun, teringat ia potongan pidato Bung Tomo melalui Radio Pemberontakan dari diary kakeknya itu. Ben pun terus melangkah dengan gagah menuju kampus. Yang terpikir di kepalanya sekarang adalah bagaimana banteng Indonesia yang berdarah merah itu sekarang berjuang mengisi kemerdekaan.
Malam harinya, di kamarnya, Ben menulis pada diarynya. Aku tidak mensia-siakan pengorbananmu, pahlawanku. Dan aku ingin memberikan catatan diary yang terbaik buat anak cucuku kelak… Ben lalu menutup diarynya. Dan menyimpannya di sudut hatinya yang terdalam***
Samarinda, 17 Agustus 1999
Ciuman Untuk Hajar Aswad
:: akhmad zailani
LELAKI berumur lima puluh tahunan itu datang kepadaku, minta ditemani mencium hajar aswad. Dia mengacuhkan pembicaraan kawan lain yang mengatakan, untuk mencium hajar aswad cukup lah dari jauh; dengan mengecupkan tangan kanan sambil memandang hajar aswad. Lelaki itu ingin sekali mencium hajar aswad, dengan memasukan kepala ke dalamnya. Dia ingin merasakan kenyaman hati saat mencium batu dari sorga tersebut.
Saya ragu. Karena untuk mencium hajar aswad itu perlu perjuangan, yang tak gampang dan bisa saja tak berhasil. Karena, ratusan orang – di antara jutaan jamaah- yang tawaf mengelilingi ka’bah. Saya ragu, karena kakinya lecet, sehingga agak menyulitkan saya untuk berebutan dengan jamaah lain.
Akhirnya karena dia terus mendesak, saya mau juga. Kenapa dia minta ditemani karena dia tahu saya berkali-kali telah mencium hajar aswad. Dia mendengar perbincangan iseng, yang menanyakan apakah saya telah mencium hajar aswad, saya jawab; saya mencium hajar aswad setelah tawaf sebelum dan sesudah melaksanakan shalat lima waktu. Alhamdulilah, saya memang diberi kemudahan olah-Nya untuk mencium hajar aswad berkali-kali.
Pernah suatu kali, saya membantu seorang ibu yang ingin sekali mencium hajar aswad. Berkali-kali dia ikut berdesak-desakan mendekati hajar aswad yang terletak di sudut Ka’bah, berkali-kali pula dia kembali terdorong ke belakang. Saya ingin membantu. Saya kembali berdesak-desakan. Saya berusaha berada di depan itu. Menjaga agar tak terdorong ke belakang dan menjadi pegangan untuk bersama maju ke depan. Kian mendekati hajar aswad, gelombang desakan tubuh-tubuh yang besar dari berbagai negara itu seakan melemparkan tubuh saya dan ibu itu. Saya berusaha bertahan. Saya lihat ibu itu masih di belakang. Tangan saya menjangkau besi, yang berada di dekat hajar aswad , maka tenanglah saya. Saya menunggu mereka yang bergantian memasukkan kepala ke hajar aswad, setelah itu bersiap-siap berebutan untuk giliran berikutnya.
Ibu itu masih dibelakang saya. Tak dihiraukannya, lelaki-lelaki tinggi hitam dari Afrika atau lelaki bule dari Eropa yang juga berebutan untuk mencium hajar aswad. Saya beri ibu itu kesempatan untuk maju. Tangan saya masih memegang pagar besi kecil di dekat hajar aswad. Ibu itu berhasil maju di depan saya. Saya coba menjaga, dengan tetap tangan berpegangan di besi dekat hajar aswad. Setelah berdiri di depan hajar aswad, tidaklah mudah untuk memasukan kepala. Karena ratusan orang yang berdekatan juga ingin memasukan kepalanya, mencium batu dari sorga itu. Agar mencium hajar aswad itu, kepala ibu itu saya pegang dan saya bantu untuk bisa mencium hajar aswad dan berhasil.
Ibu itu lega. Biasanya, setelah melepaskan ciuman dari hajar aswad, maka tubuh kita akan kembali terdorong ke belakang karena desakan badan jamaah lain yang berebutan mencium hajar aswad. Karena ibu itu ingin ke belakang, dia menolah kepada saya; sudah, sudah jangan halangan saya.
Saya sedikit kecewa. Bukan terima kasih yang diterima. Tapi … kalimat yang berbau marah.
***
SAYA mengatakan kepada lelaki itu, kita tawaf saja dulu, sambil terus mendekati dinding ka’bah. Dia mengikut. Kami terus tawaf hingga akhirnya berhenti di dinding ka’bah. Kami bergeser sedikit demi sedikit menuju hajar aswad. Makin mendekati hajar aswad, tubuh kami kian terjepit ke dinding ka’bah. Kami terus bertahan. Saya perhatikan dia, nafasnya sudah tersengal-sengal. Kami makin terjepit. Lelaki itu belum mau menyerah. Sungguh sulit mendekati hajar aswad. Posisi saya berada di depan lelaki itu. Saya berusaha mendekat, terus mendekat dengan susah payah. Merayap di dinding ka’bah. Marapat sambil sesekali berdoa, semoga diberi kekuatan mencium ‘hanya batu pecahan-MU dari sorga’. Kami mencium aroma sorga hanya dari batu-Mu …
Saya berhasil berpegangan di besi dekat hajar aswad. Saya cium hajar aswad, cukup lama … hati yang nyaman terasakan. Tak ada ingatan tentang berbagai urusan duniawi. Tak sejuta pikiran tentang urusan hidup. Saya cium beberapa kali.
Setelah ciuman dilepas, lega sekalipun jamaah yang tawaf menyadarkan kita bahwa kita masih di dunia. Saya tahu lelaki itu belum memenuhi hasrahnya untuk mencium hajar aswad. Saya berusaha membantunya. Tangan kanan saya mengarahkan kepalanya, dan lelaki itu cukup lama pula mencium batu dari sorga itu. Alhamdulilah.
***
KAMI sedang duduk-duduk di dekat pintu masjid haram , ketika istri lelaki itu menemui kami. Kami kelelahan setelah mencium hajar aswad. Selain kami, ada pula beberapa—ada sekitar 5 orang– pemuda asal Banjarmasin, yang duduk di dekat kami. Kami berkenalan. Setelah bercakap-cakap, kami mengetahui bahwa para pemuda dari Banjarmasin itu mencari makan dengan menwarakan jasa untuk membantu mencium hajar aswad. Ongkosnya 25 real.
Istri lelaki itu menanyakan, apakah kami sudah mencium hajar aswad? Kami jawab sudah dan dia juga ingin mencium hajar aswad pula. Suaminya berkata, cukup sulit mencium hajar aswad. Istrinya tetap bersikeras. ‘’Bila tidak mau menemai, biar saya sendiri saja,’’ dia lantas melangkahkan kakinya menuju hajar aswad. Sendirian.
Saya lantas meminta para pemuda itu mengikuti untuk membantu istri lelaki itu mencium hajar aswad. Mereka mengatakan, cukup tiga orang saja. Nantinya saya di depan dan dua orang di sisi kiri dan kanan istri lelaki itu. Kami lantas mengganti jasa mereka 25 real.
Tak berapa lama istri lelaki itu datang. Sendirian. Pemuda dari Banjarmasin itu tidak ada lagi ‘’Alhamdulilah pak, Allah melapangkan jalan saya. Dengan mudahnya saya melangkah mencium hajar aswad. Jalan seperti terbuka …,’’ istri lelaki itu bercerita. ‘’Di depan dan di samping saya seperti ada yang melindungi. Orang di depan saya malah nampaknya tidak mencium hajar aswad, dia member kesempatan kepada saya. Begitupula yang berada di samping kanan dan kiri saya, mereka menjaga saya. Mungkin mereka itu malaikat ya …’’. Istri lelaki it uterus menceritakan pengalamannya, yang terasa mudah mencium hajar aswad.
Saya dan lelaki itu hanya tersenyum. ***
Masjidil haram,Mekkah 2003
***
OPERA PAK KARTO
Oleh : Akhmad Zailani